Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Rabu, 01 April 2020

Manusia, Sastra, Bunga


April 1, 2020 -  Galeri Buku Jakarta - Bandung Mawardi,


Aku tak mencintaimu sebab kau mawar, cempaka,
atau semak anyelir yang luput dilalap kelopak api.
Aku mencintaimu sebagai cinta yang tersembunyi,
dalam rahasia, berdiam di antara kelam dan cahaya.
_____________________________________
(Pablo Neruda, 100 Soneta Cinta, 2019)

Anggrek itu molek. Thailand, Indonesia, Singapura, dan pelbagai negara bersaing pamer anggrek-anggrek molek. Sekian negara mengadakan festival anggrek, mengundang orang-orang memandang takjub anggrek-anggrek.

Di majalah Pertiwi, 4-17 Mei 1987, Indonesia kalah oleh kegetolan Thailand dalam mengembangkan anggrek dan membuat acara-acara mendatangkan kaum gandrung bunga atau turis. Ikhtiar tampil di tatapan dunia diusahakan oleh PAI (Pecinta Anggrek Indonesia). Pada masa Orde Baru, usaha mengurusi dan memamerkan anggrek mendapat restu Ibu Tien Soeharto. Negara turut memberi kebijakan dan penghargaan demi kemonceran aggrek.

Anggrek telah terdengar di lagu. Dulu, orang-orang mendengar sambil berimajinasi melihat anggrek. Pemandang menganggap anggrek itu molek menggenapi hasrat asmara. Anggrek memikat bagi pemberi makna hidup berbunga. Pada masa lalu, kita lumrah melihat di depan rumah-rumah, ada pameran anggrek sekian warna. Pemandangan memberi bahagia, ketakjuban, dan keharmonisan. Indonesia “berbunga” setiap hari tapi tak melulu anggrek. Orang-orang hidup bersama dan memberi arti sekian bunga: melati, mawar, teratai, kantil, dan lain-lain.

Bunga pun milik pengarang. Pada masa 1970-an, Mochtar Lubis mencantumkan bunga untuk lakon sastra bakal bertumbuh di Indonesia. Di Horison edisi Desember 1977, ia menulis: “Sastra hendaknya adalah untuk hidup, tidak saja bagi manusia, akan tetapi juga untuk bunga teratai, untuk pohon yang tua, burung, rama-rama dan capung, batu di sungai, sungai dan anak sungai, danau dan lautan, dan gunung-gunung.”

Kita membaca itu renungan akhir tahun saat tatanan Orde Baru ingin segera mapan. Sastra ada di alur beragam untuk mengumumkan keindahan, kemanusiaan, religiositas, kekuasaan, etika, dan lain-lain.

Mochtar Lubis sempat memberi arahan sastra ke bunga. Ia tak sedang bernostalgia dengan sastra-sastra lama di Nusantara sering memberi deskripsi dan narasi berlebihan mengenai bunga-bunga. Di sastra Jawa, bunga itu lekas memikat dan mengikat pembaca sejak halaman-halaman awal. Bunga itu seperti tampak mata, terasa harum, dan memancarkan pesan-pesan: asmara, politik, kematian, dan lain-lain.

Mochtar Lubis saat menulis esai mungkin sedang “cuti” dari keributan politik atau kecerewetan slogan-slogan buatan pemerintah. Ia seperti di suasana tenteram saat menulis esai tak dianggap “terbaik” oleh para penggemar tulisan-tulisan Mochtar Lubis: cerita pendek, novel, dan esai.
“Setiap kata dalam sastra adalah sebuah benih yang ditanam dalam kebun zaman-fikiran yang digambarkan oleh kata-kata ini mungkin hilang, akan tetapi juga dapat timbul kembali, sama segarnya seperti ketika mula-mula disusun oleh pengarangnya – mungkin akan dapat merebut imajinasi generasi-generasi – dan generasi demi generasi ini mungkin pula akan dapat merobah masyarakat demi masyarakat, dan dengan demikian merobah arus sejarah,” tulis Mochtar Lubis.
Kita membaca sambil mengarahkan pandangan ke kebun, halaman, atau kalender bergambar bunga-bunga. Sastra ingin bermekaran. Sastra itu “berbunga” sepanjang masa.

Kita beralih ke pengalaman dan ingatan atas anggrek pada masa berbeda. Goenawan Mohamad mengingat diri masa 1960-an. Ia masih muda, tergoda berpikiran tema-tema besar. Politik itu wajib. Ia agak mengabaikan tetek bengek atau hal-hal kecil turut membentuk manusia dan zaman. Politik sering membingungkan dan memuat khianat-khianat. Goenawan Mohamad lekas insaf, menepi memberi diri ke hal-hal telanjur lama dilupakan. Di Tempo, 25 April 2004, ia mengenang:
“Sejak itu saya pun berusaha memasuki sebuah dunia bahasa yang lain – bahasa yang tak sarat dengan ide-ide tang merasa kekal dan kata benda abstrak. Saya membaca kembali puisi tentang cuaca, ranting, rama-rama, dan hal-hal fana lain yang anehnya membuat hidup berarti dan kita bersyukur.”
Pada masa 1960-an, ia sudah menggubah puisi-puisi tapi mendapat kemonceran dengan esai-esai sering dimuat di majalah Sastra asuhan HB Jassin.

Ketekunan membaca buku-buku garapan para filsuf dan pengarang dunia memberi tanda seru dan keinsafan. Goenawan Mohamad mulai mengerti keputusan Richard Rorty memilih anggrek hutan. Filsosof itu ingin melihat manusia dan dunia melalui anggrek. Di penggalan hidup, sang filosof diminta memilih: amggrek hutan atau gagasan revolusi.
“Tapi ia juga mencintai kembang anggrek liar yang tumbuh di pegunungan,” ingatan Goenawan Mohamad atas biografi Richard Rorty.
Anggrek mengalahkan kerumunan ide-ide besar bagi dunia. Anggrek itu bergelimang makna ketimbang pembesaran ideologi melahirkan kalimat-kalimat sloganistik atau khotbah penguasa menggunakan seribu tanda seru.

Kita di keisengan membaca penggalan-penggalan esai buatan dua orang ampuh dalam kesusastraan dan pers di Indonesia: Mochtar Lubis dan Goenawan Mohamad. Kita menandai sastra dan bunga saat pemandangan di rumah, jalan, kebun, dan sekolah terlalu berubah. Bunga-bunga sering absen. Di kalangan bocah ingin bermain, bersenandung, dan berimajinasi di TK, bunga-bunga sering gambar di tembok. 

Di sekolah atau kantor, kita telanjur memiliki ingatan bunga-bunga kertas dan plastik di atas meja. Di jalan, bunga adalah impian terlalu sulit diwujudukan oleh pemerintah. 
Di sekian kota, dana ratusan juta atau miliaran rupiah mulai digunakan membuat taman-taman bunga. Dalih birokrasi agar kita mewangi. Kita maklum dan mengerti berlangsung pemborosan, bukan pengisahan bunga-bunga. 

Di tatapan mata manusia abad XXI, bunga-bunga itu latar untuk berpotret. Peremehan tak terampukan. Begitu.
__

Bandung Mawardi, Esais. Penulis Dahulu: Mereka dan Puisi (2020)

Senin, 02 Maret 2020

Anti Lietrasi atawa Tidak Laku?


Darwati Utieh


HORISON tercatat majalah sastra berpengaruh di Indonesia. Di tahun 1970-an siapa pun seniman yang hendak diakui sebagai "sastrawan nasional" paling tidak pernah sekali karya mereka nongol di majalah ini entah puisi, cerpen, esai, atau naskah drama. Meski dalam perjalanan waktu kesan demikian pelan-pelan luntur namun tetap saja orang bernafsu setidaknya sebiji puisi mereka bisa terpacak di Horison sebagai bukti dokumentasi kepenyairan mereka.

Terbit pertama kali Juli 1966 sebagai "majalah sastra....yang kami harap cukup bermutu," seperti ditulis Mochtar Lubis, penanggung jawab majalah itu, dalam kata pengantar. 

Mochtar rasanya harus bergembira sejauh menyangkut mutu harapannya benar-benar mustajab. Edisi perdana hanya terbit 34 halaman kertas koran termasuk sampulnya. Bila diukur dari "selera pasar" format majalah ini rada susah menggoda pembeli umum.

Juli 2016, setengah abad kemudian, Horison telah berubah bentuk dalam segala hal baik kualitas kertas, rubrikasi, maupun sampul yang kian meriah.Tapi tiba-tiba Taufiq Ismail, salah seorang pendiri, menulis pengantar mengagetkan 
"....Horison cetak beralih ke Horison online mulai 1 Agustus 2016". Keputusan tersebut, tulisnya, berdasar pertimbangan pembiayaan dan kemajuan dunia penerbitan digital. Dengan kata lain edisi Juli itu adalah edisi terakhir Horison cetak.
Horison telah melakukan beragam upaya memikat pembaca. Mereka bekerja sama dengan Depdikbud mendistribusikan majalah ini ke seluruh sekolah menengah di Indonesia juga memasyarakatkan sastra di sekolah dan kampus. 

Hasilnya? Jauh dari keseimbangan neraca rugi-laba. Taufiq pun mengutip hasil pertemuan sastra sejagat di Rotterdam, Belanda, 2013, dimana-mana majalah sastra, demikian kesimpulan mereka, memang TIDAK LAKU.

Yang unik karya sastra justru menjadi bestseller di banyak benua. Novel sering meledak bahkan mengagetkan penulisnya. Mereka terkenal dan menjadi kaya terkadang hanya dengan satu novel saja. Publisher top saling senggol demi mendapatkan hak penerbitan. 

Para pengamat memuji karya mereka sebagai unik, tema cerita belum pernah disentuh penulis lain, bahasa mereka luar biasa memukau. Tapi mengapa karya sastra laku sedang majalah sastra tidak?


Minggu, 23 Februari 2020

Mendekati (dan Menikmati) Puisi Sebagai Teks


Mendekati (dan Menikmati) Puisi Sebagai Teks
February 23, 2020


Puisi memang bisa didekati sebagai sebuah teks. Dalam puisi ada wujud fisik dan ruh. Ada bentuk dan isi. Ada cara ucap ada bahan yang hendak diucapkan. Dari buku yang sama, kita dapat penjelasan bahwa untuk dapat disebut sebagai teks maka sebuah teks harus memenuhi unsur-unsur tekstualitas. Apa itu?

WUJUD fisik puisi itu adalah teks. Menikmati dan mencintai puisi tak mesti harus memahami itu. Tapi, puisi bisa didekati lewat jalan itu, memasukinya sebagai sebagai sebuah medan teks.

Apakah teks? Dalam bahasa Inggris, kini teks juga berarti pesan lewat SMS. “Text me…” berarti kirimi saya SMS. Orang Inggris, karena memang dekat dengan sumber etimologi kata teks itu, menyebut SMS sebagai teks untuk membedakannya dengan pesan yang bisa disampaikan lewat lisan melalui gawai yang sama yaitu ponsel. “Call me…”, lawannya adalah “text me…”.

Konsep teks, text, textum (dari sini juga turun kata tekstil yang tersusun dari jaringan benang), jaringan, muncul menjadi perhatian manusia dalam konteks memahami bahasa. Benang jaringan teks bahasa itu adalah kata-kata.

Lalu pengertian teks itu meluas, menjadi apa saja yang bisa dibaca dan “dibaca”, rambu lalu lintas, iklan, bentuk bangunan, gambar, lukisan, hamparan alam, gaya berpakaian, gerak tubuh, batuknya Pak Harto, kerdip mata Sukarno, diamnya Bung Hatta, senyumnya Dian Sastro, jambulnya Syahrini, dll.

Apa yang menyamakan semua itu? Ada segugus tanda dan simbol, yang daripadanya bisa ditangkap suatu pesan. Itu!

Teks bahasa dimaknai lewat semantik, bagian dari linguistik, yang juga merupakan cabang dari semiotik, satu ilmu yang dikembangkan untuk “membaca” atau memaknai teks, termasuk yang bukan teks bahasa (tulis).

Kita berenang dalam lautan teks. Kita dikepung teks. Baliho, status FB, pesan WA, berita, tweet, email, blog, komentar, dan lain-lain. Tak pernah kita terlelap dalam samudera teks sedahsyat hari-hari ini. Duhai manusia, duhai homo signans, seberapa kuat kita mampu memaknai semua paparan teks semenderu ini? Apakah sebanyak itu teks harus hadir di ruang publik dan ruang privat kita manusia modern ini?

Ah, daripada mumet, mari kita nikmati teks puisi saja. Ya, puisi adalah teks. Yang bisa dinikmati. Nah, biar terasa sedikit ilmiah, saya ingin mengutip apa definisi teks. Benny H. Hood (Semiotik & Dinamika Sosial Budaya) memakai definisi ini: teks adalah satu satuan kebahasaan (verbal) yang mempunyai wujud dan isi, atau segi ekspresi dan segi isi.

Terbayang bukan bahwa puisi memang bisa didekati sebagai sebuah teks. Dalam puisi ada wujud fisik dan ruh. Ada bentuk dan isi. Ada cara ucap ada bahan yang hendak diucapkan.

Dari buku yang sama, kita dapat penjelasan bahwa untuk dapat disebut sebagai teks maka sebuah teks harus memenuhi unsur-unsur tekstualitas. Apa itu? Ada enam. Inilah dia:

1. Kohesi. Unsur-unsur pembentuknya mempunyai kaitan semantis, atau unsur pembangun makna. Penyair menjaga benar unsur ini, ketika ia menulis puisi. Antara lain dengan memilih diksi, membangun metafora, rima, ritme, pokoknya perangkat puitika itulah.

2. Koherensi. Segi isinya, sekali lagi isinya, dapat diterima karena memenuhi logika tekstual. Bukan hanya diterima. Tapi juga diterima dengan nikmat. Teks puisi harus menjanjikan kenikmatan tekstual. Dia harus istimewa dibanding teks bahasa biasa yang bukan puisi.

3. Intensionalitas. Ada intensi, ada tujuan. Ada udang-di-balik-batu-nya. Teks diproduksi dengan tujuan atau maksud tertentu. Puisi juga pasti mengandung itu. Penyair menulis puisi karena itu. Kalau tidak, dia tak akan menulis puisi. Meskipun tak selalu pembaca tahu dan tak perlu juga tahu apa tujuannya menulis puisi itu.

4. Keberterimaan. Teks berterima bagi masyarakat pembaca. Jika tidak, puisi sebagai teks, akan menjadi medan yang gelap, yang tertolak, yang tak diterima pembaca.

5. Intertekstualitas. Ada kaitan semantis dengan teks-teks yang lain. Nah, ini penting sekali dalam puisi. Goenawan Mohamad menyebutnya pasemon. Persemuan. Ada sesuatu yang dihadirkan, atau disusupkan ke dalam teks puisi, yang diam-diam membawa segugus teks dan makna lain. Ketika Chairil Anwar menulis “Ahasveros” dalam sajaknya, maka mitologi yang melibatkan nama itu, menjadi bagian dari makna puisi Chairil. Itu intertektualitas.

6. Informativitas. Ya, teks juga harus mengandung informasi dan pesan tertentu. Di dalam puisi, informasi itu tak terlalu penting lagi, tapi pesannya penting, dan bisa berganda-ganda, membangun atau terbangun dari ambiguitas dari unsur pembentuk teks puisi itu.

Nah, apakah penjelasan ini bikin puisi tampak menjadi semakin ribet? Maafkan, kalau begitu, dan lupakan saja. Kalau mau masih ada penjelasan yang lebih rumit. Puisi kok dilawan. Dekati dan terima puisi sebagai puisi saja. Kalau memang itu lebih nikmat untuk dilakukan.

Jakarta, 20 Februari 2020.

Minggu, 19 Januari 2020

Dolorosa Sinaga dan ‘Para Lelakinya’


Penulis: Desynovita - January 19, 2020

Dolorosa Sinaga secara terbuka membeberkan tentang ‘para lelakinya’. Namun bukan lelaki sebagai pasangan, melainkan adalah tentang karya-karyanya. Dolorosa dikenal sebagai pematung kenamaan Indonesia.

Selama 40 tahun berkarya, ia telah membuat 620 lebih karya. Produktivitasnya tidak pernah mengendur, bahkan terus meningkat baik secara jumlah maupun nilai. Sebagian besar dari ratusan karyanya adalah patung dengan sosok perempuan. Karena itu, patung laki-laki buatan Dolorosa menjadi menarik.

Menurut Lisabona Rahman, salah satu penulis buku Dolorosa Sinaga: Bentuk, Tubuh, Substansi yang akan segera diluncurkan pada akhir Januari mendatang, figur lelaki Dolorosa merupakan anomali dari karya-karyanya yang didominasi oleh figur perempuan dan merepresentasikan isu-isu perempuan.

Dalam tulisan Lisabona di buku tersebut, ia mengutip pernyataan Dolorosa,
 “Gue nggak bisa bikin cowok. Cuma dia (Widji Thukul –red) dan Dalai Lama yang cowok di sini. Gue mulai bikin lempung untuk jadi cowok, tapi pasti jadinya cewek dan tiba-tiba ada sanggulnya”.
Para lelaki Dolorosa inilah yang menjadi inspirasi sekaligus fokus utama perbincangan dalam acara diskusi bertajuk “Dolo dan Para Lelakinya: Potret dalam Karya Dolorosa Sinaga”, yang diselenggarakan pada Sabtu, 18 Januari 2020 di Galeri Nasional Indonesia.

Patung potret laki-laki yang lahir dari tangan Dolorosa, yakni Dalai Lama, penyair Widji Thukul, Abdurrahman Wahid; proklamator kemerdekaan Indonesia Soekarno; dan penggugat kolonialisme Multatuli. 

Masing-masing patung tersebut ditanggapi oleh enam panelis, di antaranya Yori Antar sebagai penanggap karya potret Dalai Lama; Danial Indrakusuma penanggap potret Widji Thukul; Muhammad Sobary dan Abdon Nababan penanggap potret Abdurrahman Wahid (Gus Dur); Sukmawati Soekarnoputri dan Seno Gumira Ajidarma penanggap potret Soekarno; dan Bonnie Triyana sebagai penanggap potret Multatuli.

Diskusi yang diselenggarakan oleh Somalaing Art Studio, Galeri Nasional Indonesia, Institut Kesenian Jakarta, dan Poligrabs Creative Studio ini merupakan salah satu dari rangkaian acara prapeluncuran buku biografi Dolorosa Sinaga: Tubuh, Bentuk, Substansi.

Dicetak dalam dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (Dolorosa Sinaga: Body, Form, Matter), dengan editor Alexander Supartono dan Sony Karsono, buku ini akan diluncurkan pada 31 Januari 2020 di Galeri Nasional Indonesia.

*dsy/GNI

Rabu, 08 Januari 2020

Penyair, Identitas, dan Hal-hal yang Membuatnya Kembali Diperbincangkan


January 8, 2020


Ambisi meluap berbarengan dengan dorongan kuat untuk bisa diterima, tapi untuk membentuk suatu arus baru. “Bahkan jika kami semua sudah pernah memuat karya di The New Yorker, apakah itu menjadi tujuannya?” Namun, peralihan ke arus utama jarang terjadi tanpa adanya turbulensi.
_________________________________________________
Jesse Lichtenstein | Diterjemahkan dari “How Poetry Came to Matter Again”, SEPTEMBER 2018 ISSUE | (p)  Gabriel (ed) Sabiq Carebesth
______

DUNIA PUISI agaknya bukan tempat ‘adu warna kulit’, atau ‘race row’ menurut koran The Guardian pada 2011, yang isinya lebih ke debat kusir mengenai klaim sastrawi. 

Seorang kritikus tersohor (dan berkulit putih), Helen Vendler, mencibir seorang penyair terkenal (dan berkulit gelap), Rita Dove, atas karya yang ia seleksi ke dalam seri terbaru Penguin Anthology of Twentieth Century American Poetry. 

Rita, kata Vendler, lebih mengutamakan “inklusifitas multikultur’ daripada kualitas. Dia disebut “mengubah haluan” dengan menampilkan terlalu banyak penyair dari latar belakang minoritas, dan meminggirkan penulis yang lebih baik (dan lebih dikenal). Puisi dalam antologi tersebut “umumnya pendek” dan “cenderung ditulis dengan perbendaharaan kata yang terbatas,” dakwa Vendler, si kritikus pengawal kanon sastra abad ke-20 ini.  Sementara itu di Boston Review, Marjorie Perloff, kritikus (yang juga berkulit putih) sekaligus ahli poetika avant-garde Amerika, juga tertarik beropini.

Marjorie menyesalkan bahwa penyair baru terpaku pada suatu formula lirik yang pada tahun 1960 dan 70an saja sudah dianggap jadul – biasanya berupa memori pribadi yang “dipuitiskan,” yang memuncak pada “rasa mendalam atau semacam kabut kesadaran.” Dia mengambil contoh sebuah puisi dari penyair terkenal (dan berkulit hitam), Natasha Trethewey, yang menggambarkan rutinitas pelurusan rambut yang terpaksa dilakukan ibunya .

Di sisi lain, Rita menepis persoalan pola yang dikemukakan para kritikus terkenal yang berkulit putih itu. Apakah mereka, tanya dia, sedang mati-matian menyetop gerombolan penyair masa kini yang punya warna kulit dan kesipitan mata berbeda? Apakah kami – kaum Afro-Amerika, suku asli Amerika, Latino-Amerika, Asia-Amerika – harus menghadap para kritikus yang berjaga di depan pintu, yang memeriksa CV kami sebelum mereka mempersilakan kami masuk satu per satu?

Hal ini dimulai sejak dulu, dan sejak itu pula pintu depan itu berusaha dijebol lepas dari engselnya. Coba telusuri daftar isi jurnal sastra ternama, termasuk majalah puisi se-trendi Poetry, dan juga majalah mingguan yang topiknya lebih umum dan beroplah besar macam The New Yorker dan The New York Times Magazine. 

Lalu, tengoklah penerima berbagai hibah, penghargaan dan undangan mengajar, yang prestisius nan bernominal besar, yang diberikan setiap tahun kepada para penyair muda potensial di Amerika Serikat. Mereka adalah para imigran dan pengungsi dari Tiongkok, El Salvador, Haiti, Iran, Jamaika, Korea, Vietnam. 

Dari mereka ini ada para lelaki berkulit hitam dan wanita dari Oglala Sioux. Mereka terdiri dari para gay eksentrik, atau kita sebut queer, sekaligus para heteroseksual, dan keduanya bersikap sungguh-sungguh dalam memilih bagaimana mereka harus dipanggil.

Wajah kepuisian di Amerika Serikat terlihat sangat berbeda saat ini ketimbang 10 tahun lalu, dan lebih mencerminkan demografi generasi millennial Amerika. Gampangnya, bakat-bakat penyair muda saat ini bakal menjadi wajah Amerika muda 30 tahun kelak.

Para pendatang ini, sejak awal karir mereka, sudah berada di dalam – dan mereka tidak semata tinggal di dalam kompleks pertapaan puisi yang mendengar namanya diberi hukuman mati setiap bulan April, ketika Bulan Puisi Nasional tiba. Di festival sastra, banyak dari para penyair ini menjadi magnet penonton dalam jumlah besar, seperti yang saya lihat November lalu ketika ratusan orang antri di bawah guyuran hujan untuk mendengar Danez Smith dan Morgan Parker berdiskusi tentang topik “New Black Poetry” di Portland Art.

Musim semi lalu, ketika saya ketemu dengan Danez, yang bersikeras dipanggil dengan kata sebut orang-ketiga jamak, ‘mereka’ (maksud saya, Danez) baru saja kembali dari Inggris untuk tur kumpulan puisi Don’t Call Us Dead, yang merupakan finalis National Book Award. Penerbit di Inggris terkesima pada karya puisi yang mendapat apresiasi kritis di The New Yorker dan ditonton 300.000 kali di Youtube.
“Ada banyak cerita yang kami telah ceritakan, yang kini mulai diceritakan secara lebih terbuka di publik,” kata Danez, tanda ia menyadari energi kolektif generasi masa kini, juga para penyair dengan warna kulit gelap atau queer, secara lebih luas. 
Tiap buku baru dan apresiasi atasnya memantik kompetisi yang sehat untuk berkarya dengan lebih berani.

“Aku nggak mau jadi satu-satunya bahan perbincangan,” lanjut Danez. “Kemenangan seseorang itu sebenarnya juga kemenangan untuk puisi, untuk para pembaca dan untuk orang-orang yang memiliki latar belakang yang sama.”
Tidak sedikit dari garda depan generasi ini yang pertama kali menemukan puisi melalui pentas pertunjukan, atau yang tumbuh dalam komunitas di mana “bahasa lisan” dan “puisi” adalah dua sejoli. 

Beberapa penyair telah menunjukkan bakat dalam membangun basis penonton lewat cara-cara yang lebih subtil. Sebelum Kaveh Akbar menerbitkan koleksi debutnya pada tahun 2017, Calling a Wolf a Wolf, dia sudah dikenal lewat seri wawancara di situs web Divedapper, di mana ia menawarkan perkenalan secara dekat dan mendalam tentang para penyair Amerika mutakhir. Dia juga tak kenal lelah dalam berbagi bahan bacaannya ke 28,000 pengikut Twitter-nya. Dia rutin mengunggah tangkapan layar dari halaman buku yang membuat dia terkesan.

Penyair baru dari generasi digital ini siap mengupayakan agar karya dan nama mereka dikenal luas. Mereka memiliki agensi dan juru bicara (dalam sejarahnya, ini bahkan tidak lazim!). Beberapa orang berkarya lintas-genre, melawan keterasingan puisi. Saced Jones (Prelude to Bruise, 2014) sudah dikenal luas sebagai host dari acara BuzzFeed News. Fatimah Asghar (If They Come for Us, 2018). 

Ia juga menulis dan turut memproduksi web series berjudul Brown Girls, yang sedang diadaptasi ke HBO. Ada pula Eve L Ewing (Electric Arches, 2017), seorang sosiolog dan komentator isu tentang ras yang sangat dikenal di media sosial.

Para penyair yang lebih uzur mungkin akan menggerutu soal membangun jejaring dan menampilkan diri, namun, para junior mereka tanpa ragu menggamit aktivitas ini. Mereka yakin bahwa puisi, lewat kanal yang tepat, mampu “masuk ke arus utama dalam wacana nasional terkini,” seperti kata Saced. 

Mereka sadar satu hal: sebuah survey terkini dari National Endowment for the Arts mengungkapkan bahwa jumlah pembaca puisi meningkat 2x lipat di antara masyarakat usia 18-34 tahun selama lima tahun terakhir.
Energi yang terlihat ini lebih dari sekadar marketing jitu atau kehebohan sesaat. 
 “Menurut pandanganku,” kata Jeff Shoots, editor utama Graywolf Press yang menyunting tiga dari 10 antologi yang berhasil masuk ke long list National Book Award 2017 bidang puisi, ”ini tanda munculnya suatu renaisans.” 
Dan yang paling mencolok dari para pelopor kebaruan ini adalah kembalinya puisi liris orang-pertama – suatu hal yang pada era 1970an dianggap ketinggalan jaman oleh para “pujangga bahasa”.

Dakwaan-dakwaan tajam – puisi yang terlalu pribadi, terlalu sentimentil, terlalu gampang dipahami, tak cukup ‘cerdas’ untuk menstimulasi budaya postmodern yang tersaturasi media – ditujukan ke generasi avant-garde yang menanggalkan “si Aku” demi poetika yang buram dan hanya dipahami grup kecil pembaca yang lebih eksklusif lagi.

 Namun, generasi baru ini – sambil menggandeng teknik avant-garde (lewat penggunaan kolase dan inkoherensi radikal beserta gado-gado acuan budaya “tinggi” dan “rendah” sekaligus) – tidak serta-merta mengusung pesan yang sama. Muncul di tengah suburnya politik identitas, para penyair terkemuka, yang karakternya berlainan, saat ini tengah mengklaim lagi “Aku-yang-demokratis”, seturut ungkapan penyair Edward Hirsch

Si “Aku” ini, yang diasuh dalam berbagai bahasa dan dialek, tak bisa dikatakan terdera perbendaharaan kata yang terbatas, kata Helen Vendler. Puisi liris, bagi generasi ini, tak perlu selalu pendek. Muncul pertama kali lewat kehadiran karya laris Claudia Rankine, Citizen: An American Lyric (2014), para penyair dengan berani mematahkan tren kebanyakan buku, lewat nuansa historis dan bentuk hibrida, sejak awal mula. Si “Aku”, menyadari betapa tersisihkannya “kita” di mana ia berada, menautkan sisi personal ke sisi yang kelewat politis.

Kemunculannya memantik pertanyaan puitis yang menggairahkan mengenai identitas.

Para penyair muda yang berhasil mengemuka, telah turut menjadikan ras, seksualitas dan gender sebagai episentrum kepuisian saat ini, dan mereka memperlebar sebanyak mungkin batas-batas. Mereka sungguh-sungguh dalam mengubah gagasan soal kedirian dan keberadaan seseorang dalam sebuah kelompok. Belajar dari berbagai jenis tradisi, mereka menggali kompleksitas laten dari sisi lirik “Aku”. Pada dasarnya, hal terakhir yang diinginkan si “Aku” adalah pada pengejawantahan dirinya secara utuh.

UPAYA KERAS untuk melepas engsel pintu seleksi ini sebenarnya sudah dimulai sejak puluhan dekade lalu. Ketika para pujangga bahasa sedang memperluas batas kepenyairan Amerika di akhir abad ke-20 – upaya pembalikan konstelasi kuasa dengan mengangkangi adat kesusastraan- penyair-penyair kecil juga sedang mencoba menghubungkan dunia sastra dan kanon sastra, sembari terus mengedepankan cara-cara baru dalam berekspresi. 

The Black Arts Movement di era 1960an dan ‘70an, dan sejumlah organisasi yang dipantiknya, memperjuangkan kanal penerbitan tersendiri bagi seniman kaum kulit hitam, Asia-Amerika, dan Latino.

Namun, mulai era ‘80an, dorongan telah merambah ke permintaan akan jatah kursi yang lebih banyak bagi kaum tersebut.

Itu tidak mudah terjadi di dalam budaya kepuisian yang lebih merepresentasikan kulit putih, baik sekarang maupun di masa lalu, dan yang tak terlalu niat untuk mempertanyakan fakta tersebut. Di tahun 1988, setelah lelah menjadi sebatas pemandangan ganjil di berbagai workshop penulisan puisi, dua mahasiswa Harvard dan seorang komposer membentuk The Dark Room Collective di sebuah gedung bergaya Victoria di kota Cambridge, yang kelak menjadi ruang untuk memajukan karya penyair-penyair muda kulit hitam. 

Selama 10 tahun berikutnya, sejumlah bakat menemukan rumahnya di sana, mulai dari Natasha Trethewey dan Tracy K. Smith (keduanya kelak menjadi poet laureate Amerika Serikat), Kevin Young, Carl Phillips dan Major Jackson. Ambisi meluap berbarengan dengan dorongan kuat untuk bisa diterima, tapi untuk membentuk suatu arus baru.
“Bahkan jika kami semua sudah pernah memuat karya di The New Yorker, apakah itu menjadi tujuannya?” Kevin, saat itu masih menjadi mahasiswa semester akhir di Harvard, berkata pada koran The Harvard Crimson  di tahun 1992. “Anda tak menangkap maksud kami jika Anda menyangka kami sekadar sopir baru yang mengendarai truk yang lama.” 
Dalam beberapa tahun kemudian, wajah-wajah baru ini bila bukan menjadi orang berpengaruh, telah lebih dikenal dan diterima di dunia puisi. DI tahun 1993, Rita Dove menjadi poet laureate Amerika Serikat. Di tahun yang sama, dalam pembukaan antologi The Open Boat, karya yang berisi kumpulan puisi Asia-Amerika pertama yang disunting oleh seorang keturunan Asia-Amerika, Garrett Hongo mengarahkan perhatian pada penerimaan dari arus utama: 
“Saat ini, beberapa dari kami berkarya di sejumlah yayasan dan panel Hibah Seni Nasional, menjadi juri penghargaan tingkat nasional, mengajar dan membimbing program penulisan kreatif, dan menyunting majalah sastra.”
Di lanskap kepuisian yang saat itu didominasi program M.F.A (Master of Fine Arts, magister seni), sebuah jaringan dari berbagai institusi kemudian menawarkan workshop dan pelatihan gratis bagi para penyair muda dari kelompok terpinggirkan. Cave Canem, yang dibentuk pada 1996 untuk mendukung penyair kulit hitam, kemudian diikuti oleh Kundiman (bagi penulis Asia-Amerika) dan CantoMundo (bagi penyair Latino). 

Yayasan Sastra Lamda sampai sekarang menyediakan dukungan serupa bagi penyair LGBTQ. Penjaga tradisi dunia puisi – jurnal ternama, penerbit tersohor (baik besar maupun kecil), komite penghargaan – kini tahu ke mana mereka bisa menemukan spektrum yang lebih kaya, yang berisikan karya-karya yang telah menjalani suatu proses saringan sebelumnya.

Namun, peralihan ke arus utama jarang terjadi tanpa adanya turbulensi. Alumni The Dark Room mendapat kritikan tajam setelah mereka duduk kursi mengitari meja yang telah diperluas, hanya saja, masih di ruangan yang didirikan oleh era sebelumnya. Inklusi ke dalam makna dominan dari “kita” memunculkan tekanan untuk mencipta dan mendukung karya yang lebih mudah diakses dan telah di-depolitisasi. Antologi The Open Boat segera didapuk untuk mewakili kepenyairan Asia-Amerika melalui lensa narasi imigrasi dan asimilasi yang tidak asing di telinga.

Kemunculan Kevin Young sebagai penyunting puisi di The New Yorker di usianya yang ke-47 memunculkan pertanyaan: bakal sebaru apa truk yang mereka kendarai ini?

Suasana tegang mulai mengusik bahkan di tempat paling nyaman, paling terbuka di antara berbagai zona minoritas, dimulai dari The Dark Room dan kemudian: mereka menggandeng sapaan “kita” yang telah dipakai dunia luar, beserta narasinya, sambil menyertakan sejumlah tekanan.

Para penyair telah merasa kesal, dan berhasil melampaui, seluruh tekanan itu. Tentu saja: Bagaimana lagi agitasi puitik akan terjadi?
Belakangan Carl Phillips menulis tentang perasaan bahwa ia telah benar-benar diasingkan dari The Dark Room karena ia “tidak menulis puisi ‘kulit hitam’ sejati.” Di esai berjudul “A Politics of Mere Being,” dia bertanya-tanya mengenai dampak dari keharusan untuk benar secara politik, namun juga “tekanan untuk politis secara benar” – yaitu dengan berkarya mengenai “isu identitas, pengasingan, ketidakadilan.” Tidakkah seharusnya, kata dia, “penyair yang terlempar ke luar, dalam konteks apapun,” menolak pandangan bahwa sekadar “resistensi” saja bisa mendefinisikan apa hal-hal yang politis?

Penyair Iran-Amerika, Solmaz Sharif, dua-puluh lima tahun lebih muda dari Phillips – yang buku puisi pertamanya, Look (2016) menjadi finalis National Book Award – juga melihat nilai dari suara “yang terus-menerus berada di luar, mempertanyakan dan menanggapi apapun yang dimaksudkan dari kata ‘di sini’ atau ‘kita’ atau ‘sekarang’
”Idealisme puitisnya adalah semacam “keadaan nomaden, atau pikiran yang terus-menerus terpacu dan mencegah momen politis ini membatu.” 
Sebagai upaya untuk merangkum si “Aku” yang terus berubah dan mengundang tanya, sangatlah susah untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Upaya untuk mewadahi seluruh keberagaman – untuk meneliti berbagai wajah kedirian (protean self) dan masyarakat yang membentuk dan mengubahnya – dalam suatu bentuk liris yang koheren masihlah sebuah eksperimen yang radikal.

**