Candra Malik | Minggu, 22 April 2018
Sisi puitis dari
surat-surat Kartini jarang dicengkeramakan dalam obrolan kita, setidaknya
setiap 21 April tiba. Padahal, lewat surat-suratnya yang dianggap menginspirasi
emansipasi perempuan, isinya sangat puitis. Dari siapa ia belajar?
“Hidup itu
rindu, bukanlah nyanyian keriangan hati,” R.A. Kartini, Surat kepada
E.C. Abendanon, 15 Agustus 1902.
MUDAH ditebak bahwa judul buku dari kumpulan surat R.A. Kartini yang
diterbitkan oleh Abendanon pada 1911, yaitu Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya) terinspirasi
Q.S. Al-Baqarah: 257. Allah berfirman, ”Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.”
Pada 1922, Balai
Pustaka menerbitkannya dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Menyusul kemudian, pada 1938, sastrawan
Armjn Pane menerbitkannya dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Boleh juga diduga, Al-Qur’an yang terdiri atas surat-surat
menginspirasi Kartini untuk mengarungi dunia dalam percakapan antar-anak bangsa
dengan surat-menyurat. Juga dengan syair, sebagaimana kitab suci ini memang
sehimpunan syair nan indah dariNya.
Dalam
surat-suratnya, Kartini tidak hanya membicarakan tentang dinding tebal dan
tinggi bagi perempuan dalam mendapatkan kebebasan belajar dan kemerdekaan
berekspresi, pernikahan dini yang disertai pingitan dan poligami, agama, serta
bangsa dan budaya. Ia juga membahas cinta dan puisi.
Dalam suratnya
kepada Nona Zeehandelaar tertanggal 15 Agustus 1902, putri R.M. Sosroningrat
ini menulis:
Segala yang
murni dan indah dalam kehidupan manusia ialah puisi. Cinta, kurban, setia,
kepercayaan, seni, semuanya barang sesuatu yang meninggikan budi, menjadikannya
murni, baik dan indah, ialah puisi.
Menurut Kartini,
bila suatu bangsa memiliki perasaan terhadap puisi, yang merupakan sesuatu yang
seindah-indahnya dan sejelita-jelitanya dalam kehidupan manusia, bangsa itu
tiada mungkin rendah derajatnya dalam hal kesopanan rohani. “Semakin dalam aku
menyelami ke dalam lautan jiwa bangsa kami, semakin tinggi derajatnya jiwa itu
pada pemandanganku,” tulis Kartini pada Zeehandelaar, yang dipanggilnya dengan
nama pena: Stella.
Masih pada
tanggal yang sama, 15 Agustus 1902, Kartini menulis surat kepada E.C.
Abendanon, dengan kalimat-kalimat yang puitik:
Surat ini
hingga ini kutulis, sedang mendengarkan lagu-lagu nyanyian merindu dengan
manisnya membujuk membelai-belai. Hari malam, jendela dan pintu terbuka, bunga
cempaka di muka kamar kami sedang berkembang, angin sepoi-sepoi mendesau-desau
melintasi daunnya; dengan angin sepoi-sepoi itu disampaikannya kepada kami
napasnya yang harum itu, jadi salamnya. Alangkah indahnya! Bagaikan di dalam
mimpi, terdengar suara lagu, suci, damai rata, nyaring, membawa kami melambung
ke surga taman bahagia.
Sisi puitis dari
surat-surat Kartini ini jarang dicengkeramakan dalam obrolan kita, setidaknya
setiap 21 April tiba. Padahal, lewat surat-suratnya yang dianggap menginspirasi
emansipasi perempuan, ia juga memperkenalkan dunia bangsanya kepada dunia yang
lebih luas.
“Kami kini
sedang mempelajari nyanyian; adakah pernah engkau dengar bangsa kami bernyanyi
riang-riang? Gamelan itu tiada pernah beriang-riang, pada pesta yang
seriang-riangnya, segembira-gembiranya sekalipun senantiasa ada kedengaran rasa
rindu dalam nyanyian,” tulis
anak kelima dari sebelas bersaudara itu, setahun sebelum dinikahkan dengan
Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Dalam surat
bertanggal 17 Agustus 1902, juga kepada Abendanon, Kartini melukiskan
penderitaannya dengan mengambil perumpamaan tanaman bunga yang membutuhkan
hujan untuk tumbuh subur. Dia menceritakan, tanaman bunga mawar di kebunnya
menghijau karena tunas baru muncul setelah dibasahi hujan deras.
“Hari berganti
hari.. bunga mawar kami itu penuh pula dengan daun dari bunga yang indah-indah.
Hujan, hujanlah yang perlu baginya, supaya menjadi berkembang demikian indahnya
itu,” tulis Kartini.
Sedangkan
terhadap penderitaan hidupnya, setelah mengambil pelajaran dari hubungan
romantik antara hujan dan bunga, Kartini menulis:
Hujan, hujanlah yang perlu bagi jiwa supaya tumbuh berkembang. Sekarang
tahulah kami. Airmata kami yang titik sekarang ini perlunya supaya bertunas
bibit itu, supaya daripadanya berkembanglah nafsu hidup yang baru dan murni
kemudian hari.
Seperti berbicara
pada dirinya sendiri, Kartini mengingatkan, jika datang hujan air mata, yakni
dukacita dalam hidup, maka jangan dilawan, dikeluhkan, dan disumpahi. Sebab,
mengalami dukacita adalah sebagian dari hak hidup dan sesuatu yang memang telah
ditakdirkan olehNya bagi manusia. Biarkanlah dengan rela manusia dibentuk oleh
dukacita itu, demikian petuah Kartini.
Didewasakan pula
oleh penderitaan, ia pun berhenti berharap pada manusia. “Tetapi sekarang ini,
kami tiada mencari pelipur lara pada manusia, kami berpegangan teguh-teguh pada
tanganNya. Maka hari gelap-gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun
menjadi sepoi-sepoi,” tandasnya.
Luar biasa memang
pertumbuhan jiwa perempuan kelahiran Jepara pada 28 Rabiul Akhir tahun Jawa
1808 ini. Sejak berkenalan dengan Abendanon pada 8 Agustus 1900, spiritualitas
Kartini semakin bertumbuh pesat. Meski usia Kartini tidak panjang, dan pendek
pula usia pernikahannya, yaitu dari 8 November 1903 hingga 17 September 1904,
karena wafat empat hari setelah melahirkan, adik poliglot R.M.P. Sosrokartono
ini telah menanamkan bibit penting bagi para perempuan di Indonesia, yakni
bibit keteguhan hati menghadapi kehidupan yang sering tidak berpihak kepada
mereka.
Kartini, dalam suratnya kepada Abendanon itu, menunjukkan keteguhan
hati yang kokoh menghadapi hidup:
Kami bersedia,
bersedia berbuat apa juapun, bersedia memberikan diri kami sendiri — bersedia
menerima: luka hati. Air mata, darah, akan mengalir banyak-banyak, tetapi
tiadalah mengapa; semuanya itu akan membawa ke arah kemenangan. Manakah akan
terang, bila tiada didahului gelap gulita? Hari fajar lahir dari pada hari
malam.
Jauh sebelum
sastrawan Sapardi Djoko Damono menulis puisi “Aku Ingin Mencintaimu dengan
Sederhana”, Kartini pada 1902 sudah lebih dulu menulis,” .. api yang
membersihkan itu, api itu juga menghancurkan kayu menjadi abu..”
Meski berpikiran
melampaui masa dan berpendirian kuat, jiwa Kartini halus dan ia tunjukkan pula
kepribadian yang lembut dalam surat-suratnya. Kepada Abendanon, ia menulis pada
8 Agustus 1902, ”Kata-kata dengan lisan boleh jadi tergores dalam jiwa, tetapi
tentulah engkau akui, bahwa banyaknya kata yang dilenyapkan oleh waktu.. tetapi
surat-surat dapat menanggulangi segala kata dengan sebenarnya…”
Sumber: Geotimes.Co.Id
0 komentar:
Posting Komentar