Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Jumat, 30 Maret 2018

Hari Teater Sedunia : Catatan Rudolf Puspa


Rudolf Puspa

Sejak 1961 International Institute theater memulai tradisi yakni hari teater se dunia. Hal ini merupakan cetusan besar atas perenungan panjang sehingga memiliki keyakinan bahwa seni teater memiliki kekuatan daya hidup lewat panggung menyeruak ke dalam hati para pekerja dan penikmatnya. Setidaknya itulah yang aku tangkap dari peringatan hari teater se dunia.

Selanjutnya tanggal hari teater se dunia pun kemudian ditetapkan pada tanggal 27 Maret yang diambil sebagai penghargaan kepada penulis naskah absurd dari Perancis yakni Eugene Ionesco yang wafat karena kecelakaan mobil di Paris 27 Maret 1995. Kebetulan teater keliling waktu itu sedang berada di Rumania mengikuti festival teater internasional di Rumania.


Kini di tanah air pun kelompok-kelompok teater selalu memperingati hatedu dengan mengadakan beraneka acara. Utamanya acara selalu diadakan dari dan untuk pekerja teater. Para pekerja teater dari yang muda hingga yang sudah tidak aktif datang berkumpul, berbincang, diskusi, membuat pertunjukkan dan siapapun bebas menyaksikannya.  Tentunya suasana khas Indonesia akan terasa sebagai sebuah silaturahmi teater yang mengesankan. Bahwa ada kebutuhan antara seniman teater butuh ruang bertemu untuk bicara dari hati ke hati.

Suasana yang indah teateral tersebut sangat mengetuk hatiku untuk turut terlibat namun hingga hari ini saya masih belum berkesempatan karena memiliki acara lain yang waktunya bersamaan. Selalu berharap tahun depan bisa kesampean tentunya.  Terlebih di Solo, kota kelahiranku selalu tiap tahun ada acara hatedu yang sudah jadi rujukan secara nasional. Aku bangga dan meneriakkan rasa hormatku kepada teman-teman Solo yang setiap tahun menyelenggarakan perayaan hatedu.

Semakin nyata bahwa teater memiliki satu gerakan yang menyuarakan bahwa ada kedaulatan teater Indonesia yang harus selalu di suarakan sehingga semakin disadari bahwa gerakan teater Indonesia memiliki arti penting bagi turut berperan dalam penyelenggaraan bernegara dan berbangsa yang bermartabat. Tidah bisa dipungkiri gerakan teater Indonesia telah membuahkan hasil yakni makin ramainya kegiatan teater dikalangan remaja, di sekolah-sekolah sehingga makin banyak kini produksi teater yang merangkul kaum remaja untuk ikut aktif menjadi bagian dari kegiatan produksi teater.


Orientasinya profesional dalam kerja walau dalam hal materi masih belum mengarah kesana.
Pergerakan dengan pentas dari kota ke kota semakin mulai tampak ujutnya sehingga teater keliling mulai merasa tidak kesepian karena kini tidak sendirian bekerja pentas keliling. Setelah 43 tahun bergerak sendiri kini banyak temannya dan itu sangat membanggakan. Saya merasakan inilah hasil kerja puluhan tahun yang memberikan sinar cerah dan harapan bahwa teater bukan sesuatu pekerjaan yang tidak bisa menjawab pertanyaan para orang tua ketika mendengar anaknya mau berteater ; “ mau jadi apa hidupmu nak?”

Ketika anak-anak remaja semakin banyak yang menyukai bermain drama tentu tidak salah jika kami mulai mempertanyakan sejauh mana kementerian pendidikan dan kebudayaan ikut terlibat menyusun kurikulum yang memberikan dukungan bagi teater yang mulai digemari para anak didik tingkat smp dan sma. Namun hingga hari ini jika masih merasa sebagai anak tiri tentu saja hal yang memang juga sebuah kenyataan pahit. Alangkah baiknya jika pil pahit ini kita telan sebagai obat yang justru akan menjadikan kehidupan yang sehat.

Jika melihat kegiatan ekskul teater yang mendapat ruang dan waktu setelah selesai sekolah maka yang dihadapi adalah siswa siswi yang lelah 8 jam dijejali berbagai mata pelajaran selama sehari. Celakanya sering waktu yang diijinkan setelah solat Ashar dan pukul 17.00 sekolah harus kosong dari kegiatan pelajar. Hanya dua jam maksimal dan hanya seminggu sekali. Dalam setahun belum tentu bisa 52 minggu karena ada hari libur dan juga sering terpaksa libur karena ada kegiatan lain yang dipandang lebih penting. Dan dalam hari libur jika diajak latihan maka serempak kurang menerima karena bertumpuknya tugas-tugas dari tiap pelajaran sehingga tetap saja kelelahan juga.

Namun saya masih terhibur karena masih ada kelompok teater sekolah yang berani dan mau bekerja keras dan tidak peduli lelah beratnya. Justru merasakan bahwa dengan latihan teater maka jiwanya menjadi segar bugar. Juga agak beda dengan sekolah swasta yang maaf dimana etnis minoritas justru memiliki daya juang lebih baik. Ketika memilih teater sebagai ekskulnya maka mereka punya konsekwensi untuk disiplin. Dukungan pihak sekolah pun selalu tinggi dan membuka kegiatan teater bukan sekedar asal ada. Hanya masih juga sama kalau soal orang tua yang melempar pertanyaan yang sama juga.

Marilah kita terus bersatu padu bergandeng hati untuk terus melangkah bagai sang penyair besar Chairil Anwar yang berseru “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.

Selamat hari teater se dunia 27 Maret 2018.

Salam jabat hati

Jakarta 27 Maret 2018.
Rudolf Puspa

PojokSeni 

Kamis, 29 Maret 2018

Perihal tulisan buruk dan bagaimana memperbaikinya

AS Laksana | 13:07 WIB - Kamis, 29 Maret 2018

 
Ilustrasi: Lukisan abstrak di atas kertas. RegioEligo /Shutterstock


Sejak mendengarnya di Youtube tahun lalu, pertanyaan Steven Pinker ini terus mengganggu pikiran saya sampai sekarang: Kenapa kebanyakan tulisan buruk sekali mutunya?

Pinker adalah cendekiawan psikolinguistik dan kognitif dari Universitas Harvard. Ia menekuni bagaimana pikiran bekerja, bagaimana bahasa bekerja, dan fasih menjelaskan bagaimana bahasa bekerja sebaik-baiknya untuk memikat pikiran manusia.
"Tulisan yang baik dapat mengubah cara kita memahami dunia," katanya.
Tulisan buruk tidak mengubah apa pun dan para penulis buruk biasanya tidak menyadari bahwa tulisan mereka buruk sekali--entah itu fiksi, puisi, esai, atau, yang sekarang ramai, puisi esai.

Kita bisa mengatakan sambil lalu bahwa mereka menulis buruk karena tidak cakap menulis bagus. Namun penulis dan jurnalis The New Yorker Malcolm Gladwell memiliki formula khusus tentang kemahiran: latihan 10 ribu jam. Tiap-tiap orang perlu menjalani latihan 10 ribu jam untuk menjadi maestro di bidang apa pun yang ditekuninya. Ia menggemborkan "hukum 10 ribu jam" itu dalam bukunya Outliers, dengan merujuk hasil penelitian Karl Anders Ericsson, pada 1993, terhadap para pemain biolin di sekolah musik Berlin.

Hukum 10 ribu jam cepat memikat perhatian. Ia memberi kita patokan tentang berapa lama waktu latihan yang kita perlukan untuk menjadi maestro. Ericsson, yang dijadikan rujukan oleh Gladwell, buru-buru menyanggah:
"Gladwell keliru memahami hasil penelitian saya."
Untuk memperjelas urusan 10 ribu jam ini, psikolog Angela Duckworth suatu hari menemui Ericsson dan menanyakannya langsung. Ia menuliskan petilan percakapan mereka di dalam bukunya Grit: The Power of Passion and Perseverance.

"Lihat, Profesor, saya joging kurang lebih satu jam tiap hari, beberapa hari seminggu, dan sudah melakukannya sejak umur saya delapan belas. Sudah ribuan jam saya berlari hingga sekarang, tetapi kelihatannya kemampuan lari saya tetap tidak memadai untuk bertanding di Olimpiade."
"O, menarik," jawab Ericsson. "Boleh saya mengajukan beberapa pertanyaan?"
"Silakan."
"Apakah anda menetapkan tujuan spesifik dalam latihan anda setiap hari?"
"Agar sehat. Agar tubuh saya tidak melar."
"Ah, ya. Tapi apakah anda memiliki target untuk, misalnya, meningkatkan kecepatan berlari atau menambah jarak tempuh? Maksud saya, apakah ada aspek khusus yang anda ingin tingkatkan dalam urusan lari?"
"Hmm..., saya rasa tidak." 
Setelah memastikan bahwa Angela tidak memiliki catatan rinci dan sistematis mengenai latihan larinya setiap hari, Ericsson mengatakan:
"Saya yakin anda pasti tidak memiliki pelatih."
Angela tertawa.
"Saya tahu," kata Ericsson lagi, "anda tidak meningkat dalam urusan lari karena tidak melakukan latihan dengan tujuan spesifik (deliberate practice)." 
Orang bisa menghabiskan waktu 10 ribu jam, atau sepuluh tahun atau bahkan tiga puluh tahun, namun kemahirannya tidak meningkat secara signifikan. Misalnya, seorang pemain badminton kampungan sudah mulai memegang raket sejak umur sepuluh dan tetap menjadi pemain kampungan pada umur dua puluh lima.

Bagaimana cara mereka berlatih setiap hari, itulah yang membedakan para maestro dari gerombolan cacing pita atau anggota kerumunan.

Para juara melakukan latihan dengan tujuan spesifik. Para juara badminton tidak selalu memainkan badminton sebagai sebuah performansi tiap kali mereka memegang raket di lapangan. Mereka hanya berlatih servis, pukulan backhand, pukulan smash, ayunan kaki, permainan net, dan lain-lain sampai mahir dalam semua aspek. Mereka memberi perhatian pada bagian-bagian yang lemah dan berlatih sangat keras untuk mengatasi kelemahan-kelemahan itu.

Para petenis profesional juga tidak berlatih setiap hari dengan cara bermain tenis. Begitupun dengan pemain basket, penari, pelukis, pemain piano, dan sebagainya. Untuk menjadi maestro, mereka berlatih sangat keras pada aspek-aspek spesifik sampai mereka menguasai secara mahir seluruh aspek itu dan mampu menggunakannya dalam sebuah performansi.

Dan mereka memiliki pelatih yang mencatat perkembangan hasil latihan, memberi masukan, dan tahu bagaimana menggenjot aspek-aspek yang masih lemah untuk ditingkatkan.

Para penulis tidak berlatih setiap hari dengan cara seperti itu. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak berlatih menulis.
Banyak orang menulis meskipun tidak memahami bagaimana cara menghasilkan kalimat yang bagus dan tidak memiliki kepedulian terhadap kalimat. Mereka menulis tanpa pengetahuan yang memadai tentang bagaimana menciptakan kalimat yang memiliki kekuatan untuk memikat pikiran orang.

Mereka hanya menulis dengan cara menuruti saran yang paling mudah diikuti: "Menulis ya menulis saja setiap hari." Kurang lebih yang mereka lakukan setali tiga kepeng dengan pemain badminton yang bermain di kampung-kampung atau para pecatur yang bertanding setiap hari di gardu ronda.

Menulis adalah melukis dengan kalimat. Pelukis menggunakan cat dan kanvas untuk menciptakan realitas dan mentransformasikan ide di dalam benaknya menjadi bentuk kongkret di atas kanvas. Penulis menggunakan kalimat dan halaman-halaman kertas (dan/atau layar komputer) untuk tujuan yang sama: memperlihatkan kepada pembaca apa yang patut dilihat dan diberi perhatian.

Pelukis melatih diri secara keras dalam aspek-aspek spesifik untuk menjadi pelukis besar, penulis tidak tahu apa aspek-aspek spefisik di dalam urusan tulis-menulis dan, konsekuensinya, tidak tahu apa yang menjadi kelemahan mereka dan bagaimana memperbaikinya.

Para reporter menulis setiap hari dan bertahun-tahun kemudian kebanyakan dari mereka tetap menulis buruk. Mereka mungkin lebih lancar, tetapi mutu tulisan mereka tidak menunjukkan peningkatan berarti. Para pengamen memainkan gitar berjam-jam setiap hari dan mereka tidak menjadi musisi hebat. Saya berjalan kaki setiap hari, dari kamar tidur ke kamar mandi, mondar-mandir di halaman rumah, pergi dari rumah ke warung dan kembali ke rumah lagi, tetapi saya tidak menjadi atlet jalan kaki yang sanggup memenangi bahkan sekadar lomba jalan kaki antarkecamatan.

Jadi, saran menulis ya menulis saja sudah jelas tidak menghasilkan penulis bagus. Jika saran itu berhasil, tidak akan muncul pertanyaan di awal tulisan ini.

Masalah terbesar dalam penulisan adalah kita tidak mampu mengidentifikasi secara jelas apa aspek-aspek spesifik yang mendasari kemahiran menulis. Jika kita memahami aspek-aspeknya, kita bisa berlatih tiap hari untuk menjadikan diri menguasai kecakapan dalam semua aspek itu.

Kita bisa mengomentari bahwa sebuah tulisan tidak koheren atau penulisnya tidak mampu merumuskan masalah secara tajam. Itu umpan balik yang sifatnya sangat umum, tidak menjangkau detail. Lalu, apa latihan yang harus dilakukan oleh seorang penulis jika tulisannya tidak koheren dan perumusan masalahnya tidak tajam?

Saya tidak tahu apakah ada penulis yang setiap hari berlatih keras dalam urusan koherensi atau merumuskan masalah saja selama satu sampai dua tahun dengan ketekunan David Beckham berlatih tendangan bebas. Mungkin tidak ada juga penulis yang berlatih keras menciptakan metafora, atau membuat dialog, atau memfokuskan perhatian selama beberapa tahun untuk urusan diksi.

Jika ada, tentu sangat menarik untuk mencari tahu apa bentuk latihan yang dilakukannya dan bagaimana dia tahu bahwa dialog-dialognya sudah kuat, atau metaforanya sudah secemerlang matahari pagi, atau tokoh-tokoh dalam ceritanya sudah hidup dan sama gesitnya dengan tikus-tikus got.

Belum lagi urusan penyuntingan. Pada tingkat kalimat, seorang penulis harus mampu mengevaluasi hal-hal seperti kesalahan tatabahasa, ambiguitas semantik, kekeliruan referensi, dan berbagai kerancuan yang bisa menyesatkan pemahaman. Ia harus mampu memperbaiki kesalahan logika, membereskan kesalahan fakta, dan meluruskan inkonsistensi pemikiran. Masih ada lagi, pada jenis tulisan tertentu seorang penulis harus mempertimbangkan pembacanya, suara literernya, dan tingkat kerumitan tulisannya.

Penulis secara umum tidak melakukan latihan sadar, sebuah latihan yang memerlukan keuletan dan ketekunan untuk menguasai aspek-aspek spefisik, sebagaimana yang dilakukan oleh para atlet dan musisi dan seniman-seniman lain. Mereka sekadar menulis, lalu menulis lagi, lalu menulis lagi, persis dengan saya berjalan tiap hari dan tidak menjadi juara lomba jalan kaki.

Para penulis buruk menulis setiap hari dan tidak memahami bagaimana bahasa bekerja, sebab mereka tidak peduli terhadap bahasa dan tidak memiliki kepekaan terhadap diksi. Mereka tidak memedulikan style--yang oleh Pinker dirumuskan sebagai penggunaan kata-kata yang efektif untuk memikat pikiran manusia.
"Kata-kata terbaik," katanya, "tidak hanya menyampaikan gagasan dalam cara yang lebih baik, tetapi juga menggemakannya dalam suara dan artikulasi yang kuat."
Dengan kata lain, penulis yang baik tidak lahir karena mereka sekadar menulis tiap hari dan menjadi mahir setelah 10 ribu jam. Ia dengan sadar melatih diri, secara keras. Ia mencintai kalimat dan memiliki kepekaan terhadap bunyi dan irama yang lahir dari penggunaan kata-katanya. Ia memiliki gagasan dan bisa menyampaikannya dengan gaya--dengan kemahiran seorang maestro.

Sumber: Beritagar.Id 

Selasa, 20 Maret 2018

Heboh Sastra Indonesia: Mengadili Imajinasi, Jassin Masuk Bui

Oleh: Irfan Teguh - 20 Maret 2018


Sastrawan HB Jassin. Doc. PDS HB Jassin


Cerpen "Langit Makin Mendung" karangan Kipanjikusmin menghebohkan dunia sastra Indonesia tahun 1968

Para nabi yang telah pensiun dari tugas-tugasnya merasa bosan tinggal terus-menerus di surga. Mereka ingin diberi cuti untuk bergiliran turba ke bumi. Oleh karena itulah mereka kemudian membuat petisi kepada Tuhan. 
Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaran-Mu; beratus tahun tanpa henti,” begitu keluhannya.
Menanggapi hal tersebut, Tuhan hanya geleng-geleng kepala. Tak paham apa lagi yang diinginkan manusia, para nabi yang bosan itu. Maka dipanggillah Muhammad, penandatangan petisi pertama. Ditanyakan kepadanya, apakah kiranya surga selama ini kurang memberi kesenangan. Ternyata bukan itu penyebabnya, sebab surga adalah puncak kelimpahan nikmat yang tiada tara. 

Lalu Tuhan bertanya lagi. Menyelidik apa kiranya alasan Muhammad ingin turba ke bumi.
“Hamba ingin mengadakan riset […] Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga,” jawab Muhammad.
Setelah melanjutkan percakapan, dan izin sudah dikantongi, maka Muhammad bersiap turun ke bumi.
“Mintalah surat jalan pada Sulaiman yang bijak di sekretariat,” kata Tuhan.
Di surga acara pelepasan cukup meriah. Muhammad naik ke punggung buroq dan meluncur ke bumi, diikuti Jibril yang terengah-engah di belakang.

Di bumi, mereka turun di Jakarta. Aduhai kota berjuta masalah. Orang-orang sakit. Harga barang-barang melonjak. Kemiskinan. Pelacuran. Situasi politik berderak-derak. Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi yang sudah menjadi nabi palsu tengah mengobarkan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komonisme). Ia juga hendak mengganyang negara tetangga yang dianggap antek Nekolim.

Istana penuh pesta. Pengemis-pengemis di luar pagar menyesali diri kenapa menjadi manusia, bukan menjadi anjing yang kekenyangan di dalam istana.

Stasiun Senen dipenuhi kecabulan yang jorok dan jijik. Dari atas atap seng, Muhammad dan Jibril yang mengubah dirinya menjadi sepasang burung elang menyaksikan kekumuhan itu.
“Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang—lagi palang merah, kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah […] Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot,” begitu keadaannya.
Presiden banyak omong dan banyak bohong. Namun Muhammad dan Jibril melihat rakyat biasa saja. Tak heran dan tak marah. Mereka seperti sudah terbiasa menghadapi presiden yang buka mulut seenaknya. Rakyat itu begitu pemaaf dan baik hati. Kebobrokan pemimpin selalu diterima dengan lapang dada. 


Siapa Menabur Angin, Dia Menuai Badai

Kisah tersebut berjudul Langit Makin Mendung, ditulis oleh Kipanjikusmin dalam majalah Sastra Th. VI No. 8, Agustus 1968, yang dipimpin oleh H.B. Jassin. Dalam beberapa catatan, penulisan nama pengarang cerpen ini cukup beragam: Ki Pandji Kusmin, Ki Panji Kusmin, Kipandjikusmin, dan Kipanjikusmin. Saya mengacu pada penulisan yang ada dalam pledoi Jassin, yaitu Kipanjikusmin.

Cerita ini tentu saja meledakkan amarah umat Islam yang menganggap cerita itu menghina Tuhan, malaikat dan nabi. Kipanjikusmin dan redaktur Sastra dikecam. Kantor majalah pun dirusak oleh massa yang muntab. 4 Februari 1970, Jassin diseret ke pengadilan. Sementara Kipanjikusmin (nama pena), dirahasiakan oleh Jassin. Paus sastra itu maju sebagai martir.

Agus Rois dalam Teror, Catatan Filsafat dan Politik tentang Firman dan Iman (2016) menerangkan bahwa pasca Orde Lama runtuh, situasi Jakarta sudah tidak panas. Tak ada lagi teriakan “ganyang setan-setan kota”, “seret kabir, gantung pencoleng, dan koruptor ke pengadilan terbuka”, atau teriakan “hidup Nasakom”.

Namun, ketika Jassin maju ke muka pengadilan, suasana Jakarta kembali menghangat. Ibu-ibu yang sabar mengantre beras karena demokrasi terpimpin bangkrut, sibuk juga oleh kasus Langit Makin Mendung. Orang-orang marah tak menerima nabinya olok-olok oleh si kurang ajar.

Di persidangan, pengunjung menyesaki ruangan. Mereka geram terhadap terdakwa, dan hendak mengetahui hukuman apa yang kiranya akan dijatuhkan kepada si penista agama itu.
“Sidangnya dibuka dengan satu ketukan palu. Tapi, lima menit kemudian sidang ditutup suara koor pengunjung. Persoalannya sepele, pembela Jassin belum kelar membaca berkas perkara. Sidang dilanjutkan enam hari kemudian,” tulisnya.
Agus menambahkan, pada sidang selanjutnya ruangan penuh sesak oleh tukang ojek, dosen, mahasiswa, sastrawan, wartawan, serta ulama. Jassin duduk tenang di kursi pesakitan. Sementara beberapa juru foto tak hentinya mengarahkan kamera ke arah terdakwa.

Sebagian lainnya yang menghadiri persidangan tertahan di luar karena gedung telah sesak. Mereka membentangkan poster dan berteriak-teriak. 
“Jassin, seorang penulis yang gagah berani, hari itu selama beberapa puluh menit dicecar hakim,” tulis Agus.

Pembelaan Jassin

Setelah menghaturkan hormat kepada hakim dan pengadilan, Jassin kemudian membuka pledoinya dengan tenang. Menurutnya, inilah kesempatan baginya untuk menjelaskan sesuatu yang penting bagi pengarang Indonesia dan masyarakat umum yang menanggapinya. 
“Saya merasa gembira pula, karena inilah yang pertama kali suatu peristiwa sastra mendapat kehormatan bersejarah berdiri di tengah-tengah perhatian, sekalipun sebagai terdakwa di depan forum pengadilan,” ujarnya. 
Jassin menjelaskan kenapa ia berani maju mempertanggungjawabkan naskah yang ia terbitkan di majalah Sastra. Selain karena memang kewajibannya, juga hendak menerangkan hal-hal yang kiranya dapat menjadi perhitungan hakim dalam mengambil keputusan. 

Ia tak takut ancaman dan cemoohan. Meskipun katanya ada sebagian orang yang menasihatinya untuk tidak berpanjang lebar apalagi membela pendirian, sebab konon hal tersebut berbahaya dan akan kena ganyang, tapi Jassin tak gentar. Ia malah menyerang balik orang-orang tersebut dengan sinis.
“Demikianlah Saudara Hakim situasi di negara kita ini, sebagian orang masih hidup dalam semangat berkelompok seperti serigala, menyerbu beramai-ramai, tak berani bertanggung jawab sendiri. Sebagian orang masih mendasarkan pendiriannya pada ketakutan dan keselamatan diri, bukan pada apa yang dianggapnya kebenaran dan keadilan,” kata Jassin.
Sebelum masuk ke pokok persoalan dakwaan, Jassin terlebih dulu mempersoalkan urusan status hukum dirinya. Dua hal yang ia pertanyakan. 

Pertama, cerpen Langit Makin Mendung yang terbit pada Agustus 1968, sudah dicabut oleh si pengarang dalam surat permohonan maafnya pada 22 Oktober 1968, dan ia meminta cerpen tersebut dianggap tidak ada saja. 
“Maka bagaimanakah kita bisa bicara tentang suatu hal yang tidak ada lagi dan malahan menuntut orang yang sudah mencabut sumber perkara itu?” ujarnya. 
Kedua, berdasarkan KUHP Pasal 78, Jassin menganggap perkara ini sudah kadaluwarsa. Sebab cerpen ini terbit pada Agustus 1968, sementara penuntutan ke muka pengadilan baru diajukan 17 bulan kemudian. Padahal dalam pasal tersebut, jangka waktu kadaluwarsa untuk pelanggaran dengan barang cetakan adalah 12 bulan.

Setelah mengemukakan dua soal tersebut, barulah Jassin masuk ke pokok masalah Langit Makin Mendung, cerpen yang ia bela.

Ia menyebutkan bahwa yang diadili bukanlah dirinya, bukan pula Kipanjikusmin si pengarang cerpen tersebut, yang diadili adalah imajinasi milik seniman Indonesia. Dan pemilik hasil imajinasi itu adalah masyarakat Indonesia.
“Saudara sedang mengadili imajinasi kreatif yang sedang menuntut kebebasannya, hendak melepaskan segala belenggunya, demi kemajuan seni dan pemikiran di Indonesia,” tambahnya.
Titik tolak Jassin untuk membantah segala tuduhan Penuntut Umum dan Saksi Pemberat adalah bahwa ada perbedaan yang mendasar antara dunia imajinasi dengan dunia historis. Langit Makin Mendung, tambah Jassin, adalah karya fiksi, dunia imajinasi. Bukan sejarah, bukan kenyataan objektif, oleh karenanya akan sia-sia jika berbicara dari dunia yang berlainan ini. 

Menurut pengamatannya selama persidangan, hukum positif tidak mengandung aturan-aturan yang menampung alam dunia imajinasi seniman. Sehingga alam dunia imajinasi seniman ditanggapi seolah-olah menanggapi dunia hukum positif.
“Dengan demikian para seniman senantiasa terancam bahaya rongrongan sebagai penjahat-penjahat yang selalu mau merusak hukum-hukum positif dengan dunianya yang imajiner,” tambah Jassin.
Jassin menyebut seluruh spekulasi manusia tentang Ketuhanan, hanyalah satu pembuktian dari ketidakmampuan manusia menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat manusia, yang memakai alat-alat komunikasi manusia.
“Maka apa gunanya kita menghebohkan seorang Kipanjikusmin yang menggambarkan Tuhan sebagai seorang tua yang berkaca emas model kuno dan menggeleng-geleng memikirkan tingkah laku manusia? Apakah Kipanjikusmin telah membikin penemuan baru yang memutlakkan kebenarannya tentang Zat Tuhan? Ataukah dia pun hanya seorang dari kita manusia yang membuktikan ketidakmampuannya merangkum Zat Tuhan? Kipanjikusman tahu dan setiap orang pun tahu bahwa rupa yag digambarkannya itu bukanlah Tuhan yang sesungguhnya,” terang Jassin.
Dalam konteks seni, menurut Jassin, imajinasi seperti itu diperlukan, sebab tak ada seni tanpa imajinasi. Tak ada penghayatan estetis oleh peminat. Seni akan kering, tak hidup. Maka jika seniman, pengarang, mengadakan orang atau peristiwa atau keadaan yag tidak ada dalam sejarah, tambahnya, itu bukan karena mau mengada-ngada, tapi supaya lukisan dalam karyanya menjadi hidup dan mengesan kepada peminat.

Panjang lebar Jassin menjelaskan hal ini dalam pembelaannya. Pledoi yang dibacanya kemudian dihimpun dalam bagian akhir buku Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (1983) halaman 96 sampai 182.

Namun hal tersebut tak menyelamatkannya dari hukuman. Tanggal 28 Oktober 1970, Jassin dijebloskan ke penjara dengan hukuman satu tahun penjara dan dua tahun percobaan.

infografik hb jassin


Siapa Sebenarnya Kipanjikusmin?


Sikap Jassin yang teguh tak mengungkap identitas Kipanjikusmin membuat masyarakat bertanya-tanya, siapa sesungguhnya penulis celaka itu. Donny Anggoro dalam “36 Tahun Kontroversi Kusmin”, Sinar Harapan, 26 Juni 2004, menjelaskan bahwa sikap Jassin didasari pada UU Pers Tahun 1966 yang menyatakan: 
“Bila sang pengarang tidak membuka identitasnya, redaksi mempunyai hak tolak memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya.”
Sementara catatan Agus Rois dalam Teror, Catatan Filsafat dan Politik tentang Firman dan Iman (2016), menceritakan bahwa ketidakpastian ini membuat orang menebak-nebak. Ada yang menebak-nebak Kipansjikusmin adalah satu di antara Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Arifin C. Noer, dan Slamet Sukirnanto, yang sama-sama lahir pada tahun 1941 (tahun kelahiran Kipanjikusmin).

Sebagian masyarakat ada juga yang menebak-nebak Kipanjikusmin sebagai W.S. Rendra. Meski Rendra kelahiran 1935, tapi mereka menebaknya dari puisi “Bersatulah Para Pelacur Jakarta” dalam buku Blues untuk Bonnie (1971), yang katanya isi puisi tersebut sama dengan yang diceritakan Kipanjikusmin dalam Langit Makin Mendung.

Namun hal ini kemudian menemui titik terang saat majalah Ekspres, lewat Usamah (Redaktur Pelaksana) berhasil mewawancarai dirinya. Nama asli si pengarang ternyata Soedihartono. Hal ini dibenarkan oleh Jassin dalam pembelaannya yang menceritakan saat dia bertemu dengan orangtua Kipanjikusmin.

Dari cerita orangtuanya, Kipanjikusmin adalah seorang yang pendiam dan pemalu, tidak pandai bergaul, dan suka menyisihkan diri. Tidak memperhatikan pakaian, dan suka merenung serta menulis. Ia lahir pada 1941, sekolah sampai selesai di Akademi Pelayaran, dan sempat bekerja sebagai mualim.

Sifat pemalu dan tak suka menonjolkan diri itu sudah terlihat oleh Jassin saat pertama kali menerima naskahnya. Setiap naskah pengarang yang lolos dalam majalah Sastra, Jassin mengiriminya formulir biografi pengarang untuk dokumentasi.
“Saya baru mulai, Pak. Belum sepatutnya saya memberikan biografi saya. Nantilah apabila saya telah maju dalam karang-mengarang, akan saya kirimkan,” jawab Kipanjikusmin.

Komentar terhadap Langit Makin Mendung

A.A. Navis dalam pengantar buku kumpulan cerpennya, Bertanya Kerbau pada Pedati(2004), menyebut kasus cerpen ini sebagai “bobroknya kadar pemikiran kebudayaan kita”.
“Kantor majalah Sastra diobrak-abrik, H.B. Jassin dihukum oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Padahal kalau masih ada kebebasan berpolemik, masyarakat akan lebih tahu betapa buruknya cerpen itu. Akibat teror tersebut penerbit menjadi insan penakut, masyarakat cerdas berhenti untuk berpikir dan menyatakan pendapat,” tulisnya.
Sementara Bahrum Rangkuti dalam “Imajinasi, Observasi dan Intuisi pada cerpen Langit Makin Mendung”, Merdeka, Th. XXIV No. 6915, 25 Februari 1970, menyebut si pangarang hendak mensucikan Islam dari racun-racun paham baru yang menyesatkan (Nasakom).
“Sehingga banyak dari pengikut-pengikutnya [Islam] dengan sadar ataupun tidak memperpincang dan melumpuhkan Islam. Iman dan Islam menjadi permainan bibir semata-mata,” tambah Rangkuti.
Menteri Agama waktu itu berkomentar keras, “Tulisan Langit Makin Mendung itu berusaha untuk melenyapkan agama dari muka bumi Indonesia, yang berarti berusaha juga untuk mentorpedir Pancasila dan UUD 45.”
Dan Ali Audah, seperti dikutip Jassin dalam pleidoinya, menyebut Langit Makin Mendung sebagai cerita yang tak akan mempengaruhi keimanan seseorang, betapapun lemah imannya.

Komentar-komentar lain berseliweran. Pro dan kontra. Mendesak-desak cerpen ini hingga menjadi kehebohan di lapangan sastra saat itu. Kisah diadili, Jassin jadi terdakwa dan masuk penjara.

Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS

H.B. Jassin pernah dipenjara gara-gara meloloskan cerpen "Langit Makin Mendung" di Majalah Sastra

Source: Tirto.Id 

Selasa, 13 Maret 2018

Sastrawan dan Seniman Bongkar Skandal Puisi Esai

Darma Legi
Para pembicara menyampaikan materinya pada kegiatan Diskusi Nasional tentang "Membongkar Skandal Proyek Puisi Esai", di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), jln. Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Selasa (13/3/2018).

 Laporan: Asep Awaludin | Selasa, 13 Maret 2018 | 19:17 WIB

SEJUMLAH sastrawan, seniman, pemerhati sastra, aktivis sastra, dan aktivis budaya bakal berkumpul membahas proyek puisi esai Denny Januar Ali atau Denny JA. Kegiatan yang digelar dalam sebuah diskusi nasional bertajuk 'Membongkar Proyek Puisi Esai' digelar di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Selasa, (13/3/2018).

Sejumlah sastrawan seperti Ahda Imran, Hikmat Gumelar, Yana Risdiana, Ari J. Adipurwawidjana, Heru Hikayat, dan Matdon nampak hadir dalam acara tersebut. Bahkan mereka didaulat sebagai narasumber dalam diskusi kali ini. 

Direktur Institut Nalar Jatinangor, Hikmat Gumelar mengatakan, diskus ini digelar lantaran perlunya menolak upaya Denny JA melakukan 'politik uang' pada dunia sastra.

Penolakan dilakukan, setelah Denny JA mengumumkan dirinya sebagai tokoh sastra. Kemudian disusul dengan klaim dirinya pencetus lahirnya genre puisi baru yaitu 'Puisi Esai'.

Klaim tersebut, menurut para sastrawan, setelah Denny JA menerbitkan 40 buku puisi esai bersama 250 penulis puisi esai. Namun bagi mereka, kelahiran genre ini bukan tercipta secara alamiah tetapi dengan rekayasa Denny JA sebagai kapitalis yang mengunakan uang untuk membiayai semua ambisinya.
"Sebetulnya puisi esainya tidak bermasalah. Tapi kalau puisi esai Denny JA bermasalah, karena tidak memenuhi aturan main perpuisian. Masalahnya menjadi besar lagi ketika, puisi-puisi esai Denny JA khusunya dalam buku 'Atas Nama Cinta', itu diklaim sebagai satu jenis baru puisi, dan sekaligus juga puisi-puisi itu dianggap lebih bermutu daripada puisi yang tidak termasuk dalam kategori puisi esai. Maka puisi-puisi Indonesia yang lainnya, seperti karya-karya puisi lainnya itu dianggap menjadi puisi lama dan tidak relevan karena tidak memiliki ciri puisi esai seperti catatan kaki, dan belum diangkat ke layar lebar seperti puisi dia. Nah itu bermasalah, karena puisi itu dianggap berdasarkan diri sendiri dan ini dilakukan dengan membayar orang dengan menggelembungkan dirinya," tuturnya.
Hikmat juga mencoba membandingkan puisi esai Denny JA dengan puisi WS. Rendra. Ia melihat keanehan pada puisi Denny JA. Menurutnya, bagaimana bisa puisi sebagai kejadian nyata bisa ditegaskan dengan catatan kaki.

Bagi Hikmat, puisi itu akan selesai sebagai teks indah tanpa harus ada catatan kaki. Bahasa dan sastra menjadi kesantunan tertinggi manusia dan itu dilakukan tidak dengan uang ketika disebut sebagai tokoh, tapi dengan karya. 

"Puisi itu harus didasarkan kejujuran," ungkapnya.

Sumber: GalaMedia News

Senin, 05 Maret 2018

Jejak Sastra Indonesia dalam Majalah

05 Mar 2018 |  Dodit Sulaksono*


Masih ada banyak bagian penting dalam historiografi kesusastraan Indonesia yang belum benar-benar terjelajah. Salah satunya adalah perihal sastra majalah.
MEMBICARAKAN Sastra Indonesia Modern tidak bisa dilepaskan dari peran aktif media massa terutama majalah-majalah atau jurnal berkala yang tumbuh bak jamur di musim hujan setelah pengakuan kedaulatan RI. Istilah "Sastra Majalah" sendiri pertama kali dikenalkan Nugroho Notosusanto dalam artikelnya yang terbit di Majalah Kompas No. 7, Juli 1954.
Dalam tulisannya yang berjudul "Situasi 1954" itu Nugroho menyoroti maraknya penerbitan cerpen dan puisi di majalah-majalah seiring dengan munculnya perdebatan mengenai krisis kesusastraan Indonesia yang bermutu. Peran Balai Pustaka sebagai penerbitan milik pemerintah banyak disoroti sebagai salah satu penyebab krisis tersebut. Kurangnya dana dan kepemimpinan Balai Pustaka yang melempem dianggap memicu beralihnya para penulis untuk mengirimkan karya-karyanya hanya pada media massa seperti majalah dan koran. Karena dimuat di majalah, maka karya-karya sastra berbentuk cerpen dan puisilah yang bermunculan sesuai dengan kebutuhan media tersebut.
Menurut Ernst Ulrich Kratz dalam bukunya yang berjudul Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah, walaupun istilah “sastra majalah” muncul di tahun 1950-an, tetapi penerbitan kesusastraan Indonesia dalam majalah sudah muncul sejak awal abad ke-20. Karya-karya sastra Melayu Tionghoa dan bacaan liar sudah muncul dalam berbagai penerbitan media massa yang beraneka ragam bentuk dan jenisnya. Pada tahun 1924, di Surabaya terbit majalah bulanan 'Feuilleton' (dari bahasa Perancis, merujuk pada roman yang dimuat berangsur, cerita bersambung) yang khusus menerbitkan novel-novel pendek antara 40 sampai 60 halaman. Majalah ini hanya bertahan 3 bulan, tapi kemudian menginspirasi munculnya majalah-majalah Melayu Tionghoa lainnya seperti Padang Boelan, Penghidoepan, Hiboerankoe, Boelan Poernomo, Tjerita Roman dll. Sebelumnya di tahun 1918, Student Hidjo karya Mas Marco terbit secara bersambung di Surat Kabar Sinar Djawa (kemudian berganti nama menjadi Sinar Hindia). Sajak karya Mas Marco yang terkenal berjudul "Sama Rata dan Sama Rasa" juga diterbitkan oleh Sinar Djawa.
Pada tahun 1923, Balai Pustaka menerbitkan majalah "Pandji Poestaka", namun baru di tahun 1932 majalah ini memiliki ruang khusus untuk memuat cerpen dan sajak  dengan slogannya "Oentoek Memadjoekan Kesoesasteraan". Ketika kekuasaan Jepang runtuh di tahun 1945, majalah ini berganti nama menjadi Pantja Raja yang bertahan terbit hingga tahun 1947. Pada bulan Juli 1933, edisi perdana Poejangga Baroe terbit.
Didirikan oleh Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisyahbana, Poejangga Baroe adalah majalah sastra dan kebudayaan pertama yang hadir dengan semangat nasionalisme Indonesia.
Majalah ini bertahan hingga tahun 1942 seiring dengan runtuhnya kekuasaan Belanda di Indonesia. Majalah ini kemudian bangkit lagi di tahun 1948 dan akhirnya tenggelam untuk selamanya di tahun 1954 dan digantikan oleh Majalah Konfrontasi yang terbit di bulan Juli 1954. Pada kisaran tahun 1932 hingga 1933, Majalah berbahasa Belanda bernama Timboel yang kemudian terbit dalam bahasa Melayu sebelum akhirnya bubar, juga banyak memuat karya-karya sastra milik Sanoesi Pane dan Amir Hamzah.
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, majalah-majalah baru bermunculan terbit seperti Api Merdeka, Revolusioner, Arena, Bintang Merah, Hikmah, Mimbar Indonesia, Siasat, Minggoe Merdeka, Minggu Pagi dll. Majalah-majalah tersebut kebanyakan adalah majalah berita umum, namun juga memuat beberapa karya sastra, kebanyakan dalam bentuk cerita bersambung, cerita pendek dan puisi. Ruang khusus untuk kesusastraan dan kebudayaan dipelopori oleh majalah ARENA yang terbit di Yogyakarta antara tahun 1946-1947 dengan ruang kebudayaannya yang diberi nama 'SIPONGANG'. Dari sekian banyak majalah yang terbit di masa revolusi itu, hanya beberapa saja yang mampu bertahan hingga masa perang usai, contohnya adalah majalah Siasat dengan ruang kebudayaannya yang terkenal bernama "Gelanggang".
Hampir kebanyakan majalah yang terbit setelah tahun 1950 memuat karya sastra, terutama cerita pendek. Dari sekian banyak majalah yang memuat karya sastra di kisaran tahun 1950-1965, ada satu majalah yang mengkhususkan diri pada penerbitan cerita pendek. Majalah tersebut bernama KISAH yang diterbitkan oleh penerbit INTERPRESS milik Sudjati S.A. Selain menerbitkan majalah KISAH, penerbit tersebut juga menerbitkan majalah lainnya yakni Roman, Sarinah, Kontjo, Kuntjung dan Kampret yang juga banyak memuat cerita pendek. Sudjati S.A. dalam kata pengantar penerbitan perdana majalah Kisah menjelaskan:
"Bulanan tjerita2 pendek di tanah air kita adalah barang yang baru semata, bahkan dinegeri Belanda sendiripun belum ada, ketjuali di Inggris dan Amerika. Oleh karena itu tidak usah diherankan kalau ada pertanyaan: Apakah Indonesia sudah sanggup menerbitkan berkala demikian?”
Nampaknya usaha penerbitan majalah KISAH adalah bentuk respon dari perkembangan kesusastraan Indonesia setelah perang kemerdekaan. Hal tersebut nampak jelas dari pernyataan Sudjati mengenai mengapa majalah Kisah mengkhususkan diri pada cerita pendek:
"...bahwa bentuk tjerita pendek adalah bentuk jang ternjata paling produktif dalam lapangan kesusasteraan kita sekarang".
Majalah Kisah terbit perdana di bulan Juli 1953 dengan memuat 2 cerpen terjemahan dan 11 cerpen asli, salah satunya cerpen karya Idrus berjudul "Parlemen Baru Telah Dibuka Dirumah Saja" dan cerpen karya Rijono Pratikto berjudul "Pada Sebuah Lukisan".
Pada penerbitan awal, redaksi hanya dipegang oleh Sudjati sebagai pemilik majalah dibantu oleh M. Balfas, baru pada edisi kedua di bulan Agustus tim redaksi diisi oleh H.B. Jassin, Idrus dan M. Balfas. Kemudian tim redaksi bertambah gemuk dengan masuknya D.S. Moeljanto.
Menurut Nugroho Notosusanto, Majalah Kisah adalah majalah yang unik di dalam sejarah pers Indonesia, karena mengkhususkan diri pada penerbitan cerpen. Keunikan dari Majalah ini adalah tidak ditujukan untuk meningkatkan mutu kesusastraan Indonesia. Sudjati menyatakan:
"...bahwa penerbitan bulanan KISAH ini bukanlah mau menundjukkan suatu tingkatan tertentu dalam rangka kegiatan kesusasteraan kita, ia terbawa oleh pertimbangan-pertimbangan akan kemampuan dan kesediaan masjarakat sendiri."
Meskipun digawangi oleh tim redaksi yang telah memiliki nama, cerpen-cerpen yang dimuat oleh Majalah Kisah memang tidak terlalu mengejar standar tinggi sastra. Tak banyak nama penulis besar atau yang sudah terkenal sejak jaman sebelum atau semasa perang kemerdekaan yang cerpennya pernah dimuat di majalah Kisah, kebanyakan yang muncul adalah nama-nama baru. Nama-nama yang disebut Ajip Rosidi sebagai sastrawan angkatan baru, seperti Ajip Rosidi, Rendra, S.M. Ardan, Sobron Aidit, Koesalah Toer, Herman Pratikto, Ramadhan KH dll. Pramoedya Ananta Toer yang sedang naik daun di tahun 50-an menurut catatan Ulrich Ernst Kratz hanya 3 cerpennya yang dimuat di majalah Kisah sepanjang hidupnya. Idrus, salah satu penulis cerpen yang terkenal sejak masa perang kemerdekaan karya-karyanya juga pernah dimuat dalam majalah tersebut. Namun menurut A. Teeuw, cerpen-cerpen karya Idrus tersebut telah menurun kadar sastranya dibandingkan cerpen-cerpennya yang ditulis semasa perang.
Demi kebutuhan internal Majalah, maka cerpen-cerpen yang dimuat hanya yang sesuai dengan standar majalah Kisah, tidak terlalu panjang dan berat. Menurut H.B. Jassin dalam tulisan pengantar 2 tahun penerbitan Majalah Kisah, ada 2 faktor yang tidak memungkinkan bagi para penulis dalam menyelesaikan karya-karya yang lebih panjang, layaknya roman-roman yang bermunculan dimasa sebelum perang kemerdekaan.
Faktor pertama adalah perubahan dalam masyarakat yang cepat, dimana kondisi yang serba cepat tidak memungkinkan pembaca untuk membaca secara detil. Jassin menyatakan bahwa: "Degupan djantung kota lebih tjepat dari dahulu dan orang tak sempat membatja roman jang pandjang, apalagi ditulis dengan gaja jang memerlukan pemusatan perhatian seperti jang telah mendarah daging sekarang ini."
Faktor kedua menurut Jassin: "Karena tak ada orang jang mau membatja roman jang pandjang penerbit merasa gentar mentjetak barang jang tak laku begitu."
Berkurangnya minat penerbit untuk mencetak buku-buku sastra karena angka penjualannya yang terus menurun, membuat banyak penulis memilih menulis cerpen yang lebih ringan dan cepat menghasilkan uang. Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam tulisannya yang berjudul "Keadaan Sosial Pada Pengarang Indonesia", maraknya penerbitan buku-buku "Tjabul dan Sensasi" memicu berkurangnya minat pembaca sastra, karena keadaan sosial yang semakin berat membuat para pembaca sastra memilih membaca buku-buku yang lebih ringan untuk lari dari keadaan sehari-harinya. Selain juga semakin menurunnya peran Balai Pustaka dalam mempelopori penerbitan buku-buku sastra, yang berujung pada semakin minimnya karya sastra yang muncul di era pertengahan tahun 1950-an. Pram menambahkan, meskipun banyak majalah yang memuat cerpen, namun itu tidak mampu mengangkat derajat kehidupan para penulis, karena minimnya honor yang diberikan oleh penerbit majalah kepada para penulis yang karyanya telah dimuat dan hal tersebut dianggap Pram juga memicu menurunnya mutu sastra Indonesia.
Kejayaan majalah KISAH pada akhirnya juga harus berakhir. Akibat semakin menurunnya angka penjualan, sejak penerbitan di bulan April 1957, majalah KISAH mengalami gagal terbit. Namun pihak penerbit tak berputus asa, mereka kembali mencoba menerbitkan majalah baru yang khusus memuat cerita pendek. Pada bulan November 1957, Sudjati S.A dibantu oleh Nugroho Notosusanto, D.S. Moeljanto dan Ekana Siswojo menerbitkan Majalah TJERITA guna mengisi kekosongan setelah gagal terbitnya majalah KISAH. Majalah TJERITA kembali meneruskan tradisi yang telah dibangun oleh majalah KISAH dengan lebih banyak memuat karya-karya penulis yang baru mulai menghasilkan karya. Namun dari kebanyakan nama yang karya-karyanya dimuat, di kemudian hari menjadi penulis-penulis yang produktif, seperti Budi Darma, Bokor Hutasuhut, Gerson Pyok, Titie Said, B. Soelarto, Bastari Anin dll.
Dari segi perwajahan dan illustrasi, majalah Tjerita juga jauh lebih bagus daripada majalah KISAH. Menurut catatan Ernst Ulrich Kratz majalah TJERITA hanya terbit hingga tahun 1959, itupun hanya terbit satu edisi. Penerbitan Majalah KISAH yang kemudian disambung dengan penerbitan Majalah TJERITA adalah cikal bakal terbitnya Majalah SASTRA, yang muatannya lebih sarat dibandingkan dua majalah pendahulunya.

Dodit Sulaksono, adalah seorang pedagang buku sekaligus seorang ayah. Sosok penyayang sekaligus pemarah.

Sumber: Pocer.Co 

Membayangkan Kembali (Kesusastraan) Indonesia dan Dunia*

  | by Eka Kurniawan*




(Disampaikan dalam Kuliah Umum di Kafe Basabasi, Jogja, 3 Maret 2018)
Jika Anda pembaca novel-novel atau cerita-cerita John Steinbeck, Anda mungkin akan mulai membayangkan seperti apa California di masanya, lengkap dengan lanskap pantai yang dipenuhi kapal-kapal nelayan dan pabrik pengalengan, para gelandangan, para pekerja, kebun anggur, atau orang-orang sederhana yang memelihara bunga krisan di depan rumahnya. Demikian juga jika Anda akrab dengan karya-karya Pramoedya, Anda mulai membangun imajinasi tentang Blora dengan Sungai Lusi yang mengalir di sana.
Di novel Never Any End to Paris karya Enrique Vila-Matas, seorang anak muda yang merupakan seorang novelis pemula (yang juga narator dengan nama sama seperti penulis novel), pindah ke Paris setelah membaca A Moveable Feast. Ia tergila-gila dengan Paris dan kehidupan kesusastraannya, sebagaimana yang dibayangkannya setelah membaca karya Hemingway itu. Paris mungkin sangat beruntung, begitu banyak penulis dan karya sastra telah membangun bayangan orang tentangnya. Citra sebagai kota romantik penulis dibangun juga oleh kehidupan para penulisnya, dari mulai Victor Hugo hingga kafe-kafe tempat Simone de Beauvoir dan Jean Paul Sartre nongkrong, atau “generasi yang hilang” macam kawan-kawan Hemingway melintasi jalan-jalannya. Ketika saya menginjakkan kaki pertama kali ke Paris, satu tempat yang saya sempatkan untuk berkunjung adalah katedral Notre-Dame, masuk ke dalamnya dan menyalakan lilin. Tentu saja karena saya ingin mengonfirmasi bayangan saya tentang katedral itu setelah membaca The Hunchback of Notre-Dame.
Belum lama saya membaca artikel di The Independent tentang kota-kota sastra yang disarankan untuk dikunjungi. Misalnya kita bisa merasakan suasana dan lanskap serta bertemu manusia-manusia Meksiko sebagaimana kita baca di The Savage Detective Roberto Bolaño. Tentu saja artikel itu juga menyarankan untuk mengunjungi kota Dublin dan meskipun jarak waktu yang membentang, kita mungkin akan membandingkannya dengan Dubliners karya James Joyce.
Saya tak tahu, apakah ada orang Indonesia yang iseng mengunjungi Bloomington hanya karena membaca kumpulan cerpen Budi Darma, Orang-orang Bloomington. Barangkali dengan kesadaran semacam ini pula, misalnya, Orhan Pamuk terus-menerus menceritakan kota tempatnya tinggal hampir di sepanjang hidupnya (konon di lingkungan yang juga sama), Istanbul. Dimulai dari Istanbul lama, di masa kesultanan, melalui The White Castle dan My Name is Red, Istanbul yang mengalami beragam pergolakan di masa modern melalui A Strangeness in My Mind dan The Museum of Innocence, hingga akhirnya ia menerbitkan memoar  tentang kota itu sebagaimana ia mengingatnya, melalui Istanbul. Membaca karya- karyanya, hampir mustahil kita tak tersedot dan mulai akrab dengan kota itu, bahkan tanpa mengunjunginya.
***
Tak hanya kepada kota-kota, para penulis dan karya sastra menciptakan aneka  bayangan di kepala kita. Mereka bisa membawa kita ke mana saja, tentu saja, melintasi tak hanya batas-batas wilayah, tapi juga waktu, bahkan menembus batas-batas dunia nyata dan imajiner.
Ketika saya membaca untuk pertama kali The Tin Drum karya Günter Grass, saya tak hanya membayangkan seperti apa Jerman di masa sebelum Perang Dunia II hingga masa setelahnya, tapi juga mengikuti perjalanan Oskar, sang narator, untuk melihat “kehidupan Jerman”. Kita mungkin tak akan bisa memahami sepenuhnya gejolak sosial atau politik sebuah negara hanya melalui sebuah novel, tapi bagaimanapun, sebuah novel mungkin saja membentuk bayangan kita tentang itu, sekecil apa pun.
Hal yang sama saya kira bisa terjadi dengan Midnight’s Children karya Salman Rushdie. Tentu saja konyol jika Anda berharap mengerti sejarah India, kebudayaan mereka, gejolak kehidupan sosial dan politik pascakemerdekaan mereka, hanya dengan membaca novel itu. Anda bahkan bisa membaca novel tersebut tanpa maksud-maksud demikian. Tapi sekali Anda membacanya, selalu ada kemungkinan apa yang dikatakan oleh Salman Rushdie menelusup ke dalam pikiran Anda, dan Anda tanpa sadar mulai membayangkan India dan orang-orang India dengan kehidupan sosial dan politiknya.
Bahkan meskipun diceritakan di kota imajiner, One Hundred Years of Solitude dan karya-karya Gabriel García Márquez yang lain, bisa memberi kita bayangan pembanding tentang Kolombia, selain soal perang antar-gang kartel narkotika yang mungkin kita akrabi melalui berita, seri TV, maupun permainan komputer. Melalui karya-karya William Faulkner, kita membangun imajinasi tentang selatan di Amerika, meskipun bayangan itu mungkin juga berbaur dengan apa-apa yang ditulis oleh Eudora Welty.
Selama beberapa lama, misalnya, bayangan saya tentang Jepang dan orang-orangnya hanya dibangun oleh bacaan saya atas Yasunari Kawabata. Saya membayangkan kehidupan yang lamban, perempuan-perempuan yang cantik, ritual-ritual kecil yang jelimet. Bayangan itu rusak setelah membaca Haruki  Murakami, meskipun tidak lenyap begitu saja. Mereka membaur, bersitegang, dan menciptakan bayangan baru saya tentang Jepang dan orang-orangnya dalam sejenis ekuilibrium. Dan bayangan saya terus diperbaharui setelah membaca RyÅ«nosuke Akutagawa, Kobo Abe, Yukio Mishima, bahkan setelah melihat anime, film-film Akira Kurosawa dan tentu saja membaca manga.
Sial bagi Rusia. Bayangan saya tentang negeri itu berhenti di apa-apa yang saya baca dari Leo Tolstoy, Fyodor Dostoyevsky, Anton Chekhov, atau kalaupun lebih muda dari mereka, juga berhenti di Maxim Gorki, Nikolai Leskov, atau Isaac Babel. Saya nyaris tak membaca karya-karya kontemporer mereka lagi, sehingga bayangan saya tentang Rusia mungkin hanya dibangun oleh berita-berita tentang Vladimir Putin, sang presiden.
Dan apa yang bisa dibayangkan orang di negeri asing yang jauh, katakanlah di Eropa Timur, di pedalaman Afrika, atau di ujung selatan Amerika Latin, tentang Indonesia? Mungkin mereka belum pernah membaca karya sastra Indonesia, dan tak satu pun penulis kita mereka kenal. Tidak juga film, musik, komik kita mereka kenal. Apa yang bisa mereka bayangkan? Mungkin sekilas mereka membaca tentang bom bunuh diri beberapa tahun lalu di satu berita kecil. Mungkin mereka melihat foto tentang dua anak muda yang dicambuk di muka umum di Aceh. Atau gembong narkoba yang dihukum mati di Nusa Kambangan. Maka mereka akan membayangkan seperti itulah Indonesia.
 ***
Sekarang, izinkan saya bicara tentang sesuatu yang lebih praktis dan mungkin politis. Kita tentu akrab dengan pertanyaan, “Apakah karya sastra bisa mengubah dunia?” Jika maksud pertanyaan itu adalah mengubah dunia secara langsung, saya sangsi. Jika ada karya sastra yang sanggup melakukannya, mungkin satu dari sejuta judul, atau lebih. Tapi saya percaya, karya sastra mampu mengubah cara pandang orang (pembacanya) tentang dunia, dan dari sanalah, perlahan-lahan, kita bisa mengharap orang tersebut (para pembaca) beraksi untuk mengubah dunia.
Saya tak ingin melebih-lebihkan peran kesusastraan. Karya-karya seni dan intelektual lain, juga bekerja dengan cara yang kurang-lebih sama: film, musik, komik, seni pertunjukan, lukisan, dan lain sebagainya. Saya rasa kita semua sadar, kita bukan negeri populer di dunia. Dalam berbagai gurauan, Bali lebih banyak dikenal daripada Indonesia, dan mereka tak tahu bahwa pulau itu ada di sini (dan gurauan ini sungguh nyata). Bahkan kunjungan wisatawan asing kita kalah telak oleh negara-negara tetangga, yang jauh lebih kecil, seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand. Tentu saja saya tak sedang membayangkan karya sastra Indonesia sebagai mesin yang mendatangkan banyak wisatawan. Ini sesederhana untuk menunjukkan betapa Indonesia dalam titik tertentu menjadi semacam “halaman kosong” di peta pikiran banyak orang.
Memang banyak cara untuk memperkenalkan sebuah bangsa, sebuah negara. Saya pernah melihat foto iklan kunjungan wisata ke Indonesia di bus-bus yang berkeliaran di London, misalnya, dan saya yakin itu merupakan salah satu upaya pemerintah memperkenalkan Indonesia ke penduduk London. Iklan sejenis bisa juga ditampilkan di jaringan televisi di negara-negara yang dituju, atau di laman-laman internet, selama pemerintah memiliki uang banyak untuk membayarnya.
Tak hanya iklan-iklan jualan, berbagai misi kebudayaan juga dilakukan, yang pada dasarnya dalam operasional pemerintah tak jauh berbeda dengan iklan juga. Dalam kesusastraan dan perbukuan, kita tentu ingat bagaimana pemerintah mengirim berbagai delegasi penulis dan buku ke berbagai pameran buku internasional, di Frankfurt, London, Bologna, Seoul, dan Shanghai. Tak hanya sampai di situ, pemerintah juga ikut mendanai penerjemahan berbagai buku, agar lebih mudah terakses oleh orang-orang asing.
Sebagaimana iklan, upaya-upaya ini mungkin akan berhasil jika kita terus-menerus melakukan gempuran. Sialnya, kita bukan satu-satunya negara yang melakukan upaya tersebut. Negara dan bangsa lain juga melakukannya, bahkan jauh sebelum kita, dan saya yakin dengan metode dan upaya yang jauh lebih kaya dan beragam.
Lagi pula karya sastra sebaiknya memang tak diletakkan seperti sebuah iklan  (meskipun bisa diperlakukan begitu), sebagaimana sebaiknya tak diperlakukan sebagai kartu pos (meskipun bisa pula berperan demikian). Hal terbaik dari sebuah karya sastra adalah, pembaca bisa datang kepadanya, menjamahnya, masuk ke dalamnya secara sukarela, dan menyerahkan dirinya ke apa pun yang ditulis si penulis. Ia seharusnya tidak memaksa seperti iklan, sehingga apa pun yang ada di sana bisa diterima secara sukarela. Ia seharusnya tidak cuma menjadi memento atau suvenir, seperti kartu pos, tapi merangsang si pembaca untuk masuk dan keluar dengan sesuatu yang baru dari sana.
Upaya memperkenalkan kesusastraan Indonesia, untuk ikut membangun bayangan orang tentang Indonesia (bersama dengan upaya-upaya lain), memang patut dilakukan. Tapi menciptakan situasi di mana orang secara sukarela membaca karya sastra Indonesia, dan membiarkan berbagai gagasan tentang Indonesia dalam pikiran mereka, saya kira jauh lebih penting lagi.
 ***
Problemnya, dunia jelas bukan sesuatu yang homogen, dan industri buku dunia yang beraneka ragam ini juga kerap kali berjalan dengan logika bisnis mereka sendiri. Apa yang kita bayangkan sebagai “sastra dunia”, misalnya sebagai sekumpulan karya-karya sastra terpilih secara kualitas dari berbagai negeri, lebih sering merupakan ilusi daripada kenyataan. Lebih sering mereka tak terlalu peduli, misalnya lagi, dengan karya sastra terbaik tahun ini dari negeri anu, sebagaimana kita juga tak terlalu peduli dan tak benar-benar ingin membaca karya sastra terbaik tahun ini dari Mesir, dari Lithuania, dari Filipina, atau negeri-negeri lain yang kita tak begitu kenal. Lebih sering terjadi ukuran-ukuran kualitas setiap bangsa juga berbeda-beda, tapi yang terutama, tentu saja ukuran-ukuran tentang apa yang mereka butuhkan, apa yang mereka ingin baca.
 Di titik ini, ketika kita bicara tentang kesukarelaan orang membaca sebuah karya sastra, kita juga bicara tentang problematika dan harapan seorang pembaca, atau lebih luas sebuah komunitas pembaca (sebuah bangsa). Sebuah novel bisa saja dianggap hebat secara kualitas estetik di Indonesia, juga memiliki relevansi sosial-politik secara tema, tapi apakah kualitas estetik dan relevansi tema itu dibutuhkan oleh pembaca Amerika, pembaca Nigeria, pembaca Jepang, atau  pembaca Prancis? Percayalah, lebih sering itu tak terjadi. Bahkan sesama negara yang kesusastraan dan ekonominya sudah berkembang pesat pun (dengan tradisi yang bersinggungan) sering kali tak terjadi. Bayangkan, sebagai contoh, ketika penulis Prancis seperti J. M. G. Le Clézio dan Patrick Modiano memperoleh Nobel Kesusastraan, buku-bukunya masih jarang dan relatif tak dikenal di Amerika, sebab mungkin pembaca Amerika tak terlalu ingin membacanya.
Anomali-anomali kadang terjadi juga. Di masa-masa awal kariernya, William Faulkner bukanlah penulis yang dibaca di negerinya sendiri, Amerika. Jangankan di pembaca umum, bahkan di antara para kritikus pun bisa dibilang “diabaikan”. Diperkenalkan salah satunya oleh Sartre, ia menjadi populer di Prancis, sehingga orang Amerika pun mulai membacanya. Itu pun bahkan belum menyentuh para penjaga otoritas kualitas (jika istilah ini tepat) kesusastraan di sana. Setelah ia memperoleh Nobel Kesusastraan tahun 1949, barulah para kritikus dan juri “lokal” yang lama mengabaikannya memberi ia Pulitzer (1955, 1963), dan National Book Award (1951, 1955).
 Hal-hal seperti itu bisa terjadi, untuk memperlihatkan apa yang disebut “sastra dunia” secara kualitas lebih sering ilusi, dan secara industri sering kali tak tertebak. Tapi pada saat yang sama, membaca karya-karya dari berbagai negeri yang terbit secara internasional (untuk sedikit menghindari diri dari menyebut mereka sebagai “sastra dunia”), bisa membawa kita ke berbagai keresahan dan harapan yang melanda dunia, melintasi batas-batas teritori wilayah, bahasa, dan bahkan waktu.
Ketika saya membaca Everything I Don’t Remember karya penulis Swedia, Jonas Hassen Khemiri, saya menyadari keresahannya tentang isu-isu imigran, ras, dan politik identitas. Saya bisa mengerti bagaimana novel ini bisa diterima di beberapa negara lain, mengingat mereka juga menghadapi problem yang sama. Hal yang sama bisa dibaca untuk melihat kepopuleran kembali novel karya Margaret Atwood, The Handmaid’s Tale, dan ketakutan orang tentang kemungkinan kembalinya otoritarianisme, tak hanya di Amerika tapi juga di negara-negara lain.
Itu hanya sebagian contoh saja. Sering kali kebutuhannya tak melulu soal isu sosial-politik, tapi tentu juga estetik. Kemunculan penulis-penulis semacam Cesar Aira, Enrique Vila-Matas, juga Laszlo Krasznahorkai, saya kira juga menjawab kebutuhan pembaca akan terobosan-terobosan estetik yang baru.
Pertanyaannya, sejauh mana kita berada dalam arus kegelisahan dan harapan semacam ini? Sejauh mana kita menjadi bagian dari dunia dalam hal berbagi persoalan? Apakah keresahan-keresahan ini, secara sosial-politik maupun estetik, sudah tercermin dalam karya-karya kita, di kesusastraan Indonesia? Atau, jangankan kita tahu apakah kita berada dalam denyut yang sama dengan problem dunia, jangan-jangan kita bahkan tak tahu apa yang menjadi problem kita sendiri di Indonesia? Kita tak tahu apa masalah kita dalam berbangsa, dalam berkomunitas sebagai Indonesia? Kita juga mungkin tak tahu problem-problem estetik kesusastraan Indonesia sendiri?
 Atau jika kita sudah (merasa tahu), apakah hal itu sudah tampak dalam karya-karya yang kita hasilkan? Seberapa banyak, secara kualitas maupun kuantitas? Atau malah kita justru menjadi bagian dari problem ini, dengan cara yang tanpa sadar telah kita pilih, dengan bersikap tak peduli?
***
Melalui kesusastraan, sudah jelas kita menciptakan bayangan tentang dunia, sebagaimana jika itu kesusastraan Indonesia, ia juga menciptakan bayangan tentang Indonesia. Ia bisa menciptakan bayangan kita tentang sebuah kota, sebagaimana telah saya tunjukkan di muka. Juga tentang perjalanan sebuah bangsa.
Jauh lebih penting, saya kira, kesusastraan bisa menciptakan bayangan tentang seperti apa dunia dan Indonesia yang kita inginkan, hari ini maupun yang akan datang.
 Novel seperti 1984 dan Animal Farm jelas lahir dari situasi kecemasan dan pada saat yang sama menguarkan impian tentang dunia. Ketakutan akan nafsu kekuasaan yang mendekam di balik aksi revolusi menghasilkan Animal Farm dan kecemasan akan masa depan di mana kehidupan manusia dikontrol oleh rezim totaliter, menghasilkan 1984. Meskipun novel ini bersifat fabel dan yang lainnya ditulis dengan gaya distopian, pada saat yang sama bukankah itu juga menyiratkan tentang dunia yang diharapkan? Dunia di mana kekuasaan memiliki batas-batas, demikian juga hubungan negara dan warga merupakan hubungan yang saling menghormati, di mana kebebasan dan hak pribadi dijamin.
Di sisi lain, Ulysses James Joyce bisa jadi menghentak mengenai kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa dicapai oleh novel, dan bahasa yang dipergunakannya, bahkan sampai hari ini. Juga Pedro Paramo dari Juan Rulfo, tak semata-mata bersama novel-novel lain membuka kegelapan kawasan Amerika Latin, tapi juga membuka jalan bagi sebuah kecenderungan kesusastraan, yang antara lain menghasilkan booming kesusastraan Amerika Latin yang pengaruhnya menyebar ke mana-mana. Upaya-upaya menerobos problem-problem estetik kesusastraan, jelas sama pentingnya dengan problem-problem praktis yang dihadapi dunia.
 Di kehidupan nyata, jelas Indonesia merupakan bagian dari dunia, dan dengan itu juga jelas menyumbang atau mewarisi problem-problem dunia. Itu sebenarnya sesuatu yang tak terelakkan. Kolonialisme yang diderita Indonesia, juga merupakan problem negara-negara lain di dunia, baik dari sisi yang mengkoloni maupun yang dikoloni. Dan problem itu jelas tak terisolir satu sama lain. Demikian pula problem-problem turunannya. Problem pascakolonial, revolusi kemerdekaan, kediktatoran militer, bahkan perang dingin, langsung atau tidak langsung dialami sebagian besar negara-negara di dunia.
Apakah problem-problem sosial politik itu juga berhubungan erat dengan problem-problem estetik kesusastraan? Saya bisa memastikan, iya, atau setidaknya, seharusnya begitu. Dalam kesusastraan kita sendiri, saya percaya kelahiran puisi-puisi Chairil Anwar, kebutuhannya akan sebuah bahasa dan ekspresi yang baru, beriringan dengan kebutuhan akan situasi sosial dan politik Indonesia yang juga baru. Dan bukankah Indonesia yang baru ini, adalah buah impian dari penyair semacam dia, tentu berkelindan dengan bayangan-bayangan yang juga muncul dalam karya-karya intelektual para pendiri bangsa ini.
***
Saya ingin melipir sejenak, untuk memperlihatkan bagaimana situasi sosial-politik, atau keputusan-keputusan sosial-politik, juga sanggup (secara terencana maupun tidak) menciptakan ruang estetik yang berbeda, bahkan dalam kesusastraan Indonesia. Kita akan kembali ke masa Soeharto. Bagaimana ia dan tangan-tangan kekuasaannya, menciptakan situasi yang relatif kondusif untuk membuatnya berkuasa begitu dalam dan lama? Tentu saja salah satunya melalui strategi  kebudayaan, termasuk strategi di bidang kesusastraan.
Kita tahu Soeharto telah membabat sebagian besar musuh-musuh politiknya, terutama kaum kiri. Jika tidak dibunuh, mereka dikirim ke penjara dan pulau pembuangan, termasuk novelis Pramoedya Ananta Toer. Karya-karya mereka dengan cepat menghilang, diberangus. Ini situasi yang bahkan secara estetik, lawan-lawan politik rezim Soeharto tak memiliki tempat dan secara perlahan mulai menghilang. Dan ini belum cukup.
 Saya kira bukanlah sebuah kebetulan jika sejak tahun 70an, masa di mana kekuasaan Soeharto memperoleh momentumnya untuk bertahan semakin lama, kesusastraan Indonesia juga diperkaya dengan lahirnya beragam genre. Saya menyebut kata “diperkaya” untuk melihat satu sisi secara positif, dan harus mengakui bahwa saya menikmati sebagian besar produk-produk kesusastraan ini, terutama karena saya hidup dan tumbuh bersama mereka. Tapi harus juga dilihat bahwa perkembangan yang luar biasa dalam kelahiran genre cerita silat, cerita horor, romansa, bahkan adaptasi pulp fiction, merupakan wajah brutal dari keberhasilan politik Soeharto: membuat kita jauh dari problem-problem sosial maupun politik. Satu generasi yang berjarak dengan problem sosial-politik, tentu saja menyumbang kekuasaan untuk langgeng lebih lama.
Jika kita membaca buku investigasi semacam Who Paid the Piper (karya Frances Stonor Saunders), kita tahu strategi kebudayaan semacam ini tak hanya terjadi di Indonesia. Itu merebak di mana-mana, di Amerika Latin, Asia, Eropa, bahkan Amerika Serikat, di bawah bayang-bayang perang dingin. Strategi kebudayaan Indonesia di masa itu, juga merupakan strategi kebudayaan dunia.
Sekali lagi, dalam kehidupan nyata, Indonesia merupakan bagian dari dunia dan menyumbang atau mewarisi masalah maupun harapannya. Sekarang mari kita bertanya, apa problem-problem Indonesia hari ini? Apakah problem-problem ini menyatu dalam denyut masalah negara-negara lain di dunia? Apakah problem-problem ini juga telah memicu kegelisahan kita terhadap masalah-masalah estetik dalam kesusastraan? Dalam penafsiran kita atas novel, puisi, atau bentuk kesusastraan yang lain. Atau lebih sederhana lagi, apakah problem sosial-politik maupun estetik ini, sudah mewujud dalam sebagian besar karya sastra kita hari ini?
Saya ingin menggarisbawahi beberapa isu penting yang setidaknya menggelisahkan saya akhir-akhir ini, dan mungkin menggelisahkan Anda semua. Kebangkitan politik identitas (salah satunya identitas agama), yang membuat perpisahan yang semakin nyata antara “kita” dan “mereka” tak hanya terjadi di  Indonesia, tapi di mana-mana. Demikian juga problem-problem ketercerabutan manusia dari lingkungannya: pengungsi, imigran, maupun pengucilan karena perbedaan. Kita juga masih mewarisi isu-isu lama yang tak kunjung selesai:  kesenjangan ekonomi yang semakin lebar, maupun bagaimana kapitalisme global tak hanya merusak lingkungan secara nyata, tapi juga merusak tatanan sosial komunitas-komunitas yang semakin rapuh.
Pertanyaannya kembali, apakah isu-isu ini, yang tak hanya merupakan isu di dunia tapi juga problem kita sehari-hari, telah memperoleh tempat dalam kesusastraan kita? Apakah problem-problem ini telah memicu strategi-strategi baru dalam pendekatan estetik kesusastraan Indonesia?
Sejujurnya, dibandingkan kenyataan bahwa Indonesia sebagai sebuah nama bisa dibilang tidak populer di dunia, dan kesusastraan Indonesia masih terengah-engah untuk memperoleh tempat dalam konstelasi kesusastraan dunia (apa pun definisinya), saya lebih mencemaskan sikap tidak peduli kita terhadap problem-problem dunia yang juga merupakan problem kita juga. Ketidakpedulian yang juga berimbas kepada tumpulnya daya kerja kreatif untuk menemukan strategi-strategi estetik dalam kesusastraan.
Jika kita berharap kesusastraan (setidaknya novel atau puisi) kita dibaca orang, menjadi warga kesusastraan dunia, diterjemahkan dan terbit di mana-mana, barangkali sebaiknya kita menengok sejenak atas karya-karya itu. Apa yang sudah kita tulis di sana? Apa yang membuat kita gelisah dan menuliskannya di sana?
Apakah itu sesuatu yang akan membuat seseorang, entah jauh di mana, secara sukarela masuk ke sana, karena ia melihat kegelisahan sosial-politik atau estetik yang sama. Dan ketika ia membacanya, ia tak hanya melihat Indonesia, wajah orang-orang Indonesia, tapi siapa tahu juga ia menemukan dirinya di sana. Sebagaimana mungkin kita menemukan situasi absurd diri kita di novel-novel Franz Kafka, atau situasi-situasi tragis-menggelikan diri kita sebagaimana kita melihatnya di tokoh-tokoh cerpen Etgar Keret.
Jika hari ini kita memaki-maki atas situasi sosial-politik, di obrolan warung kopi maupun di lini masa sosial media, tapi pada saat yang sama kita menjauhi problem ini dalam kesusastraan, saya khawatir justru kita merupakan bagian dari problem. Itu menunjukkan kesusastraan kita tak memimpikan apa-apa, tak mencemaskan apa-apa, dan dengan satu dan cara lain, tidak sedang membayangkan dunia maupun Indonesia.
Jika kesusastraan kita terasing dari dunia, ini adalah penutup saya dan saya  berharap kita memikirkannya dengan sangat serius, bisa jadi itu karena kita mengasingkan diri dari problem kita sendiri, secara sosial-politik maupun estetik.
Kesusastraan Indonesia tidak menjadi bagian dari masyarakat Indonesia, karena jangan-jangan kita tidak berbagi problem yang sama. Jika kesusastraan kita terasing dari masyarakatnya sendiri, bagaimana kita bisa berharap dunia menerima kesusastraan Indonesia?
Eka Kurniawan, Lahir di Tasikmalaya, 1975, menyelesaikan pendidikan dari Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1999. Pada tahun itu ia menerbitkan buku pertamanya yang berasal dari tugas akhir kuliah, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Ia menulis cerita pendek, novel, maupun esai di berbagai media.

Sumber: BasaBasi.Co