Jumat 06 April 2018 05:07 WIB
Red: Muhammad Subarkah
WS Rendra baca puisi | Foto: commons.wikimedia.org
Umat Islam adalah kekuatan pembuat revolusi bangsa, maka harus diajak kerjasama.
Oleh: Muhammad Subarkah*
Apa sih definisi
puisi bermutu itu? Ketika pertanyaan ditanyakan kepada sastrawan dan Guru Besar
Filsafat Universitas Paramadina, Prof Abdul Hadi WM, dia hanya menjawab pendek.
Katanya,
"Puisi yang baik memiliki nilai estetis. Nilai inilah yang membuat sebuah puisi berharga. Dalam nilai estetis itu sudah terangkum nilai-nilai lain. Jadi bukan karena bikin heboh,'' ujarnya.
Dan ketika ditanya soal kualitas
puisi Sukmawati ‘Ibu Indonesia’ yang di media sosial dikenal juga dengan ‘puisi
konde’, Abdul Hadi menjawab singkat bahwa di kalangan kritikus sastra ada
isitilah 'under critic'. Dalam kategori ini kritikus sastra enggan mengomentari
karena tidak ada pencapaian estetik yang bermutu sehingga tak perlu juga
dilakukan kritik atas karya tersebut.
Seorang perempuan Jawa mengenakan kerudung atau tak berkonde dipotret seorang fotografer Belanda, Hugo Wilmar, di Solo pada Desember 1947. (Foto:gahetna.nl).
Pernyataan itu membuat tercenung, apalagi kemudian
melihat tayangan debat di Youtube yang mengatakan sebuah karya puisi tak usah
jadi masalah dan jangan dibuat sastra sebagai ancaman. Puisi harus dibalas
puisi, bukan ancaman pidana atau malah vonis penjara. Dengan simpulan kata yang
lebih sederhana sikap itu terkesan juga: jangan menjadikan karya sastra
mengeruhkan keadaan.
Terkait pernyataan itu ingatan tentu harus balik kepada nasib yang menimpa
sederet nama sastrawan kondang seperti Amir Hamzah, Buya Hamka, WS Rendra,
Pramodeya Ananta Toer, atau hingga nasib Wiji Thukul. Atau di bidang seni yang
lain, yakni musik, di sana ada kisah nasib terkait dengan Koes Plus, Rhoma
Irama, Betharia Sonata, dan lainnya. Sosok itulah yang mengalami langsung
ternyata ‘jargon’ seni untuk seni hanya sekedar omongan hampa belaka.
Sarekat Dagang Islam. Berdiri di Solo tahun 1904. Berbagai pihak menyebut bahwa organisasi ini mendahului berdiri Budi utomo.
Di zaman perjuangan kemerdekaan dikenal lagu Indonesia
Raya karya WS Supratman. Di kemudian hari diketahui ide kata Indonesia berasal
dari pihak lain, yakni para pelajar yang kala itu menuntut ilmu di Belanda
(Perhimpunan Pelajar Indonesia). Bahkan ‘frase’ kalimat ‘merdeka’ ada yang
menyatakan itu terpengaruh dari tulisan dan keyakinan pejuang Tan Malaka yang
sampai akhir hidupnya yang tragis itu diketahui memimpikan Indonesa merdeka
yang total atau merdeka 100 persen. Tan Malaka banyak menulis, tentu saja karya
sastra, yang memimpikan datangnya masa kemerdekaan itu.
Bahkan pula, Tan Malaka di tahun 1920-an, dengan gagah berani mengatakan
jangan anggap remeh kekuatan Islam (termasuk Indonesia). Omongan ini dikatakan
Tan Malaka bukan dalam forum 'ecek-ecek' atau panggung hiburan, namun dalam
sebuah rapat tokoh partai komunis dunia yang digelar di Rusia. Tan Malaka
datang ke sana dari Belanda khusus untuk memberikan pidato dari satu-satunya
wakil dari benua Asia. Katanya, Islam adalah salah satu kekuatan untuk membuat
revolusi!
Maka harus diajak kerja sama. Dengan kata lain' tak perlu
dimusuhi'. Tan Malaka di situ ketemu bapak bangsa Vietnam, Ho Chi Minh. 'Paman
Ho' kagum pada Tan Malaka dan dia sendiri rela hanya datang sebagai delegasi
peninjau, alias tak memberikan pidato.
Pengurus Sarekat Islam cabang Kaliwungi, Kendal, Jawa Tengah
Semua tahu apa yang saat itu telah
terjadi. Kala itu, kekuatan Islam --baik politik dan agama-- telah tumbuh di
kepulauan Nusantara seiring dengan hadirnya Sarikat Dagang Islam, Sarekat
Islam, Muhammadiyah. Tokoh utamanya tentu saja HOS Tjokroaminoto, yang saat itu
dijuluki 'Raja Jawa Tanpa Mahkota'.
Dengan suara pidatonya yang menggelegar
Tjokro membangunkan kesadaran orang betapa sakitnya hidup dalam penjajahan dan
betapa berharganya sebuah kemerdekaan. Ribuan orang datang dalam rapat umum
untuk mendengarkan orasi Tjokro. Masa mengeluk-elukannya. Bahkan dalam forum
pertemuan di berbagai tempat di Jawa orang spontan duduk bersila di tanah untuk
menghormati kedatangannya.
Haji Oemar Said Tjokroaminoto. (foto:commons.wikimedia.org)
Di samping Tjokro, tentu saja ada tokoh
lain seperti 'si anak pintar' dari Sumatra Barat Agus Salim. Dan kemudian ada
juga tokoh Sukarno yang merupakan anak asuhan Tjokro sendiri. Di samping itu
juga kemudian muncul cucu sufi besar ranah Minangkabau, Mohammad Hatta. Dan
juga ada sosok lain seperti Moh Yamin, Sutan Syahrir, M Natsir, dan lainnya.
Tan Malaka yang selama zaman Jepang bersembunyi di Bayah, Banten, tertangkap kamera berjalan bersama Sukarno pada acara rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang area Monas). Tan Malaka --sama dengan Panglima Besar Sudirman, sampai akhir hayatnya di inginkan Indonesia Merdeka 100 persen. Dia menolak atau enggan berunding dengan Belanda.
Mr Moh Roem dalam suatu acara. (Sumber foto: wikimedia).
Umat Islam adalah
kekuatan pembuat revolusi bangsa, maka harus diajak kerjasama.
***
Jalinan itulah yang menguatkan pembentukan Indonesia.
Melintasi batas dan tidak hanya soal urusan baju dan gaya rambut, dari yang
berkonde seperti Jawa atau berkerudung di tanah Melayu. Ada Jong Ambon,
Sumatra, Celebes, Kalimantan dan lainnya. Dan di masa itu para tokoh memang
kadang berdeda pendapat, bahkan berselisih baik secara fiksi dan nyata.
Tapi akhirnya mereka tetap lapang dada memaafkan. Para
bapak bangsa mencontohkan sekaligus sadar bisa 'menyingkapkan daun untuk
mengambil buah'. Mereka nemukan arti persahabatan dan inti sari perjuangan
sejati. Memisahkan nilai perjuangan dengan nafsu atau ego politik pribadi.
Buya Hamka.
Di tahun 1960-an memang ada polemik sangat keras antara Pramoedya Ananta
Toer dan Buya Hamka. Tak kepalang tanggung Pramoedya berusaha mengakhiri karir
bersastra Hamka dengan menuduh banyak karyanya sebagai hasil plagiat. Dengan
'kewenangan kekuasannya' sebagai Redaktur Budaya Koran berafiliasi Partai
Komunis Indonesia, Harian Rakjat, menuding segala hal mengenai Hamka dianggap
buruk, bahkan jahat.
HB Jassin yang berusaha membela Hamka terkena imbasnya. Organisasi Manifes
Kebudayaan yang didirkan Wiratmo Soekito (dan HB Jassin yang menjadi
anggotanya) dibubarkan. Jassin dipecat sebagai dosen Universitas Indonesia.
Manifes Kebudayaan oleh orang-orang ‘kiri’ diolok-olok secara pejoratif menjadi
akronim: 'Manikebu'. Anggota lainnya seperti Taufiq Ismail dipecat sebagai
dosen dan gagal belajar ke luar negeri.
Tapi apakah Buya Hamka dendam? Setelah rezim berganti seiring dengan
jatuhnya Sukarno dari kursi presiden, ternyata Hamka terbukti tak menyimpan
dendam. Padahal dia punya hak untuk itu, diperlakukan buruk oleh Pramoedya
hingga dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan oleh pemerintahan Sukarno. Dia
malah di awal 1970-an dengan keras menantang pelarangan buku karya Pramudya
hingga dengan ringan hati menshalatkan jenasah Sukarno yang dulu
memenjarakannya itu. Tak cuma itu dia pun membuka tangan menerima anak dan
menantu Pramoedya yang meminta diajari mengaji kepadanya.
Pada
keterangan foto yang diambil dari arsip Belanda dinyatakan: Letnan Vosveld
melapor kepada Presiden Soekarno untuk membuat pernyataan bahwa dia harus
menganggap dirinya sebagai orang yang diasingkan di istananya untuk sementara
waktu. Kejadian ini pada awal agresi Belanda ke II di Istana Negara Jogjakarta,
19 Desember 1948. Foto ini adalah karya Fotografer Belanda, Heldoorn, W. / DLC.
(Sumber foto:gahetna.nl).
Foto kejadian ini belum termuat dalam buku sejarah di sekolah Indonesia,
termasuk tidak ada dalam album foto '50 Tahun Indonesia Merdeka'.
Tokoh lain juga begitu. Pencetus perjanjian Roem-Royen, Mr Moh Roem di
tahun 1980-an dengan gagah berani menepis sinyalemen yang ada dalam tulisan
Rosihan Anwar mengenai isi dokumen pada tahun 1930-an yang kala itu diterbitkan
kembali di Belanda. Dalam arsip itu Sukarno dinyatakan pernah meminta ampun
kepada Belanda untuk meringankan masa tahanan ketika meringkuk di penjara
Sukamiskin Bandung. Bukan hanya itu Rosihan dalam tulisannya menyatakan
Sukarno pernah pula menyerah dengan mengibarkan bendera putih ketika
Yogyakarta di duduki Belanda pada Agresi Belanda II di tahun 1948. Maka, Mr
Roem pun dengan berani membantah hal itu dengan menyatakan: Sukarno benar-benar
pejuang sejati dan tak kenal menyerah!
"Menurut MR Roem, benar ada bendera putih berkibar di Istana Yogyakarta saat agresi Belanda II. Itu yang menyerah bukan putusan pribadi Sukarno, tapi atas keputusan sidang kabinet. Wakil Presiden Moh Hatta di sidang itu menyarankan biar para tokoh ditangkap saja. Pilihan ini dengan mempertimbangkan dana dan kesediaan personil pasukan serta senjata untuk mengawal Presiden dan Wakil Presiden menyingkir ke pedalaman untuk memimpin perang gerilya,'' kata mantan staf Perdana Menteri M Natsir, Lukman Hakiem seraya mengatakan dengan ditangkap malah keselamatan para tokoh Republik bisa lebih terjamin.
Penginterniran
atau penangkapan untuk diasingkan Wakil Presiden Moh Hatta (di tengah putih)
dan beberapa otoritas Republik lainnya di rumah Hatta di Yogyakarta, 19
Desember 1948. Di dalam foto terkesan ada kaku dan tegang ketika seorang
pasukan Belanda melakukannya, Karya Fotografer Belanda, Heldoorn, W. Foto ini
juga belum pernah termuat dalam buku sejarah Indonesia. (Sumber
foto:gahetna.nl)
Dan sikap Mr Roem ini sangat pula istimewa karena diketahui selaku petinggi
Partai Masyumi pada tahun 1960-an dengan surat yang mengatasnamakan Jendral AH
Nasution, dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses
pengadilan. Tuduhannya tak jelas, namun kiranya penguasa rezim kala itu merasa
MR Roem selaku petinggi Masyumi ikut dalam apa yang disebut pemberontakan
PRRI/Permesta.
Di kemudian hari kemudian diketahui PRRI/Permesta sebenarnya bukan sebagai
pemberontakan melainkan protes atas ketidakadilan otonomi daerah dan sikap
protes anti komunis. Bahkan ada ahli sejarah yang mengatakan itu sebenarnya
pemberontakan ‘setengah hati’.
Sjafruddin
Prawiranegara (Foto: commons.wikimedia.org)
Sama dengan Mr Roem, Mr Sjafruddin Prawiranegara juga bersikap lapang hati
dengan Sukarno. Pendiri Bank Indonnesia ini diakhir hidupnya memaafkan Sukarno
meski dia pernah mengejar-ngejarnya dan menuduh sebagai terlibat dalam
pemberontakan PRRI/Permesta karena pergi melawan dengan menyingkir ke berbagai
kawasan hutan di Sumatra Barat. Sama dengan Hamka, Mr Moh Roem, Sjafruddin juga
cukup lama hidup dalaman penjara.
’’Aku sudah maafkan dia. Sebab, setelah ditimbang-timbang jasa Sukarno pada bangsa ini masih jauh lebih banyak dibandingkan kesalahannya,’’ kata Sjafruddin seperti diceritakan salah seorang putrinya,
Pembukaan
Konggres Umat Islam Sumatra Utara di Medan, (1/4).
Foto:
Umat Islam adalah kekuatan pembuat revolusi bangsa, maka harus diajak
kerjasama.
****
Dan ketika dekade 70-an semua paham apa yang dilakukan WS Rendra dengan
puisi dan teaternya. Pertunjukan dia di teater terbuka Taman Ismail Marzuki
dibubarkan paksa dan dilempari cairan berbau busuk, amoniak. Beberapa waktu
sesudah itu Rendra ditangkap dan menghuni penjara. Dia mengalami rasanya
berendam di kolam penyiksaan yang berbau dan penuh lintah, hingga diberi makan
seadanya yang disajikan dengan cara dilemparkan dalam piring kaleng.
Tapi, sampai akhir hayatnya Rendra tak peduli dengan
memberikan kredo kesaksian: Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah
bumi, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Serupa dengan nasib Rendra,
kemudian menimpa Wiji Thukul --nasib tragis juga menimpa penyair pelopor
Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang terbunuh dalam Revolusi Sosial (kerusuhan) di
Sumatra Utara. Jasad Amir Hamzah ditemukan tak bernyawa, sedangkan penyair asal
Solo, Wiji Thukul, sampai sekarang tak ketahuan di mana rimbanya. Puisi Thukul
jelas melakukan perlawanan pada rezim Orde Baru dengan jargonnya yang terkenal:
Ketika penguasa pidato dan kita malah pergi kencing diam-diam, maka hanya ada
satu kata, lawan!”
Pada kurun yang hampir sama ada pula soal pencekalan terhadap Rhoma Irama.
Dia tak leluasa, bahkan dicoba dihambat untuk berekpresi karena tidak pro
rezim. Tampil di televisi kala itu adalah hal yang tak bisa dilakukannya.
Betharia Sonata dalam hal yang lebih lunak juga sempat bernasib sama. Senandung
Betharia pada lagu ciptaan Obbie Maesakh, 'Hati yang Luka, mengalami kendala
karena oleh penguasa dianggap cengeng.
Nasib itu hampir sama dengan Koes Plus pada penghujung masa Orde Lama yang
masuk bui karena dianggap kebarat-baratan karena banyak menyanyikan lagu grup
musik kugiran Inggris: 'The Beatles'. Dan kala itu tentu saja lagu Koes Plus
berlawanan dengan lagu Lilis Suryani, misalnya lagu ' Oentoek Paduka Jang Mulia
(PJM) Soekarno' yang banyak memberikan sanjung puja kepada penguasa termasuk
ideloginya yakni: Manipol Usdek. Hal ini juga diulang pada rezim berikutnya
pada sebuah karya lagu Titik Puspa yang bertajuk ‘Soeharto Bapak Pembangunan’.
Jadi fakta sejarah itu menjelaskan soal bahwa ‘jargon seni hanya untuk
seni atau kekebasan sastra’ hanya bualan atau kicauan kosong saja. Ternyata
semua budayawan-sastrawan harus bisa mengukur diri dengan kehidupan
bersama, menyesuaikan dengan sistem politik, sosial, hukum, ekonomi, dan
sebagainya. Kalau tidak diindahkan kelak akan terjadi chaos sosial
seperti pembunuhan para awak majalah kartun Charlie Hebdo di
Prancis atau adanya fatwa hukuman mati Ayatollah Khomeini kepada penulis novel
'Ayat Ayat Setan' asal India yang tinggal di Inggris: Salman Rusdi.
Atau juga karena imbas kasus menghina adzan. Dalam soal
ini maka harus ingat pada kisah awal yang menjadi penyebab meletusnya
'pemberontakan petani Banten' pada tulisan karya Hamka yang puluhan tahun
lalu terbit: buku 'Perbendaharaan Lama'. Kala itu ada orang Muslim tersinggung
karena ada pejabat daerah berkebangsaan Belanda marah-marah mendengar Adzan di
siang hari bolong yang menggangu kenyamanan waktu 'siesta' atau tidur
siangnya. Dia meminta adzan dari sebah surau yang tak jauh dari kediamaan
pejabat Belanda itu tak dilakukan karena menimbulan suara berisik.
Maka,mendengar kisah itu orang Islam di Banten tersulut
marah. Perasaan benci akibat tertindas yang selama ini tertanam seolah
menemukan jalannya atau menyulut sumbu untuk meledak. Maka meletuslah kerusuhan
sosial yang hebat. Ibarat api ini situasi tak lagi sekedar bara yang terpendam,
tapi sudah ikut berkobar menjilati masalah dasar yang lain, yakni kesenjangan
sosial, hukum, dan ekonomi. Banyak korban jatuh dalam pemberontakan yang
berlangsung pada 9 Juli tahun 1888 itu. Baru padam setelah banyak orang
ditangkap, tokoh pemicunya dihukum gantung yang vonisnya dilakukan di tengah
alun alun, dan banyak orang Banten dihukum buang ke tanah pengasingan. Akibat
omongan ternyata berdampak sangat serius berupa situasi kerugian besar sekali.
Bukti Perbendaharaan Lama karya Hamka. Salah satunya di buku menceritaan soal 'Pemberontakan Petani Banten'.
Dalam sastra memang ada kebebasan ‘lingua politika’ tapi itu hanya sebatas soal teknis dan diksi pilihan kata. Di luar itu ada ‘harimau yang harus dijaga yakni harmoni masyarakat dan kelangsungan negara. Fiksi ternyata sejatinya bukan fiksi sebab fiksi dan fakta kerapkali berbaur satu. Ini bisa dilihat dari mulai Babad Tanah Jawa, karya sastranya Buya Hamka dan Pramudya, novel 'Para Priyayi'-nya Umar Kayam, hingga cerpennya Seno Gumbira Ajidarma yang bercerita soal 'Penembak Misterius'.
Sebuah pertunjukan ketoprak.
(foto:commons.wikimedia.org)
Dalam lakon teater pun begitu. Dulu di tahun 1960-an, para seniman Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) di sekitar wilayah kaki gunung Merapi, Merbabu, dan
Sindoro kerap menggelar pertunjukan ‘teater Jawa’ (Ketoprak) dengan judul
‘Patine Gustiallah hingga Gustiallah Mantu’.
Ceritanya sebenarnya tentang perjuangan kelas, misalnya ada seorang putri
tuan tanah yang memaksa kawin dengan orang rakyat jelata. Tapi kemudian idenya
dan alur cerita pemanggungan bisa berbelok ke mana saja hingga soal kisah
'landreform' (bagi-bagi tanah) hingga melecehan kekuasaan kerajaan Jawa. Mereka
juga sibuk mengkritik 'bandit rakyat' yang dinamakan para 'Setan desa'.
Pada saat yang sama pihak Islam di Yogyakarta, melawannya dengan mendirikan
Teater Muslim yang dipimpin Mohammad Diponegoro yang kemudian menjadi penyiar
Radio Australia itu. Di sini juga ada keterlibatan sosok Arifin C Noer, Amoroso
Katamsi, Chaerul Umam, Kuntowidjoyo, bahkan yang mengejutkan ada sosok Abu Bakar
Ba’asyir.
Mohammad Diponegoro, pendiri Teater Muslim di
Yogyarkarta.
Maka munculah sajian pertunjukan drama atau teater berjudul 'Tikungan Iblis
' , sebuah lakon tentang pengorbanan Nabi Ismail ketika hendak disembelih oleh
bapaknya, Nabi Ibrahim AS. Di situ digambarkan berbagai upaya dan muslihat
iblis yang berusaha menipu Nabi Ibrahim yang tetap kokoh melaksanakan perintah
Allah dengan mengorbankan anaknya Ismail. Ibrahim pun marah kepada iblis dengan
melemparinya dengan batu yang kini lestari dengan ritual melempar jumrah oleh
ketika umat Islam menunaikan ibadah haji itu.
Suasana pemahaman, sekaligus sikap arif itulah yang hendaknya terjalin pada
karya sastra sebagai wahana ekpresi terkait urusan pribadi, hubungan sosial,
hingga soal politik. Sebagai ‘akhirul kalam’ maka sebaiknya merenungkan lagi
potongan pidato pakar hukum tata negara dan tokoh politik Prof DR Yusril Ihza
Mahendra dalam pidato di acara Konggres Umat Islam Sumtara Utara di Medan,
beberapa hari lalu.
Kata Yusril, umat Islam harus sadar politik sebab kalau tidak politik akan
diambil pihak lain.Politik itu bukan suatu hal yang najis. ”Ketika umat Islam
berkuasa umat Muslim terbukti hirau akan (keberadaan) mereka, tapi ketika
mereka berkuasa mereka tak hirau akan kita, Celaka memang. Ini membuktikan
segudang kekuasaan tak berarti apa-apa dengan sekepal kekuasaan!”.
Maka melihat kontroversi dunia politik hingga soal 'puisi konde', maka ada
pesan yang bijaksana dari Pramodeya Ananta Toer di masa akhir Orde Baru:
Berbuat adilah sejak dari pikiran.’’ Ironisnya kata adil –seperti juga
dikatakan WS Rendra— orang Jawa (yang suka disimbolkan dengan tusuk konde) tak
punya padanan kata ‘adil’ yang itu yang jelas berasal dari kata Arab. Padahal
padanan kata adil dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis jelas-jelas ada.
Dalam suluk dalang di pentas pewayangan misalnya, kata adil malah ditaruh
jenjangnya di bawah kata 'bijaksana'. Padahal bijaksana adalah cermin dari pada
kata yang berbau ‘feodalistik’ bahwa semuanya berdasarkan kemauan serta sikap
murah hati dari pihak penguasa (raja). Dan ini berbeda secara diametral dengan
adil yang mensyaratkan kesetaraan manusia, yakni harus ada aturan hukum
tertulis, adanya lembaga peradilan mandiri, dan berlaku untuk semua, tak peduli
raja maupun jelata. Misalnya, siapapun yang mencuri tak peduli itu dilakukan
priyayi (bahkan raja dan keluarganya) atau orang biasa, harus mendatkan hukuman
setimpal.
Sumber: Republika.Id
0 komentar:
Posting Komentar