Minggu, 29 April 2018

Mempertanyakan Nasib Sastra Kita


(Refleksi Hari Puisi Nasional)

Abul Muamar
Jurnalis
29 Apr 2018

Google Images

Beberapa waktu silam, Sukmawati Soekarnoputri “berhasil” membuat Indonesia gaduh. Puisi berjudul ‘Ibu Indonesia’ yang dibacakannya dalam acara “29 Tahun Anne Avantie Berkarya” pada 29 Maret 2018 lalu, yang dalam lariknya membandingkan sari konde dengan cadar serta suara kidung dengan adzan, menuai respons luas dari masyarakat Indonesia.

Ada yang menilai puisi itu sebagai manuver politik jelang kontestasi Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, ada yang menganggapnya sebagai puisi gagal dan tak perlu diperdebatkan panjang lebar, serta ada yang memaknainya sebagai bentuk penistaan terhadap agama.

Kita tahu, kelompok yang disebutkan terakhir ini paling dominan. Puncaknya, meski Sukmawati telah meminta maaf, sebagian yang termasuk kelompok ketiga ini, tetap melaporkannya ke polisi, yang mana saat ini kasusnya masih sedang ditangani oleh Bareskrim Polri.

Lepas dari kontroversi yang lahir akibat puisi Sukmawati itu, ada satu hal menarik yang patut kita perhatikan, yakni bagaimana orang-orang, rakyat Indonesia yang sebagian besar masih berjibaku untuk menjaga asap dapurnya tetap mengepul, mendadak ramai berpuisi. Rupa-rupanya, Tuhan punya cara “unik” untuk menghidupkan (kembali) sastra, khususnya puisi, di Indonesia.

Rupa-rupanya, kita tidak butuh sosok seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, W.S. Rendra, atau Wiji Thukul. Bukan pula Sapardi Joko Damono, Joko Pinurbo, atau Goenawan Mohamad. Apalagi cuma Rangga-Cinta, Fadli Zon, Jenderal Gatot, atau Denny JA. Melainkan, Ia mengutus Sukmawati untuk kita! Ya, Sukmawati-lah ternyata yang mampu membuat puisi seakan bangkit dari kubur.

Lihatlah, betapa sengatan yang dihasilkan oleh puisi Sukmawati itu, jauh melampaui gelora berpuisi yang pernah sempat terjadi di era AADC1 dan AADC2. Jauh sekali bahkan. Jika di era AADC hanya kawula muda yang berlagak jadi pujangga, sekarang, berkat putri Bung Karno itu, bahkan ibu rumah tangga dan rentenir pun, ikut menulis puisi. Mereka yang sebagian besar biasanya tak pernah berpuisi, malah akrab dengan bacaan sastra pun tidak, tiba-tiba jago berpuisi!

Syahdan, pertanyaan yang muncul adalah, apakah puisi (dan lebih jauh sastra Indonesia secara menyeluruh) akan terus digemari? Pertanyaan ini membuat kita harap-harap cemas.

Minat terhadap Sastra Cenderung Rendah

Sebelum pertanyaan itu kita jawab, mungkin kita bisa melihat terlebih dulu realitas minat rakyat Indonesia kepada sastra. Tanpa perlu mengacu pada data-data ilmiah, kita tetap bisa mendapatkan gambarannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar kita.

Di lingkungan keluarga, misalnya. Apakah saudara-saudara Anda, adik, kakak, orangtua, atau anak Anda, gemar dan rutin membaca karya
sastra, entah itu puisi atau prosa?

Lalu, di lingkungan sosial yang lebih luas, apakah teman-teman Anda, tetangga Anda, pacar Anda, bos Anda, anak buah Anda, teman sekantor Anda, mau membaca sastra? Sukakah mereka? Seberapa sering mereka membacanya?

Bahkan, jika melihat realitas yang ada saat ini, pertanyaan serupa juga bisa diterapkan di lingkungan akademik, baik sekolah maupun di perguruan tinggi. Apakah teman-teman sekelas Anda, teman organisasi Anda, mahasiswa Anda, atau dosen Anda, akrab dengan sastra? Berapa persen dari mereka yang akrab?

Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak ingin saya jawab sendiri. Saya serahkan kepada Anda masing-masing untuk menjawabnya.
Namun, jika saya harus menjawabnya berdasarkan lingkungan dan kehidupan saya, saya berani katakan, bahwa minat pada bacaan sastra masih sangat rendah. Dari sekian banyak indikator yang saya punya, saya hanya akan mengajukan satu saja: lima teman satu indekos saya (semuanya berstatus mahasiswa, dan salah satunya ada yang mahasiswa magister di salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta) mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya ketika saya menyebut (sekadar) nama Pramoedya Ananta Toer dan Danarto yang baru-baru ini berpulang kepada Sang Pencipta. 

Saya lantas bertanya kepada mereka, “Tidak pernah baca sastra, ya?” Tidak pernah sama sekali, jawab mereka dengan mantap. Anda kira saya mengarang? Tidak. Anda saya persilakan datang ke indekos saya di Jalan Sumatera Nomor E106, Keluruhan Sinduadi, Kecamatan Mlati, Sleman, D.I.Y, untuk mengecek kebenaran cerita saya ini.

Dari lima teman tersebut, serta beberapa orang lainnya yang saya kenal dengan baik, saya mendapati bahwa sastra, baik itu sastra daerah, sastra Indonesia, maupun sastra asing, ternyata masih kerap dianggap sebagai sesuatu yang asing dan sulit dipahami. Celakanya, alih-alih berusaha mempelajarinya, kebanyakan mereka justru menjauhinya. Alasan mereka bermacam-macam, namun yang terkonyol menurut saya adalah: “Itu kan bukan jurusan saya”.

Semakin Dijauhi atau Semakin Disukai?

Kembali ke riuh rendah perpuisian yang disebabkan oleh Sukmawati. Apakah setelah insiden itu, jika merujuk pada kondisi rakyat kita saat ini, sastra akan semakin disukai, dan karena itu orang-orang akan berbondong-bondong mempelajarinya supaya bisa menghasilkan puisi (dan cerpen dan novel dan sebagainya) yang lebih bagus?
Atau, apakah justru sastra akan semakin dibenci dan dijauhi? Kemungkinan ini tidak tertutup jika melihat apa yang melatari mereka yang mendadak berpuisi itu, mereka-mereka yang berpuisi hanya sekadar untuk membalas puisi Sukmawati, dengan amarah yang menggebu-gebu.

Semoga saja tidak demikian. Semoga saja, amarah kepada Sukmawati tidak merembes pada sastra, kepada puisi, dan lainnya. Sebaliknya, semoga saja, dari momen itu, ke depannya rakyat kita akan bersuka cita menggelorakan sastra Indonesia, menjadikannya berjaya dan diakui di mata dunia.

Namun, tentunya, harapan itu tidak bisa semata-mata kita gantungkan pada rakyat “secara pasif”. Dengan kata lain, para pelaku/pegiat sastra, perlu menjadi stimulus agar sastra tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang aneh, tidak berguna, sulit dipahami, dan eksklusif. Sifat yang disebutkan terakhir ini menjadi tantangan tersendiri. Sebab, selama ini, ada kecenderungan dari para pelaku/pegiat sastra membuat sastra seolah eksklusif, sehingga menjadi berjarak dengan “masyarakat awam”.

Guru-guru di sekolah, serta dosen di kampus, juga sepatutnya mengajak murid-murid mereka agar mau dan membiasakan diri membaca sastra, di samping buku-buku dan bahan ajar yang mereka bagikan saban semester. Agar apa? Agar kelak, ketika mereka sudah tamat sekolah atau kuliah, mereka tidak kasip malas membaca sastra.

Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan, selamat merayakan Hari Puisi Nasional. []

Sumber: Qureta.Com 

0 komentar:

Posting Komentar