Kamis, 12 April 2018

Mulut Kotor Dursasana

ACHIAR M PERMANA | 13 APRIL 2018




DARI 100 personel Kurawa, barisan antagonis dalam lakon pewayangan Mahabharata, boleh jadi Dursasana yang paling terkenal. Keterkenalan Dursasana nyaris sepadan dengan sang kakak, Duryudana, raja sekaligus patron para Kurawa.

Diakui atau tak, ksatria dari Banjarjunut itu terbilang putra Kuru yang paling menonjol, jauh melampaui adik-adiknya, macam Durmagati, Kartadendha, atau Kartamarma. Bahkan, Dewi Dursilawati--Kurawa dalam bentuk paling jelita--satu-satunya perempuan anak pasangan Destrarastra dan Dewi Gendari, juga kalah tenar dari Dursasana.

Sayang, seperti halnya para Kurawa lain, keterkenalan Dursasana bukan dalam hal kebajikan, melainkan sebaliknya, keburukan. Nama Dursasana, konon berasal dari kata 'dur' yang berarti 'buruk' dan 'sasana' berarti ‘tempat’. Singkatnya, Dursasana merupakan tempat keburukan bertakhta.
Pada diri Dursasana keburukan seperti hadir dalam jenis yang paling lengkap. Dia telengas, berangasan, sombong, suka bertindak sewenang-wenang. Pada saat yang sama, dia juga sembrono dan senang menggoda wanita. 
“Saya kok seperti melihat Sampean, Kang,” tiba-tiba terdengar bisikan Dawir dari belakang tengkuk, yang membuat saya ingin napuk mulutnya.
Dosa Dursasana yang paling fatal: mulutnya kotor. Mulut putra kedua Destrarastra-Gendari itu seperti gatal kalau tidak mencaci, kebas jika absen memaki. Mulutnya juga enteng dalam melontarkan hinaan kepada sesama. Dalam tindakan juga segendang sepenarian, Dursasana kerap berlaku lucah, melecehkan liyan, juga para perempuan.

Dursasana pernah mempermalukan Dewi Kunti, ibu para Pandawa, di depan pertemuan agung Astinapura. Dia menyebut Kunti, istri Prabu Pandu Dewanata, sebagai wanita yang suka berselingkuh. Atas hinaan itu, Kunti pun bersumpah tidak akan mati sebelum keset, membersihkan kaki, dengan kepala Dursasana.

Kisah Bale Sigala-gala, setelah Yudhistira kalah di meja judi, menjadi saksi lain kedurjanaan Dursasana. Ketika itu dia mencoba menelanjangi Dewi Drupadi, yang dipertaruhkan suaminya. Sembari tertawa-tawa, dia tarik kain penutup tubuh putri dari Kerajaan Pancala itu. Di depan orang-orang. Untunglah, dewata masih melindungi kesucian Drupadi sehingga kain penutup tubuhnya seperti tak habis-habis. Penghinaan itu yang kemudian membuat Drupadi bersumpah tidak akan menyanggul rambut sepanjang hidupnya, sebelum keramas dengan darah Dursasana.

Sapa nandur ngundhuh. Mulut kotor pula yang membawa Dursasana pada ajalnya, tepat pada hari ketujuhbelas Perang Baratayudha. Dengan kematian yang tragis dan nista.

Menjelang pengujung Baratayudha, Dursasana terlibat pertempuran dengan Werkudara, ksatria Pandawa paling sentosa. Di tengah-tengah perkelahian sengit, mulut kotor Dursasana melontarkan hinaan. Tidak tanggung-tanggung, dia menghina Prabu Pandu--ayah para Pandawa--sebagai seorang pecundang.

Hinaan itu membuat hati Werkudara terbakar. Dia, yang dikenal tidak pernah berbahasa halus kepada siapa pun, kecuali dengan Sang Hyang Wenang dan Dewa Ruci, pun membalas hinaan itu dengan hinaan. Werkudara balik menyebut Destrarastra, ayah Dursasana sebagai orang buta. Ya, Destrarastra memang terlahir buta sejak lahir.

Singkat cerita, kedua ksatria yang dibakar emosi itu pun saling serang. Kedua ksatria tunggal guru, sama-sama murid Begawan Drona di Padepokan Sokalima, itu beradu kesaktian. Sudah suratan cerita, Werkudara unggul. Di ujung pertempuran, Werkudara menjambak rambut Dursasana, menghajarnya dengan Gada Rujakpala, lantas memutus lengan dan kepalanya.

Lantas, Kunti segera melaksanakan sumpahnya, yaitu keset dengan kepala Dursasana, dan keramas menggunakan darahnya. Drupadi mengikuti langkah sang mertua, dengan keramas darah Dursasana, yang diperas dari janggut Werkudara.

Ya, begitulah, siapa menabur angin akan memanen badai. Siapa menanam penghinaan, akan beroleh penghinaan yang tidak kalah nista.
"Sik, sik, Kang. Kok di mata Sampean Dursasana seperti ora ana apike blas? Kaya cangkeme Sampean ora kaya ngono wae, Kang?" lagi-lagi bisikan Dawir menyentak dari balik tengkuk saya.
"Sakmursal-mursale Dursasana, apa Sampean pernah mendengar Dursasana menghina Begawan Drona? Menista Resi Bisma? Melecehkan Resi Widura," cecar Dawir.
Berarti, kalau ada yang berlaku lajak, kumawani, keladuk kurang duga, menganggap begawan sedungu kerbau, tidakkah mulutnya lebih kotor dari Dursasana? (*)

Menteri Supeno, 11 April 2018

Sumber: CatatanAchiarMP 

0 komentar:

Posting Komentar