Darma Ismayanto | 23 April 2018
Menempuh pendidikan seni di Eropa dan melukis dengan dispilin ala Barat, Raden Saleh dikenal sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia.
Lukisan "Banjir di Jawa" (1865) karya Raden Saleh.
SUATU hari, beberapa pelukis muda Belanda, yang sedang belajar, melukis bunga dan memperlihatkannya kepada Raden Saleh. Beberapa kumbang dan kupu-kupu hinggap di atasnya. Mereka mencemooh Raden Saleh.
Panas dan terhina, diam-diam Raden Saleh menyingkir selama berhari-hari. Karena cemas, teman-temannya mendatangi rumahnya dan masuk dengan mendobrak pintu. Mereka menjerit. “Mayat Raden Saleh” terkapar di lantai berlumuran darah. Sebelum suasana bertambah panik, Raden Saleh muncul. “Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tapi gambar saya bisa menipu manusia,” ujarnya tersenyum.
Raden Saleh adalah seniman Indonesia pertama yang melukis dengan disiplin Barat. Kelak dia dinobatkan sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia.
Raden Saleh Syarif Bustaman lahir di Terbaya, dekat Semarang, dari pasangan Sayid Husen bin Alwi bin Awal dan Raden Ayu Syarif Hoesen. Tahun lahirnya simpang-siur. Dalam sebuah lukisan potret diri, Raden Saleh menulis lahir Mei 1811. Tapi dalam sebuah surat dia pernah menyebutkan tahun 1814.
“Bisa jadi karena dahulu di Jawa berlaku hitungan kalender Jawa (Saka) dan Islam sehingga Raden Saleh agak bingung ketika harus menyesuaikan dengan hitungan kalender Masehi,” kata Werner Kraus, kurator asal Jerman yang mendedikasikan seperempat abad hidupnya untuk mempelajari karya Raden Saleh. Kraus lebih setuju tahun 1811 karena sesuai dengan data bahwa Raden Saleh belajar melukis pada 1819 ketika berusia delapan tahun.
Guru pertama Raden Saleh adalah AAJ Payen, seorang Belgia yang ditugaskan pemerintah kolonial untuk melukis alam dan pemandangan di Hindia Belanda. Karena bakatnya, dia mendapat kesempatan memperdalam ilmu di Belanda pada 1830. Di sana Raden Saleh belajar melukis potret pada Cornelis Krusemen dan lanskap pada Andreas Schelfhout.
Melukis potret dan pemandangan sebenarnya kurang menarik minatnya. Dia melakukannya demi uang. Kegalauannya terobati saat bertemu rombongan sirkus binatang pimpinan Henri Martin asal Paris yang berkunjung di Den Haag. “Saleh membuat sebuah lukisan potret diri Henri Martin. Ini sebuah siasat agar Henri mengizinkan Saleh datang kapan saja untuk melihat binatang sirkus miliknya,” ujar Kraus.
Saleh membuat banyak sketsa singa dan harimau milik Martin. Itulah awal ketertarikannya melukis kehidupan binatang. Salah satu lukisannya adalah “Lion Head”, menggambarkan wajah seekor singa yang menatap tajam, penuh wibawa. Lukisan ini menjadi koleksi Museum Seni Rupa Kupferstichkabinnet, Berlin, Jerman.
Pada 1839, pemerintah Belanda memberinya kesempatan berkunjung ke negara-negara Eropa. Di Paris, Prancis, dia bertemu pelukis Horace Vernet yang mempengaruhi permainan warnanya. Tapi dalam hal menampilkan suasana objek lukisan dia terpengaruh pelukis besar aliran Romantisisme Prancis, Ferdinand Victor Eugène Delacroix.
“Raden Saleh sendiri tidak pernah menyinggung nama Delacroix. Mungkin dia pernah melihat lukisan Delacroix di museum,” ujar Kraus.
Gaya Romantisisme antara lain terlihat pada karya “Singa dan Ular”. Uniknya, 23 tahun setelah lukisan ini dibuat Raden Saleh, Eugene Delacriox melukis tema yang sama, berjudul “Macan dan Ular”.
Seniman Prancis yang juga cukup mempengaruhi Raden Saleh adalah Theodore Gericault. Lukisan “Banjir di Jawa" terlihat terpengaruh “the Raft of Medusa” karya Gericault. Keduanya menggambarkan suasana dramatis sekelompok orang yang berusaha menyelamatkan diri pada atap rumah (Raden Saleh) atau sebuah rakit (Gericault) dari bencana banjir besar (Raden Saleh) atau terpaan badai di lautan (Gericault).
Pada 1844 dia kembali ke Belanda. Raja Willem II berkenan menerimanya dan menganugerahi Bintang Eikenkroon. Kelak Raja Willem III mengangkatnya sebagai pelukis istana.
Pada 1851, Raden Saleh pulang ke Jawa, sesudah menikahi perempuan Eropa kaya, Nona Winkelman. Pernikahan itu tak bertahan lama. Raden Saleh bercerai dan menikah lagi dengan seorang perempuan Jawa.
Di Jawa, Raden Saleh mendapat tugas sebagai konservator “Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni”. Raden Saleh sempat mengembara ke Jawa Tengah dan Jawa Barat untuk melukis pemandangan serta potret raja dan bangsawan. Namun salah satu karya fenomenalnya adalah lukisan “Penangkapan Diponegoro" (1857).
Setelah berhasil mengatur penangkapan Pangeran Diponegoro, Hendrick Merkus de Kock pulang ke Belanda dan mendapat gelar pahlawan nasional. Untuk merayakan dan menandai kesuksesan itu, de Kock meminta Cornelis Kruseman –guru Raden Saleh– untuk membuatkan lukisan dirinya.
“Raden Saleh ada di sana saat Kruseman menggambar De Kock. Bayangkan perasaan seorang pemuda asal Jawa menyaksikan bagaimana orang yang telah menangkap Diponegoro dengan bangga digambar di hadapannya,” ujar Kraus.
Bukan hanya itu. De Kock meminta kepada Nicolaas Pieneman untuk membuat lukisan penangkapan Diponegoro untuk menandai keberhasilan karier militernya. Pieneman menggarap lukisan berjudul “Penaklukan Diponegoro”. Karena lukisan inilah Raden Saleh membuat “Penangkapan Diponegoro”, yang dia berikan kepada Raja Willem III.
“Pada masanya hal yang dilakukan Raden Saleh mungkin masih jauh bila dikaitkan dengan persoalan nasionalisme. Tapi saat itu dia telah menunjukkan antikolonialisme,” ujar Krauss.
Pada 1857, Saleh kembali berkunjung ke Eropa dan melawat ke Italia. Tahun 1878 dia kembali ke Jawa, dan mengembuskan napas terakhirnya pada 23 April 1880 di Bogor, Jawa Barat.
Sumber: Historia.Id
Prediksi togel hari ini https://angkamistik.net/prediksi-togel-hongkong-mbah-jambrong-14-mei-2019/
BalasHapus