Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Sabtu, 21 September 2019

Tubuh Padang Oleh Komunitas Hitam Putih Dihelat di Pekan Teater Nasional


September 21, 2019


Komunitas Seni Hitam Putih rencananya akan mementaskan "Tubuh Padang" karya/sutradara Yusril Katil dalam Pekan Teater Nasional 2019. Kegiatan yang digelar Direktorat Kesenian, Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta tersebut tahun ini digelar di Panggung Utama Taman Budaya Kalimantan Timur, Samarinda, tanggal 20 hingga 26 September 2019. Pentas Tubuh Padang dari Komunitas Seni Hitam Putih kebagian pentas pada hari Sabtu (21/9/2019).

Kegiatan yang dirangkai dengan Pekan Seni Indonesia ini mengusung tema besar "Tubuh Gunung: Resonansi Teater Tradisi". Tema ini dimaknai sebagai batas habitat untuk mengenali tubuh tradisi (setelah budaya laut maupun maritim).
"Setiap tradisi mengandaikan adanya komunitas budaya yang bergantung pada tempat sebagai sumber kehidupan maupun medan representasi dari berbagai produksi pengetahuan, keahlian, folklor, dan kepercayaan,” kata Afrizal Malna, salah seorang kurator Pekan Teater  Nasional, Jumat, 20 September 2019.
Menurut Afrizal Malna, dalam Pekan Teater Nasional ini, tema “Tubuh Gunung” ini, kurator membagi tiga pokok garapan, yakni Kanon Tradisi, Post-Tradisi, dan Teater Riset.
“Masing-masing subtema memiliki kecenderungan dan kekuatan,” ungkap Sahrul N, dramaturgi “Tubuh Padang” ini, Komunitas Seni Hitam Putih menjadi salah satu penampil yang diundang dalam Pekan Teater Nasional dengan garapan teater yang berbasis pada riset, terutama pada eksplorasi pertunjukan tradisional randai, dengan menjelajahi berbagai kemungkinan tematik dan estetik di dalamnya.
“Karya ini berangkat riset terhadap seni tradisional randai Minangkabau sebagai vokabuler gerak tubuh aktor. Randai adalah perpaduan dari sastra, musik, seni suara, seni tari, teater dan pencak silat. Karya ini memiliki ciri melibatkan beberapa aspek seni dan bersifat total dan pembesaran,” urai Sahrul N.
Sementara itu, Yusril Katil, sutradara “Tubuh Padang” mengatakan, randai yang digunakan dalam karya ini adalah legaran atau gerak lingkaran pemain randai yang bersumber dari silat dan aktraktif.
“Di sini muncul bentuk yang secara visual menarik untuk ditonton atau menjadi pamenan mato dalam kebudayaan Minangkabau.Pamenan mato dipengaruhi oleh keindahan lihatan. Pamenan merupakan suatu fungsi yang penuh makna yang bisa diartikan sebagai permainan. Maka, teater 'Tubuh Padang' merupakan pertunjukan berbasis riset,” terang Yusril Katil.


Dalam pamenan,  tambahnya, ada sesuatu yang turut bermain yang melampaui hasrat untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan memasukkan suatu makna ke dalamnya. Fakta bahwa pamenan mempunyai makna, mengimplikasikan adanya suatu unsur non-materil dalam hakekat pamenan itu sendiri. Pamenan juga diartikan sebagai ideologi tentang demokrasi seni.

Sementara itu, Sudarmoko, periset dalam proyek “Tubuh Padang” menambahkan, prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi dasar relasi sosial dalam masyarakat Minangkabau membuat pertunjukan randai tidak mengenal pemimpin yang berkuasa mutlak. Meskipun penyelenggara pertunjukan randai tergabung dalam struktur yang memunculkan posisi yang berbeda antara satu dengan yang lain, namun dalam pelaksanaannya semua unsur bekerja bersama-sama.

Makna demokrasi yang diterapkan dalam penyelenggaraan pertunjukan randai bukan berarti menghilangkan tingkat dan posisi. Akan tetapi, tingkat dan posisi itu tidak dimaknai sebagai sesuatu yang kaku dan mutlak secara menyeluruh. Masing-masing orang yang menempati posisi tertentu diberi jalan agar pikiran dan pendapat mereka didengar dan dipertimbangkan.
“Esensi estetik dari randai adalah bagaimana masing-masing kreator memiliki kebebasan terhadap bidangnya masing-masing. Esensi estetik yang melatar belakangi randai, ditentukan oleh masyarakat pendukungnya, sedangkan 'esensi artistik' ditentukan oleh tuo randai beserta pemain dan bahkan juga ditambah masyarakat lingkungannya.  Hal ini sangat terbuka dan hadir dalam tafsir 'Tubuh Padang'," urai Sudarmoko.
Lebih jauh ia katakan, perubahan pada randai menyentuh berbagai macam bidang (tidak hanya pada bentuk), baik itu dari pandangan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan termasuk di dalamnya kesenian. Perubahan yang terjadi di tengah masyarakat juga mempengaruhi perubahan kesenian di tengah masyarakat, termasuk di dalamnya teater.

Pertunjukan ini didukung oleh komposer Avantgarde Dewa Gugat, video art/dokumentasi Topan Dewa Gugat, dan aktor Yogi, Ahmad Ridwan Fadjri, Aditya Warman dan Rahmat Pangestu Hidayat.


Pertunjukan ini juga menjadi sebuah penjelajahan eksplorasi dalam memadukan unsur pertunjukan tradisi, transfer pengetahuan dari tradisi ke kontemporer, sumber penciptaan teater dengan memanfaatkan silek, randai, dan kekayaan budaya lainnya, serta pencarian estetika baru dengan media dan teknologi kontemporer. (isi/pojokseni)

Minggu, 15 September 2019

Teater Sebagai Medium Perlawanan, Tapi Melawan Apa?


September 15, 2019

Ilustrasi teater

Sejak dulu, teater kerap di-identikkan sebagai medium perlawanan. Padahal, ketika diperkenalkan di Yunani abad ke-6 SM, teater ditujukan untuk menyokong ritual keagamaan. Sampai perkembangan teater terus terjadi mengikuti zaman, bermunculan teater tradisional, maka teater berpindah peran menjadi hiburan dan budaya.

Selanjutnya, teater modern lahir. Maka teater mulai berubah peran, mulai dari menjadi penyampai pesan, hingga medium perlawanan. Bahkan, dalam titik negatifnya, teater juga berubah menjadi agen kepentingan.

Mengingat teater sebagai perlawanan, tentu akan mengarahkan kita ke nama dramawan legendaris Indonesia, WS Rendra. Namanya begitu harum tersimpan di memori teater Indonesia. Sebab, teater baginya tidak hanya untuk hiburan juga budaya, tapi lebih pada perlawanan. Karena itu, pemerintah Orde Baru (Orba) melakukan pengawasan, berlanjut ke pelarangan pada setiap pementasan Rendra.

Namun, kembali ke pertanyaan paling awal, apabila teater memang kerap dijadikan medium perlawanan, maka siapa lawannya? Tidak sedikit yang akan menjawab; "penguasa!" Ternyata, tidak hanya "penguasa" yang bisa menjadi objek perlawanan. Ketidak adilan, tindak yang tidak manusiawi, serta kebiasaan merendahkan orang yang tidak satu kelompok, juga sering menjadi "objek perlawanan" bagi seorang seniman.

Ilustrasi pertunjukan teater (Teater Satu Lampung dalam karya Kisah-Kisah yang Mengingatkan)

Setiap karya seni pertunjukan, lahir dari atau sebagai respon seorang seniman terhadap lingkungan dan sosial sekitarnya. Ada yang menatap kerusakan bentang alam dan para pengrusaknya sebagai orang-orang yang mesti dilawan, lewat teater. Ada seniman lain yang menatap kemalasan bangsa ini, sehingga SDA yang kaya raya dan melimpah tak mampu diolah dengan baik karena tidak adanya SDM. Maka itu dianggap sesuatu yang perlu dilawan, dirubah dan diluruskan.

Ada yang mencintai kemanusiaan dan kedamaian. Tindak pemerkosaan, perudungan, penghinaan status sosial, warna kulit dan sebagainya, dianggap sebagai sebuah lawan yang juga harus dihapuskan.
Ada yang melihat perang sebagai kejahatan kemanusiaan, maka lahir karya yang melawan itu, agar perang dapat terhenti dan dihapuskan dari muka bumi.

Ada yang ingin kesetaraan gender, ada yang ingin kesetaraan ras, ada yang ingin kesetaraan agama dan lain sebagainya. Lalu menggunakan karya teater untuk menyampaikan kegelisahannya, dan tentunya "perlawanannya".

Ada yang melihat ketergantungan anak muda penerus bangsa sekarang pada gawai, bermain gem sepanjang malam, maka runtuh hubungan sosial antar manusia gegara gadget. Ada yang tidak peduli pada prestasi dan pengetahuan, lebih peduli pada popularitas dan sensasi. Maka hadir sebuah perlawanan dalam bentuk sebuah karya.
Ada juga yang melihat betapa banyak makhluk yang kecanduan agama, belajar di tempat yang salah, lalu menimbulkan pergesekan atas nama agama. Lalu, muncul pula karya teater yang mencoba menentang hal itu.

Atau, semakin banyak orang yang hidup hanya untuk mempersiapkan mati, lalu hidup hanya diisi dengan keegoisan diri sendiri mencapai tujuan pribadi. Lebih mengerikannya, semua yang ada di sekelilingnya, dianggap sebagai sampah atau setidaknya punya derajat yang jauh di bawah dia. Lagi-lagi, karya teater muncul untuk menentang itu.

Ada yang melihat bahwa manusia telah kehilangan makna, kehilangan sekaligus lupa akan tugasnya sebagai manusia. Ada juga yang melihat krisis eksistensial seorang manusia, atau kehidupan yang tak lebih dari labirin yang berputar-putar. Lalu, lahirlah karya yang menyampaikan pesan itu, sekaligus memprovokasi penonton untuk menentangnya.

Intinya, semua masalah akan terlihat ketika seorang seniman membuka mata. Dalam satu titik masalah yang sama, dua orang seniman akan memiliki perspektif berbeda menanggapinya, lalu mencurahkannya dalam sebuah karya seni pertunjukan.

Perspektif itu, kemudian diobservasi, baik kecil-kecilan, berbentuk studi pustaka, atau malah observasi besar-besaran, hingga terjun langsung ke lapangan. Kemudian, diimplementasikan dalam bentuk sebuah karya. Tidak lupa pula, sejumlah pendapat dan pandangan filsuf, pemikir, tokoh bahkan kata-kata Nabi yang mendukung ide, pesan dan konsep pementasan itu, sering juga di-include-kan ke tubuh karya. Unsur-unsur estetik kemudian digarap sesuai dengan dramaturgi. Ditambah proses latihan yang makan waktu sampai berbulan-bulan. Dan, sebuah karya akhirnya ditampilkan.

Maka, hasilnya adalah sebuah keragaman karya. Setiap grup teater memiliki ciri khas karya masing-masing, berdasar dari pandangan mereka terhadap lingkungan sosial sekitarnya. Maka karya itu akan lahir dari dalam perasaan terdalamnya, maka karya itu akan lahir dengan jujur. Maka penonton juga memiliki banyak pilihan, memilih pertunjukan teater yang sesuai dengan visinya, "mengenyangkan" dan memberi "nutrisi" yang dibutuhkan, dirindukan sekaligus diinginkannya. Maka, teater dan penontonnya akan memiliki satu ikatan batin, yang hanya terpisah oleh dinding keempat.

Seorang seniman tidak hanya bertugas untuk menambah pengetahuannya, melatih dirinya dan menciptakan sebuah karya. Lebih dari itu, ia mesti melihat lingkungan sekitarnya dan memberi respon dengan sebuah karya. (ai/pojokseni)