Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Minggu, 27 Mei 2018

Wayang Menak di Tangan HB IX

Oleh: PURWADMADI - 27 Mei 2018

REVITALISASI: Salah satu adegan pergelaran wayang menak lakon Geger Mukadam karya Sultan HB IX yang ditampilkan POSB Retno Aji Mataram, Jogjakarta (6/5).

MEMBANGKITKAN se­ma­ngat penciptaan seni tra­di­si klasik yang mendobrak, men­transformasi simbol kehidu­­pan untuk mencari hakikat jati diri me­lakoni hidup sebagai ’’wa­yang’’ yang dimainkan ’’dalang sejati’’, jati diri kemakhlukan, melalui metafora personifi­ka­tif wayang golek (boneka), mung­kin menjadi peker­jaan besar generasi kini dalam menghargai karya budaya pendahulu.

Wayang golek menak atau wayang wong menak merupakan karya monumental dalam khaza ah tari klasik gaya Jog­jakarta yang coba diangkat ulang dari keterendaman za­man oleh Dinas Ke budayaan DIJ.
Di pendapa Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Jogjakarta, wayang menak dipergelarkan 6–8 Mei lalu oleh enam perkumpulan tari dalam enam lakon.

Enam lakon itu adalah Geger Mu­kadam yang dibawakan POSB Retno Aji Mataram, Menak Sorangan (Siswa Among Beksa), Bedhah Negari Ambarkustub (YPB Sasminta Mardawa), Jayengrana Winiwaha (Kridha Beksa Wirama), Retna Marpinjun (PK Suryo Kencono), dan Widaninggar Boyong (Irama Tjitra).

Lakon wayang menak ber­sumber dari Serat Menak dan Serat Ambya. Banyak sumber menyebutkan, lakon itu saduran dari buku Hikayat Amir Hamzah dalam khazanah sastra Melayu yang bersumber dari Qissail Emr Hamza dalam khazanah sastra Parsi-Arab. ’’Pen­ja­waannya’’ menjadi Serat Menak oleh kalangan pujangga dan carik di Keraton Kartasura atas perintah Ratu Blitar, istri Sunan Paku Buwono I, kepada Carik Narawita (1717).

Kemudian berlanjut pada masa Yasadipura I (1729–1802), pujangga yang mengalami masa Keraton Kartasura-Surakarta. Tradisi sastra menak berkembang menjadi kekayaan serat lakon dan serat wulang di keraton-keraton Jawa yang kemudian meluber hingga di kalangan rakyat.

Serat Menak digunakan sebagai sumber lakon pertunjukan wayang golek (boneka) dan populer di kalangan rakyat pada ma­sanya.

Raja Jogjakarta kala itu, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, sempat menyaksikan pertunjukan wayang golek pada tahun 40-an di daerah Kedu, Jawa Tengah.

Peristiwa itulah yang memicunya untuk menyusun tarian klasik dengan basis estetika tari klasik Jogjakarta, diperkaya unsur estetika wayang golek dengan sumber lakon selain Ma­ha­bharata, Ramayana, dan Panji (gedhogan).
Serupa golek menari? Bukan. Wayang golek menak karya Sri Sultan HB IX (1912–1988) tidak menyerupakan golek (kayu) yang sedang ditarikan dalang. Bukan meniru gerak golek.

Wayang golek menak memulangkan tariannya pada prinsip dasar tari klasik gaya Jogjakarta. Bukan menari serupa golek, melainkan menarikan tarian golek sebagai sebuah genre tari dalam khazanah tari klasik Jogjakarta, setara genre bedhaya-srimpi, beksan, dan wayang wong.

Karya monumental Sultan HB IX itu sempat vakum (ditam­pilkan) selama 1944–1980 ka­rena kesibukan Sultan terlibat dalam mengurus republik ini sejak 1945.

Me­mang, dalam bentuk pethilan (potongan adegan), tarian itu sering menjadi sajian bagi tamu dan turis dengan menampilkan garuda menak yang aksentuatif ke-Jogja-annya.

Baru sekitar 1985 sejumlah perkumpulan seni tari di Jog­jakarta diminta Sultan untuk melakukan revitalisasi wayang golek menak ciptaannya tersebut. Proses pembaruan itu, termasuk memasukkan unsur gerak silat Minangkabau, dalam pengawasan langsung Sultan.

Hasil kerja pembaruan secara kolektif oleh sejumlah perkumpulan tari tersebut secara bertahap telah diper tunjukkan beberapa kali di hadap an HB IX di Jakarta maupun Jog jakarta.

Pada akhir 1998 direncanakan pergelaran hasil final revitalisasi partisipatif itu. Namun, sebelum pergelaran tersebut dilangs­ungkan, pada 2 Oktober 1998 HB IX keburu wafat di Washington, Amerika Serikat. Memang, tari golek menak memiliki sumber penciptaan dari wayang golek (boneka kayu) dan karenanya ada se­jumlah pertanda kegolekan dan kemenakannya.

Di antaranya, detail prinsip rubuh bareng (duduk/simpuh bersama), unjal napas (menarik napas), api-api wuta (berlagak seperti buta), ngenceng driji-tapak tangan (jari-telapak tangan gerak lurusrapat), di samping prinsip dasar filosofi nyawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh.

Termasuk perkara teknik pengelolaan tubuh terkait dengan posisi deg (posisi berdiri), mendhak (meren­dah­kan badan), jujungan (angkat kaki), tolehan (cara mene­ngokkan kepala), pandengan (arah tatapan mata), pupu mlu mah (arah hadap paha), nglempet (perut kempis), cethik mlumah (sendi pinggang direnggang), menggunakan prisip tari Jogjakarta.

Tari golek menak diciptakan pada masa pendudukan Jepang (1942) dan dipentaskan lengkap untuk kali pertama pada 1944 di Keraton Jogjakarta. Setelah itu jarang dipentaskan.

Sedang­kan dalam bentuk fragmen atau potongan adegan, kini telah menjadi salah satu sajian pertunjukan khas Keraton Jogjakarta. Biasanya adegan pertarungan dua tokoh putri dalam lakon menak, seperti Kelaswara-Adaninggar, dengan meniti burung garuda.

Peningkatan frekuensi pemanggungan wayang wong menak sejatinya tidak berhenti pada perkara estetika teknis tarian, gerak dan komposisi, busana dan iringan, serta ekspresi lakon-lakon menak, melainkan memperkuat penan­da kedalaman perenungan dan ekspresi pengolahan energi ke budayaan dalam menjawab tantangan perubahan.

HB IX menciptakan wayang wong menak atau tari golek menak sekurangnya menca­tatkan momentum sejarah budaya. Yakni,
(1) menyerap energi kreasi rakyat menjadi sumber penciptaan ’’tari istana’’, (2) melengkapi sumber cerita yang mengandil tambahan struktur etika dan estetika dominan (Mahabharata-Ra­ma­yana- Panjia),
(3) meng­galang partisipasi pelaku seni dan empu tari di luar istana untuk mengutuhkan pen­ca­paian karya cipta Sultan,
(4) meramu paradigma estetika mapan (pakem-paugeran) tari klasik dengan sumbangan pakem ’’paugeran baru’’ yang selaras,
(5) memasuk kan unsur kekuatan khazanah budaya rakyat seperti wa yang golek (boneka), gerak silat tradisi Minangkabau, merupa kan upaya persenyawaan antar-lintas-kawin budaya yang mem­perkuat jati diri budaya nasional, serta
(6) memaknai kerja pelestarian bu daya tidak sebatas proses dup likasi, repitisi, reproduksi, dan ke­rja pengawetan lainnya, melain­kan merambah kuat pada ke­rja pengembangan dan pemanfaatannya.

Sri Sultan HB IX telah mem­berikan contoh kerja nyata bagaimana menemukan karya budaya baru yang tetap me­mulangkannya pada kekuatan akar tradisi budaya yang di­ba­ngun dan diperjuangkan para pendahulu bangsa.

Me­men­taskan wayang menak bu­kan sebatas membangkit­kan batang terendam, melainkan juga merupakan cara terhormat menghargai kerja-kerja budaya bermartabat para pendiri bangsa.

(*)

Purwadmadi, pemerhati dan penulis seni budaya

Teguh Karya: Teater, Sinema, dan Capaian Seorang Maestro

Oleh: M Faisal - 27 Mei 2018

Teguh Karya; 1982. FOTO/Wikicommon

Ditempa di teater, Teguh Karya menjelma jadi sutradara bernas tanah air. Film-filmnya mengangkat narasi pertentangan kelas dan pencarian identitas—sesuatu yang terus ia pertanyakan sebagai seorang minoritas.

Tak butuh waktu lama untuk menyebut Teguh Karya sebagai maestro sinema Indonesia. Berlebihan? Rasanya tidak. Jika melihat kiprahnya dalam belantika film tanah air, terutama pada era 1970-1980an, pernyataan ini sah belaka.

Banyak orang bilang, salah satu alasan mengapa Teguh Karya pantas mendapat predikat maestro adalah film Badai Pasti Berlalu yang ia bikin pada 1977. Film yang diadaptasi dari novel karangan Marga T. yang berjudul sama ini memang satu dari sekian magnum opus Teguh Karya.

Badai Pasti Berlalu mengisahkan kehidupan asmara Siska (Christine Hakim) yang remuk karena batal bertunangan. Sikapnya lantas berubah dingin. Baginya, segala hal tentang cinta adalah omong kosong. Suatu hari muncul Leo (Roy Marten), playboy kedokteran yang mencoba meluluhkan hati Siska. Motivasi Leo, sayangnya, bukanlah cinta melainkan taruhan dengan teman sekampusnya.

Persoalan makin rumit tatkala Leo justru jatuh hati betulan. Belum lagi, Siska kedatangan Helmy (Slamet Rahardjo) yang hendak menikahinya dengan tujuan memeras. Sebab, si ayah Siska diketahui main gila bersama adik Helmy.

Yang tersaji setelahnya ialah gambaran betapa kompleksnya pergumulan Siska demi cinta sejati. Iringan musik latar yang menggugah ciptaan Eros Djarot makin membuat suasana Badai Pasti Berlalu mengharu biru.

Sampai akhirnya, di titik tertentu, kita bakal meyakini bahwa film ini pantas untuk menyabet gelar salah satu film terbaik Indonesia sepanjang masa.


Berawal dari Teater

Teguh karya lahir di Pandeglang, Banten, pada 22 September 1937, dengan nama Liem Tjoan Hok. Ia anak pertama dari lima bersaudara. Di usianya yang ke-10, ia dan keluarganya terpaksa mengungsi ke Jakarta karena konflik etnis yang meletus di kampung halamannya.

Jakarta menjadi permulaan Teguh untuk mengenal dunia seni. Di gereja tempatnya beribadah, ia bergabung dengan kelompok drama yang tampil saban Natal dan Paskah. Pengalaman itu membuat Teguh jatuh hati dengan semesta seni peran. Pada 1954, Teguh merantau ke Yogyakarta untuk kuliah di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi). Dari Asdrafi, Teguh melanjutkan pendidikannya di Akademi Teater Nasional Indonesia (1957-1961), lalu di East West Center Honolulu, Hawaii (1962-1963).

Pada masa itu, seperti dicatat Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Teguh sibuk menggembleng diri dalam seni peran. Selain mengajar di ATNI, ia pun turut serta dalam pelbagai pementasan yang diadakan ATNI. Teguh begitu intens mempelajari olah peran. Ia juga tak ragu menimba ilmu kepada senior macam Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma yang kelak mengilhaminya dalam berkesenian.

Pada 1968 merupakan momen Teguh untuk berdikari tatkala ia mendirikan Teater Populer, teater modern pertama di Indonesia. Pendirian Teater Populer didorong oleh faktor bahwa usai ATNI tutup akibat masalah finansial, tak ada lagi tempat untuk belajar teater. Maka dari itu, Teguh membulatkan tekad guna menciptakan fasilitas berlatih dan belajar ilmu teater.

Teater Populer mulanya bernama Teater Populer Hotel Indonesia. “Hotel Indonesia” disematkan karena mereka banyak tampil di Hotel Indonesia, tempat di mana Teguh bekerja sebagai manajer panggung. Baru pada 1972, bersamaan dengan keluarnya Teguh dari kerja kantorannya, nama Teater Populer Hotel Indonesia berubah jadi Teater Populer.

Pementasan Teater Populer, terang Gaston Soehadi dalam disertasinya berjudul Teguh Karya: A Film Auteur Working within Collective (2015), banyak mengadaptasi naskah klasik karangan Tennessee Williams, Robert Andersen, Noel Coward, Harold Pinter, Nikolai Gogol, August Strindberg, Georg Buchner, dan Hendrik Ibsen. Selain itu, mereka mengusung semangat realisme yang diusung Usmar Ismail, Asrul Sani, dan D. Djajakusuma saat mendirikan ATNI pada tahun 1950-an. 

Mayoritas anggota Teater Populer adalah anak didik Teguh di ATNI dan beberapa penggiat teater independen. Mereka sering berkumpul di rumah Teguh di Jalan Kebon Kacang, Tanah Abang dari 1972-1980, sebelum pindah ke tempat yang lebih besar di Jalan Kebon Pala yang juga berlokasi di Tanah Abang.

Di markas yang akrab disebut "laboratorium kreatif" itu, Teguh dan anggota lainnya disibukkan oleh berbagai macam aktivitas seperti diskusi, pelatihan peran, penulisan naskah, workshop, pemutaran film, sampai pertunjukkan kecil-kecilan. Antusiasme di Kebon Pala ini diakui salah satu murid Teguh, Nano Riantiarno.
“Setiap jam delapan pagi hingga empat sore, saya dan Slamet [Rahardjo] belajar tentang hal-hal dasar dari seni teater bersama Teguh,” ujar Nano kepada CNN Indonesia.
Kawah candradimuka Teater Populer lantas melahirkan seniman-seniman bernas di eranya seperti Slamet Rahardjo, Nano Riantiarno, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, Alex Komang, Dewi Yul, Ray Sahetapy, Rina Hasyim, Tuti Indra Malaon, George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, hingga Ninik L. Karim.

Tak cuma bergerak di bidang teater, Teguh bersama Teater Populer juga melebarkan sayapnya ke dunia film. Yang unik, Teguh hanya ingin membuat film dengan para anggota kolektif di Kebon Pala. Ia bersikeras bahwa semua anggota Teater Populer harus terlibat dalam berbagai kapasitas dalam proyek filmnya dengan ia duduk di kursi penyutradaraan. Di sini pula, nama Teguh diakui dunia perfilman Indonesia sebagai sutradara andal.

Total, bersama kolektif Teater Populer, Teguh menghasilkan 13 film: Wajah Seorang Laki-Laki (1971), Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan dalam Semusim (1976), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1978), Usia 18 (1980), Di Balik Kelambu (1982), Secangkir Kopi Pahit (1984), Doea Tanda Mata(1985), Ibunda (1986), serta Pacar Ketinggalan Kereta (1989).
infografik teguh karya


Film-Film Teguh: Melodrama, Diskriminasi Etnis, dan Kelas Sosial

Pada 1960-an, industri film dalam negeri kolaps akibat larangan impor film-film Amerika yang sebelumnya dikampanyekan oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) serta Komite Aksi untuk Boikot Film-Film Imperialis Amerika. Pemboikotan ini sejalan dengan kebijakan Presiden Sukarno yang anti-Barat. Bagi Sukarno, pengaruh Barat dalam sendi-sendi kehidupan negara ibarat virus yang harus dimusnahkan.

Situasi perlahan berubah ketika Orde Baru berkuasa. Di tengah situasi serba krisis, Soeharto membangkitkan kembali industri film. Ia percaya bahwa film mampu menjadi “sumber pendapatan negara melalui pajak penjualan tiket.”

Dari situlah berbagai kebijakan taktis ditempuh. Larangan impor film asing dicabut, aksi kekerasan dan adegan seksual diperbolehkan masuk bioskop guna menarik penonton, hingga menggenjot produksi film nasional yang nantinya bisa membantu mengembangkan ekonomi negara.

Langkah-langkah itu pun menghasilkan capaian signifikan. Dalam kurun waktu 1970-1988, mengutip S.M Ardan lewat Dari Gambar Idoep ke Sinepleks (1992), rata-rata jumlah film yang diproduksi per tahun mencapai angka sekitar 70 judul. Jumlah terbanyak dihasilkan pada 1977 dengan angka 120 judul.

Bergairahnya produksi film nasional itu, menurut David Hanan, peneliti dan pengkaji film Indonesia dari Monash University, memunculkan salah satu genre film yang paling diminati yaitu drama percintaan. Indikatornya adalah kesuksesan film garapan Wim Umboh, Pengantin Remaja (1971), yang dibintangi Sophan Sophiaan dan Widyawati.

Teguh pun terdorong bikin film bertema serupa. Terlebih, debut filmnya, Wajah Seorang Laki-Laki, gagal secara komersil. Agar dapat bertahan di industri film, Teguh akhirnya membuat film-film populer yang menarik perhatian masyarakat.

Niat itulah, sebagaimana ditulis Gaston Soehadi dalam disertasinya berjudul Teguh Karya: A Film Auteur Working within Collective, yang lantas diwujudkan dalam Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), Kawin Lari (1975), dan Badai Pasti Berlalu(1977) yang berorientasi komersil, penuh melodrama keluarga, serta mengusung narasi konflik kelas sosial.

Dalam “Identitas dalam Film-Film Teguh Karya” Veronica Kusuma mengatakan melodrama khas Teguh dapat disimak lewat sejumlah ciri naratif serta estetika yang berpusat pada keluarga, dari Cinta PertamaRanjang PengantinPerkawinan dalam SemusimBadai Pasti BerlaluUsia 18Di Balik KelambuSecangkir Kopi PahitIbunda, dan Pacar Ketinggalan Kereta.

Ia menambahkan, melodrama Teguh Karya melahirkan sosok sentral (keluarga borjuis) yang sedang mengalami krisis atau ancaman berupa kemungkinan diambilnya sesuatu berharga oleh pihak yang dianggap kurang sesuai dengan standar kelas mereka.

Contohnya: dalam Badai Pasti Berlalu, keluarga Siska berupaya keras agar kehormatan dan kekayaan mereka tidak diambil oleh Helmy. Kemudian dalam Ibunda, Fitri dilarang menjalin hubungan dengan Luke, pemuda asal Papua. Sedangkan dalam Cinta Pertama, Ade yang notabene putri tunggal direktur perusahaan jatuh cinta pada mantan narapidana.

Film-film Teguh, masih menurut Veronica, juga menjajaki ketidakmampuan tokoh utama dalam menghadapi kenyataan. Tokoh utama dalam film Teguh selalu jadi korban yang terus disakiti dan nampak nelangsa. Misalkan, Siska dalam Badai Pasti Berlalu yang berkali-kali hatinya dihancurkan lelaki. Atau Secangkir Kopi Pahit yang memperlihatkan inkompetensi Togar dalam menghadapi berbagai persoalan keluarganya.

Soehadi berpendapat bahwa kombinasi antara kisah melodrama romansa antar kelas yang berulang kali hadir dalam film-film Teguh adalah alasan mengapa karya-karyanya laris. Dua hal itu, tulisnya, memungkinkan Teguh untuk mendapatkan dukungan keuangan dari produser yang memastikan karya-karyanya bakal berlanjut.

Namun, tak sekadar mengangkat narasi kelas sosial dan melodrama semata, film-film Teguh juga menyentil masalah diskriminasi yang diterimanya sebagai keturunan Tionghoa di era tiran Orde Baru. Walaupun tidak menampilkan karakter Tionghoa, pendekatan dan karakterisasi dalam film Teguh, mengutip Veronica, "mencerminkan kebimbangan dan pencarian identitas yang melandanya selaku anak seorang pendatang Tionghoa dan ibu dari golongan pribumi." Dilema identitas tersebut kemudian diubah menjadi konflik psikologis dan (lagi-lagi) keluarga yang menandai keterasingan maupun pencarian.

Krisna Sen dalam “’Chinese’ Indonesians in National Cinema” (2006) yang dipublikasikan Media and the Chinese Diaspora menjelaskan, film Teguh, Wajah Seorang Laki-Laki (1972), berhasil mengisahkan bagaimana kebijakan asimilasionis Orde Baru justru membuat keluarga Tionghoa sulit menjalin hubungan dengan tetangganya. Sen melanjutkan, melalui Wajah Seorang Laki-Laki dan November 1828, Teguh menyampaikan sikap politisnya yang terbentuk oleh pengalamannya sebagai seorang keturunan Tionghoa yang merasakan kebijakan diskriminatif Orde Baru.

Pada akhirnya, Teguh Karya membuktikan bahwa sekali maestro, akan terus jadi maestro. Sepak terjangnya dan rekam karyanya adalah bukti bagaimana ia berproses tanpa henti dalam meramu kreasi yang banyak terinspirasi kondisi sosial-politik di era Orde Baru. Semua ia sampaikan dalam satu wadah bernama keluarga.
"Ia [Teguh] adalah pekerja yang baik. Ia yang mengajarkan kami bagaimana mencintai pekerjaan. Kalau kamu menjadi orang film, maka kamu harus mencintai film itu dengan segala cara. Bagaimana caranya? Kerja keras dan belajar," ujar Slamet Rahardjo kepada CNN.
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf

Bersama Teater Populer, Teguh Karya menghasilkan 13 film panjang.

Sumber: Tirto.Id 

Kamis, 24 Mei 2018

Al-Ilmu Nuurun | Mahbub Djunaidi Berpolitik lewat Gagasan dan Tulisan

Oleh: M. Ahsan Ridhoi - 24 Mei 2018



Mahbub Djunaidi, esais tulen, Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang pertama. tirto.id/Quita


Mahbub Djunaidi adalah salah satu esais paling produktif pada masa Orde Baru. Hampir semua tulisannya memanfaatkan kekayaan metafora dan humor.
"Selaku penulis saya ini generalis, bukan spesialis. Saya menulis ihwal apa saja yang lewat di depan mata. Persis tukang loak yang menjual apa saja yang bisa dipikul."
Pengakuan itu ditulis Mahbub Djunaidi dalam esainya berjudul "Kesatria" (Kompas, 14/6/1985). Sebagai penulis, ia terkenal tangkas menangkap realitas keseharian buat diangkut ke dalam tulisan. Sangat mudah menemukan ihwal remeh temeh seperti nasi goreng di restorasi kereta api, merek kecap, hewan peliharaan, sampai kegiatan arisan ibu-ibu, dalam esai-esainya.

Seperti diungkap dalam Mahbub Djunaidi Seniman Politik Dari Kalangan NU Modern: Sebuah Biografi (2001)pendiri Kompas sekaligus kawan Mahbub, Jakob Oetama, menyebut hal itu sebagai “keunikan dan melampaui zaman. Tidak seperti kebanyakan penulis yang cenderung analisis dan menjabarkan ide, Mahbub menampilkan peristiwa, sosok orang, dan kejadian untuk menuangkan ide, sehingga lebih mudah dicerna pembaca” (hlm. 175). 

Esai Mahbub berjudul "Kecuali" (Kompas, 30/11/86) bisa jadi contoh. Ia membuka esai yang berpokok pada kritik terhadap kelambanan pemerintah dalam memajukan transportasi itu, dengan menceritakan tetangganya bernama Sri Lestari yang tak pernah lestari soal percintaan.

“Apanya yang lestari? Pacarnya saja tidak lestari. Dalam dua tahun belakangan ini tidak kurang dari 4 kali berganti pacar. Berarti, seorang pacar untuk satu semester. Fakta ini mengakibatkan opini gadis-gadis sebayanya terpecah-pecah. Ada yang kagum. Ada yang iri. Ada yang mencibirkan bibir. Dan ada pula yang menganggapnya ‘subversif’.” 
Trik bercerita seperti itu kerap digunakan Mahbub untuk menggiring pembaca sampai pada pokok persoalan. Hal ini tak lepas dari anggapannya bahwa menulis seperti pencak silat. “Ada yang disebut kembangan, jurus dan isi.” Cerita-cerita itu merupakan kembangan. Sementara jurusnya adalah humor yang menjadi ciri khasnya. Biasanya disajikan lewat satir.

Dengan jurus macam itu, Mahbub bisa mengkritik rezim Soeharto dan pihak-pihak lain tanpa menyakiti perasaan objek kritiknya. Terbukti ia tak pernah dicekal Orde Baru karena tulisan. Kecuali beberapa tulisannya tentang Pramoedya Ananta Toer yang ditolak beberapa media.

Selain itu, Mahbub juga terkenal berani "main" bahasa. Dalam tulisannya lumrah ditemui campur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa daerah atau bahasa asing. Seperti kata ane, ente, gue, elu. 

Gaya macam itu, menurut Goenawan Mohammad dalam kata pengantar untuk kumpulan esai Mahbub Kolom Demi Kolom (1995), “meneroboskan bahasa Indonesia melewati jaring-jaring bahasa takut-takut yang menguasai pidato dan tulisan di koran-koran” (hlm. 6).

Bahkan, pendiri Tempo tersebut menyebut, “kelebihan Mahbub dalam kolom-kolomnya yang belum tertandingi oleh siapapun, ialah bahwa ia bisa mengatasi dan mempergunakan bahasa Indonesia dengan kecakapan seorang mime setingkat Marcel Marceau. Kata-kata, kalimat-kalimat, ia gerakkan dalam pelbagai ‘perumpamaan’ yang tidak pernah membosankan karena selalu tak terduga.” 

Misalnya, pada deskripsi Mahbub soal Tempo kepada Goenawan berikut:

Majalah yang dipimpinnya itu seperti pisang dempet, langka dan unik, karena menganut jurnalistik gaya baru, menggabung kaidah pers dan sastra, dua jenis makhluk yang dulunya saling mendelik dan cela. Itu sebabnya kebanyakan orang membacanya sambil jongkok, semata-mata karena asyik dan kenes, mempermainkan bahasa seakan bahasa itu milik om dan tantenya sendiri.

Warisan Betawi

Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4, menilai gaya Mahbub tersebut sebagai warisan jurusan Tanah Abang. 
“Tradisi berhikayat model almarhum Pak Zahid, tukang cerita Betawi yang kuat menceritakan dongeng-dongeng kocak semalam suntuk” ("Mahbub dan Bani Sadr", Tempo, 25/7/1981).
Sementara budayawan Betawi sekaligus sahabat Mahbub, Ridwan Saidi, menyatakan kebolehan Mahbub itu terinspirasi dari Kwee Kek Beng. Ia adalah penulis sketsa asal Betawi yang masyhur pada zaman Perang Dunia II dan pengampu tetap rubrik "Djamblang Kotjok" di harian Sin Po.

Mahbub Betawi tulen. Ia lahir di Tanah Abang, Jakarta, pada 22 Juli 1933. Ia berasal dari golongan keluarga pemeluk Islam yang kuat. Ayahnya bernama Muhammad Djunaidi, seorang pegawai Kementerian Agama di era revolusi fisik yang mengenyam pendidikan kultur Belanda dan Islam. Atau, dalam bahasa Mahbub, ayahnya “bersiul bagai Marsose, bersikap seorang kiai”. Ibunya bernama Muhsinati, wanita berdarah campuran yang menurutnya “lugu bagaikan sehelai kertas putih untuk suaminya, yang bisa ditulis sesuka hatinya”.

Pada usia 7 tahun, saat Agresi Militer Belanda, Mahbub sekeluarga mengungsi ke Solo. Di kota ini, ia belajar di sebuah madrasah kenamaan bernama Mambaul Ulum. Di sekolah itu ia bertemu dengan Kiai Amir yang memperkenalkannya dengan karya-karya George Orwell, Mark Twain dan Karl May. Tiga penulis yang, menurut Said Budairy, ia kagumi sampai mati dan mempengaruhi karyanya.

Said menyatakan, Mahbub juga gandrung dan terpengaruh karya Rusia dan sastrawan Idrus. Jejak pengaruh Idrus bisa dilacak dalam roman karangan Mahbub, Dari Hari ke Hari, yang memenangi sayembara sastra Dewan Kesenian Jakarta pada 1974.

Karier penulisan Mahbub dimulai saat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Cerpennya, Tanah Mati, dipublikasikan di majalah Kisah pimpinan Paus Sastra Indonesia H.B Jassin. Sebuah hal yang menurutnya tak terlupakan, karena pertama kali karyanya dipublikasikan di sebuah majalah.

Tamat SMP tahun 1952, Mahbub melanjutkan ke SMA Budi Utomo, Jakarta. Di sekolah ini, ia pertama kali mengurus majalah sebagai pimpinan redaksi Siswa. Dalam edisi perdana majalah tersebut pada 6 Desember 1954, ia menulis kolom nomor perdana berjudul Yang Masih Harus Dijelmakan. Said Budairy menilai kolom tersebut menjadi jejak konsistensi Mahbub dalam kemanusiaan sejak remaja hingga akhir hayatnya.

Di luar kegiatan majalah sekolah, Mahbub juga rajin menulis esai, puisi, dan cerpen untuk majalah lain. Tercatat, tulisan-tulisannya dimuat di sejumlah majalah bergengsi saat itu, seperti Siasat, Mimbar Indonesia, Kisah, Roman, Star Weekly, dan Cinta.

Selain menulis karyanya sendiri, Mahbub juga aktif sebagai penerjemah. Di antara terjemahannya adalah Cakar-Cakar Irving (Art Buchwald), Hidup Baru Mulai di Umur 40 Tahun (Robert Paterson), 80 Hari Keliling Dunia (Jules Verne) yang menjadi kado ulang tahun salah satu anaknya, Di Kaki Langit Gurun Sinai (Hassan Heikal) yang ditulis di penjara pada 1978, Binatangisme (George Orwell), dan yang paling terkenal 100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Micheal H. Hart). 

Sementara karier jurnalistiknya dimulai pada 1958 di Duta Masyarakat, surat kabar milik Partai Nahdlatul Ulama (NU). Di kemudian hari, ia menjadi pemimpin redaksi koran itu. Sebagai surat kabar yang minim pendanaan, bisa dikatakan ia jungkir balik dalam mengurusnya. Selama bertahun-tahun, ia biasa menulis 1-2 tajuk rencana dalam sehari.

Di tangan Mahbub, surat kabar ini menjadi salah satu yang paling konsisten membela Pramoedya Ananta Toer di hadapan Orde Baru. Kelak, setelah surat kabar ini tak terbit lagi, pembelaan terhadap pengarang Tetralogi Buru tersebut terus dilakukannya. Salah satunya dengan mati-matian meminta Mendikbud Fuad Hasan membaca karya-karya Pramoedya.

“Orang yang seperti Pramoedya cuma satu dimusuhi terus-menerus. Padahal secara bahasa Pram mendidik kita,” kata Mahbub suatu kali kepada Ridwan Saidi.
Pramoedya juga mengagumi sosok Mahbub. Koesalah Toer dalam Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali (2006)menceritakan Pramoedya yang biasanya enggan diminta sambutan, maju ke depan forum saat peluncuran Sketsa Kehidupan dan Surat-surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi pada 1996. Pramoedya mengatakan, di kala ia diserang dari segala penjuru, hanya Mahbub yang membela.

Pembelaannya terhadap Pramoedya merupakan wujud konsistensinya melawan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal yang sama dilakukannya saat menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru. Dengan otoritasnya, ia memulihkan kembali status wartawan Josoef Isak yang dicap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan membantu usaha penerbitannya, Hasta Mitra.

infografik al ilmu mahbub djunaidi

Pendidikan Politik Lewat Tulisan

Selain penulis, Mahbub merupakan politikus dan aktivis. Ia merupakan anggota Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) saat SMA, anggota Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Ketua Umum pertama Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Wakil Ketua Umum Tanfidzhiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), dan Wakil Ketua DPP PPP.

Namun, sebagai politikus Mahbub lebih suka berada di luar lingkaran kekuasaan. Ia menolak tawaran Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo untuk jadi wakil gubernur DKI Jakarta. Pada pemilu 1977, ia pun memilih mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari Timor-Timor—daerah pemilihan yang mustahil PPP dapat konstituen. Satu-satunya jabatan politik yang pernah didudukinya adalah anggota DPR-GR/MPRS pada 1960.

Sebaliknya, seperti yang dikatakan Ridwan Saidi, Mahbub lebih suka menulis sampai akhir hayat. Menurut budayawan Betawi itu, menulis adalah aktivitas politik Mahbub. Lewat kolom-kolomnya, Mahbub memberi pendidikan politik. Salah satunya bisa dijumpai dalam "'Buku Petunjuk' Pendidikan Politik Sejak Dini" (Kompas, 10/5/1981).

Dengan "kembangan" ala Mahbub, cerita pelesiran bapak-anak ke kebun binatang disulap jadi modul singkat penjelasan tetek bengek ihwal politik.

“Pernah mendengar tentang hak asasi? Tentu pernah, walau mungkin hanya samar-samar. Itu penting kamu ingat-ingat mulai sekarang, karena hak asasi itu merupakan harta bendamu yang paling berharga. Jauh lebih berharga daripada rumahmu, sepedamu, sepatu roda dan bola tendangmu, digabung jadi satu. Sekarang barangkali belum begitu terasa arti pentingnya, tapi kalau kamu sudah dewasa kelak, dia akan merupakan suatu taruhan. Bisa membuatmu jadi manusia yang punya harga diri, tapi bisa juga membuatmu seperti seekor cacing.”
Jakob Oetama juga mengakui perjuangan Mahbub dalam memberikan pendidikan politik. Ia menyebut Mahbub sebagai seorang reformis yang menginginkan perubahan secara prosedural lewat pemilihan umum terbuka dan demokratis. Jalannya melalui politik praktis dan penguatan civil society seperti NU.

Untuk yang terakhir disebut, dalam memperjuangkan gagasannya Mahbub sempat berbeda pandangan dengan Abdurrahman Wahid. Pada Muktamar NU 1984, Mahbub memandang NU perlu menerapkan khittah plus, yakni organisasi tersebut tidak sekadar menjadi jamiah keagamaan, tapi tetap berpolitik sebagai partai.

Sebab, menurut Mahbub, dengan begitu organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut tak akan menjadi kuno dan dapat menjadi kekuatan besar untuk mendobrak terwujudnya demokrasi. Namun, gagasan tersebut akhirnya kalah dengan mayoritas pengurus NU yang mendukung gagasan Abdurrahman Wahid agar organisasi ini kembali ke khittah. Tidak berpolitik sama sekali. 

Pada 11 April 1978, akibat keluar masuk kampus buat orasi menentang Sidang Umum MPR, Mahbub dituduh subversif dan dijebloskan ke penjara oleh Orde Baru selama lebih kurang setahun. Selama di penjara, ia sempat menulis sebuah novel berjudul Angin Musim yang terbit pada 1985. Sejak saat itu, kesehatannya terus menurun.

Mahbub tak sempat menikmati demokrasi yang diperjuangkannya. Ia meninggal pada 1 Oktober 1995 di Bandung. Kematiannya membuat pilu keluarga dan sahabat-sahabatnya. Pramoedya, yang seminggu setelah pemakaman menziarahi kuburnya, berkata di depan pusara Mahbub:

“Bung orang baik. Semoga tenang dan bahagia di sana.”
___________________

Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Sumber: Tirto.Id 

Kamis, 17 Mei 2018

Aneh! Sudah Ada DKD, Pemkab Kebumen kok Bentuk KSBN

Thursday, May 17, 2018 

KEBUMEN - Pelantikan dan pengukuhan Komite Seni dan Budaya Nusantara (KSBN) Kabupaten Kebumen beberapa waktu lalu menjadi polemik. Hal ini lantaran di Kebumen sudah ada Dewan Kesenian Derah (DKD) yang selama ini cukup aktif melakukan pembinaan terhadap kesenian di Kabupaten Kebumen.



Pengurus KSBN Kabupaten Kebumen saat dilantik dan dikukuhkan di Pendopo Bupati Kebumen.
Di media sosial seperti facebook, sudah muncul berbagai tanggapan terhadap berita pelantikan pengurus organisasi masyarakat yang dilantik pada Minggu 13 Mei 2018 lalu.
Yang terasa aneh pelantikan dan pengukuhannya dilakukan oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Bambang Supriono. Padahal pada saat bersaman juga hadir Ketua Harian KSBN Jawa Tengah Prof Teguh Suprianto.

"Apakah KSBN merupakan organisasi bentukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, sehingga yang melantik harus salah seorang pejabatnya?," kata Budayawan Kebumen, Achmad Marzoeki, Kamis 16 Mei 2018.
Pria yang akrab disapa Kang Juki itu mengkritik dasar pembentukan KSBN, yakni sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Menurutnya, kalau bukan organisasi pemerintah, berarti organisasi kemasyarakatan (ormas). Sehingga pembentukannya mengikuti ketentuan UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
"Kalau bukan organisasi pemerintah, mengapa membawa jabatan dalam organisasi? Seperti pelantikan oleh Kabid Kebudayaan Disdikbud Jateng," ujar Kang Juki. 
Selain itu, nama-nama pengurus KSBN Kabupaten Kebumen juga disebutkan jabatannya, seakan kedudukan dalam KSBN merupakan jabatan ex officio. Seperti Ketua Umum Mahmud Fauzi (Pj Sekda), Ketua Harian Ahmad Ujang Sugiono (Kepala Dinas Pendidikan) dan sebagainya. 
"Apakah selaku petinggi Pemkab Kebumen, Mahmud Fauzi tidak mengetahui bila jabatan dalam pemerintahan tidak dibawa seseorang ketika menjadi pengurus ormas seperti KSBN," tegasnya.
Ia mengungkapkan, UU Nomor 5 Tahun 2017, tidak mengamanatkan pembentukan institusi tertentu. Seperti halnya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dalam Pasal 43 ayat (1) mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terkait masalah ini, lanjut dia, Plt Bupati Kebumen perlu memberikan teguran kepada Pj Sekda. Pada saat Pemkab Kebumen memerlukan pembenahan birokrasi pasca OTT KPK, 15 Oktober 2016, yang sampai saat ini belum tuntas penanganannya, Pj Sekda justru "menggiring" sejumlah pejabat menjadi pengurus ormas yang sama sekali tidak terkait dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing. 
"Bahkan dikhawatirkan bisa memicu terjadinya penyimpangan dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran kegiatan yang terkait dengan pemajuan kebudayaan," tandasnya.
Sebelumnya, Pengurus Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Kabupaten Kebumen periode 2018-2023 resmi dikukuhkan di Pendopo Bupati Kebumen. Pelantikan dan pengukuhan itu dilakukan oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Bambang Supriono. 

Meski fokus pada seni dan budaya, jajaran pengurus KSBN Kabupaten Kebumen didominasi oleh pejabat di lingkungan Pemkab Kebumen. Untuk pengurus harian, Ketua Umum dijabat oleh Mahmud Fauzi (Pj Sekda), Ketua Harian Ahmad Ujang Sugiono (Kepala Dinas Pendidikan). Sekretaris Umu Achmad Pinuji (Kabag umum), Sekretaris Sudirman (Sekretaris Disdik), dan Bendahara Umum Dyah Woro Palupi (Kepala BPKAD). (*)


Sumber: IniKebumen.Net 

Rabu, 16 Mei 2018

Baru Dilantik, Keberadaan KSBN Menuai Kritik



dok/ekspres
KEBUMEN - Pelantikan dan pengukuhan Komite Seni dan Budaya Nusantara (KSBN) Kabupaten Kebumen beberapa waktu lalu menjadi polemik. Hal ini lantaran di Kebumen sudah ada Dewan Kesenian Derah (DKD) yang selama ini cukup aktif melakukan pembinaan terhadap kesenian di Kabupaten Kebumen.

Di media sosial seperti facebook, sudah muncul berbagai tanggapan terhadap berita pelantikan pengurus organisasi masyarakat yang dilantik pada Minggu (13/5/2018) lalu.

Yang terasa aneh pelantikan dan pengukuhannya dilakukan oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Bambang Supriono. Padahal pada saat bersaman juga hadir Ketua Harian KSBN Jawa Tengah Prof Teguh Suprianto.

"Apakah KSBN merupakan organisasi bentukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, sehingga yang melantik harus salah seorang pejabatnya?," kata Budayawan Kebumen, Achmad Marzoeki, Rabus (16/5/2018).
Pria yang akrab disapa Kang Juki itu mengkritik dasar pembentukan KSBN, yakni sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.


Menurutnya, kalau bukan organisasi pemerintah, berarti organisasi kemasyarakatan (ormas). Sehingga pembentukannya mengikuti ketentuan UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.

"Kalau bukan organisasi pemerintah, mengapa membawa jabatan dalam organisasi? Seperti pelantikan oleh Kabid Kebudayaan Disdikbud Jateng," ujar Kang Juki.
Selain itu, nama-nama pengurus KSBN Kabupaten Kebumen juga disebutkan jabatannya, seakan kedudukan dalam KSBN merupakan jabatan ex officio. Seperti Ketua Umum Mahmud Fauzi (Pj Sekda), Ketua Harian Ahmad Ujang Sugiono (Kepala Dinas Pendidikan) dan sebagainya.
"Apakah selaku petinggi Pemkab Kebumen, Mahmud Fauzi tidak mengetahui bila jabatan dalam pemerintahan tidak dibawa seseorang ketika menjadi pengurus ormas seperti KSBN," tegasnya.
Ia mengungkapkan, UU Nomor 5 Tahun 2017, tidak mengamanatkan pembentukan institusi tertentu. Seperti halnya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dalam Pasal 43 ayat (1) mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terkait masalah ini, lanjut dia, Plt Bupati Kebumen perlu memberikan teguran kepada Pj Sekda. Pada saat Pemkab Kebumen memerlukan pembenahan birokrasi pasca OTT KPK, 15 Oktober 2016, yang sampai saat ini belum tuntas penanganannya, Pj Sekda justru "menggiring" sejumlah pejabat menjadi pengurus ormas yang sama sekali tidak terkait dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing.
"Bahkan dikhawatirkan bisa memicu terjadinya penyimpangan dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran kegiatan yang terkait dengan pemajuan kebudayaan," tandasnya.
Sebelumnya, Pengurus Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Kabupaten Kebumen periode 2018-2023 resmi dikukuhkan di Pendopo Bupati Kebumen, Minggu (13/5). Pelantikan dan pengukuhan itu dilakukan oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Bambang Supriono.

Meski fokus pada seni dan budaya, jajaran pengurus KSBN Kabupaten Kebumen didominasi oleh pejabat di lingkungan Pemkab Kebumen. Untuk pengurus harian, Ketua Umum dijabat oleh Mahmud Fauzi (Pj Sekda), Ketua Harian Ahmad Ujang Sugiono (Kepala Dinas Pendidikan). Sekretaris Umu Achmad Pinuji (Kabag umum), Sekretaris Sudirman (Sekretaris Disdik), dan Bendahara Umum Dyah Woro Palupi (Kepala BPKAD).(ori)


Sumber: KebumenEkspres.Com

Senin, 14 Mei 2018

Dikukuhkan, Pengurus KSBN Kebumen Didominasi Pejabat

Monday, May 14, 2018

KEBUMEN - Pengurus Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Kabupaten Kebumen periode 2018-2023 resmi dikukuhkan di Pendopo Bupati Kebumen, Minggu 13 Mei 2018. Pelantikan dan pengukuhan itu dilakukan oleh Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Bambang Supriono. 

Pengurus KSBN Kabupaten Kebumen saat dilantik dan dikukuhkan di Pendopo Bupati Kebumen, Minggu sore.

Meski fokus pada seni dan budaya, jajaran pengurus KSBN Kabupaten Kebumen didominasi oleh pejabat di lingkungan Pemkab Kebumen. Untuk pengurus harian, Ketua Umum dijabat oleh Mahmud Fauzi (Pj Sekda), Ketua Harian Ahmad Ujang Sugiono (Kepala Dinas Pendidikan). Sekretaris Umu Achmad Pinuji (Kabag umum), Sekretaris Sudirman (Sekretaris Disdik), dan Bendahara Umum Dyah Woro Palupi (Kepala BPKAD).

Hadir pada acara tersebut Ketua Harian KSBN Jawa Tengah Prof Teguh Suprianto, Pj Sekda Kebumen Mahmud Fauzi, serta sejumlah pejabat lainnya di lingkungan Pemkab Kebumen. 

Dalam sambutannya Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Bambang Supriono, mengatakan KSBN bukan organisasi pemerintah. Namun pembentukannya sesuai yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. 

"Dengan terbentuknya KSBN kabupaten/ kota di Jawa Tengah, dia sangat optimistis pemajuan seni budaya akan semakin cepat terlaksana," kata Bambang Supriono, yang membacakan sambutan tertulis.
Menurutnya, adanya Undang-undang tersebut mengharuskan pemerintah melakukan upaya perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, serta pembinaan. Sehingga dalam memajukan pembangunan daerah pemerintah tidak hanya fokus terhadap pembangunan fisik maupun ekonomi, tetapi juga harus melakukan pembangunan dari aspek seni budaya.
"KSBN merupakan organisasi yang berfungsi untuk mengoordinasikan seni budaya yang ada di wilayah masing-masing," ujarnya. 
Pj Sekda Kebumen Mahmud Fauzi, berhaarap dengan dikukuhkannya KSBN di Kabupaten Kebumen, keberadaannya akan mendukung pembangunan seni, budaya dan pariwisata. Apalagi Kabupaten Kebumen kaya akan seni dan budaya. 
"Keberadaan KSBN bisa menjadi sebuah energi baru. Selain itu juga bisa menjadi wadah berkumpulnya insan seni dan budaya, untuk merumuskan langkah bersama melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya kita," papar Mahmud Fauzi.(*)


Sumber: IniKebumen.Net 

Senin, 07 Mei 2018

Memperingati Maestro Tari Topeng Mimi Rasinah


Aryono | 7 Mei 2018, 11:20



Untuk pertama kalinya peringatan maestro tari topeng Mimi Rasinah dengan cukup besar. Melibatkan seniman nasional dan internasional.

Aerli Rasinah tengah menarikan tari topeng Panji yang tenang. Foto: Aryono/Historia.

BULAN baru muncul. Aroma dupa semerbak di sekitar taman Tugu Perjuangan, Kabupaten Indramayu. Sekira 21 penari bertopeng Klana dari berbagai usia, masuk memenuhi panggung yang sudah tertata, dan menari dengan dinamis. 
Mereka memakai kedok berwarna merah menyala, senada dengan warna kostumnya.

Gerakan para penari ini nampak tangkas dan telengas diiringi komposisi gending yang rancak. Tak beberapa lama, para penari duduk bersila. Dari belakang panggung terlihat siluet sepasang penari sedang bergerak lembut. Kemudian muncul seorang penari perempuan dengan rambut sepinggang, membawa topeng yang masih terbungkus mori putih. Dia bergerak ke tengah, melangkahi para penari yang duduk bersila.

Tepat di tengah, penari ini berdiri dengan kaki dibuka hingga selebar bahu. Topeng yang semula terbungkus, kemudian dibuka dan dipakai. Kedoknya berwarna putih, menandakan karakter Panji. Gerakannya hanya perlahan meski diiringi gending yang dinamis. Itulah tari topeng Panji yang diperagakan oleh Aerli, cucu maestro tari topeng dari Indramayu: Mimi Rasinah.

Penampilan Aerli sebagai Panji dan 21 siswinya sebagai Klana membuka acara Tribute to Mimi Rasinah, yang dihelat selama dua hari, 4-5 Mei 2018.
“Sebenarnya acara demikian kami helat setiap tahun, namun kali ini memakai nama acara dari bahasa Inggris karena kami mengundang beberapa rekan seniman dari luar negeri untuk meramaikan acara ini,” ujar Ade Jayani, suami Aerli Rasinah, kepada Historia.
Agenda tahunan ini adalah wujud generasi sekarang, anak dan cucu Rasinah, untuk kembali mengingat pendahulu mereka.
“Acara ini disebut ngunjung, yaitu menghargai serta mengingat kembali apa yang dilakukan pendahulu, bahwa apa yang kita miliki sekarang adalah hasil perjuangan para pendahulu. Misalnya, bangunan sanggar Mimi Rasinah yang sekarang sudah kokoh, adalah dari perjuangan beliau melestarikan seni topeng. Kami sekarang pun tak harus mengikuti musim ketika latihan, kami sudah aman dari panas dan hujan,” terangnya.

Sarat Ritual

Sehari sebelum pagelaran Tribute to Mimi Rasinah, kesibukan luar biasa terjadi di sanggar tarinya. Waci (53), putri mendiang Mimi Rasinah, konsentrasi penuh saat merangkai bunga melati menjadi kalung. Setelah itu, dia kembali sibuk menyusun jajanan pasar, telur ayam kampung, minuman kopi, teh, susu dan kelapa hijau di atas tampah. Kemudian, dia membawa sesaji itu ke dekat kotak berisi topeng kayu, selendang dan beragam alat peninggalan Mimi Rasinah.
“Sudah hampir magrib, ritual harus lekas selesai,” ujar Aerli.
Aerli lalu duduk di depan kotak dan mengeluarkan topeng satu per satu. Dengan tekun, dia mengasapi sekira 12 topeng beragam karakter dengan hio yang terbakar. Ritual ini rutin dilakukannya setiap malam Jumat.
“Topeng-topeng ini berasal dari kayu yang sudah berumur lama. Jadi harus diasapi supaya terhindar dari serangan serangga kayu, dan juga wangi,” ujar Aerli. Topeng-topeng itu dibiarkan di luar kotak semalaman.
Keesokan harinya, orang-orang tua siswa sanggar seni tari Mimi Rasinah di Desa Pekandangan, Indramayu, datang membawa tumpeng lengkap dengan lauk pauknya. Ada 30 tumpeng dan beberapa makanan lain. Semua itu sesuai kemampuan masing-masing orang tua siswa. Jika tak mampu membawa tumpeng, dapat membawa buah-buahan bahkan ada yang hanya membawa telur asin. Semua makanan disusun di tengah sanggar dan semua yang hadir duduk mengelilinginya. Seorang pemuka agama memimpin doa selamatan pagi itu. Usai doa, Aerli selaku tuan rumah mempersilakan kepada segenap yang hadir untuk menikmati tumpeng-tumpeng tersebut.

Selepas salat Jumat, semua yang hadir di sanggar menuju makam Mimi Rasinah yang terletak di samping rumah. Mereka menabur bunga dan memanjatkan doa untuk Mimi Rasinah. Akhirnya, di bawah terik matahari, siswi-siswi berkostum tari merah berbaris menuju lokasi pagelaran.
“Tiap tahun kami selalu mengenang Mimi Rasinah dalam bentuk pagelaran, namun sebatas di sanggar saja. Nah, ini kami mencoba untuk pertama kalinya memperingati Mimi Rasinah dengan cukup besar dengan melibatkan seniman-seniman lain baik dari lingkup nasional atau internasional,” terang Ade Jayani.
Seniman yang mendukung pagelaran itu antara lain Bundengan grup (Wonosobo), Wayang Angslup (Solo dan Italia), Lengger Lanang Langen (Banyumas), Wergul W Darkum (Indramayu), Modivad Filsofica (Argentina), Victor Melendez Bona (Spanyol), Inig Sanz Vega (Spanyol), Katia Sophia Ditzler (Jerman), Noopur Singah (Singapura), dan Christian (Costarica).

Sumber: Historia 

Kamis, 03 Mei 2018

Tiga Sosok Peraih Anugerah Budaya UI

FathurrazakKamis, 03 Mei 2018, 15:10 WIB




Ilustrasi
FAKULTAS Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia kembali menggelar Anugerah Budaya. Sejak 2005, Anugerah Budaya telah memberikan penghargaan kepada delapan seniman lintas disiplin.
Tahun ini, penghargaan dianugerahkan lewat tiga kategori, seniman tradisi, seniman modern, dan pembina seni. Disaring dari 15 kandidat seniman lintas disiplin yang masuk kriteria, di antaranya Dolorosa Sinaga, FX Harsono, Heri Dono, Nasirun, Tisna Sanjaya, Tony Q Rastafara, Iman Rahman Anggawiria Kusumah (Kimung), Umbu Landung Paranggi, dan Eddie Marzuki Nalapraya. Ketiga nama terakhir ditahbiskan sebagai penerima Anugerah Kebudayaan 2018 FIB UI.
Kimung, merupakan eks bassist Burgerkill, band metal asal Ujung Berung, Jawa Barat yang namanya sudah tenar di kancah internasional. Ia mendapat anugerah pada kategori seniman tradisi dalam upayanya melestarikan alat musik tradisional khas Sunda, Karinding. 
Bersama kelompok musik Karinding Attack (Karat), Kimung mengeksplorasi alat musik jenis harpa mulut itu, dan menngangkat pamor itu di ranah anak metal.
"Sudah 10 tahun saya mengenal Karinding, seperempat hidup saya. Berawal dari musik metal, saya dan teman-teman membangkitkan kembali Karinding di tahun 2008. Saya berkeliling di Jawa Barat, Belanda, Portugal, Prancis, Praha, dan Jerman, untuk mengejar sejarah di balik kesederhanaan Karinding, yang memuat begitu banyak hal termasuk tentang kesmestaan," ungkap lelaki yang juga aktif menulis buku ini pada pidatonya seusai menerima Anugerah Budaya, di Auditorium IX UI, Depok, Kamis (3/05).
Untuk kategori seniman modern, dianugerahkan pada sosok yang selalu tampil di 'dapur' meramu para seniman kenamaan. Ialah Umbu Landu Paranggi. Lelaki kelahiran 1943 itu ada dibalik kemunculan nama-nama seniman dua generasi, era 1980-an saat di Yogyakarta bersama Persada Studi Klub bentukannya, dan setelah pindah di Bali, ia juga yang membidani kemunculan penyair-penyair muda medio 2000-an.
Emha Ainun Najib adalah salah satu nama dari sekian yang mewakili medio awal. Memasuki era 2000-an, Cok Sawitri, Putu Fajar Arcana, adalah di antara mereka yang mendapat pengaruh Umbu.
Meski rambutnya sudah memutih, Umbu tidak memilih berhenti. Sejak 2013 silam, ia kemudian menginisasi kemunculan komunitas Jatijagat Kampung Puisi. Para anak muda merubung untuk mematangkan karya sastra.
Terakhir, Eddie Marzuki Nalapraya menerima Anugerah Budaya kategori pembina seni. Purnawirawan Jenderal TNI ini merupakan sosok sentral dalam perkembangan seni beladiri pencak silat di nasional dan dunia internasional. 
Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI) yang dibentuknya pada 1978 adalah salah satu upayanya dalam mempersatukan para pencak silat nusantara.
"Saya belajar bela diri dari kakek saya, dulu namanya maen pukulan. Belajar pencak silat mampu memenuhi aspek kehidupan di antaranya akhlak, mental, dan fisik. Saya lihat dari SD sampai SMA sudah ada pencak silat, dan saya merasa senang karena pekerjaan yang sudah saya lakukan selama ini untuk merawat budaya kita berarti sudah bisa dilihat ada penerusnya di dunia pencak silat. Tentu ini sangat membanggakan," papar Eddy.
Dalam sambutannya, Riri K Toha Sarumpaet, mewakili civitas FIB UI, menyatakan kini Anugerah Budaya juga sebagai salah satu upaya untuk mendukung implementasi UU Pemajuan Kebudayaan tahun 2017. Kualifikasi dalam penganugerahan itu dinilai dari lima aspek, berupa komitmen, konsistensi, produk, orisinalitas, dan signifikansi.
"Ketiga tokoh ini pilihan ini menunjukkan pada kita, harga dari dan pentingnya sebuah komitmen. Kita berterima kasih pada keteladanan mereka, dan dengannya kita berharap belajar dan dapat melanjutkan kerja kehidupan, membangun peradaban, dan dengan kesadaran tinggi belajar dan bekerja sama dengan para muda untuk memandang menyiapkan masa depan," tutup Riri.
Ketiga tokoh tadi merupakan teladan bagaimana seni dan budaya mampu diinovasikan untuk tetap hidup dan menghidupi jiwa anak muda. Kimung bersama komunitas metal di Ujung Berung, Umbu yang berpindah dari Yogyakarta hingga Bali dan tak pernah jauh dari calon penyair muda, serta bagaimana Eddy membumikan pencak silat sebagai bagian dari kebutuhan jasmani dan rohani pendekar muda.(A-5)
Sumber: MediaIndonesia