Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Sabtu, 30 September 2017

Ahmad Tohari dan Anton Chekhov

 | 


Di dunia kesusastraan Indonesia, nama Ahmad Tohari tidak asing lagi. Namanya membumbung tinggi berkat novelnya: Ronggeng Dukuh Paruk (RDP).
Mengetengahkan tema kemanusiaan di tengah dan setelah prahara politik 1965-1966, RDP dinilai orisinil, berani, dan tepat.
Lebih dari itu, Ahmad Tohari mendapat pujian sebagai orang yang membuka pintu kebudayaan, karena dia membawa lilin dalam ruang gelap, menyentuh tema sensitif, menyuarakan yang diam, dan memecahkan kebekuan.
Selain mengetengahkan kemanusiaan dan perspektif politik dan pelaku kesenian tradisi, Tohari juga mengangkat kemanusiaan dalam karya-karya lainnya dari sisi ekonomi.
Dia mengisahkan dengan detil kemiskinan di kampung-kampung yang mengkuruskeringkan tubuh anak manusia, merusak alamnya, mematikan tradisinya, dan menjegal cita-citanya.
Sebaliknya, Tohari juga menunjukkan kebengisan lintah darat, ketengikan penguasa, hingga ketuliaan para punggawa agama. Kisah-kisah sarat nilai-nilai kemanusiaan muncul di sana sini, utamanya cerita pendek.
Tak berhenti menulis, Ahmad Tohari mewujudkan pembelaannya pada kaum papa dengan menegakkan lembaga-lembaga keuangan yang tidak menghisap, dengan harapan memutus mata rantai ketidakadilan hubungan antara lintah darat dengan kaum papa.
Sampai di sini, Ahmad Tohari dapat disejajarkan denga raja cerita pendek tingkat dunia bernama Anton Chekhov. Chekhov yang tidak cuma menulis di atas, tapi turun tangan meringankan rakyat yang sengsara.
Chekov mengumpulkan dana bagi pembangunan sanitarium guru dan pelajar. Sebagai dokter, Chekov juga bekerja secara sekarela mengobati rakyat yang menderita karena penyakit. Dengan kondisi yang berbeda, Ahmad Tohari telah melakukan hal yang sama dengan Anton Chekov. Chekov lahir pada 29 Januari 1860 di Taganrog, Rusia dan wafan di Jerman dan wafat di 15 Juli 1904, Badenweiler, Jerman.
Dalam banyak kesempatan, Tohari memang sering mengemukakan bahwa karya-karya sastra didedikasikan untuk mengangkat manusia-manusia yang disepelekan, untuk menegakkan nilai-nilai yang dihancurkan, untuk mengabarkan peristiwa-peristiwa yang telah dimanupulasi.
Ia tidak main-main dalam menulis sastra. Ia memang mendapat royalti dan nama besar karena sastra, bahkan pergi ke banyak Negara, mengisi ceramah-ceramah di tempat berwibawa, dihormati oleh banyak generasi, berkenalan dengan orang hebat di dunia, sekali lagi karena ia menulis novel. Tapi niatnya menulis bukan untuk itu semua.
Dalam banyak kesempatan, Ahmad Tohari –bulan Juni tahun depan berumur 70 tahun—sering menegaskan, ”Saya memang membela dengan sastra.”
KeteranganArtikel ini diadaptasi dari pengantar naskah pidato kebudayaan, NU Online, 28 Maret 2014.
Alif.Id 

Membela Dengan Sastra

 | 
Pihak aparat keamanan memandang sikap saya ini sebagai bukti kedekatan saya dengan kaum Komunis sehingga saya diinterograsi selama lima hari di Jakarta. Lima hari yang berat. Untung pada hari kelima ada interogrator yang bertanya kepada saya,
“Adakah orang yang bisa menjamin bahwa saya bukan simpatisan Komunis?”

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Hadirin yang saya hormati…

SEJAK Indonesia merdeka pada tahun 1945 telah muncul tiga dokumen yang berisi konsep kebudayaan Indonesia. Ketiga dokumen kebudayaan itu adalah Surat Kepercayaan Gelanggang (1951); Mukaddimah Lembaga Kesesenian Rakyat (LEKRA,1956); dan Manifest Kebudayaan (1963).

Konsep kebudayaan yang dicitakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang mengacu ke arah kebudayaan Barat yang bersifat sekuler, antroposenstris serta elitis. Agaknya para pemikir kebudayaan saat itu masih sangat terpesona oleh kemajuan Barat sehingga mereka mencitakan kebudayaan Indonesia berkiblat ke Barat.

Situasi perang dingin yang mulai menghangat menjelang tahun 1960-an menyeret Indonesia ke dalam tarik-menarik antara pengaruh blok Barat dan blok Timur, juga di bidang pemikiran kebudayaan. Maka sebagai tandingan atas lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengarah ke Barat, lahirlah Mukaddimah Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang mengarah ke blok sosialis di Timur, sama-sama sekuler, antroposentris, tapi punya kecenderungan populis. Meskipun begitu, polemik kebudayaan pun berkecamuk sengit di antara pendudukung kedua kubu tersebut.

Di tengah sengitnya polemik antara pengikut “kebudayaan Barat” dan pengikut “kebudayaan Timur” yang sama-sama sekuler itu muncullah pada tahun 1963 Manifest Kebudayaan yang seolah-olah hadir sebagai konsep alternatif kebudayaan Indonesia.

Tetapi ternyata Manifest Kebudayaan, yang pada kalimat terakhirnya berbunyi “Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami”, disanggah dan dicerca habis-habisan oleh para pengikut Mukadimah Lekra.

Bagi para budayawan Lekra, baik SKG maupun MK mereka anggap sebagai konsep kebudayaan yang sama-sama borjuis. Dan pembantaian kebudayaan ini baru berakhir pada tahun 1965 setelah PKI dibubarkan, dan Lekra pun gulung tikar.

Hadirin yang saya muliakan..

Saya mulai berkarya sastra pada tahun 1971. Sebagai pribadi yang dekat dengan orang-orang Lesbumi saya memilih dengan sadar konsep kebudayaan yang berfalsafah Pancasila sebagai yang tercantum dalam Manifest Kebudayaan. Karena mengakui Pancasila sebagai falsafah kebudayaan Indonesia maka dalam berkarya saya punya niatan yang lebih tinggi daripada sekadar kepentingan pribadi maupun kepentingan kesusastraan semata.

Demikianlah, maka selalu ada pertanyaan yang mendasar yang muncul ketika saya akan memulai menulis sebuah karya. Pertanyaan itu:
Pertama, “Mengapa Kamu menulis karya sastra?”
Kedua, “Apa niatmu melakukan hal itu?”

Mengapa seorang sastrawan, dalam hal ini saya menulis karya sastra, jawabnya sederhana. Yakni, karena saya punya kegelisahan jiwa dan ingin melahirkan kegelisahan itu. Setelah kegelisahan itu lahir sebagai karya sastra, maka terserah kepada masyarakat; mau membaca, lalu menangkap kandungan nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, atau membiarkan karya saya tersimpan di rak-rak buku. Dalam hal ini saya sebagai penulis sudah menyelesaikan bagian saya.

Tentang niat menulis karya sastra jawabannya banyak. Adalah sah apabila karya sastra ditulis dengan niat mengaktualisasikan diri. Siapa saja boleh membangun eksistensi dirinya dengan jalan menulis karya sastra. Bahkan boleh saja sebuah karya sastra ditulis dengan niat mendapatkan uang, dan mengarahkan karya itu agar laris di pasaran. Ada lagi jawaban yang sering terdengar bahwa sastra ditulis demi kesusastraan itu sendiri.

Sebagai orang biasa dalam dunia kesusastraan Indonesia, saya merasa semua penjelasan itu ada benarnya. Tetapi buat saya semua itu tidak menjadi jawaban yang tuntas. Memang karena menulis karya sastra maka saya mendapat uang, dan nama saya dikenal di tengah masyarakat. Namun masih ada yang belum terwakili melalui penjelasan itu. Uang dan nama bukan segalanya. Atau, apakah saya bersastra untuk kesusastraan semata? Tidak cukup juga. Penjelasan ini seperti membawa saya ke arah jalan buntu.

Hadirin yang saya hormati;

Setiap karya sastra lahir dari seorang yang berada dalam keadaan sadar. Dengan demikian karya sastra lahir dengan sebuah motivasi atau maksud. Dan bila maksud itu bukan hanya untuk pemenuhan kepentingan sempit (cari uang, cari nama, atau sastra untuk sastra) maka adakah sesuatu yang lebih mendasar?

Saya termasuk orang yang percaya bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Maka niat harus ditata dan dibangun dengan baik agar setiap karya sastra yang saya tulis bisa dipertanggungjawabkan. Jadi apa niat saya bersastra?
Seluruh karya sastra saya ditulis dengan niat menjalankan perintah, “Hai orang-orang beriman jadilah kalian pembela-pembela Tuhan”.
Apakah Tuhan butuh pembelaan?

Tuhan Mahaperkasa, Mahamandiri Mahakuasa, jadi Tuhan sama sekali tidak butuh pembelaan. Meyakini pribadi Tuhan butuh pembelaan adalah kekonyolan yang nyata. Maka kewajiban menjadi pembela Tuhan sesungguhnya adalah kewajiban membela amanat dan “alamat”-Nya.

Amanat Tuhan kepada manusia tidak lain adalah keadaban kehidupan, yang dibangun melalui penegakan nilai-nilai keadaban seperti keadilan, kebenaran, kasih sayang, martabat kemanusiaan, pranata sosial yang baik, dan seterusnya.

Jelasnya, amanat Tuhan kepada manusia adalah penyebaran kasih sayang kepada seluruh isi alam. Melalui karya sastra yang semuanya menyangkut kehidupan orang-orang terpinggirkan saya bermaksud memberikan kasih sayang kepada mereka. Tentu, pembelaan secara sastrawi melalui persaksian dan pewartaan tidak akan serta merta mengubah keadaan orang-orang teraniaya itu. Sastra hanya punya tugas mengetuk nurani masyarakat bila terjadi gejala yang menandai adanya pelanggaran terhadap nilai keadaban.

Maka apakah pembelaan terhadap nilai-nilai keadaban melalui karya sastra bisa berhasil?

Sastra hanya menyampaikan nilai-niai yang terkandung dalam suatu narasi cerita kepada pembaca. Sastra hanya menyapa jiwa. Maka pembaca sendiri yang, kalau mau, mengolah penghayatan nilai-nilai itu menjadi kesadaran dalam jiwanya. Dan bila perkembangannya berlanjut maka kesadaran itu akan bergerak menjadi perilaku nyata.

Para hadirin yang baik..

Pemberdayaan sastra sebagai “pembelaan” terhadan Tuhan juga bisa diarahkan kepada (alamat-alamat) Tuhan. Tuhan Yang Mahabijaksana tentu Mahatahu bahwa kita adalah ciptaan yang begitu lemah dan nisbi. Oleh karena kita tidak akan mampu mencapai Dirinya Yang Mahakuat dan Mutlak. Maka dengan kasih-sayang-Nya, Tuhan ‘menuliskan alamat-alamant-Nya’ di bumi yang bisa dan mudah kita capai. Demikian, maka orangtua kita, kaum miskin, anak yatim, mereka yang tertindas adalah orang-orang yang pantas kita yakini menjadi “alamat-alamat” Tuhan.

(Kita juga percaya tentang  adanya percakapan antara seorang penghuni neraka yang bertanya. “Ya Tuhan, mengapa aku Engkau masukkan ke dalam neraka ini?” dan Tuhan menjawab, “Karena kamu tidak menjenguk ketika Aku sakit.” Si penghuni neraka bertanya lagi, “Bagaimana Engkau Yang Mahakuasa sakit?” Tuhan menjawab, “Tetanggamu yang sakit, dan kau tidak menjenguknya.”)

Istilah ‘tetangga yang sakit” tentu bisa ditafsir secara lebih luas menjadi orang-orang di sekeliling kita yang menderita, baik secara badani, batini, maupun sosial. Mereka bisa berwujud sebagai kaum gelandangan, anak-anak yang tak sempat bersekolah, mereka yang dihukum secara zalim dan sebagainya.

Dan sastra yang bertanggung jawab kepada keadaban punya kewajiban membela mereka. Tentu sesuai dengan kodratnya, pembelaan yang yang bisa dilakukan oleh sastra terhadap “Aku yang sakit” yakni kaum miskin, mereka yang tertindas, dan sebagainya, adalah pembelaan yang bersifat moral-sastrawi. Demikian, karena sastra tidak punya kekuatan apapun kecuali sesuatu yang diharapkan bisa menyentuh kesadaran dan jwa manusia.

Hadirin yang mulia..

Karya sastra hanya bisa dilahirkan oleh mereka yang lebih dulu telah cukup membaca. Dan tentu bukan suatu kebetulan bila membaca merupakan perintah pertama Tuhan dalam kitab suci kita: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan …”.

Sasaran apakah kiranya yang diperintahkan Tuhan untuk dibaca oleh manusia?

Tentu bukan hanya kitab melainkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi yang semuanya adalah milik Tuhan semata. Orang Minang bilang, alam takambang jadi guru, orang Jawa bilang, meguru maca sastra kang gumelar. Kedua ungkapan itu mempunyai maksud yang sama, bahwa manusia diperintahkan membaca seluruh ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi. Karena, tidak ada kesia-siaan dalam penciptaan setiap makhluk; semuanya hadir membawa bukti-bukti kebesarannya.

Bila manusia  membaca dengan nama Tuhan terhadap sasaran yang baik maupun sasaran buruk, dia akan mendapat berkah ilmu dan kearifan. Membaca sejarah atau perilaku orang baik akan didapat pengetahuan dan kesadaran untuk menirunya.
Sebaliknya, membaca dengan nama Tuhan perilaku orang-orang yang mungkar maka akan dapat pengetahuan dan kesadaran untuk tidak menolaknya. Bahkan pembacaan yang ikhlas atas benda-benda yang kotor pun kita akan sampai kepada tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Misalnya, di bawah lensa mikroskop kita akan melihat kehidupan mahluk ciptaan Tuhan yang berwujud jutaan bakteria dalam secuil tinja manusia.
Hadirin yang terhormat…

Dalam pengalaman pribadi sebagai sastrawan, saya pernah menghadapi kondisi batin yang berat, yakni ketika hendak menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk pada tahun 1980.

Novel tersebut menceritakan kehidupan seorang ronggeng yang dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Dua kata kunci “ronggeng” dan “PKI” adalah dua hal  yang sering dianggap berada di luar batas wilayah kesantrian dari mana saya berasal. Selain itu, hal-hal yang berbau PKI adalah isu yang amat sensitif pada era Suharto terutama di mata aparat keamanan.

Maka ketika novel ini selesai terbit pada tahun 1984, sebagian masyarakat menanggapinya dengan bertanya bernada menggugat, mengapa sasaran yang saya pilih adalah dunia ronggeng, yang terlibat PKI pula? Ya, semua orang tahu ronggeng adalah perempuan penari kesenian radisi yang mengobral birahi. Maka pantas para santri dicegah untuk menjauhinya.

Tetapi pada sisi lain, sejak saya masih ingusan dan ikut tahlilan selalu dibacakan ayat, “Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi..”.

Maka saya pun berpikir dan percaya perwujudan ronggeng pun merupakan gejala yang harus dibaca (dengan nama Allah); dari mana, bagaimana, mengapa. Dengan demikian kita bisa menyikapinya dengan pengetahuan cukup.

Hadirin yang saya muliakan…

Mulai tahun 1960 PKI mulai membangun kekuatan fisik untuk melakukan makar. Di daerah saya, Banyumas, mereka membentuk kekuatan bersenjata di bawah tanah. Pasukan ini sering melakukan perampokan untuk merampas harta sekaligus menciptakan kerawanan sosial. Kurang ajarnya mereka mengaku sebagai pasukan DI/TII ketika melakukan penggarongan dan pembunuhan. Kami baru tahu siapa mereka sebenarnya setelah mereka tertangkap. Di antara pasukan yang mengaku DI/TII itu ada guru saya yang menjadi aktivis PKI.

Dalam dunia sastra, saya membaca karya-karya penulis kiri di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat serta buletin Indonesia Baru. Mereka suka sekali menista para tokoh agama; terutama kiai dan haji. Keluarga kami sendiri dinistakan oleh Barisan Tani Indonesia (di bawah PKI) sebagai tuan tanah dan setan desa yang harus diganyang hanya karena kami memiliki 1,5 hektar sawah. Maka tak kurang-kurang rasa sakit saya karena ulah orang-orang komunis.

Maka saya senang ketika PKI ternyata kalah dalam kudeta tahun 1965.
Tetapi kemudian saya melihat gejala yang luar biasa. Rumah mereka dibakar massa. Bahkan mereka ditembak mati di depan umum, di depan mata saya. Di seluruh Indonesia ratusan ribu dibunuh. Keluarga mereka dilucuti hak-hak sipilnya hingga tiga atau empat generasi. Ini gejala kemanusiaan yang dahsyat, dan muncul pertanyaan dalam jiwa saya; apakah kekejaman massif ini tidak melanggar keadaban? Dan, bagaimana saya harus memahami sabda Tuhan bahwa Dirinya adalah Zat Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang?

Demikian, maka dalam novel RDP terasa ada empati saya terhadap mereka, terutama terhadap orang-orang biasa yang dibunuh karena dituduh terlibat PKI. Dalam keyakinan saya, empati ini adalah pembelaan terhadap keadaban yang menjadi amanat Tuhan. Sayangnya, pihak aparat keamanan memandang sikap saya ini sebagai bukti kedekatan saya dengan kaum Komunis sehingga saya diinterograsi selama lima hari di Jakarta. Lima hari yang berat. Untung pada hari kelima ada interogrator yang bertanya kepada saya, “Adakah orang yang bisa menjamin bahwa saya bukan simpatisan Komunis?”

Pertanyaan tersebut terasa indah di telinga saya. Maka kemudian saya menulis sebuah nama dengan nomor teleponnya. Saya menyilakan para interogrator menghubungi si empunya. Nama yang saya tulis: Abdurrahman Wahid.

Mereka ternyata membeku saja, dan saya boleh pulang.
Hadirin yang saya hormati…

Saya mengakhiri pidato ini dengan permohonan ampunan kepada Tuhan atas segala kesalahan saya, serta permohonan maaf kepada para hadirin atas segala kelancangan saya. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 28 Maret 2014,
 
Keterangan: Ahmad Tohari menyampaikan naskah di atas dalam acara pidato kebudayaan yang diselenggarakan oleh NU Online, web site resmi PBNU, tanggal 28 Maret 2014
Alif.Id 

Selasa, 19 September 2017

Simpul Literasi Media, Maecenas, dan Orang-orang di Panggung Kesunyian


Kompas.com - 19/09/2017, 07:05 WIB | Mulia Nasution* | Editor: Amir Sodikin

Dokumentasi pementasan Sampek Engtay dari Teater Koma di Societet Yogyakarta tahun 2004 oleh Giras Basuwondo dan tim. Produksi Teater Koma ini mendapat rekor MURI karena dipanggungkan 80 kali (dalam kurun waktu 1988-2004) dengan memakai 7 pemain dan 4 pemusik yang sama. (Bidik layar Youtube/Teater Koma)

KECERAHAN warna-warni kostum aktor maupun aktris panggung teater berubah muram. Wajah kecewa, perasaan hampa, dan jiwa pemberontakan dahsyat, bergelora pada orang-orang yang bersiap “orgasme” di panggung pertunjukan.

Tapi…, sebuah keputusan ditentukan oleh instansi pemerintah dan aparat keamanan justru usai pentas gladi resik. Tentara dan polisi berpakaian preman berjaga-jaga di sekeling Tiara Convention Centre (TCC), Medan.

 Wajah kecewa bukan hanya milik aktor, aktris, sutradara, art director, penata cahaya. Tapi juga penonton yang membeli tiket, dan ingin mendapat pencerahan (enlightenment) dari lakon Sampek Engtay oleh Teater Koma.

Sebagai jurnalis, yang juga bergiat melakoni teater dan aktivitas sastra, pelarangan pada 20 Mei 1989 itu membuat hampa dan dada terasa sesak. Esok pagi, pelarangan pentas ini terpajang sebagai headline.

Melalui ‘kaki-tangannya’ di militer, Orde Baru sedang merapikan masa-masa kejayaannya, dan hanya segelintir tokoh yang berani “melawan” secara terbuka. Baca juga: Teater Koma Lakonkan "Sampek Engtay" pada Pementasan ke-101 Di antara orang-orang kecewa dan “melawan” penguasa melalui pentas teater, terdapat Nano Riantiarno. Ia tertegun dalam kebisuan.

Riantiarno seperti menyimpan kemarahan dahsyat di dadanya. Ia paham betapa ini wujud kezaliman penguasa masa itu. Tapi apa mau dikata, ibarat pepatah ‘nasi sudah jadi bubur’. Semua risiko harus dihadapi, apalagi bila hanya perasaan kecewa. Risiko yang menyebalkan, termasuk harus berurusan dengan aparat keamanan setempat.

Sesungguhnya, di balik kekecewaan aktor Teater Koma maupun penonton, ada sosok yang paling kecewa, dirugikan secara bisnis, bahkan entrepreunership-nya “dibunuh” secara paksa oleh sebuah rezim yang ‘emoh’ dibantah—sekalipun ini hanya tontonan panggung. Sosok bertubuh bongsor, cermat dalam ide bisnis maupun promosi kesenian yang ia cintai. Sebagai maecenas, ia memahami ‘uang hanya sebagai alat tukar’, namun ia ‘berkelas’ secara pemikiran maupun performance sehari-hari.

Meski kalkulator telah menghitung angka-angka kerugian finansial, ia berupaya cooling down, tawadu, dan memahami kekecewaan motor komunitas Teater Koma maupun penonton setianya di Pulau Sumatera.

Saat itu, Medan adalah kota terbesar ketiga di Indonesia. Sedangkan tempat pentas adalah hotel termegah di Pulau Sumatera, pulau kedua terbesar di Tanah Air. 

Tak ada guna bersitegang urat leher dengan sejumlah aparat di sekitar panggung sebab mereka bukanlah pembuat keputusan agar pentas bisa berlangsung. Di tengah isak tangis yang tertahan, handy talky aparat bersiliweran, memekik di balik semua perasaan kecewa orang-orang yang hadir.

”Laporan Komandan, semua tugas sudah kami rapikan. Sampek Engtay tidak jadi pentas, rekomendasi dari Kanwil Depdikbud dibatalkan. Kami juga sudah berbicara dengan promotor pentas Ali Djauhari, dan ia dapat memahami keputusan Komandan mencabut izin,” terdengar sayup-sayup suara seseorang berbicara setelah “roger”….”roger”. Ia mungkin berbicara dengan staf senior intelejen di Kodam Bukit Barisan, atau mungkin dengan dengan Kadit Intelkam Polda Sumatera Utara.

Bagi saya itu tidak penting, sebab perasaan kecewa yang dilalui Teater Koma, penonton, Ali Djauhari selaku maecenas, adalah juga kekecewaan saya juga terhadap rezim demagog ini. Jauh sebelum kegagalan pentas Teater Koma, AJP (Ali Djauhari Production) lebih awal menghadirkan Arifin C Noer dalam dramatic reading di TCC. Penyair WS Rendra pun pernah membaca puisi di hotel tersebut atas sponsor AJP.

Karya lain yaitu Teater Kartupat menampilkan Perempuan Perkasa dan Nomensen Koor Mesiah. Bahkan AJP pula yang ikut membantu Iwan Fals keliling pulau Sumatera, “membumikan” lagu-lagu balada dahsyat bernada protes terhadap kekuasan yang jumawa. Lagu Iwan Fals seperti Bento yang legendaris pasti membuat ‘kuping panas’ orang-orang di lingkar satu kekuasaan.

Kantong kesenian Masa itu, tahun 1980-an, pergerakan aktivitas kantong-kantong kesenian di Medan berbuah seperti kebun sawit tumbuh secara subur di Tanah Sumatera. TBM atau Taman Budaya Medan (kini Taman Budaya Sumatera Utara), selalu ramai oleh kelompok-kelompok teater seperti Teater Nasional, Teater Imago, Teater Que, Teater D’lick, Teater Merdeka. Masih ada kantong kesenian lain yaitu Teater Propesi, Teater Kartupat, Teater Nuansa, serta di daerah seperti Lubuk Pakam, Kisaran, Tanjung Balai, Padang Sidempuan. Di luar TBM, ada pusat kesenian Tapian Daya.

Di Bidang lukisan ada Simpassri (simpaian seniman senirupa Indonesia) yang punya gedung pameran dan workshop di tengah kota. Dinamika kesenian kota ini menggeliat melalui upaya masing-masing, tidak terlalu mengandalkan project pemerintah. Keterpanggilan sebagai pelakon aktivitas kesenian jauh lebih berharga dibanding kesudian ‘berselingkuh’ dengan oknum birokrasi. Urun rembug dari kantong pribadi, atau bantuan donatur, simpatisan, relasi, jauh lebih berharga ketimbang ‘menghamba’ kepada juragan di kantor-kantor megah, apalagi kepada Wali Kota maupun Gubernur.

Salah satu aksi panggung Teater Rengget di Taman Budaya Medan, Sumatera Utara, Kamis (29/10/2015).(KOMPAS.COM/TIGOR MUNTHE)

Kawan-kawan di sini tidak berhitung soal pengorbanan demi memenuhi hasrat berkesenian. Bagi sebagian besar mereka, seni bukan tempat menafkahi diri dan keluarga, namun suatu wujud ekspresi kemanusiaan, peradaban, sentuhan artistik, dan ekstase dari kejumawaan penguasa.

Perlawanan itu juga dengan bermacam cara, termasuk mendatangkan penyair-dramawan W.S. Rendra untuk baca puisi di TBM, dan berujung dengan pemutusan aliran listrik TBM. Ujungnya sudah dapat ditebak, penanggung jawab acara harus berhadapan dengan aparat keamanan.
Suburnya aktivitas kesenian seperti teater, musik,seni tari, kesusastraan, seni rupa, berpayung di dua tempat, yaitu TBM dan Tapian Daya.

Sedangkan perfilman di Sunggal, nyaris “mati suri”. Perangkai semua aktivitas kesenian, tiada lain surat kabar dan majalah yang terbit di Medan—pada masa itu Medan merupakan penerbit surat kabar paling banyak di Tanah Air, setelah Jakarta. Surat kabar Waspada punya rubrik tetap "Cerita Bersambung" (novel), rubrik budaya setiap Rabu dan diasuh oleh jurnalis-sastrawan As Atmadi, serta rubrik puisi "Abrakadabra" pada edisi Minggu, dan juga ruang "Cerita Pendek" ala remaja.

Harian Analisa punya rubrik budaya "Rebana" yang diasuh jurnalis Dalika Tadaus, SK Mimbar Umum juga punya rubrik budaya setiap Minggu dan diasuh oleh sastrawan-jurnalis AA Bungga. Aktivitas budaya harian Sinar Indonesia Baru (SIB) dimotori oleh jurnalis-pengarang Bambang Eka Wijaya. Harian Bukit Barisan juga punya motornya yaitu A Rahim Qahhar.

Gairah menulis kreatif di Medan benar-benar subur, menampung karya anak-anak muda bukan hanya Medan, tapi juga dari provinsi dan kota lain seperti Aceh, Riau, Palembang, bahkan Jakarta. Secara istimewa di bidang puisi, "Abrakadabra" adalah tonggak penting lahirnya sejumlah penulis puisi. Dukungan keluarga Mohammad Said dan Ani Idrus sebagai pemilik Waspada Group, besar kontribusinya bagi literasi media, dan kesusastraan, khususnya puisi. "Abrakadabra" yang dibidani oleh jurnalis-sastrawan Izharry Agusjay Moenzir, tak pernah absen tiga dekade. As Atmadi dan Sugeng Satya Dharma adalah pengasuh penerusnya.

Kontribusi Waspada dan surat kabar lain juga dalam penerbitan novel, komik, ilustrasi sketsa sosial. Semangat literasi media dan kesusatraan terbentang dengan adanya kantong-kontong aktivitas kesenian, dan literasi media melalui penerbitan surat kabar. Majalah Dunia Wanita, tercatat sebagai salah satu majalah tertua di Tanah Air masa itu, diasuh secara estafet oleh As Atmadi, Eddi Elison dan Izharry Agusjaya Monzier sebagai Managing Editor—menerbitkan suplemen tebal dua antologi puisi "Abrakadabra" yaitu Duri, dan Perempuan-perempuan.

Dalam sebulan Taman Budaya Medan pasti melakukan aktivitas diskusi sastra, penampilan tari maupun pentas teater. Benang merah pertumbuhan kesenian di Medan sebagai ‘kiblat’ aktivitas seni provinsi tetangga dan kota-kota satelit sekitarnya, sukar untuk diabaikan.

Pada masa itu, kunci kontribusi kesenian maupun kesusasteraan tak terlepas dari sejumlah aktivisnya yang juga berprofesi sebagai jurnalis. Mata rantai ini tumbuh hingga ke akar paling jauh, membuka semangat literasi media, kesusastraan, wawasan kebangsaan, dan keterbukaan cakrawala pemikiran. Lopo atau warung-warung kopi yang tumbuh di pinggir jalan, desa-desa kecil di kecamatan, lazim menyediakan surat kabar sebagai ‘menu’ pelengkap, menyelingi perbincangan topik hangat pengunjung atau masyarakat marjinal—tradisi folklor yang tumbuh jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Jeritan kesusahan rakyat melalui puisi, intrik politik kekuasaan, keterbungkaman suara kebenaran, dibahas sahut-menyahut di lopo, kedai, kantong-kantong kesenian maupun rubrik budaya surat kabar.

Tradisi kecerdasan masyarakat terasah secara natural, melalui wacana intelektual media cetak maupun melalui kantong-kantong aktivitas kesenian. Forum kecerdasan Satu kota yang sangat penting di dalam pertumbuhan literasi media, termasuk aktivitas kesenian, kesusastraan, tradisi lisan maupun seni modern pada tahun 1980-an, tiada lain kota Padang di Sumatera Barat. Sebagai pusat penggodokan wacana intelektualitas hadir SK Haluan yang juga punya rubrik budaya reguler, harian Singgalang, dan koran Semangat. Sejumlah pengasuh rubrik budaya dan tulang-punggung media tersebut adalah jurnalis-sastrawan.

Rubrik "RMI" (Remaja Minggu Ini) dan budaya tiap Selasa, diasuh oleh jurnalis-sastrawan Rusli Marzuki Saria. AA Navis, Chairul Harun, Hamid Jabbar, M Joesfik Helmy, Indra Nara Persada, dan Hasril Chaniago, adalah sosok yang bukan sekadar jurnalis ‘tukang’, tapi mereka adalah handcraftman atau perajin setia—membingkai tanah menjadi tembikar, besi menjadi pedang samurai, batu cincin jadi permata. Di harian Semangat ada sosok Hotman Pardede, seorang pelukis cerita bergambar dan ilustrator yang sangat popular masa itu bagi pembacanya . Sebagai pusat kesenian modern maupun kesenian tradisi, pertarungan gagasan budaya, wacana intelektual, TBP atau Taman Budaya Padang (kini Taman Budaya Sumatera Barat) adalah tonggak penting bagi panggung maupun atribut kesenian di sini.

Deretan pohon kelapa menaungi rumah Gadang di Baso, Agam, Sumatera Barat, Rabu (10/7). Kelapa menjadi kebutuhan utama dalam berbagai masakan khas Minangkabau yang rata-rata menggunakan santan.(KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)

Tak pernah lepas dari ingatan saya, dalam setiap bulan terangkai aktivitas diskusi membahas karya sastra, wacana intelektual maupun wawasan kesenian dalam konteks kebangsaan. Sedikitnya dua kali dalam sebulan, diskusi berlangsung di panggung teater, di sanggar tari maupun ruang pamer seni rupa. Tonggak penting teater modern di sini, di antaranya Bumi Teater yang diasuh oleh Wisran Hadi.

Anggota Bumi yang memilih mendirikan grup baru seperti Teater Dayung-dayung, Sanggar Bojo (teater – musik – sastra), Teater Semut, Sanggar Pasamaian, Teater Muka, dan lainnya. Tiga pementasan Sanggar Bojo seperti Oidipus Sang Raja, Antogone (karya Sopochles yang tersadur oleh WS Rendra), dan Dukun Palsu karya Moliere, memberi kontrubusi bagi kesenian di Sumatera Barat. Usai pementasan dibedah dalam forum diskusi terbuka.

Masyarakat Minang yang memiliki tradisi oral maupun wacana intelektual yang kental, hampir selalu mewarnai diskusi, debat gagasan maupun semangat berbagi, secara kolegial. Di lain sisi, Eri Mefri dengan Nan Jombang Dance Company juga tengah merintis aktivitas tari di TBP.

Lomba deklamasi selalu ramai peminat, ajang latih olah vokal dan gesture para deklamator. Nama-nama seperti Asbon Budinan Haza, Oce 82,Muhamad Ibrahim Ilyas, Armen Suhasril, Ilhamdi ‘Boy’ Sulaiman, Junaidi Usman, Aidil Usman adalah segelintir deklamator yang sangat kuat performance-nya. Sebagai pengayom aktivitas kesenian di Padang masa itu, tidak bisa diabaikan peran Dr Mursal Esten sebagai Kepala TBP.

Mursal bukan hanya birokrat, dosen, dan kritikus sastra terkemuka masa itu. Ia juga tokoh yang sangat menghargai pertumbuhan wacana intelektualitas melalui debat, diskusi, dan memang tradisi diskusi sangat ‘fasih’ masa itu di TBP atau kadai Om Fahmi. Mursal memberi kesempatan beberapa grup kesenian seperti Teater Dayung-Dayung, Sanggar Bojo, Teater Semut, Teater Muka, Sanggar Pasamaian, dapat membuat sanggar di TBP, dan sekaligus berfungsi sebagai ‘rumah’ yang sesungguhnya bagi seniman modern.

Generasi setelah Mursal, peran Mustafa Ibrahim juga patut dicatat sejarah dalam memupuk bakat mengarang, berkesenian, melahirkan semangat egaliteraian maupun wacana intelektualitas.

Kehadiran sastrawan Leon Agusta, memompa semangat intelektualitas melalui Kemah Sastra yang beberapa kali diadakan. Leon yang sering hadir di Padang dari Jakarta, selalu men-challage anak-anak muda berkiprah, membuka wawasan literasi dunia, dan kecanggihan kreativitas.
Leon Agusta salah satu penanda tangan Manifes Kebudayaan (1964) pernah menjalani hukuman penjara tujuh bulan di Tanah Merah, Pekan baru, tahun 1970.

Peristiwa Malari (1974) membuat ia sempat ditahan di Padang. Setelah mengikuti Internasional Writing Program di Iowa City, Leon Agusta mengembara di sejumlah negara di Asia, Amerika, dan Eropa.

Pengalaman pengembaraan ini, ia tularkan melalui diskusi yang intensif. Namun di ujung usia, kehidupan Leon tak sebesar nama maupun karyanya. AA Navis juga memberi kontribusi yang kental bagi pengarang berusia belia. Navis dengan kredo sinikalnya seperti “Bodoh se alun, baa lo ko jadi pintar”, atau “belum sadar juga sebenarnya bodoh, bagaimana pula mau jadi orang cerdas”, membuat kuping sebagian orang merah.

Tapi, itulah keterus-terangan ‘Urang Minang’ di dalam membangun semangat literasi media, kesenian maupun kesusastraan di tengah masyarakat. Di lain sisi prakarsa Indra Nara Persada dan mendapat dukungan Chairul Harun sebagai petinggi harian Singgalang, melahirkan penulis muda usia dan menjadikan Singgalang sebagai kawah candradimuka.

Bahkan beberapa kali pertemuan dan diskusi penulis belia di kantor Singgalang di Jalan Veteran Padang, selalu menularkan semangat dan kebebasan berkarya. Tangan dingin Indra Nara Persada, memberi ruang kreatif yang luas, transparan, dan bebas patron dalam menampung karya sastra para pemula. Indra yang juga anggota Bumi Teater, bukanlah pengasuh rubrik sastra yang butuh pengikut setia sehingga harus selalu patuh pada ego maupun kemauan dirinya selaku penjaga gawang rubrik.

Maecenas Kembali kepada sosok bertubuh bongsor dan performance-nya berkelas. Walau entrepreunership-nya “ditebas” oleh rezim penguasa masa itu, ia tetap setia mengalirkan kontribusi sosial terhadap kesenian dan kesusasteraan di Tanah Air. Saat sejumlah kawan menggerakkan semangat literasi melalui KaSuha (Kampanye Seni dan Humaniora untuk Aceh) tahun 1999, Ali Djauhari hadir sebagai penyandang dana agar dapat mewujudkan cita-cita ekspresi karya seperti penerbitan buku atau antologi puisi. Tak perlu berlembar-lembar proposal seperti diminta birokrasi saat sastrawan mau meminta kontribusi dana pemerintah, Ali Djauhari bersama keikhlasannya, memberikan kontribusi konkrit.

Aksi aktris dan aktor Teater Koma saat bermain dalam teater berjudul Inspektur Jendral di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis (6/11/2015). Pementasan yang diberi sentuhan pewayangan ini disadur dari naskah klasik Rusia berjudul Revizor karya Nikolai Gogol. (KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES)

Kebetulan di tahun 1999 hingga 2002 di awal reformasi dengan tumbangnya Soeharto, di kantornya di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, selalu ramai tokoh sekadar berbual perkembangan politik mutakhir Tanah Air yang terancam oleng.

Sejumlah aktivis seperti Hariman Siregar, Gurmilang Kartasasmita, Mayasyak Johan, Beathor Suryadi, atau akedemisi seperti Dr Kastorius Sinaga, Dr Fajri Alihar, pelukis Lian Sahar dari Yogya, Wisran Hadi dari Padang, dan Leon Agusta, sering hadir di kantornya sekadar berbual kesenian, membahas politik mutakhir sambil menikmati cerutu Havana di senja yang temaram. Sumbangsih Ali Djauhatri saat Fikar W Eda dan kawan-kawan menggagas KaSuha maupun buku antologi budaya Aceh Mendesah Sampai Jauh, sangat konkrit.

Kampanye KaSuha pasca-DOM (Daerah Operasi Militer) Aceh, memberi penyadaran masyarakat bahaya militerisasi di tengah peradaban manusia maupun bangsa-bangsa dunia. Presiden Abdurrahman Wahid memberi apresiasi terhadap aktivitas KaSuha maupun sang maecenas Ali Djauhari. Pentas KaSuha di TIM atau Taman Ismail Marzuki pada April tahun 2000, sedianya dihadiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Namun problem politik terjadi di Istana dan berakhir dengan melengserkan dua orang menteri, sehingga Gus Dur batal hadir secara mendadak. Sebagai penebus rasa bersalah Gur Dur, ia mengundang aktivis budaya untuk melangsungkan performance di kediaman pribadi Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Saat saya salah satu pengasuh program semi-dokumenter Nol Kilometer—perpaduan baca puisi (di antaranya Taufiq Ismail, Leon Agusta, Sanggar Matahari) dengan feature—dirangkai secara apik oleh host Ade Novit. Nol Kilometer tayang dua kali sepekan selama 6 bulan di prime time dan tanpa jeda iklan komersial. Beberapa topik Nol Kilometer secara kultural dirangkai dalam bingkai semangat otonomi daerah, pluralisme budaya, lintas wilayah. Pemimpin redaksi Seputar Indonesia masa itu Djafar H Assegaff dan wakilnya Andi F Noya, memberi andil bagi penyadaran masyarakat agar ancaman disintegrasi dapat terusir.

Itu sumbangsih dan wacana intelektual RCTI—yang tak boleh dilupakan sejarah Indonesia modern pasca-reformasi. Meski RCTI dimiliki oleh anak Pak Harto, perdebatan seru di newsroom tidak pernah dimonopoili oleh seorang pemimpin redaksi, apalagi oleh pemilik perusahaan. Selalu ada siasat cerdik awak redaksi di dalam menyiasati pesanan berita para ‘dewa’ atau pemilik holding company yang menaungi RCTI masa itu. Saat saya mendapat penugasan newsroom RCTI membuat semi-dokumenter mengenai penyebaran Islam melalui saudagar Minangkabau di Singkil, Aceh—Ali Djauhari yang putra Singkil secara halus malah menolak bicara.

 Ia mengusulkan Dr Fajri Alihar sebagai narasumber. Fajri Alihar sebagai peneliti demografi di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) memang putra Singkil, mencatat peran ulama Abdurrauf Singkil atau Syekh Abdur Rauf as-Singkili sebagai ulama besar dan mufti pada Kerajaan Aceh di abad 17. Meski Ali Djauhari kini fokus pada perdagangan di negara-negara Timur Tengah, ia tetap seorang maecenas yang secara intelektual melewati batas usianya. Saat Kepala Anjungan Sumatera Utara di TMII, Tatan Daniel, dan etnomusikolog Rizaldi Siagian MA, menggagas kebangkitan Ronggeng Melayu— kesenian tradisi yang dulu hadir di Sungai Deli dan telah punah oleh pembangunan ekonomi, Ali hadir sebagai salah satu penyokong dana.

Rizaldi Siagian adalah konseptor dan sutradara Megalikum Quantum saat ulang tahun Kompas ke-45 tahun 2005, sedangkan Tatan Daniel—birokrat yang sebenarnya seniman—dapat menghidupkan anjungan bersama beragam aktivitas seni. Alhasil kebangkitan semangat literasi media maupun berkesenian ini ditoreh pula oleh Tena atau Teater Nasional.

Melalui pentas monolog Prita Istri Kita karya Arifin C Noer di TIM, Sabtu (16/9). Tena adalah kelompok teater tua yang berdiri tahun 1963. Di antara pendirinya, Burhan Piliang, aktor dan sekaligus sutradara teater. Burhan yang pernah menjadi fotografer majalah Tempo dan majalah Prospek, meninggal dunia dalam insiden kecelakaan helikopter saat ia melakukan pemotretan bagi keperluan pemetaan wilayah. Pernyataan Sori Siregar, pendiri Tena yang masih hidup, layak disimak. Pendiri Tena tidak ingin banyak dikenal, apalagi mengungkap jati dirinya. Cukup hanya nama dan karya mereka yang diketahui.

Di antara pendukung utama Tena adalah komikus Taguan Hardjo—yang merelakan rumahnya sebagai tempat awal berkiprah.

Hamsad Rangkuti terbaring lemah dan dirawat oleh istrinya, Nur Windasari, di rumahnya di Jalan Swadaya VIII, Beji, Depok, Jumat (8/9/2017). Hamsad yang kini berusia 74 tahun itu mengalami berbagai penyakit yang kompleks.(Kompas.com/Alsadad Rudi)

Dari sekelumit pengalaman subyektif ini, saya menyadari kesenian dapat tumbuh dari semangat kreatif dan bersemat egalitarian di dalam komunitasnya. Lebih tumbuh subur bila sosok yang punya kepedulian besar seperti maecenas Ali Djauhari, atau tokoh-tokoh yang melakukan pengasahan kepada publik seperti As Atmadi, Dalika Tadaus, Burhan Piliang di Medan, dan Mursal Esten, serta Wisran Hadi di Padang pada masanya.

Di Yogya suatu masa pernah ada Umbu Landu Paranggi melalui mingguan Pelopor Yogya. Orang-orang ini berada di panggung, namun panggung yang sunyi. Bukan orang yang ingin pribadi mereka menonjol, tapi karyanya yang berbicara kepada khalayak. Jauh dari atribusi maupun publisitas ala infotainment. Melalui monolog Prita Istri Kita, Tena juga bertekad ‘membangkit batang tarandam’. Sebuah kerja yang tak sederhana, apalagi ringan. Bukan materialisme yang jadi ujung tombak semangatnya, melainkan ekspresi human being, jiwa-jiwa berkarya, dan lelah memeloti dunia politik Tanah Air dipenuhi semangat partisan, oportunis, dan para demagog.

Lelah menonton politisi super kaya tapi diperbudak kekuasaan, pengusaha yang berbisnis dalam koridor unfairness, dan orang-orang jumawa yang berbangga menyemai hawa nafsu rendah. Saya selalu ingat kata-kata Ali Jauhari, ”Uang bagi saya hanya sekadar alat tukar….”.

Sebuah kesadaran ruang, dan waktu.  Di masa kini,dan masa datang, Republik yang sangat luas ini butuh banyak penggerak literasi media—yang tulus bekerja, maecenas yang tak hanya bersiasat dapat untung besar dan popularitas, dan orang-orang yang merindukan panggung sesungguhnya meski tempat terhormat bagi mereka hanya ‘panggung yang sunyi’. Semestinya petinggi negara ini punya rasa malu dan menghargai sumbangsih Hamsad Rangkuti bagi literasi kesusastraan Tanah Air. Hamsad yang kini terbaring sakit di tengah kekurangan biaya berobat, negara seharusnya hadir sebagai induk semang yang sesungguhya bagi para pengabdi kebudayaan.

Saya punya pengalaman tragis saat mengunjungi Leon Agusta terbaring sakit di RS Cikini tahun 2013, ia kesepian dan ‘papa’ dari segala-galanya, sampai ajal menjemput di kota Padang beberapa tahun kemudian.

Pembangunan kebangsaan bukan hanya infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur kebudayaan yang konkrit beserta amunisinya. Tak sedikit anak-anak muda bertalenta, akhirnya memilih jalan sunyi dengan meninggalkan Tanah Air, sebab negara lain lebih menghargai talenta maupun karya mereka. Pekik Presiden Joko Widodo, "Saya Indonesia, Saya Pancasila” hanya jargon usang bila tidak mendapat ruang implementasi nyata.

Bukankah revolusi mental yang sesungguhnya harus ada pada petinggi negeri, aparat birokrasi, aparat keamanan, aparat militer, penegak hukum, dan seluruh jajaran mereka. Bukan pada rakyat yang lelah melihat keculasan politisi, oknum birokrasi maupun orang-orang super kaya memamerkan kecongkakan harta di tengah sebagian besar masyarakat kita yang masih miskin dalam arti sesungguhnya.

Literasi media dan literasi kesusastraan, dibutuhkan agar semua ini bukan hanya cita-cita dan retorika belaka. Kehadiran maecenas setidaknya dapat menghibur dahaga kita di tengah padang sabana yang luas ini.
---

Mulia Nasution, Jurnalis yang pernah bekerja untuk The Jakarta Post, RCTI, TransTV. Pernah bergiat menulis puisi, cerita pendek, novel, opini, dan praktisi public relations . Kini menekuni problem solving and creative marketing. Ia mudah dijangkau email mulianasution7@gmail.com. 

Selasa, 05 September 2017

Film Widji Tukul menang di Bulgaria

 
Pewarta: 
Pengunjung menunggu waktu pemutaran film saat nonton bersama film "Istirahatlah Kata-kata" tentang kisah aktivis sekaligus penyair Wiji Thukul di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (22/1/2017). (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
London (ANTARA News) - Film "Istirahatlah Kata-Kata" yang mengisahkan Widji Tukul, penyair dan aktivis yang menjadi buron Pemerintahan Orde Baru yang sampai kini tak tahu rimbanya, meraih penghargaan khusus pada Festival Film Internasional "Love is Folly" di Kota Varna, Bulgaria, sejak 25 Agustus hingga 3 September.

Sekretaris pertama Pensosbud KBRI Sofia Nurul Sofia kepada Antara London, Selasa, mengungkapkan 102 film ditayangkan pada festival yang merupakan salah satu terbesar di Balkan. Penghargaan yang diterima "Istirahatlah Kata -Kata" yang diproduseri Yulia Evina Bhara dan Anggi Noen adalah penghargaan kedua tertinggi setelah Grand Prix Award.

Panel juri internasional memberi penghargaan kepada pemenang festival lainThe Citizen dari Hungaria yang memenangkan Penghargaan Utama Grand Prix Aphrodite. Selain itu Pemeran Utama Wanita Terbaik dimenangkan Rimma Zyubina untuk film "The Nest of the Turtledove" dari Ukraina dan untuk Pemeran Utama Pria Terbaik dimenangkan Konu lewat "Wedding Dance" dari Turki.

Keikutsertaan film Indonesia dalam festival ini adalah hasil kerja sama KBRI Sofia dengan Pusat Pengembangan Perfilman Kemendikbud yang bertujuan mendukung sineas Indonesia bersaing pada tingkat global.

Film pilihan Indonesia diputar dalam segmen khusus Indonesian Panorama, meliputi film Nokas, Athirah, Salawaku, Emma, Aisyah Biarkan Kami Bersaudara, dan Kejarlah Daku Kau Kutangkap.

Menurut Sekar Ayu Asmara, kurator dari Pusat Pengembangan Perfilman Kemendikbud, pemilihan film untuk ikut serta dalam kompetisi ini salah satu diantaranya karena cerita Widji tukul dapat terjadi pada siapa saja sehingga wakil dari bangsa lain pun bisa merefleksikan isi ceritanya.

Dubes RI Sofia Sri Astari Rasjid mengaku bangga atas prestasi Indonesia tini dan berharap film Indonesia lainnya dapat melanglangbuana di Balkan tahun-tahun mendatang sebagai salah satu alat mendukung promosi Indonesia.
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2017

Sabtu, 02 September 2017

Perdebatan Sastra Kontekstual


Judul: Perdebatan Sastra Kontekstual
Penulis: Ariel Heryanto, Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Rendra, Emha Ainun Nadjib, dll.
Penerbit: Rajawali, 1985
Tebal: 519 Halaman
Kondisi: Buku Bekas 


Sastra Kontekstual adalah gerakan kesusastraan yang yang berawal dari pemahaman bahwa nilai-nilai sastra tidak mengenal universalitas, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai waktu, tempat, dan peradabannya. Konsep ini digagas dalam acara Sarasehan Kesenian Sastra Kontekstual, di Surakarta, 28-29 Oktober 1984 oleh Ariel Heryanto dan Arief Budiman. Keduanya merupakan akademisi dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah (waktu itu). Perhelatan ini berhasil menghimpun karya-karya sejumlah sastrawan dalam sebuah buku bertajuk Perdebatan Sastra Kontekstual yang disunting oleh Ariel Heryanto.

***
Perkembangan sastra modern Indonesia memiliki kecenderungan kebarat-baratan. Setidaknya itulah yang diembuskan dalam gerakan sastra kontekstual. Sastrawan Indonesia belum memiliki jati dirinya dengan menghasilkan karya yang lebih Indonesia. Mazhab sastra dunia barat masih kental dalam setiap karya-karya yang lahir. Dampaknya, status quo atas nilai-nilai kesusastraan hanya ditentukan oleh segelintir orang yang sudah berada di kelasnya. Sebuah karya, jika dimuat di majalah bergengsi yang redakturnya adalah sastrawan besar memunculkan bahwa karya tersebut adalah karya. Sementara yang terpublikasikan di media daerah, kecuali ditulis oleh sastrawan ternama, tidak akan dianggap karya sastra. Kenyataan inilah yang membuat beberapa orang menjadi prihatin dan menanyakan kembali secara radikal, apa sebenarnya penyakit yang menghinggapi kesusastraan Indonesia, sehingga dia terus kerdil dan malas tumbuh. Pengaruh politik kolonial pada 1920-an berhasil menumpas tumbuhnya kesusastraan nasional yang berbicara tentang kemerdekaan bangsa. 
Sebagai gantinya, ditumbuhkanlah kesusastraan berorientasi barat yang mengembus-embuskan keuniversalan nilai-nilai sastra, sehingga sastra tidak lagi berbincang tentang perjuangan bangsa menyongsong kemerdekaan.
Nilai-nilai sastra semestinya terikat waktu dan tempat. Nilai-nilai tersebut tumbuh dan berubah sepanjang sejarah, berbeda dari suatu tempat dan tempat lain, dari waktu ke waktu, dari kelompok masyrakat satu dengan kelompok masyrakat lainnya yang mencakup suku, agama, kelas sosial. Hanya dengan mengakui kenisbian semacam itu sastra dapat berkembang di bumi yang nyata, bukan dunia yang hanya didambakan. Hal lain yang mendorong munculnya pemahaman tentang sastra konstekstual adalah lahirnya tirani sastra kelas menengah kota, yaitu mereka yang tinggal di kota-kota besar berpendidikan sastra, baik formal maupun informal. Mereka menguasai dunia universal, didengarkan oleh para penerbit dan redaktur kebudayaan surat-surat kabar, dan mereka menentukan mana yang disebut karya sastra, dan mana yang bukan. Yang tidak mereka kuasai adalah membaca rakyat biasa, yang menurut mereka masih harus dididik selera sastranya. Gagasan sastra kontekstual, sebenarnya, tidak bermaksud menggempur eksistensi status quo mereka, melainkan menempatkannya di dalam konteks sebenarnya, yakni bahwa mereka merupakan sastra yang berkembang di kelas menengah kota-kota. Mereka memiliki hak hidup yakni dalam konteks lingkungan pembaca. Yang perlu diluruskan hanyalah pemikiran bahwa hanya sastra merekalah yang boleh dinamakan sastra, di luar itu tak ada sastra.
Gerakan sastra kontekstual memiliki tujuan ingin membuka daerah-daerah kesustraan baru yang selama ini tidak terlihat karena tertutup bayang-bayang sastra kelas menengah kota, dengan doktrin nilai-nilai universalnya. Di sinilah peran dapat dimainkan oleh para redaktur budaya, karena kritik mereka berpengaruh dalam menentukan perkembangan kesusastraan modern di Indonesia. Melalui tangan merekalah karya-karya sastra disebarluaskan. Gagasan ini sekaligus memberikan kesadaran kepada sastrawan muda agar berani menciptakan karya-karya sastra yang didasarkan kenyataan sosial yang mereka alami sehari-hari, dengan bahasa yang mereka pergunakan. Karena hanya dengan cara ini, mereka akan menjadi diri sendiri dalam menghasilkan karya sastra. (sumber: inspirasi.co/polemik yang melegenda)