Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Senin, 12 Agustus 2019

Apresiasi Sastra Indonesia Melalui Pelestarian Kebudayaan Daerah


12 Agustus 2019

©Justian/Bal

“Kau mengumpulkan orang-orang Luwu. Memanggil semua rakyatmu dan memaksa mereka menebang pohon untuk sebuah istana di Ware.”
Kutipan diatas merupakan salah satu isi dalam buku puisi Manurung: 13 Pertanyaan untuk 3 Nama karya Faisal Oddang.
Buku puisi Manurung terinspirasi dari La Galigo, epos legendaris Bugis. Tidak hanya dari La Galigo, karya Faisal Oddang yang lain juga bercermin dari kebudayaan Bugis. Beberapa yang telah ia terbitkan yaitu cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon (2014), novel Puya ke Puya (2015), dan novel Tiba Sebelum Berangkat (2017).

Faisal Oddang adalah sastrawan muda lulusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin. BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai Faisal Oddang di akhir acara diskusi sastra yang diselenggarakan panitia Festival Sastra 2019 di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Dalam wawancara bersama Faisal Oddang, ia banyak memberikan perspektif baru mengenai sastra daerah dan kebudayaan daerah.

Apa itu sastra daerah?

Sastra daerah adalah karya sastra yang merupakan respon penulis terhadap fenomena budaya di suatu tempat. Jika dikaitkan mengenai tema diskusi sastra yang mengangkat lokalitas sastra Indonesia, lokalitas sastra Indonesia yang dimaksud adalah sastra Indonesia yang mengangkat isu-isu daerah.

Bagaimana dengan karya sastra Indonesia yang mengangkat isu kedaerahan?

Kaitannya dengan sastra Indonesia yang mengangkat isu kedaerahan, saya melihat bahwa itu adalah karya sastra yang lahir sebagai respon atas peristiwa-peristiwa atau tafsir dari suatu kebudayaan di suatu tempat. Saya sendiri sering merespon kebudayaan di Sulawesi Selatan.

Mengapa Anda tertarik menulis sastra daerah?

Sebenarnya bukan persoalan saya tertarik atau tidak, tetapi saya memang berangkat dari kebudayaan itu. Saya lahir, tumbuh, belajar, dan berpikir dengan cara yang sangat Bugis atau Makassar. Saat ingin merefleksikan atau merespon sesuatu, saya tidak bisa jauh-jauh mengambil permasalahan kebudayaan karena keresahan itu berasal dari sesuatu di sekitar dan hal itu saya respon di  dalam tulisan.

Mengapa kita perlu mengetahui dan mempelajari kebudayaan daerah?
Sebenarnya tidak harus karena hal tersebut tidak bisa dipaksakan. Saya ingin pembaca memiliki perspektif lain untuk memandang sebuah nilai dari suatu tempat atau wilayah. Misalnya, mungkin kita bisa mendapatkannya di buku teks, itu satu perspektif. Namun perspektif lain yang diwakili oleh karya sastra juga penting untuk dibaca.

Bagaimana cara melestarikan sastra daerah tersebut?

Itu di tingkat yang lebih jauh. Mungkin ada beberapa penulis yang menulis tentang kebudayaannya dengan keinginan untuk melestarikan, tapi itu bukan saya. Saya tidak memiliki tendensi sebesar itu. Saya menulis untuk merespon fenomena budaya agar menghadirkan perspektif baru saja. Permasalahan karya sastra akan lestari atau bertahan itu urusan lain.

Apakah sastra daerah dapat membantu perkembangan kebudayaan nasional?

Saya agak bingung mendefinisikan mana yang kebudayaan daerah, lokal, dan nasional. Siapakah sebenarnya yang merepresentasikan kebudayaan ini? Apakah kebudayaan nasional berasal dari wilayah yang masyarakatnya dominan? Cara berpikir kita yang mendikotomi sastra nasional dengan sastra daerah menyebabkan semua permasalahan yang ditulis dalam karya tidak sepenuhnya menjawab permasalahan daerah. Saya menganggap bahwa sastra yang membicarakan tentang daerah-daerah di Indonesia ini penting dilihat secara kolektif sebagai satu kesatuan. Identitas Indonesia adalah keragaman sehingga sastra harus dilihat dari berbagai perspektif dari daerah-daerah yang beragam juga.

Bagaimana tanggapan mengenai dikotomi antara sastra daerah dengan sastra Indonesia?

Dikotomi antara sastra daerah dan sastra Indonesia adalah masalah karena kita tidak bisa membedakan permasalahan nasional dan permasalahan daerah. Menurut saya, permasalahan daerah adalah bagian dari permasalahan nasional dan karya sastra yang merespon permasalahan tersebut tidak perlu digolongkan kembali. Itu semua adalah karya sastra Indonesia tapi berasal dari persoalan asal daerah yang beragam. Hal itu dipengaruhi asal daerah penulisnya atau asal gagasan yang menurut penulis penting untuk disampaikan. Jadi, pada dasarnya saya kurang sepakat dengan dikotomi sastra nasional-sastra lokal atau daerah.

Bagaimana cara apresiasi sastra daerah yang ideal?

Apresiasi yang penting adalah menuliskan karya itu sendiri, membacanya, dan menciptakan dinamika atau dialektika dari penulis ke pembaca yang berupa kritik. Kesusastraan Indonesia akan terbangun dari sebuah kritik. Pembaca akan memberikan respon atau dialektika terhadap suatu karya, dinamika itu penting untuk perkembangan orang-orang yang menulis. Itu respon yang menurut saya ideal.

Apa kesulitan dalam menyadur sastra daerah ke Bahasa Indonesia untuk mengenalkan kebudayaan daerah itu sendiri?

Kesulitan menyadur sastra daerah ke bentuk yang lebih baru adalah berusaha membuatnya diterima khalayak umum. Hal tersebut karena karya sastra daerah itu sesuatu yang tersegmentasi sehingga pembaca kurang memahaminya.

Bagaimana cara menggugah pembaca menikmati karya sastra yang disuguhkan?

Pembaca memang penting diperhatikan dalam menulis, namun hal yang saya utamakan adalah hubungan saya dengan tulisan itu. Tulisan inilah yang berhubungan dengan pembaca. Selain itu, hal yang penting dilakukan juga untuk membuat tulisannya diterima masyarakat luas.  Misalnya, merespon persoalan tradisi di Bugis. Prinsip merespon persoalan tradisi seperti piramida terbalik yaitu memasukkan persoalan yang lebih dipahami oleh pembaca secara umum. Setelah mengerti masalah umum yang terjadi, orang akan masuk lebih jauh ke tradisi yang membentuknya.

Bagaimana sastra daerah yang Anda tulis membantu menjawab permasalahan budaya saat ini?

Saya tidak ada tendensi untuk menjawab permasalahan, tapi yang saya lakukan dalam menulis adalah merespon permasalahan. Sastra daerah akan menghadirkan perspektif baru untuk melihat permasalahan budaya sehingga pembaca bisa bertindak sesuai bidang dan kemampuan mereka. Karya sastra disini tidak membantu secara langsung, melainkan menjadi perantara antara pembaca dengan permasalahan yang ada.

Bagaimana cara untuk berani menulis karya sastra?

Hal yang membuat kita berani menulis adalah banyak membaca karena kita akan merasa memahami dan memiliki cukup bahan untuk menulis. Kalau persoalan “saya harus memberanikan diri”, itu hal lain. Hal pertama adalah memperbanyak bacaan mengenai sesuatu yang ingin kita tulis.

Penulis: Marcelinus Justian Priambodo
Penyunting: Ayu Nurfiazah


Kamis, 01 Agustus 2019

Apa Kabar Kritik Sastra?


Rohmatul Izad* - 01/08/2019


Tidaklah mudah untuk memulai suatu perbincangan tentang kritik sastra pada saat ini. Kita hampir selalu berada dalam keraguan dan perasaan yang kurang enak. 

Apabila kita hendak mengatakan kritik sastra tidak ada, atau kita tidak punya kritik sastra, rasa-rasanya seakan mau meniadakan sebuah upaya yang dilakukan oleh berbagai kalangan untuk menjadikan kritik sastra itu ada.

Sastra adalah sebuah oase kecil di tengah-tengah keluasan hamparan padang pasir dan kritik sastra adalah angin yang melintas di sekitar oase itu. Publikasi sastra kita memang sangat terbatas, begitu pula dengan karya kritik sastra. Kritik sastra kita boleh dibilang masih berupa angin lalu yang tertiup sepoi-sepoi melintasi oase di tengah gurun pasir.

Di era H.B Jassin dulu, banyak yang mengatakan kritik sastra ada. H.B Jassin sendiri adalah seorang kritikus sastra. Orang-orang menjadi sastrawan setelah dibicarakan oleh H.B Jassin. 

Tetapi, kita bisa bertanya, bukankah kemampuan H.B Jassin terbatas? Tentu sangatlah terbatas waktu yang digunakan H.B Jassin betapapun tekunnya membaca banyak karya-karya sastra yang berhamburan di atas mejanya. Di samping pandangan-pandangan kesusatraan, ia juga diuji dengan zaman yang terus berubah.

Sehingga jangan heran bila di zaman ini, dengan tidak melupakan jasa H.B Jassin di masa lalu, akan selalu ada para sastrawan yang mengatakan bahwa H.B Jassin memang besar dan hebat, tetapi dia lebih besar dan lebih layak disebut seorang dokumentator sastra Indonesia dibandingkan dengan seorang kritikus sastra.

Sekarang ini, hampir tidak ada lagi paus kesusatraan. H.B Jassin sendiri dijuluki dengan paus kesusastraan. Tidak ada dokumentator sastra dan tidak ada ketekunan untuk mengabdikan selama seluruh hidupnya kepada sastra seperti H.B Jassin. 

Dalam situasi yang cenderung berubah ini, penciptaan karya sastra terus berlangsung, walaupun tanpa kritikus sastra yang berwibawa. Penulisan esai-esai terus berlangsung, untuk karya-karya yang dipilih, rasa-rasanya tetap timpang. Jumlah karya sastra jauh melampaui dari kritik sastra atau esai-esai yang dilahirkan pada zaman ini.

Hari ini hampir siapa saja bisa menjadi “kritikus sastra” atau menjadi komentator yang kritis terhadap karya sastra. Orang-orang dari kelompok keagamaan, ibu-ibu rumah tangga, pegawai negeri, dan wartawan, semuanya bisa bicara tentang sastra dengan nada yang cukup kritis. Tetapi sebetulnya itu semua tidak lebih dari perbincangan tentang sastra dari orang-orang yang mengapresiasi secara alakadarnya.

Lantas di manakah kedudukan para kritikus? Pertanyaan ini boleh jadi selalu menganggu, dan banyak yang terganggu oleh keraguan, siapakah yang dimaksud dengan kritikus? 

Sebetulnya yang kita harapkan sebagai kritikus adalah para akademisi yang banyak menekuni pembacaan sastra. Juga, pada saat yang sama, mereka menguasai teori-teori sastra yang bisa dia gunakan untuk membahas karya-karya yang dia baca, dengan memberikan alasan-alasan yang kritis terhadap penilaiannya, yang tentunya bisa dipercaya karena bertolak dari ilmu pengatahuan yang dia kuasai.

Tapi sayangnya, meskipun sekarang ini banyak sekali ahli-ahli di bidang kesusatraan, atau ahli-ahli teori sastra, tetapi semuanya tidak cukup untuk melahirkan seorang kritikus sastra. Mengapa bisa begitu? Karena menjadi kritikus sastra sudah dianggap bukan sesuatu yang menarik. Mereka tidak bisa hidup sebagai kritikus.

Sesekali memang ada juga yang menguasai teori, dan apresiasi itu digunakan untuk membahas karya-karya sastra tertentu, yang memang ada nilai kritiknya, tapi sangat terbatas pada karya-karya pilihan dan jumlahnya pastilah sangat jauh dari kata memadai. 

Ruang kritik sastra ini juga lebih banyak beredar di media sosial ketimbang di surat kabar. Artinya, dunia kritik sastra kurang memiliki antusiasme dalam menghasilkan pertarungan pemikiran, yang kemudian dibukukan sebagaimana polemik-polemik sastra yang terjadi di masa lampau.

Selain itu, surat kabar atau koran tak lagi melahirkan perdebatan sastra. Alasannya, selain koran tak memuat tanggapan, para medioker juga lebih cenderung lari ke media sosial. 

Terkait dengan berkurangnya interaktivitas kolom sastra dan budaya di koran, kini banyak wartawan yang dipaksa menjadi pengulas seni. Boleh jadi, redaktur seni dan budaya yang memang benar-benar jeli sudah tidak ada lagi, sehingga orang-orang yang tidak berkapasitas sebagai pegiat seni dan sastra berkecimpung bukan di bidangnya.

Posisi dan peran seorang kritikus sastra memang sangat rumit dan banyak sekali risikonya. Namun kehadiran mereka sangatlah diharapkan oleh para pembaca sastra dewasa ini, meskipun waktu yang tersedia buat mereka sangatlah terbatas. 

Kita memerlukannya sekaligus mengharapkannya, karena memang kehadiran mereka sangat diperlukan. Pertama, untuk memberikan pemantaban terhadap pengembangan upaya apresiasi sastra dalam masyarakat Indonesia. Kedua, untuk menegaskan tingkat pencapaian mutu dari kesusatraan kita di tengah-tengah gelombang besar sastrawan dunia. 

Sekarang, ini semua masih belum kita dapatkan. Keberuntungan kita lebih banyak berupa kehadiran esai-esai yang hebat, yang sesekali, dilahirkan oleh esais-esais hebat tanpa prevensi untuk menjadi seorang kritikus sastra yang hebat.
___

*Rohmatul Izad, Penulis. Alumni Magister Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada. Dosen Filsafat di IAIN Ponorogo