Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Jumat, 20 Januari 2017

Yosep Anggi Noen: "Tubuh Wiji Thukul itu Puisi"

Oleh: Dieqy Hasbi Widhana - 20 Januari 2017

Yosep Anggi Noen, sutradara film "Istirahatlah Kata-kata" . Tirto.id/Andrey Gromico

Masa singkat pelarian Thukul yang digambarkan dalam film ialah periode paling kompleks dan krusial dalam sejarah politik Indonesia di akhir Orde Baru.

Karya sutradara Yosep Anggi Noen identik dengan shot para tokoh utama dari belakang dan dialog minimalis. Itu terlihat dalam film panjang perdananya, Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012). Pendekatan kosa gambar yang sama itu masih ia pakai dalam Istirahatlah Kata-Kata. Penonton bisa menilai bahwa 'jiwa ketok' alias psikologisme tokoh dalam film Anggi tidak seketika menyeruak, melainkan diudar sangat pelan dan halus, dan cenderung multi-tafsir.

Seorang penyair pemberontak, penyair protes seperti Wiji Thukul, diterjemahkan Anggi dalam layar suara yang nyaris sunyi. Ia mengambil masa singkat pelarian Thukul sesudah 27 Juli 1996 yang dikejar-kejar aparat intelijen dan serdadu Orde Baru. Periode itu dipersingkat lagi ketika Thukul bersembunyi di Pontianak, Kalimantan Barat. Keseluruhan film berdurasi 97 menit ini hendak menampilkan Thukul sebagai sosok yang juga mengenal rasa takut, cemas, rindu, dan kesepian. 

Dalam proses riset sebelum syuting, selain menyisiri setiap karya Thukul, Anggi juga menelusuri berkas-berkas yang berhubungan dengan kisah aktivis pro-demokrasi tersebut. 

Puisi-puisi Thukul adalah kehidupan dekat sang penyair, kehidupan sehari-hari yang ia jalani, perjalanan realisme. Ini cukup bikin Anggi lebih mudah menuangkan konteks karya Thukul ke dalam layar. Bagi Anggi, Thukul dilahirkan dan hidup dengan ritme yang sinematik.
“Kalau bicara mengenai Wiji dan puisi, menurut saya, tubuh Wiji Thukul itu puisi. Bahkan anaknya pernah bilang, 'Bapakku seperti puisi, singkat dan misterius.' Ngeri. kan?” kata Anggi sesudah pemutaran perdana Istirahatlah Kata-Kata di Jakarta, 16 Januari lalu.
Segera setelah proses produksi dan penyuntingan rampung, film yang diberi judul Solo, Solitude buat publik berbahasa Inggris ini tahun lalu diikutkan ke pelbagai festival film. Dalam setahun, Anggi memboyong sejumlah penghargaan. Piala Dewantara Film Terbaik Apresiasi Film Indonesia 2016 dan Golden Hanoman Award di Jogja Netpac Asian Film Festival 2016. Ia juga diputar di Festival del Film Locarno 2016, Concorso Cineasti del Presente Switzerland 2016, The Pacific Meridian International Film Festival Rusia, Filmfest Hamburg, Quezon City International Film Festival, dan sebagainya.

Proses pembuatan Istirahatlah Kata-Kata memakan waktu tiga tahun, sebagian besar tersita untuk riset dan pra-produksi. Ia telah menuntaskan sebuah proyek yang mengandung pesan terang ketika negara tetap abai dan melipat kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk penghilangan orang secara paksa yang menimpa Wiji Thukul.
“Film ini ... untuk mengingatkan orang-orang bahwa masih ada yang hitam,” tuturnya.
Anggi lahir di Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan Jurusan Komunikasi di Universitas Gadjah Mada. Sejak SMA ia sudah menggarap sejumlah film pendek termasuk Kisah Cinta yang Asu (2015). 

Berikut perbincangan antara Yosep Anggi Noen dengan Dieqy Hasbi Widhana dari Tirto


Apa yang mendorong Anda setuju menggarap film ini?

Biar kita ngobrolnya enak antar-generasi. Kalau ada sesuatu yang gelap, itu nanti sulit kita ngobrol antar-generasi. Film ini semoga menjadi jembatan. Iyo ora? Kasusnya belum selesai. Saya hanya mencoba membuat film, kemampuan dari diri saya, untuk mengingatkan negeri ini, untuk mengingatkan orang-orang bahwa masih ada yang hitam. Itu jembatan kita untuk mengerti zaman tertentu. Kalau tidak ada, nanti lupa, nanti gelap masa depan kita. Yakin aku. 

Film itu dibuat untuk mencatat dan memancing pemikiran. Jadi, film ini tidak mengadili. Saya tidak membuat semacam ending yang saya putuskan. Ending dari film ini adalah sebuah pertanyaan, di mana (Wiji Thukul)?

Selain menelusuri dokumen untuk mengetahui konteks politik di balik kasus penghilangan paksa, apalagi yang Anda lakukan? 

Saya bertemu banyak sekali orang di lingkaran teman dan saudara Wiji. Mulai dari Danial Indrakusuma (Jakarta), Halim HD (Solo), kemudian Mas Wahyu Susilo (adik Thukul). Martin Siregar (Pontianak), Thomas Daliman (Pontianak), Ida, istrinya Martin. Banyak sekali, lah. Orang-orang ini kan bekas PRD. Hilmar Farid (sejarawan) kan dulu terafilisasi di jaringan aktivis pro-demokrasi, lah. Ada Budiman Sudjatmiko (politikus PDI Perjuangan).

Kenapa diberi judul Istirahatlah Kata-Kata?

"Istirahatlah Kata-kata" puisi Thukul tahun 80-an, lho. Dan bukan puisi pelarian. Jadi sebenarnya film saya ini mencoba untuk memampatkan rentang waktu yang panjang. Mulai Wijji hadir sebagai manusia, kemudian dia hilang. Itu saya coba mampatkan hampir satu tahun dia bersembunyi di Pontianak. Misalnya, cacatan masa kecil dia yang juga menjadi calo tiket bioskop, saya wujudkan dalam adegan bioskop di Pontianak. Saya mewujudkan itu dalam film, itu tafsir. Jadi film ini adalah tafsir atas sejarah panjang dari perjalanan hidup Wiji Thukul.

Kalau Istirahatlah Kata-kata, ya karena menurut saya, ini paling kontekstual, lah. Terlalu banyak cuap-cuap hari ini. Banyak omong-kosong kita itu. Makanya dipilih Istirahatlah Kata-kata. Simpan sesuatu, rasakan sesuatu, nanti kita bangun lagi, lah. Beristirahat itu bukan diam, lho. Beristirahat itu sedang merenung supaya kamu punya kekuatan lagi untuk menyatakan yang sebenar-benarnya. 

Mengapa memilih masa pelarian Thukul di Pontianak?

Setelah 27 Juli 1996, Partai Rakyat Demokratik dan Wiji Thukul itu tiarap. Kemudian negara menyatakan bahwa Wiji dan beberapa aktivis adalah "pemicu" dari kerusuhan di Jakarta, 27 Juli. Lalu semua orang pergi, tidak saling terkonsolidasi. Wiji kemudian disembunyikan di Pontianak. 

Itu adalah periode paling kompleks dalam kehidupan seorang Wiji. Jauh dari keluarga, tidak punya pengalaman hidup di Pontianak. Jadi dia seperti orang yang benar-benar baru mengenali ruang dalam tekanan sebagai buron. Itu titik yang paling krusial dalam hidup dia. Akhirnya dia menyatakan kembali ke Jakarta, bergabung lagi dengan aktivis-aktivis menggulingkan Soeharto.

Apa yang terjadi di Pontianak adalah hal baru. Atau hal-hal yang melihat Wiji punya dua karakter: sangat unik sekaligus kompleks. Ketika di Pontianak, di satu sisi, dia takut betul bertemu aparat tentara dan polisi. Dia sering nunduk atau ketakutan. Di sisi lain, dia juga ke cafe, baca puisi di depan orang-orang. Itu kan sesuatu yang luar biasa. Karena memang semua manusia tidak bisa ditunjukkan dalam sebuah posisi yang terlalu biner: bahagia dan sedih. Tapi dalam kebahagiaan ada kesedihan; dalam ketakutan ada kegembiraan; dalam kerinduan ada kebencian. 

Yang tidak ada di sinema Indonesia itu: semuanya kayaknya yang senang-senang, yang baik-baik, filmnya berwarna, tapi sifatnya hitam-putih semua. Tidak baik kemudian, bila kita memajang gagasan dalam sinema, hanya yang dipajang hitam-putih kehidupan. Harus menunjukkan bahwa setiap manusia itu kompleks. Itu yang ingin saya wujudkan dalam Istirahatlah Kata-Kata.

Bagaimana menafsirkan puisi realis, lalu menuangkannya dalam sinema?

Pertama, baca semua puisinya Wiji. Ada banyak sekali hal-hal yang menakjubkan di situ. Pusi Wiji yang dia rebutan ikan asin dengan kucing? Endingnya: 'kuberi dia kepala ikan, aku makan tubuh ikannya'. Artinya, itu kejenakaan yang sebetulnya siasat kehidupan orang-orang kelas bawah, yaitu berbagi, bahkan dengan makhluk yang lain. Itu sangat sinematik.

Kalau bicara mengenai Wiji dan puisi, menurut saya, tubuh Wiji Thukul itu puisi. Bahkan anaknya pernah bilang: Bapakku seperti puisi, singkat dan misterius.

Siapa yang menafsirkan konteks puisi Thukul?

Pertama saya. Tapi kemudian dibantu oleh Gunawan Maryanto. Saya melihat beyond the words, apa yang terjadi di luar kata-kata. Jadi teks itu saya baca menggunakan konteks. Kemudian saya berpikir, kira-kira subteks apa yang muncul dari teks dan konteks itu. Saya pikir juga puisi Wiji Thukul itu beragam. Ada yang bisa langsung telan. Ada yang quoteable. Ada juga yang enggak.

Yang penting bagi saya, melihat konteks bagaimana puisi itu ada. 

Bagaimana proses pendekatan aktor dan aktris untuk menjiwai perannya?

Pertama, Gunawan Maryanto, saya sama sekali tidak berpikir mengenai bentuk, rupa. Kebetulan dia cukup mirip, ya. Tapi Gunawan Maryanto adalah penyair. Dia paham betul anatomi kata-kata. Dia paham betul tubuh puisi. Dia mampu merepresentasikan ulang dari tubuh yang membuat puisi. 

Kalau Marissa Anita, mampu menguasai panggung. Saya juga tidak mau memilih sosok dengan bahasa Jawa yang terbata-bata. Engko dadi gak koyok uwong Jowo kuwi lho, aku ra seneng-e.

Saya pikir, kami berkumpul untuk menafsirkan sesuatu, bukan berkumpul untuk mengimitasi sesuatu. 

Marissa sama Gunawan saya biarkan explore sendiri. Marissa enggak ketemu Sipon biar enggak meniru. Edo (Edwart Boang Manalu) ketemu Martin, tapi pas hari shooting. Pak Martin tinggal di Sanggau, jauh dari Pontianak. Saya membuat tafsir pada semua peran.

Yang kedua, keluarga Wiji memberi ruang pada kami untuk menafsir. Fitri Nganthi Wani (putri sulung Thukul) bilang kepada saya, “Bapak saya itu seorang pembuat puisi, seorang seniman. Dia menafsirkan situasi, dia menafsirkan zaman. Maka saya yakin anda-anda ini sebagai pembuat film juga punya hak untuk menafsirkan bapak saya.”

Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam

Yosep Anggi Noen menafsirkan masa hidup Thukul tidak hitam-putih: dalam rasa takut ada keberanian

Source: Tirto.Id 

Minggu, 15 Januari 2017

Dariah, Legenda hidup Lengger Lanang Banyumasan

Oleh: Uwin Chandra


Sampur berwarna merah yang terlipat rapi dalam kantung plastik putih perlahan dibentangkan. Genggaman tangan kulit berkeriput itu sigap memutarkan sampur dari bahu kiri hingga kanan. Tanpa alunan calung dan tembang, ia menari sambil sesekali menganggukan kepala dan melebarkan lengannya menunjukan lentik jemari.

Meski usianya tak lagi muda, goyangan pinggul dan langkah kakinya masih menunjukkan sisa kemahirannya menari lengger saat masa jayanya diantara pertengahan Tahun 1940-an sampai 1965-an. Dariah, begitu namanya dikenal penduduk Desa Plana dan Somakaton yang bertetanggan di Kecamatan Somagede Kabupaten Banyumas.

Kesan pertama, mungkin tak ada yang mengira jika Dariah merupakan sosok laki-laki. Sewaktu lahir, sekitar Tahun 1928, Dariyah diberikan nama oleh orang tuanya, Sadam. Namun perjalanannya sebagai sosok laki-laki berubah selepas akil balik. Dariah yang hobi menari dan menyanyikan tembang Jawa semasa kecil merasakan pergolakan batin yang kuat dalam dirinya.

Dariah, bagi masyarakat seni di Banyumas dan sekitarnya bukanlah nama asing. Dia dikenal sebagai lengger lanang yang mengalami tiga generasi penanda era perubahan dalam negara Indonesia. Dalam ingatannya, Dariah mulai menjadi lengger sejak zaman Jepang masuk ke Indonesia.

"Pas zaman Jepang ya wis ngelengger," ucapnya dalam bahasa banyumasan yang dipakainya dalam berkomunikasi sehari-hari.

Kemolekan dan kecantikan Dariah pun dikenal dari kalangan pejabat hingga rakyat jelata. Banyak pejabat yang tergila-gila ketika Dariah mentas. Pesonanya yang luar biasa, pun terbawa hingga kehidupan sehari-harinya. "Zaman gemiyen ya ben wengi akeh sing nginep nang omahku," tutur Dariah yang masih berusaha keras mengingat kejayaan masa silamnya.

Pengalamannya menjadi lengger, bukanlah sembarang laku seperti yang dilakukan lengger pada umumnya. Pengamat seni banyumasan, Yusmanto, mengemukakan, Lengger Dariah sangat berbeda dari lengger lainnya.

Ia menjelaskan, sebelum menjadi lengger banyak orang melakukan ritual untuk menambah pamor dan auranya. "Tetapi Dariah tidak, ia menjadi lengger sudah seperti laku hidup," ujarnya.

Kisah Dariah dimulai dari rumahnya yang kedatangan pengembara, saat itu ia tinggal bersama kakek. Saat itu, kakeknya diberitahu, Dariah yang bernama asli Sadam, memiliki indang lengger. Gelisah tak menentu, membuat Dariah yang menginjak remaja pergi berjalan. Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki, hingga pada suatu hari ia berada di petilasan Panembahan Ronggeng yang berada di Kecamatan Sumbang Banyumas.

"Pas kae arep bali meng omah, aku tuku gelung karo kain nang Purwakerta. Nang omah, aku cerita arep dadi lengger. (Waktu itu dalam perjalanan kembali ke rumah, saya beli sanggul dan kain di Purwokerto. Setiba di rumah, saya cerita kalau saya ingin jadi lengger)," ujar Dariah yang menyukai inang di masa senjanya.




Tawaran manggung perlahan mengalir dari berbagai daerah. Ia mengaku memasang tarif yang cukup tinggi saat itu. Dengan pasang harga yang cukup tinggi, ia makin bersinar di masyarakat. Kala itu, tidak banyak yang mencibir karena memiliki lengger lanang dalam kepercayaan masyarakat agraris di Banyumas perlambang kemakmuran.

"Kalau pun ada yang iri mungkin hanya saingannya dari lengger lainnya yang perempuan. Bahkan, saking banyaknya lelaki yang tergila-gila membuat Dariah dicemburui para istri," kata Atmo Sumitro, pegiat seni calung banyumasan di Desa Plana yang berdekatan dengan Desa Somakaton.

Atmo mengingat kejayaan Dariah dimulai sekitar pertengahan tahun 1950-an. Saat ia masih anak-anak. "Saya tahu persis Dariah, karena dia dulu tinggal bersama dengan keluarga bapak di rumah. Setiap hari, dia selalu berdandan seperti perempuan tetapi kami tidak merasa risih," katanya dalam bahasa Indonesia bercengkok ngapak.

Meski banyak bermunculan lengger-lengger perempuan yang berasal dari tetangga desa, Dariah kala itu menjadi primadona kesenian Lengger Banyumasan. "Persaingan antara penari lengger perempuan dengan Dariah tidak begitu nampak. Tetapi sepertinya memang ada, namun 'perseteruan' secara batin," jelas Atmo sembari menghisap rokok kreteknya. 

Bahkan pesona Dariah mampu membangkitkan hasrat kaum laki-laki yang melihatnya. Pemuda yang tergila-gila kepadanya pun berasal dai berbagai kalangan, orang berduit, pejabat desa hingga warga biasa.

"Dulu banyak sekali laki-laki yang menginap di rumahnya, bahkan sampai dibuat jadwal menginap. Soalnya zaman itu saya akui, Dariah sangat cantik. Bahkan banyak laki-laki yang menghabiskan hartanya hanya untuk sekedar bersama Dariah," kata Atmo.

Bukti kecantikan Dariah hingga kini pun masih nampak jelas dari garis muka yang masih menunjukan auranya. Bagi Dariah, kedatangan laki-laki untuk menginap di rumahnya diladeninya dengan baik. "Kalau menginap, biasanya kami tidur tidak dalam satu kamar dan mereka tahu kalau saya juga laki-laki," kata Dariah yang gemar menginang sirih.



Kenyataan itu diakui pula oleh Mukyani (80), penggemar berat Dariah yang ditemui beberapa waktu silam di rumahnya yang berada di Desa Somakaton. Mukyani mengaku sangat tergila-gila dengan Dariah saat mentas dipanggung. Diakuinya, ia pernah menginap setiap malam di rumah Dariah.

"Dariah kuwe maen temen. Apa baen sing dipengeni Dariah tak turuti ben iso turu nang omahe (Dariah itu sangat menarik. Apa saja yang Dariah inginkan, akan saya turuti supaya bisa bersama Dariah)," kata Mukyani yang mengaku pernah menjual sapi hanya untuk menuruti permintaan Dariah, yang ditemui beberapa waktu silam di rumahnya.

Bahkan, Mukyani mengaku hingga hari ini tidak bisa menyembunyikan kekagumannya kepada Dariah. Namun, masa kejayaan Dariah berangsur menurun saat meletusnya peristiwa 1965. Saat itu, banyak kesenian tradisional yang tiarap karena kecurigaan militer terhadap bentuk kesenian rakyat yang dicurigai menjadi bagian penyebaran paham komunisme.

Perlahan dan pasti, nama Dariah mulai surut dalam seni lengger. Ia kemudian beralih mengikuti kesenian tradisional lainnya seperti ketoprak. Tetapi, itu tidak bisa bertahan lama. Akhirnya, ia menjalani pekerjaan menjadi dukun manten hingga masa tuanya.

Pengabdian Dariah menjadi pelestari lengger, mengantarnya mendapatkan penghargaan Maestro Kesenian Tradisional untuk seni lengger Tahun 2011 dari Jero Wacik yang saat itu menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.

Persepsi masyarakat Banyumas selama ini kerap menyambut Lengger Lanang sebagai hiburan tradisional yang menarik tanpa tendensi apa pun. Tak ada prasangka atau pandangan negatif yang membuat penari Lengger Lanang menjadi stereotype dalam lingkungan masyarakatnya.




Seni Populer

 
Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari mengatakan lengger pada dasarnya adalah seni populer yang telah lama hidup dalam masyarakat agraris di Banyumas. Budaya Banyumas sebenarnya berorientasi pada kesenian rakyat yang rancak dan sederhana karena termasuk dalam perangkat kebudayaan massa yang berbeda dengan kesenian keraton.

Sebagai hiburan, lengger memang disenangi banyak penduduk. Selain hiburan, lengger juga menjadi bagian dalam ritual masyarakat agraris. "Lengger menjadi media ritual yang melambangkan dewi kesuburan dalam budaya masyarakat agraris," jelasnya saat ditemui beberapa waktu lalu.

Ahmad Tohari menceritakan, zaman dahulu setiap desa di Banyumas memiliki Lengger Lanang yang menjadi simbol kesuburan. "Di desa saya (Tinggarjaya Kecamatan Jatilawang Banyumas) juga ada Lengger Lanang. Bahkan, kondisi ini terrekam dalam buku 'History of Java'," ujarnya.

Dalam "History Of Java", Sir Thomas Raffles menyebutkan berbagai kesenian yang tersebar di Pulau Jawa. Lengger menjadi salah satu kesenian yang menurut Raffles tak jauh berbeda dengan Ronggeng, Tayub dan beberapa jenis kesenian rakyat lainnya.

Meski begitu, Ahmad Tohari menarik garis tegas perbedaan antara lengger yang diperankan laki-laki dan ronggeng yang diperankan perempuan. Penegasan tersebut juga dikemukakan Atmo Sumitro yang mengisyaratkan lengger sebagai dua paduan kata dari bahasa banyumasan.

"Lengger itu berasal dari kata 'leng' yang berarti lubang dan 'jengger' yang berarti mahkota pada ayam jago," ungkapnya.


 
Penerimaan yang apik dari masyarakat Banyumas membuat kesenian ini mampu menembus batas gender dalam tatanan masyarakat pada umumnya. Seniman tari, Didi Nini Thowok mengungkapkan lengger lanang merupakan salah satu kesenian yang bernilai tinggi, jika dipandang dalam kajian seni di dunia.

"Seni tradisi 'cross gender' yang sering saya lakukan itu sebenarnya seni yang sangat serius. Sewaktu saya mempunyai kesempatan belajar di Jepang, banyak seniman negara lain seperti Cina dan India, heran melihat penampilan saya membawakan seni 'cross gender' dibawakan komedi," ujarnya di Padepokan Payung Agung Desa Banjarsari Nusawungu Cilacap, beberapa waktu silam.

Setelah dijelaskan Didi, seniman dari beberapa negara tersebut memahami akar tradisi kebudayaan Indonesia. Seni tradisi "cross gender" di Indonesia sebenarnya tradisi yang sudah lama mengakar sekitar abad 18.

"Dalam Serat Centini, banyak dibahas seni seperti ini (cross gender) dalam kesenian keratin yang memeluk Islam, sehingga tak heran jika saat itu peran-peran sebagai perempuan dalam kesenian dimainkan laki-laki," ujarnya.

Peran tersebut dilakukan untuk mengikuti aturan yang melarang adanya sentuhan selain muhrimnya. Bahkan, perempuan dalam kesenian saat itu dianggap tabu. "Namun generasi ini terputus sekitar abad 20. Jadi kesenian 'cross gender' seperti lengger merupakan sejarah dan ini tertulis, tidak asal-asalan," paparnya.



Penerus Lengger

Lebih jauh, Didi berharap penerus lengger lanang saat ini bisa serius dalam memperdalam kesenian tradisional tersebut. Salah satu penari lengger lanang asal Kelurahan Sumampir Purwokerto, Rudi Lukmanto mengaku keinginan menari lengger sudah dimulai sejak kecil, saat sering melihat pertunjukan lengger.

"Akhirnya niat itu baru terlaksana beberapa tahun lalu. Sekarang saya menggantungkan hidup melalui lengger," papar pria yang aktif dalam Sanggar Kesenian Lengger Gita Budaya Desa Bantarwuni Kecamatan Kembaran Banyumas.

Bagi Rudi, menari lengger bukan hanya sekedar lenggak-lenggok dan tebar pesona diatas panggung. Tetapi menari lengger merupakan ungkapan jiwa dan perasaan. "Kalau dibilang, saya memang menari dari hati, sama seperti yang dilakukan Mbok Dariah," ujar bapak satu anak ini.

Warna-warni panggung lengger yang dialami Rudi tak jauh berbeda dengan pengalaman Dariah, godaan dari kaum adam dan hawa pun sering diterimanya.


"Memang banyak penonton laki-laki dan perempuan yang terpesona, tetapi mereka juga tahu kalau saya laki-laki, jadinya tidak masalah. Bahkan, masyarakat Banyumas sampai kini masih menerima kami dengan baik," kata Rudi.


Keberadaan Dariah, sebagai sesepuh kesenian lengger di Eks-Karesidenan Banyumas, menjadi inspirasi bagi Rudi. "Saya belajar banyak dari Mbok Dariah dan saya sudah menganggapnya sebagai guru," katanya.

Dariah juga menginspirasi penari lengger perempuan di Eks Karesidenan Banyumas. Pelatih tari Sanggar Sekar Santi, Sri Multiyah Susanti mengakui, banyak mengeksplorasi gerak lengger dari Dariah. Bahkan, tembang "Sapanyana" yang diciptakan Dariah menjadi lagu wajib yang ditembangkan dalam pertunjukan lengger di Banyumas Raya, selain Ricik-Ricik, Sekar Gadung dan Eling-Eling".

"Mbok Dariyah menjadi inspirasi bagi semua penari lengger di Eks Karesidenan Banyumas, bahkan tembang ‘Sapanyana’ menjadi sangat populer di kalangan penari lengger," katanya.

Bahkan saat mengunjungi ke rumahnya, tembang Sapanyana menjadi hiburan wajib bagi para tamu Dariah untuk dinyanyikan sebagai bentuk apresiasinya.


“Sapanyana, Sapanyana
 krungu lagu banyumasan
 Wiwit kuna wis ana
 lagune ra.. lagune ra… sapiraha
 wiwit kuna wis ana
 saking joget ora kerasa
 Egat, egot egat egot
 Jebule kaya wong gila”

Tembang "Sapanyana" yang melegenda itu pun kerap mengiringi Dariah saat sesekali tampil di panggungnya dengan iringan calung banyumasan. Semangat lenggernya pun masih terasa kuat, saat melantunkan tembang Sapanyana yang mengingatkan kembali tentang tanah kelahiran dan kecintaan terhadap kesenian banyumasan.


http://c.uctalks.ucweb.com/detail/e65e00b951c845ae972ebd567a626f51?uc_param_str=dnvebichfrmintcpwidsudsvnwpflameefut&stat_entry=personal

 


Senin, 02 Januari 2017

Resensi | Konstruksi Puitik dalam Filem Istirahatlah Kata-Kata

02 Jan 2017 |  Penulis: Manshur Zikri*


“Memang banyak yang takkan kembali lagi. Bukan hanya benda-benda,
juga anggapan-anggapan, dan waktu.”
[1]

Istirahatlah Kata-Kata (atau Solo, Solitude., 2016) adalah suatu kabar gembira bagi sinema negeri ini, karena ia turut meringankan kebegahan kita terhadap karya-karya fiksi yang kehilangan perbendaharaan bahasa sinematik. Rilis pertama kali pada Agustus, 2016, di Locarno International Film Festival ke-69, karya Yosep Anggi Noen ini telah mendapatkan penghargaan untuk kategori “Apresiasi Film Panjang Non Bioskop” dari Apresiasi Film Indonesia tahun 2016—suatu kategori penghargaan yang aneh dan ironis, mengingat bahwa rencananya, filem ini akan beredar di layar-layar bioskop dalam negeri pada 19 Januari, 2017.[2] Filem tersebut juga telah tayang, antara lain, di 11th Jogja-NETPAC Asian Film Festival – ISLANDSCAPE, Yogyakarta (dan memenangkan Golden Hanoman Award); di 21st Busan International Film Festival, Busan, Korea Selatan; dan di Pacific Meridian – International Film Festival of the Asian-Pacific region 2016, Vladivostok, Rusia.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen.
Berlatar tahun 1996, Istirahatlah Kata-Kata mengisahkan kehidupan Wiji Thukul—bernama asli Widji Widodo, salah seorang dari 13 aktivis ’98 yang masih dinyatakan hilang—ketika menghindari penangkapan dirinya setelah ada kabar bahwa ia dan beberapa aktivis masuk dalam daftar buronan militer. Meninggalkan istri dan anak-anaknya di Solo, Wiji Thukul dibantu oleh beberapa temannya untuk lari ke luar kota untuk menyamarkan identitas. Sutradara mengembangkan garis besar cerita itu dengan mengimajinasikan situasi dan kondisi yang dialami Wiji Thukul selama berada di Pontianak hingga ia kembali lagi ke Solo, menemui istri dan kedua anaknya.
Cerita ini terasa jelas dibuat bukan sebagai penggalan kisah heroik si penyair, pejuang demokrasi, itu. Wiji Thukul tidak dikultuskan di dalam filem. Anggie Noen mengemasnya sebagai daya empati untuk memahami sisi kemanusiaan seseorang dalam memerangi penindasan yang dilakukan Rezim Orba, bahwa keteguhan hati dan sikap keras itu tak luput dari kecemasan, ketegangan, dan risiko, baik personal maupun sosial. Interpretasi Anggie Noen terhadap puisi-puisi Wiji Thukul mengarah pada bagaimana kita dapat membayangkan (lantas memahami) pengalaman si penyair atas gejala-gejala yang ada saat ia menuliskan dan melafalkan perlawanannya lewat kata-kata. Karena filem ini adalah fiksi dan bukan “filem sejarah”, yang menjadi pokok perhatian kita tentunya bukan lagi pada keakuratan naratif mengenai biografi Wiji Thukul, tetapi pada “konstruksi visual yang bagaimana” yang mampu mengalih-bentukkan sekian fakta-fakta umum terkait Wiji Thukul—yang sangat sedikit dan terbatas itu—menjadi konstruksi sinema yang puitik.
Menyebut nama Yosep Anggie Noen, kita perlu menggarisbawahi pengetahuannya yang baik dalam menerapkan metode sinematik untuk menyajikan “realitas objektif”. Artinya, pada tangkapan-tangkapan visualnya, gagasan secara objektif dikandung oleh image itu sendiri sehingga memungkinkan sinema untuk tidak meng-impose[3] interpretasi peristiwanya pada penonton lewat suatu order (‘perintah’ dan ‘susunan’ gambar). Realitas objektif justru membuka peluang bagi penciptaan hubungan yang lebih dekat, dari pikiran penonton ke image. Meskipun, tak dapat dipungkiri, tetap menggunakan manipulasi editing dalam satu shot, filem Genre Sub Genre (2014) adalah contoh lain dari karya Anggi Noen yang menunjukkan kecenderungan ini. Bidikan Anggi Noen mengundang pengamatan mendalam si penonton terhadap realitas (peristiwa) di dalam frame. Dalam hal ini, ia telah beranjak dari “ego subjektif sinema” yang memaksakan makna absolut kepada penonton—ego tipikal yang dapat kita pahami justru diamini oleh metode penyusunan gambar dalam “tradisi montase” a la Rusia dan Hollywood.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen
_____
Hentakan semacam itu pun sudah terasa sejak cerita dalam Istirahatlah Kata-Kata dibuka. Merayu anak kecil (Fitri, anak Wiji Thukul, diperankan oleh Putri Fathiya) yang bersandar di pelukan ibunya (Sipon, istri Wiji Thukul, diperankan oleh Marissa Anita), seorang laki-laki (anggota intelijen, diperankan oleh Rukman Rosadi) berusaha mengorek keterangan soal keberadaan Wiji Thukul (diperankan oleh Gunawan Maryanto) sambil makan lemper. Adegan itu dilatari oleh peristiwa penggeledahan buku—tentu saja background adegan ini menjadi penting untuk menegaskan konteks yang melatarbelakangi kisah aktivis seperti Wiji Thukul. Kamera memang tidak bisa melihat semuanya sekaligus, tetapi dapat memastikan untuk tidak kehilangan setiap bagian dari apa yang dipilihnya untuk dilihat.[4] Terutama, jika kita menyadari signifikansi lemper yang meruntuhkan stereotipe tentang militer—yang biasanya lekat dengan rokok dan kopi—yang biasa terekam dalam filem-filem dengan tema yang sama. Ini layak dicatat sebagai suatu temuan baru dalam gaya ungkap sinema kita, Anggi Noen memanfaatkan konteks lokal dalam merelasikan pikiran penonton dengan image yang dihadirkan. Dan frame ini mengindikasikan bahwa kamera merekam peristiwa, baik foreground maupun background, itu sebagai satu keutuhan lewat pendekatan deep focus, tetapi adegan tersebut tidak tendensius mengarahkan makna yang seolah-olah sudah ditetapkan oleh sutradara untuk kita telan mentah-mentah.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen.
________
Jikalau memang Anggi Noen berniat untuk meringkas pengalaman Wiji Thukul,[5] yang berarti pula meringkas wacana panjang lebar mengenai peristiwa penculikan aktivis 98, metode ini adalah yang terefektif, selain menjadi langkah genial untuk meningkatkan potensi puitik bidikan. Informasi mengenai PRD pun, sebagai latar belakang kisah, tidak bertele-tele; cukup lewat teks pada adegan panci di atas kompor, lalu punggung Sipon yang duduk lebih dekat ke batas frame di kanan, pindah ke punggung Wiji Thukul yang duduk di dalam mobil yang bergerak menuju entah ke mana dan diiringi audio berita, pemandangan langit, dan mobil parkir. Setiap bidikan itu, yang sejatinya dapat berdiri sendiri, dirangkai dengan apik sebagai prolog narasi tanpa niatan untuk menentukan point of view penonton atas adegan. Susunan tersebut tidak tampil dengan ekspresionisme plastis dan hubungan simbolik antar-image, dan karenanya berhasil menghindari sindrom ‘aludisasi’ (pengkiasan) peristiwa yang berlebihan sehingga mereka hidup sebagai realitas yang objektif.
Kita masih akan melihat indikasi ini, misalnya, pada adegan ketika Wiji Thukul makan bersama dua kawannya di sebuah rumah yang menjadi tempat persinggahan sementara sebelum bertemu Thomas (diperankan oleh Dhafi Yunan). Adegan ini tidak berhenti pada dialog mengenai fakta bahwa Wiji Thukul masuk ke dalam daftar buronan, karena latar berupa gambar The Last Supper di dinding meluaskan peluang interpretasi kita mengenai misteri 13 aktivis yang masih hilang. Di mata saya, pilihan Anggi Noen untuk menggunakan gambar tersebut terbilang menarik, menimbang kompleksnya pengamatan dari sudut dan bidang apa pun terhadap lukisan kontroversial itu. Visinya: Anggi Noen bukan melemparkan pernyataan, melainkan melebarkan pertanyaan “menolak lupa” kita.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen.
_____
Namun, di sinilah poin menariknya: kita tidak bisa menafikan bahwa The Last Supper-nya Anggi Noen telah hadir lebih dulu sebagai bidikan yang tendensius sebelum adegan makan malam tersebut. Kedua shot ini saling menjukstaposisi. Dalam konteks yang lain, komposisi adegan makan malam, yang menyusul setelah bidikan close-up gambar The Last Supper, merepresentasikan simbol matematis (i.e. segitiga—interpretasi umum mengenai keunikan form lukisan tersebut). Ini menunjukkan pertimbangan yang tidak sembarangan; ini berarti bahwa gagasan image pada filem seturut dengan ide mandiri—komposisi ketigabelas figur dalam lukisan—dari atribut-atribut yang digunakan. Akan tetapi, kepentingan kita menyinggung persoalan ini lebih kepada analisa mengenai perbedaan pendekatan filem yang “percaya kepada image” dan yang “percaya kepada realitas”.[6] Metode deep focus yang diterapkan Anggi Noen, yakni upayanya untuk menghidupkan peristiwa di dalam frame agar menunjukkan dirinya (kenyataannya) sendiri, ternyata tidak serta merta melupakan potensi montase gambar dalam lingkup keseluruhan struktur bahasa filemnya. Alih-alih memilih salah satu, Anggi Noen mengombinasikan kedua pendekatan itu dalam rangka mendefinisikan kekhasan sinema puitiknya. Kepercayaan atas realitas, dengan kata lain, dipicu lewat montase (kepercayaan atas image), dan demikian pula sebaliknya. Montase, dalam pengertian Anggi Noen, adalah metode untuk menarik atensi penonton, bukan untuk menyampaikan makna. Menurut saya, ini adalah nature dari sebuah puisi.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen.
Berangkat dari sudut pandang pemikiran ini, kita boleh berpendapat bahwa keputusan Anggi Noen meletakkan bait-bait puisi Wiji Thukul lewat teknik “voiceover”, dengan kata lain, bukan sebagai strategi naratif, melainkan untuk memanjangkan konteks. Yang mana, fungsi kiasannya tidak bermaksud menghantarkan kita pada makna tertentu yang absolut (misalnya, mengarahkan kita kepada ide ceritanya), tetapi untuk menguatkan potensi tampilan adegan (peristiwa yang dikemas sutradara) menjadi lebih dapat “dialami” penonton. Sebagian besar image di dalam filem ini, sadar atau tidak, dihadirkan sutradara dengan tanpa “penambahan” apa pun terhadap realitas image yang direkam tersebut, sedangkan voiceover bait puisi—selain menjadi bukti dari perayaan atas revolusi bahasa sinema pada filem bersuara—dimaksudkan menjadi bagian tak terpisahkan yang merangsang hubungan antara pikiran penonton dan image yang objektif tersebut. Dengan kerangka seperti itu pulalah dapat kita sadari signifikansi siulan nada “Darah Juang” di dalam filem ini, bahwa konsekuensi naratif yang dihasilkan terkait bentuk komunikasi (keintiman) suami-istri itu merupakan buah dari upaya sutradara untuk menonjolkan “aspek mengalami” peristiwa.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen.
Namun memang, metode sinematik ini tidak terbangun secara konsisten dalam keseluruhan isi filem Istirahatlah Kata-Kata. Dalam adegan percakapan Wiji Thukul dengan seorang mahasiswa, misalnya, Anggi Noen tampak masih terikat oleh kebutuhan untuk meyakinkan kepala penonton mengenai karakter si tokoh utama: pejuang kata-kata yang menyerahkan diri kepada sastra. Strategi pengadeganan dengan teknik cut, dan face-to-face, memang pas untuk membangun persepsi itu, tetapi sayangnya menghilangkan potensi “amatan mendalam” terhadap realitas yang direkam—suatu langgam yang seharusnya mulai kita perhatikan untuk merevolusi tutur bahasa sinema kita. Kita juga bisa melihatnya pada adegan percakapan Wiji Thukul dan istrinya di kamar motel: kebutuhan untuk menegaskan pandangan ideologis sang tokoh lewat simbol-simbol kapital (produk minuman). Atau, adegan saat Wiji Thukul menulis puisi “Istirahatlah Kata-Kata” di selembar kertas, yang tak bisa diingkari masih mengindikasikan kelemahan yang bersemayam di lingkungan sineas nasional: terjebak dalam attitude verbalisme visual (kasarnya, tutur bahasa visual yang cerewet). Padahal, menurut saya, jika kita menyetujui ide besar Anggi Noen yang memilih untuk tidak mengultuskan sosok Wiji Thukul, karakteristik dan perilaku subjek dalam memproduksi “teks-teks perlawanan” semestinya tidak lagi dibebankan dengan keharusan untuk exist secara fisik (visual) dalam konstruksi sinemanya. Dengan kata lain, kebutuhan untuk mengulangi sikap memproduksi “teks perlawanan”, sebenarnya, tidak lagi relevan bagi filem ini.
Akan tetapi, bagi saya, kelemahan ini agaknya dapat dimaklumi. Barangkali karena pertimbangan bahwa sosok historik Wiji Thukul, sebagaimana pendapat si sutradara sendiri, belum diketahui secara umum.[7] Oleh karenanya, keputusan ini tidak bisa serta merta dihakimi sebagai kesalahan fatal. Toh, ketelitian Anggi Noen untuk mengupayakan gaya bahasa yang segar, yang eksperimentatif, cukup mendominasi dalam konstruksi filemnya ini.
Pada beberapa adegan kunci, Anggi Noen berhasil menegaskan bahwa filemnya lebih pas untuk dialami (sebagaimana kita menikmati sebuah karya puisi) ketimbang dibaca sebagai teks telanjang (sebagaimana kita menikmati sebuah novel). Yang pertama, ialah adegan ketika Wiji Thukul dan Thomas dihadang oleh orang gila yang menanyakan KTP dan mengulang-ulang ancamannya, “Aku ada pistol.” Adegan ini merupakan suatu teknik yang cukup cemerlang untuk membangun nuansa kerisauan dan kecemasan. Bahwa, selama ini kecemasan terhadap ancaman kekerasan militer justru terasa begitu kuat karena “sifat samar”-nya. Menurut saya, bidikan statis dan jauh yang dilakukan Anggi Noen-lah yang memunculkan relasi itu dan menghadirkan peristiwa sebagaimana adanya untuk dilihat penonton. Pengadeganan lewat montase konvensional (cut-to-cut) hanya akan menghentikan peristiwa semacam ini sebagai semata shock therapy.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen.
_________
Demikian halnya dengan adegan di tempat tukang cukur. Anggi Noen menerapkan metode yang sama. Akan tetapi, sekali lagi, di sini Anggi Noen menunjukkan keberpihakannya pada kombinasi antara “realitas objektif” dan “gambar yang dimontasekan”. Ketika kamera berpindah ke wajah Wiji Thukul yang di-close-up, efek ketegangan secara otomatis berubah. Pengalaman ini juga dapat kita bandingkan saat kamera menyorot sisi kiri wajah Wiji Thukul yang menoleh ke arah kiri frame pada adegan makan malam di rumah yang ada gambar The Last Supper.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen.
_________
Selain itu, adegan anggota ABRI bermain bulutangkis adalah contoh lain dari bagaimana Anggi Noen dengan dewasa mengemas puisi visualnya. Tentu kita tidak memungkiri bahwa nuansa “mengerikan” itu telah dibangun oleh sutradara sejak adegan percakapan tentang mimpi antara suami-isteri, Martin dan Ida (diperankan oleh Eduwart Boang Manalu dan Melanie Subono), lalu gerak kamera yang memperlihatkan suasana ruangan (rumah Wiji Thukul) dengan iringan voiceover puisi. Bahkan, bidikan dengan teknik slow motion pada adegan bulutangkis itu jelas kontradiktif dengan teori “realitas objektif”. Namun, attitude yang ditawarkan oleh Anggi Noen tidak berubah, yakni mengundang “amatan mendalam” dan “pengalaman” penonton ketimbang mengarah-arahkan makna atas adegan. Ini menegaskan pembacaan dan praduga kita tentang kombinasi dari kedua pendekatan yang disinggung sebelumnya.
Lewat cara membaca yang sama, adegan percakapan Wiji Thukul, Martin, dan Thomas di sebuah pondok dekat Sungai Kapuas kemudian menjadi tak kalah penting. Di sini, Anggi Noen benar-benar menghidupkan objektivitas peristiwa yang ia pilih dengan kameranya. Image yang dihadirkannya tidak memberikan penjelasan tambahan (lewat susunan atau jukstaposisi image) apa pun karena substansi peristiwa itu justru muncul melalui gerak aktor—Thomas yang datang terlambat dengan menggiring sepeda motornya, Wiji Thukul yang keluar frame untuk buang hajat, dan pemain figuran yang bermain gitar—dan posisi duduk para tokoh yang menjadi sentral perspektif kamera. “Kepercayaan terhadap realitas” justru menguatkan “kepercayaan kepada image”, dan sebaliknya. Inilah suatu gaya bahasa yang menghasilkan konsekuensi puitik itu.
Screenshot dari filem Istirahatlah Kata-Kata (2016) karya Yosep Anggi Noen.
_________
Maka wajarlah kemudian jika kita, pada akhirnya, akan begitu terpesona pada adegan terakhir, yakni setelah kamera dengan saksama merekam gesture Wiji Thukul yang duduk di sofa, memperhatikan istrinya yang menangis, lalu kamera bergerak membidik Sipon. Sinema puitik Anggi Noen bekerja dengan begitu efektif: tentang harapan kita mengenai keberadaan si penyair, yang “dikonflikkan” lewat adegan saat Wiji Thukul ke dapur mengambil segelas air putih untuk sang istri, yang kemudian ditenggak tak bersisa, lalu ia menghilang ke dapur dan tak kembali lagi. Seolah tanpa ada kecemasan berkelanjutan, filem ini ditutup dengan adegan sang istri menyapu rumah. Penutup ini menjadi ungkapan metaforik dari kegelisahan si sutradara sendiri mengenai Wiji Thukul, tetapi tidak menutup interpretasi yang lebih luas karena Anggi Noen tidak menentukan makna dan jawaban atas riwayat Wiji Thukul. Itu adalah fakta yang kemudian ditransformasi menjadi puisi visual.
Dan sebagai sebuah “puisi”, lemper pada adegan pembuka dan air putih pada penutup filem, adalah pilihan semantik yang ampuh untuk mengungkai permainan gramatikal guna membungkus konstruksi cerita ini sebagai bahasa sinema lokal.
Kata-kata Wiji Thukul tidak pernah beristirahat sejak puisi “Peringatan” (1986), dan “Istirahatlah Kata-Kata” (1987-1988) hanyalah penegasan akan kebangkitan nantiyang ditulisnya sebelum ia berujar “Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa” (1997). Jika kita merefleksi memoar Pram dalam “Yang Takkan Kembali Lagi”, apa yang dialami orang-orang yang hilang akibat ditindas ketidakadilan, tidak akan kembali lagi pada generasi penerus, sejauh generasi itu mampu memberikan sumbangsih apa pun lewat pengetahuan. Mungkin Wiji Thukul memang sedang beristirahat, dan dengan Istirahatlah Kata-Kata, Anggi Noen melanjutkan kata-kata itu lewat pengetahuan mengonstruksi sinema yang puitik.
***

Catatan Kaki:
[1] Pramoedya Ananta Toer (1976), “Yang Takkan Kembali Lagi”, dalam Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jilid II, ed. Joesoef Isak (Jakarta: Lentera, 1997), hlm. 33
[2] Ivan Makhsara (22 November, 2016), “Film Wiji Thukul Mulai Tayang di Bioskop Awal Tahun Depan”, diakses dari situs web Rolling Stone Indonesia, tanggal 31 Desember, 2016.
[3] Saya memutuskan untuk menggunakan kata bahasa Inggris ini karena arti dalam bahasa Indonesia-nya terasa kurang memadai untuk digunakan.
[4] André Bazin (1950-1955), “The Evolution of The Language of Cinema”, dalam André Bazin, What Is Cinema? Volume 1, trans. Hugh Gray (Barkeley/Los Angeles: University of California Press, 2005), hlm. 27
[5] Leila S. Chudori (8 November, 2016), “Dari Pojok Sunyi Wiji Thukul”, diakses dari Tempo.com, tanggal 2 Januari, 2016.
[6] André Bazinop. cit., hlm. 24
[7] Rizky Sekar Afrisia & Agniya Khoiri (7 Oktober, 2016), “Wiji Thukul Bersuara Lewat Film ‘Istirahatlah Kata-Kata’”, diakses dari situs web CNN Indonesia, tanggal 2 Januari, 2017.

* Manshur Zikri, lulusan Departemen Kriminologi, tingkat S1, Universitas Indonesia. Aktif sebagai peneliti di Forum Lenteng dan pelaksana Program AKUMASSA. Memiliki minat dan fokus kajian pada media, seni, dan sinema. Saat ini, dia menjadi salah satu kurator filem dan editor katalog di ARKIPEL – Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

http://jurnalfootage.net/v4/artikel/konstruksi-puitik-dalam-filem-istirahatlah-kata-kata