Senin, 30 April 2018

Sebab Hidup Tak Melulu Soal Pemilu

Potret Nakal “Tengsiang” dan Kelindan Pemilu


FESTIVAL TBRS: Penampilan SRMB pada Festival Pertunjukan Rakyat di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang(28/4). Drama "Jago Tengsiang" dimainkan dalam perform "sampakan" dan mendapat aplaus penonton [Foto: srmb]

Dalam catatan prolog pementasannya, diintrodusir peran “pengusaha multi-nasional” di bagian awal narasi “Jago Tengsiang”, sebagai hal menarik karena meskipun bicara dalam konteks demokrasi elektoral, lakon ini membidik latar belakang dan kait kelindan yang “bermain” (terminologi: menunggangi_Red) event pemilu; baik pilpres, pileg maupun pilkada lainnya di berbagai hierarki politik elektoral formil.  

Dengan kenakalannya, SRMB (Sekolah Rakyat MeluBae) membidik fenomena latar belakang ini pada lakon drama yang dimainkannya. Lakon yang mengandalkan Pekik Sasinilo, Pitra Suwita, Darmawan “Dalwan” Riadi, Daryono Cengkim; sebagai pemerannya ini cukup menggelitik. Pentas ini juga dikompilasi dengan tarian oleh Septian Sukmaningrum, Esti Kurniawati, Ari Setyowati, Vera dan Wiwied; yang menghangatkan ghirah panggungnya.

Sedangkan di sisi panggung lainnya ada pengiring Toro Mantara, Nurokhim, Dodi “Dodot” Suryohandaru, Sujatmiko, Bandiyo Sriyono dan Sutarjo yang kejibah mengawaki aspek koreografinya.

Untuk narasi lakon “Tengsiang” sendiri merupakan rangkum pemikiran kolektif para pegiatnya sejak beberapa tahun sebelumnya. Secara naratif telah mengalami setidaknya 3 kali restorasi pada waktu serta pementasan terpisah. SRMB sendiri berdiri sejak 13 januari 2013 lalu, pada awalnya tekun mengeksplorasi dunia sastra dengan mengolah pertunjukan musik puisi. Namun juga membuka kelas-kelas seni pernafasan, dasar teater dan olah spiritual berkesenian lainnya.  


Sedikit Tinjauan Kritis


Dalam konteks kepemiluan, ditinjau sampai pada derajad tertentu, telah diasumsikan sebagai cara rejim dalam mereduksi problem mendasar rakyat yang sesungguhnya; yang butuh jawaban konkret melalui kebijakan politik yang (akan) dihasilkannya. Bagi SRMB, ritual politik elektoral ini begitu menghipnotis harapan dan pelibatan banyak orang.

Namun sebagian diantara banyak orang itu menilai politik elektoral dengan pendekatan skeptis dan karenanya muncul fenomena golput yang makin menguat. Fenomena ini menggejala dan tumbuh seiring perilaku politis yang kian menjauh dari timbangan moral dan etika; termasuk di dalamnya praktik korupsi yang sistemik dan membudaya.

Disebut sistemik karena dalam konteks kepemiluan yang prosedural dan “mahal” (Baca: boros_Red) itu, banyak kepentingan menungganginya, tetapi semua dengan memunggungi tujuan sejati atas rejim politik bernama pemilu dan yang akan berekses pada hasil-hasilnya. Dalam narasi “Jago Tengsiang”, latar belakang ini justru dipresentasikan sejak awal pentasnya. Bahwa semua ini penting dipahami oleh masyarakat pemilih dalam konteks pemilu cerdas; itu satu problem konten pementasan.

Di sisi yang lain, bagaimana menjadi seorang kritis, baik sebagai pelaku maupun sebagai penonton pementasan; ini substansi. Seorang yang kritis itu artinya menjadi seorang yang peka berdasarkan nalar rasional. Sehingga dengan rasionalitasnya itu, maka terbangun keberanan untuk berkata yang buruk memang harus dibilang buruk; dan juga sebaliknya.

Pengabaian terhadap realitas sosial yang gagal dipahami rejim pilkada, selain hanya sebagai pemenuhan formal politik elektoral, telah dengan susah payah dirangkai menjadi narasi pentas. Dalam konteks ini, drama “Jago Tengsiang” tak berlaku menggurui penontonnya... [ap]

0 komentar:

Posting Komentar