Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Senin, 16 Maret 2015

Cerita Menak: Warisan Budaya Islam di Indonesia

March 16, 2015
Oleh: Susiyanto, MA. – Penulis adalah dosen IAIN Surakarta.


Setelah epos Mahabarata dan Ramayana, cerita Menak merupakan karya fiksi yang banyak menginspirasi orang Jawa dan Lombok, baik dari kalangan rakyat kecil hingga kaum pembesar pada jamannya. Dari cerita ini nyatanya telah lahir sejumlah karya sastra dan budaya yang bermutu tinggi dengan tanpa mengabaikan aspek moralitas. Cerita Menak merupakan inspirasi bagi lahirnya Wayang Menakyang sering dahulu dipentaskan sebagai tontonan rakyat kecil hingga bangsawan di Kraton.

Menyusul kemudian Wayang Golek Menak dan Wayang Orang Menak. Sejumlah sendratari juga lahir dari cerita Menak ini. Demikian juga seni ukir dan tatah sungging tidak mau ketinggalan mendapatkan inspirasi dari cerita yang sama. Termasuk juga membidani lahirnya sejumlah karya sastra lain yang mewarisi semangat cerita Menak.

Mengapa cerita ini sangat inspiratif bagi sebagian mereka ? Masyarakat Jawa umumnya sangat menyukai cerita-cerita kepahlawanan (epos) yang mengedepankan sifat kesatriyaan, keprajuritan, pantang menyerah, dan perjuangan juga lika-liku romantisme yang mengharu biru. Cerita Menak nyatanya mampu menawarkan semua sisi tersebut.  Selain itu cerita Menak juga memberikan ajaran moralitas yang tinggi.

Spirit Budaya dan Seni Islam

Pada dasarnya, cerita Menak adalah sebuah gambaran perjuangan kaum muslimin dalam melakukan dakwah dan jihad untuk meninggikan kalimat Allah. Sumber ceritanya berasal dari kitab “Qissa I Emr Hamza” yaitu sebuah karya sastra Persia pada era pemerintahan Sultan Harun Ar Rasyid (766-809 M). Karya sastra ini di Melayu kemudian dikenal dengan nama “Hikayat Amir Hamzah”.

Transliterasi awal terhadap kisah Amir Hamzah di Jawa dilakukan pada tahun 1717 M oleh Ki Carik Narawita (carik = jabatan untuk seorang Jaksa di Keraton), atas perintah Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Susuhunan Pakubuwana I di Kasunanan Kartasura. Hasil terjemahannya kemudian dikenal dengan nama “Serat Menak”.

Dalam karya berbahasa Jawa ini sejumlah nama mulai disesuaikan dengan pelafalan lidah Jawa, misalnya Osama bin Omayya menjadi Umarmaya, Qobat Shehriar menjadi Kobat Sarehas, Badiuz Zamandiubah menjadi Imam Suwangsa, Mihrnigar menjadi Dewi Retna Muninggar, Unekir menjadi Dewi Adaninggar, Amir Hamzah menjadi Amir Ambyah, dan lain sebagainya. Perlu diketahui sebelum terjadi proses transliterasi ini, sebenarnya cerita Menak ini telah lebih dahulu popular di kalangan masyarakat Jawa.

Pada masa selanjutnya “Serat Menak” ditulis ulang dengan menggunakan tembang Macapat oleh Raden Ngabehi Yasadipura I dan diteruskan oleh Raden Ngabehi Yasadipura II, keduanya adalah pujangga besar dari Kasunanan Surakarta.  

Karya kedua pujangga tersebut pernah dipublikasikan dalam buku beraksara Jawa oleh Balai Pustaka  pada tahun 1925. Cerita Menak dalam karya kedua pujangga tersebut merupakan bentuk pengembangan bebas dari karya terjemahan Bahasa Melayu yang sebelumnya diprakarsai oleh Ki Carik Narawita. Unsur-unsur mistik Jawa mulai muncul dalam karya ini. Namun demikian spirit yang mengilhami alur kisahnya tidak lenyap sama sekali. Penceritaan dalam gaya tembang justru memperlihatkan keindahan bahasa dan sastra tingkat tinggi yang sebanding dengan style yang dimiliki cerita Panji. Cerita Menak ini terdiri dari 48 jilid. Jika dikalkulasi maka keseluruhan isi “Serat Menak” terdiri dari 2.050 halaman. Sebuah karya sastra Islam yang sangat fantastis di Jawa.

Serat Menak Kustup karya R. Ng. Yasadipura I, sebuah episode cerita Menak di Jawa. (Koleksi : Susiyanto)

Setelah melalui dialektika yang panjang, Prabu Nursewan akhirnya mengucapkan kalimat syahadat dihadapan Amir Ambyah. (Illustrasi : Susiyanto)

Selain itu terdapat juga buku “Serat Menak Branta” yaitu cerita Menak yang bisa dikatakan sebagai versi Mataram atau versi Yogyakartanan. Naskah asli Serat Menak Branta ini dikerjakan oleh Adi Triyono dan Tukiyo atas perintah Gusti Kanjeng Ratusasi, putri dari Sri Sultan Hamengku Buwana VI. Isinya secara umum tidak jauh berbeda dengan “Menak Gandrung” karya Raden Ngabehi Yasadipura, namun disajikan secara berbeda dengan mempergunakan gaya bahasa yang lebih mudah dicerna.

Dakwah dan Jihad

Isi cerita Menak ini mengisahkan perjuangan umat Islam sebelum masa kerasulan Nabi Muhammad saw. Di tengah kekafiran dan kejahiliyahan yang berkembang di sejumlah negeri di Timur Tegah, terdapat kaum hanif yang tetap menjalankan ajaran dari millah Nabi Ibrahim, yaitu Agama Islam. Jadi Agama Islam yang dimaksud dalam cerita Menak sebenarnya adalah ajaran Allah yang telah dimulai sejak masa kehidupan Nabi Adam. Cerita ini secara tersirat juga menegaskan bahwa Agama Allah satu-satunya hanyalah Islam.

 Sementara itu terdapat agama yang lain yang muncul sebagai bentuk distorsi dari ajaran nabi-nabi sebelumnya.  Kaum hanif ini terus berjuang menegakkan kalimat Allah dengan menghadapi tantangan kaum kafir, sambil menantikan kedatangan Nabi akhir zaman yang akan segera tiba, bernama Nabi Muhammad.

Tokoh cerita utamanya adalah Amir Ambyah (Amir Hamzah). Diceritakan bahwa ia sangat rajin berdakwah dan melakukan akivitas jihad. Hasil perjuangannya, sejumlah raja-raja kafir berhasil disyahadatkan sehingga mengakui Allah sebagai Illah dan Nabi Muhammad, nabi akhir zaman yang akan segera tiba, sebagai utusan Allah. Salah satu tokoh yang berhasil diislamkan adalah mertuanya sendiri yang bernama Prabu Nursewan atau Nusirwan (Anusyirwan), raja Medayin.

Tokoh Amir Ambyah memiliki banyak sekali julukan antara lain Wong Agung Menak, Wong Agung Jayengrana, dan Wong Agung Jayengresmi. Sebutan Wong Agung Menak ini yang kemudian digunakan oleh pujangga-pujangga Jawa untuk menamakan kitabnya sebagai “Serat Menak”.

Disebut Wong Agung Jayengrana sebab Amir Ambyah selalu berjaya dalam setiap pertempuran yang diikutinya. Amir Ambyah disebut sebagai Wong Agung Jayengresmi karena ia bukan hanya pahlawan di medan perang, namun ia memiliki sisi keromantisan terhadap pasangan hidupnya. Amir Ambyah merupakan tokoh yang pandai memelihara keutuhan rumah tangganya, meskipun memiliki istri lebih dari satu. Dalam hal ini Amir Ambyah memiliki karakter yang mirip Arjuna dalam epos Mahabarata versi Jawa, namun tidak pada karakteristik “playboy” yang dimiliki tokoh Pandawa tersebut.

Menariknya, kisah perjuangan Amir Ambyah ini bukan hanya berhenti pada akhir kehidupannya sendiri. Pada era itu banyak golongan ahlu kitab yang sedang menanti kedatangan nabi akhir zaman bernama Ahmad (Muhammad) yang namanya telah tertulis dalam kitab-kitab terdahulu.

Namun kebanyakan golongan ini justru mengingkari setelah Allah menggenapi ketentuannya dengan kedatangan utusan Allah tersebut. Amir Ambyah termasuk pihak yang beruntung. Ia secara sukarela menerima ajaran risalah Islam yang telah disempurnakan dimasa kerasulan nabi akhir zaman tersebut. Pengingkaran terhadap keberadaan sang nabi umumnya disebabkan oleh kesombongan yang ada pada diri mereka, penyembahan berhala yang masih menggejala, dan rasa gengsi yang berlebihan di antara kaum ahli kitab. Dengan demikian perjuangan dakwah dan jihad Amir Ambyah menyebarkan agama Islam sejak zaman sebelum kerasulan tetap akan berlanjut pada masa setelahnya.

Pengembangan Budaya

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa cerita Menak telah menjadi inspirasi bagi lahirnya sejumlah produk budaya.Wayang Kulit Menak atau disebut sebagai Wayang Menak hanya merupakan salah satu wujudnya. Wayang Menak ini awalnya dibuat oleh Kyai Trunadipa, seorang tabib dan ahli kebatinan yang memiliki tekad untuk menyiarkan Agama Islam, dari Baturetno, Wonogiri (dahulu termasuk wilayah Kasunanan Surakarta).
“Boneka” wayangnya, sebagaimana Wayang Purwa, terbuat dari kulit kerbau yang ditatah dan disungging.

Pementasannya dilakukan dengan mempergunakan perlengkapan layar kelir dan batang pisang untuk menancapkan wayang. Juga mempergunakan blencong sebagai penerang, cempala, serta kepyak. Peraga karakter  cerita Menak terdiri dari kurang lebih 350 buah wayang. Sedangkan sumber ceritanya mengacu pada “Serat Menak” karya Raden Ngabehi Yasadipura I dan II.

Wayang Menak juga mengenal keberadaan cerita pakem dan carangan. Cerita Pakem merupakan kisah Menak yang dianggap sebagai cerita utama, sedngkan cerita carangan merupakan wujud pengembangan cerita yang bersifat dinamis namun tetap tidak meninggalkan pakemnya. Dewasa ini wujud wayang Menak ini masih bisa disaksikan disejumlah museum seperti Musium Yayasan Kekayon dan Musium Sanabudaya di Yogyakarta.

Setelah melalui dialektika yang panjang, Prabu Nursewan akhirnya mengucapkan kalimat syahadat dihadapan Amir Ambyah. (Illustrasi : Susiyanto)

Selain dalam wujud wayang kulit, cerita Menak juga menjadi sumber ide bagi lahirnya Wayang Golek Menak. Berdasarkan tradisi, Wayang Golek Menak ini awalnya diciptakan oleh Sunan Kudus. Hal ini bukan hal yang aneh mengingat bahwa cerita Menak ini sebenarnya telah lebih dahulu popular bahkan sebelum proses transliterasi terhadap “Hikayat Amir Hamzah” dilakukan.

Awalnya jumlah boneka (golek) Menak terdiri dari 70 buah saja. Namun seiring berjalannya waktu serta kebutuhan cerita akibat berkembangnya versi cerita carangan, maka jumlah boneka wayang tersebut makin bertambah banyak, sekitar 150 hingga 200 buah. Pada masa kejayaannya pentas Wayang Golek Menak memiliki jangkauan di sejumlah daerah di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur. Di antaranya Yogyakarta, Surakarta, Kebumen, Bojonegoro, dan lain sebagainya.

Namun saat ini keberadaan Wayang Golek Menak seolah telah tergeser oleh laju jaman. Meskipun demikian belum lenyap sama sekali. Wayang Golek Menak justru menjadi tontonan elit bagi wisatawan asing dan kalangan penikmatnya yang dipertunjukkan di sejumlah hotel berbintang di Yogyakarta. Waktu pertunjukannya dipadatkan hanya menjadi tiga jam.
 Sayangnya, dengan demikian totonan ini tidak lagi dapat dijangkau oleh kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah secara luas.

Saking menariknya, Sultan Hamengku Buwana IX kemudian mengabadikan kisah monumental Menak tersebut dalam bentuk sendratari. Rangkaian gerakan tari tersebut dikenal dengan nama “Beksa Golek Menak”.

Ciri khas yang paling menonjol dari tari Menak ini terletak pada lemah gemulai tari yang memasukkan unsur bela diri Pencak Silat yang telah diperhalus gerakannya. Pencak Silat pada era ini merupakan salah satu kecakapan yang dibutuhkan dalam olah  keprajuritan. Harapannya dengan menjadikannya sebagai sendratari maka keberadaan cerita ini, unsur kehalusan tari, dan sekaligus beberapa gerakan pencak silat yang ada dapat dijaga kelestariannya.

Selain versi sendratari Menak yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana IX tersebut, di Yogyakarta sendiri juga berkembang semacamWayang Wong Menak (Wayang Orang Menak) yang berorientasi pada humor. Meskipun demikian pesan-pesan moral yang disampaikan tetap tidak menjadi kabur. Tokoh yang banyak digunakan dalam wayang orang versi ini adalahUmarmaya dan Umarmadi, dua tokoh yang digambarkan memiliki selera humor tinggi dalam cerita Menak.

Perkembangan cerita Menak ini bukan hanya menjadi milik Jawa saja. Jika tanah Melayu telah menyediakan sumber cerita yang mudah diakses, maka suku Sasak di Lombok merupakan salah satu lahan subur bagi hidupnya cerita Menak ini. Di sana cerita Menak telah menjadi sebuah tradisi lesan yang ceritakan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Versi cerita yang berkembang juga menjadi semakin bervariasi. Pengembangan Wayang kulit maupun golek Menak di daerah ini juga mengalami nasib yang hampir serupa dengan di Jawa, hidup enggan mati pun segan. Pada akhirnya, produk kebudayaan ini akan mencari jalannya agar bisa tetap eksis dalam berbagai bentuk. Diprasastikan oleh produk publikasi media masa, diawetkan oleh museum, dan dikenang sebagai bagian dari sejarah.

Sejumlah primbon Jawa yang ada hingga hari ini, ternyata juga mengambil nama dari cerita Menak. Perlu dipahami primbon merupakan buku-buku yang memuat tradisi mistik dan klenik di Jawa. Biasanya kitab primbon selalu akan mengambil nama-nama yang dianggap menarik sehingga mampu memikat pembaca untuk menekuni bacaannya. Rupanya cerita Menak ini juga memebri inspirasi yang sama bagi kaum kebatinan yang menciptakan primbon. Sebut saja nama-nama seperti Primbon Adam Makna, Primbon Betal Jemur, Primbon Bekti Jamal, Primbon Lukman Hakim Adam Makna, Primbon Kuraisyin Adam Makna, dan lain sebagainya.

Istilah “Adam Makna” berasal dari nama sebuah kitab legendaris dalam cerita Menak yaitu Kitab Adam Makna, semacam kitab fikih yang memuat makna, rahasia, dan tuntunan hidup bagi manusia agar dapat menjalani kehidupannya dengan sempurna. Bekti Jamal dan Betal Jemuradalah nama karakter yang pernah menjadi pemilik Kitab Adam Makna. Betal Jemur adalah putra dari Raden Bekti Jamal. Tokoh Amir Ambyah pernah menjadi anak angkat sekaligus murid dari Betal Jemur.

Ada pun Lukman Hakim merupakan ayah dari Raden Bekti Jamal. Lukman Hakim disebut-sebut sebagai tokoh yang memiliki kemampuan seperti Nabi Sulaiman. Sedangkan Kuraisyin adalah nama dari salah satu putri Amir Ambyah dari istrinya yang bernama Dewi Ismayawati, putri Prabu Tamimasyar dari kerajaan Ngajrak.

Keempat kitab di atas, selain Primbon Bekti Jamal, diyakini merupakan karya Raden Ngabehi Yasadipura I. Dengan demikian dapat dinilai bahwa pujangga tenar Kasunanan Surakarta ini cerita Menak yang gubahannya sangat membekas dihatinya. Sedangkan Primbon Bekti Jamal merupakan karya Raden Tanoyo, budayawan yang hidup jauh pada beberapa generasi selanjutnya. Hal ini menunjukkan bahwa cerita Menak memiliki kepopuleran yang melintasi jaman.

Meskipun nama-nama dalam cerita Menak dipopulerkan oleh sejumlah kitab primbon, namun antara keduanya memiliki perbedaan titik tolak yang mendasar. Cerita Menak mewakili semangat perjuangan menegakkan ajaran Islam. Sedangkan sejumlah kitab primbon yang ada tersebut menunjukkan bahwa kaum yang masih menggeluti kebatinan pada dasarnya tidak akan mampu dan bersedia suka rela melepaskan diri dari Islam dan kebudayaannya.

Sebab meskipun mereka belum sepenuhnya menjadi mukmin sejati, hati mereka sebenarnya tetap terpaut kepada Islam. Islam bagi mereka adalah agama ageman aji, agama pencerahan yang memberi mereka harga diri dan keselamatan sejati. Butuh waktu yang panjang dan bimbingan yang proporsional untuk berproses ke arah yang lebih baik. Insya Allah.

Wallahu a’lam bishshawwab

*Susiyanto, MA. – Penulis adalah dosen IAIN Surakarta.

BACAAN PENUNJANG:

Kamajaya (pimred.). 1985. Almanak Dewi Sri 1986. U.P. Indonesia, Yogyakarta
Sastroamidjojo, Dr. A. Seno. 1964. Renungan Tentang Pertundjukan Wajang Kulit. PT. Kinta, Jakarta
Sayid, R. M. 1958. Bauwarna Wayang: Wewaton Kawruh Bab Wayang. Percetakan Republik Indonesia, Yogyakarta
Sugito, Drs. Bambang. tth. Dakwah Islam Melalui Wayang Kulit. Penerbit Aneka, Surakarta
Wijanarko. tth. Selayang Pandang Wayang Menak: Salah Satu Bentuk Seni Tradisionil yang Wajib Kita Lestarikan. Amigo, Surakarta
Yasadipura I, Raden Ngabehi Yasadipura. 1933. Menak Sarehas. Balai Pustaka – Batawi Centrum, Jakarta
Yasadipura I, Raden Ngabehi. 1935. Menak Kustup. Jilid II. Balai Pustaka – Batawi Centrum, Jakarta