7 Juli 2019 - 12:05 PM
Topeng, seperti halnya wayang: hidup!
Bukan kah kehidupan dan kematian itu tidak hanya
bergantung pada penggolongannya: benda-hidup atau benda-mati? Kehidupan dan
kematian juga bergantung pada ‘siapa’ dan ‘apa’ yang menggerakkan atau
membekukan benda-benda; ‘siapa’ dan ‘apa’ yang mengisi atau melenyapkan roh (anima)
benda-benda. Barangkali termasuk Topeng Klana Sewandana ciptaan Sujiman dari
Bobung Pathuk Gunungkidul di Balai Kota Surakarta pada malam itu (Sabtu, 6 Juli
2019) di acara tahunan International Mask Festival (IMF) yang
mengusung konsep “pertunjukan seni topeng dan pameran kerajinan topeng”: tampak
begitu hidup melakonkan karakter sang tokoh cerita; menggantikan wajah sang
penari.
Kepada saya sesaat sebelum pementasan, Yestriyono, Sang
Penata Tari, sekaligus pemeran Klana Sewandana malam itu, mengatakan bahwa
Topeng Klana ciptaan Sujiman benar-benar hidup, benar-benar berkarakter. Ia,
sebagai penari profesional, yang telah mengenal seni topeng dan tari topeng
begitu dekat, tak bisa menahan decak-kagumnya.
Ia tak sabar ingin
segera membuktikannya. Memang, Sujiman menciptakan topeng itu bukan tanpa wewaton.
Sebelum berkarya, ia mendasarinya terlebih dulu dengan laku-prihatin.
Meskipun setelah saya bertanya kepada Pak Sujiman beliau pun tak benar-benar
tahu: apakah kuatnya karakter Topeng Klana Sewandana ciptaannya itu sebagai
buah dari laku-prihatinnya atau bukan. Ia hanya mencoba menceritakan
apa-adanya.
Pak Sujiman adalah penanggung-jawab Sanggar Seni “Ngesti
Budaya”
Tari-Wayang Topeng Bobung Pathuk Gunungkidul.
Sujiman kapiji menjadi pengasuh Sanggar Seni Tari-Wayang Topeng
Bobung terhitung dua tahun. Dulunya, Sanggar Seni Tari-Wayang Topeng Bobung
diasuh oleh Mbah Adi Sugiman, yaitu satu-satunya leluhur Bobung pelaku dan
pewaris seni ini. Tari-Wayang Topeng merupakan peninggalan-beliau yang beberapa
waktu tidak dilestarikan. Sebelumnya, kegiatan Tari-Wayang Topeng Bobung tidak
berjalan. Oleh Sujiman Tari-Wayang Topeng Bobung diramaikan kembali. Sekarang
beberapa undangan pementasan hadir dan dapat berjalan. Termasuk pementasan
malam itu, malam kedua International Mask Festival (IMF), Sujiman
mendapat undangan pentas secara langsung dari panitia kegiatan tanpa melalui
Dinas Kebudayaan Gunungkidul. Namun karena terbatas durasi pementasan (kurang
lebih 30 menit) dan biaya produksi serta format penyajian penggalan-cerita
padat (fragmen), maka Sujiman membawa tim produksi sejumlah 19 sudah termasuk
penari (12) dan penabuh (7).
Pak Sujiman: Penanggung Jawab Sanggar Seni Tari Wayang Topeng Bobung
dan Marsilan: Sekretaris
Sujiman memilih fragmen berjudul: “Klana Dhusta”. Fragmen
Klana Dhusta merupakan penggalan cerita Panji sebelum Raden Panji dan Dewi
Sekartaji melaksanakan dhaup. Diawali dengan adegan di
Bantarangin: Klana Sewandana dihadapkan oleh Sang Patih dan bala-tentara
raksasa dalam sebuah pisowanan-agung. Dalam adegan ini Klana
Sewandana gandrung-gandrung kepada salah satu bala-tentaranya, yang
ia-kira Dewi Sekartaji. Begitu menginginkannya Klana Sewandana kepada Dewi
Sekartaji, maka ia hendak nglurug ke Jenggala: berencana ndhusta Sekartaji
dari tangan Panji, dari Jenggala.
Adegan selanjutnya: Dewi Sekartaji dan Panji Asmarabangun
sedang andom-andum asmara di taman kraton. Ketika Panji lengah,
Sekartaji coba kadhusta (dilarikan) oleh Klana. Mengetahui keadaan
ini, Panji segera mencegah. Terjadilah dredah (peperangan) antara
Panji dengan Klana Sewandana beserta bala-tentara raksasa. Kala Panji
Asmarabangun sibuk berperang melawan bala-tentara raksasa, Klana Sewandana
berhasil ndhusta Dewi Sekartaji pergi dari Jenggala.
Begitu lah sajian fragmen penggalan cerita Panji malam
itu. Di acara-acara lain, Sanggar Seni “Ngesti Budaya” Tari-Wayang Topeng
Bobung menyajikan cerita yang berbeda. Sujiman menerangkan bahwa cerita apa
yang disajikan bergantung siapa yang nanggap. Ada kalanya si
penanggap adalah orang luar Indonesia (misalnya Perancis dan Korea) yang
menginginkan suatu cerita tertentu maka Sujiman akan mempersiapkan cerita itu.
Paling sering, Sujiman menyodorkan naskah kepada calon penanggap: naskah-cerita
yang diminati oleh para penanggap naskah-cerita yang mana. Ia memiliki
naskah-cerita seperti: Gunungsari Kembar, Panji Krama, dan lain-lain. Khusus
penyajian di Balai Kota Surakarta itu Sanggar Ngesti Budaya memang mendapatkan
kebebasan untuk memilih dan menyajikan fragmen Panji yang mana.
Sebenarnya umur Ngesti Budaya sudah lama, sekitar tahun
2006, hanya saja beberapa waktu ini vakum, mungkin karena kurang promosi.
Embrio seni sebelum Sanggar Ngesti Budaya lahir yaitu Seni Tari Wayang Topeng
yang hidup dan tumbuh di Bobung sejak tahun 60-an: dulu ada penarinya dan ada
topengnya. Topeng itu peninggalan leluhur Bobung (topeng-klasik) tapi sudah
rusak dan akhirnya hilang. Sujiman masih ingat, ia belajar membuat topeng dari
topeng-klasik yang diwariskan itu. Tahun 65-an masih ada tokoh tari topeng
yang sugeng, yaitu pak Adi Sugiman, yaitu kakak Sujiman sendiri. Ilmu tari
topeng dan ilmu membuat topeng diisep oleh Sujiman dan dikembangkan
sampai sekarang. Tahun 73-an para warga Bobung mengembangkan kerajinan topeng,
lantas memasarkannya. Topeng Bobung pun laku. Pada akhirnya Bobung dinobatkan
sebagai Desa Wisata Kerajinan Topeng. Yang dibuat oleh Sujiman beserta para
pengrajin bukan hanya topeng-klasik (untuk tari) namun juga topeng-modern
fungsional.
Sujiman juga menerangkan bahwa ciri-ciri Tari Wayang
Topeng Bobung amat klasik sekali. Namun di era sekarang, karena format
pementasan yang beraneka warna, maka ditambahkan lah unsur garap baik
di segi tata-tari maupun tata-iringannya. Karena, menurut Sujiman, jika sajian
Tari Wayang Topeng Bobung benar-benar klasik maka susah dinikmati oleh
kebanyakan penonton milenial. Yang ikut cawe-cawe untuk nggarap atau nyanggit Tari
Wayang Topeng Bobung adalah Yestriyono Pilianto (Panggang). Alasannya: setelah
Sujiman bertugas sebagai penanggung jawab sanggar, sementara penata-tari yang
ia kenal adalah Yestri itu, dan penata-iringan adalah Muchlas, maka beliau
mengajak mereka untuk menggarap Tari Wayang Topeng Bobung.
Meskipun demikian, Tari Wayang Topeng Bobung versi klasik
masih ada.
Jika sewaktu-waktu diminta untuk dipentaskan maka Sujiman
siap.
Permintaan para pandhemen dari luar negeri
justru yang versi klasik.
Ditambah lagi penelitian-penelitian Tari Wayang Topeng
Bobung (oleh ISI, UNY) tentu yang versi klasik, bukan garap. Pada akhirnya
untuk urusan garap/sanggit di beberapa pementasan Sujiman
memercayakannya kepada Yestri.
Menurut Yestri, penyajian Tari Wayang Topeng “Klana
Dhusta” merupakan penggambaran bagaimana karakter kuat Klana Sewandana dalam
aksi ‘mencuri-keindahan’ Dewi Sekartaji. Dari segi garap pementasan tari,
sebenarnya penyajian malam itu adalah penggabungan antara para penari klasik di
Bobung dengan para penari profesional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Melihat tempat pentas yang berbentuk pendhapan dan saka-saka di
Balai Kota Surakarta itu besar-besar, maka ragam lampah-ndhodhog dan lampah-ndhadhap tidak
diterapkan olehnya seperti halnya ketika pentas di Bobung maupun di Yogya.
Namun, meskipun demikian, bagian awal (jejer ke-1) tetap menggunakan trap wayang-orang
Gaya Yogyakarta. Dapat dikatakan bahwa Tari Wayang Topeng Bobung pada malam itu
merupakan gabungan dua golongan: yaitu golongan para penari profesional dan
para penari rakyat tradisional. Pada dasarnya para penari rakyat tradisional
Bobung itu para pengrajin topeng. Menurut Yestri: para pengrajin topeng Bobung
menginginkan Topeng-Bobung ‘digerakkan’, diberi roh. Maka mereka tergugah untuk
menggerakkan topeng-topeng. Lahir lah seni tari wayang topeng. Akhirnya, mereka
mempunyai cerita topeng Panji dan tari wayang Panji.
Yestriono: Penggarap Tari Wayang Bobung asal
Panggang
Tari Wayang Topeng Bobung memang tradisi turun-temurun.
Pernah Yestri menemui dan menanyakan langsung kepada tokoh pewaris Adi Sugiman
kala beliau masih sugeng: Siapa pelatihnya? Jawab-beliau: “Nenek, nenek!”,
hanya seperti itu.
Mbah Sugi, begini Yestri menyebutnya, adalah tokoh Bobung
yang amat sepuh tetapi masih kersa membimbing para pemuda
untuk melestarikan Tari Wayang Topeng Bobung. Beberapa tahun ini, dalam rangka
IMF, Yestri bersama Sanggar Seni Tari Wayang Topeng Bobung (mewakili Pak
Sujiman) sudah melaksanakan pentas dua kali (tahun lalu di Mangkunegaran). Kala
itu ia menggarap fragmen Klana dan abdinya, Bancak, atau Sembunglangu. Kegiatan
awalnya memang bukan berupa pementasan tari topeng. Awalnya berupa pameran
topeng Panji.
Termasuk pentas tahun lalu dan malam itu, yang utama
adalah Tari Klasik Topeng Bobung bisa dipentaskan. Bagaimana caranya bisa
merekrut teman-teman pemuda dan sesepuh di Bobung berbarengan dengan
teman-teman penari profesional bisa melaksanakan pentas bersama. Tari topeng
itu tari kerakyatan. Sepengetahuannya, tari topeng yang bersifat kerakyatan
‘diijinkan’ untuk dipentaskan di lingkungan kraton (seperti Tari Klana Topeng).
Melihat sejarah topeng dan tari topeng di Bobung yang awalnya memang dari para
pengrajin topeng kerakyatan, kemudian dari kreatifitas rakyat itu lahir sanggar
tari-wayang topeng. Dituturkan ulang oleh Yestri: dulu Mbah Sugi pergi ke
Yogya, tepatnya ke Pendhapa Tejakusuman untuk menyaksikan pertunjukan tari
klana. Beliau, Mbah Sugi, hanya melihat pertunjukan Tari Klana dari kejauhan.
Beliau tak belajar langsung di pendhapa (menurut ingatan saya ini
mirip dengan pengalaman Rama Sas kala belajar tari di Pendhapa Pujakusuman).
Kemungkinan besar, ujar Yesri, Beliau meniru ragam tari topeng di Pendhapa Teja
itu kemudian menciptakan dan mengolahnya sendiri untuk menghidupkan tari-wayang
topeng di Bobung.
“Jaman cilik biyen, biyen ki aku nek sinau nyang Tejakusuman,” begini Yestri menirukan cerita Mbah Sugi tatkala berkesempatan berwawancara ketika Beliau masih hidup.
Tetapi Yestri memaklumi, banyak
ragam-gerak Tari Wayang Topeng Bobung yang berbeda dengan tari topeng gaya
Yogyakarta, khususnya penamaan ragam tari seperti: trisik, tanceb, sabetan, bapangan, kambengan,
dan kinantangan yang berbeda dengan ‘ragam sesungguhnya’ ketika
dilakukan. Barangkali karena memang ini lah ciri tari kerakyatan: dilakukan
tetapi kurang sempurna, tak begitu abai terhadap ‘kebakuan-kebakuan’. Misalnya:
ragam angkat-kaki yang biasanya kaki lurus baru ditekuk, di Bobung ragam ini
dilakukan dengan kaki lurus sambil menginjak-injak lantai baru diangkat. Maka,
untuk kemasan pentas malam itu, Yestri dan kawan-kawan sebagai anak muda yang
dimintai tolong tidak membuang ragam-ragam yang sudah ada. Ragam itu telah
menjadi ciri khas dan kekayaan Tari Wayang Topeng Bobung. Toh pada akhirnya
ragam-gerak Tari Wayang Topeng ciptaan Mbah Sugi diwariskan turun-temurun
hingga sekarang. Yestri cenderung ragu jika ada tokoh dari arah Timur
Gunungkidul yang neneka di
Bobung lantas mewariskan topeng dan tari-topeng.
Penyajian Sanggar Ngesti Budaya Bobung di International Mask
Festival (IMF) Tahun 2019
Di segi lakon, Yestri mencoba nyanggit cerita
dengan memfokuskan pada penculikan Sekartaji oleh Klana. Akhir dramatiknya,
Dewi Sekartaji berhasil didhusta oleh Klana Sewandana. Sekartaji
terpisah dengan Panji Asmarabangun. Klana, menang. Biasanya, alur cerita Panji
takkan sampai muncul adegan “Klana merebut Sekartaji dari tangan Panji”. Kali
ini sanggitnya berbeda. Sanggit cerita yang seperti ini berdasar
masukan dari Pak Sujiman. Bahkan, sejak awal persiapan produksi, Pak Sujiman
telah menentukan judulnya: “Klana Dhusta” itu. Setelah saya konfirmasi, Pak
Sujiman mengatakan bahwa penokohan Klana sebagai pusat cerita itu karena Klana
Sewandana sebenarnya memiliki dua karakter: pemarah, namun baik hati. Klana
selalu ngayomi rakyatnya. Ia hendak mencuri Sekartaji karena memendam
‘dendam-negara’ antara Bantarangin dengan Jenggala. Bantarangin pernah
diobrak-abrik oleh Jenggala (ayah Panji). Menurut Beliau, Klana adalah seorang
pencuri namun baik hati.
Topeng Klana yang dikenakan Yestri memang berbeda. Itu
topeng garapan Sujiman sendiri.
Proses nya tak seperti ketika Sujiman nggarap topeng-topeng
yang lain. Topeng itu bukan topeng kerajinan yang prosesnya “asal menebang
pohon kemudian membuat topeng” begitu saja. Sebenarnya beliau membuat 5 topeng.
Yang pertama adalah topeng Klana itu, lantas ia-turunkan menjadi 4 topeng lain,
di antaranya Panji dan Jayakartala. Sekarang 4 topeng lain sudah dikoleksi oleh
“orang-orang yang ingin sekali mengoleksinya kala pertama kali melihatnya
digantungkan di dinding rumahnya”. Sementara topeng Klana tidak ia jual. Ada
yang menawar topeng Klana ciptaannya hingga 60 juta tak beliau-berikan.
“Itu topeng koleksi,” kilahnya.
Ada laku-laku tertentu sebelum ia menciptakan
topeng. Tujuannya agar: Sujiman mendapatkan karakter topeng yang sesungguhnya.
Setelah Topeng Klana selesai diciptakan oleh Sujiman, tak semua orang bersedia
memakai topeng itu; tak semua (sembarang) orang dipilih oleh Sujiman mengenakan
topeng itu. Pernah ada kejadian: Topeng Klana tiba-tiba hilang dari tempat
penyimpanannya, kemudian pulang sendiri. Pernah juga ada kejadian, ketika suatu
saat dalam Festival Tari Klana Topeng topeng itu dipakai oleh adik iparnya,
sesampai di rumah sang adik disimpannya asal-asalan, tak selang berapa lama ia
ditakut-takuti oleh “sesuatu”. Ada berbagai macam suara seperti orang menangis
dan lain sebagainya dari arah kamar penyimpanan topeng.
Ada pula kejadian: sewaktu pengukuhan Geopark Gunungsewu
Sujiman mengenakan Topeng Klana itu, kemudian ada seorang bule yang
memfoto jeprat-jepret tetapi tak ada hasil gambarnya. Sujiman
berkeyakinan: orang itu mempunyai niat tidak baik. Kejadian demi kejadian
semakin meneguhkan bahwa Topeng Klana ciptaannya memang menyimpan sesuatu. Tak
tahu mengapa dulu Sujiman memilih menciptakan Topeng Klana sebagai masterpiece,
bukan Panji bukan Sekartaji. Seolah-olah ada orang yang menyuruh: “Klana saja
yang kau ciptakan!” Kini, setiap ada penari yang menggunakan Topeng Klana
ciptaannya (atas sepersetujuannya), merasa memiliki semangat penuh kala pentas.
Menurut keterangan beberapa orang, jika dibutuhkan oleh seorang penari untuk
memerankan Klana Topeng, cenderung memilih Topeng Klana ciptaannya itu karena
ketika pentas amat ringan dipakai, tak ada kemalasan, kaki nyik-nyik amat
enteng bergerak. Meskipun ia hanya menceritakan pengalaman beberapa penari; ia
tak pernah memerankan topeng yang ia ciptakan sendiri dan mewakilkan dirinya sendiri.
Begitu halnya apa yang dirasakan Yestriyono ketika pentas
mengenakan Topeng Klana ciptaan Sujiman itu. Ia merasakan ada semangat yang
menggerakkan tubuhnya; ada greget menghidupkan dan melestarikan Tari
Wayang Topeng Bobung.
Yestriyono Pilianto atau Yestriyono Reksa Mataya,
khususnya mewakili dirinya sebagai Abdi Dalem Kraton berpangkat “Masjajar”,
maka dari itu, mengharapkan kepada dinas-dinas terkait atau Pemerintah Daerah
Gunungkidul untuk mendampingi Sanggar Seni Ngesti Budaya. Selama ini ia bekerja
secara pribadi ikut cawe-cawe memberikan pelatihan. Ia, sesuai
kepangkatannya itu, harus ikut serta mempertahankan kelangsungan hidup Seni
Tari-Wayang Topeng Bobung. Jika demikian, yaitu spirit-penggerak aksinya adalah
kerja sosial dan berbagi di bidang seni, Yestriyono meyakini bahwa suatu saat
ia akan memetik buah berkeseniannya itu. Terlebih menurutnya,
penelitian-penelitian dari golongan akademisi tentang Tari-Wayang Topeng Bobung
terbatas hanya pada kebutuhan mereka sendiri tetapi tidak ada kelanjutan
pemberian umpan-balik demi kemajuan Tari-Wayang Topeng Bobung.
“Para generasi muda pun hendaknya bersedia mempelajari topeng dan tari-topeng,” Yestri menambahkan pesan.
Topeng Klana Sewandana Ciptaan Sujiman, Bobung Pathuk
Gunungkidul
Sujiman, Marsilan, Yestri, para penari, para penabuh,
serta para pengrajin Topeng Bobung menurut saya berhasil menggerakkan dan
menghidupkan topeng-topeng rakyat pinggiran (desa) di pusat kebudayaan (kota);
topeng-topeng pramodern di antara topeng-topeng orang modern . Topeng-topeng
Bobung sebagai aset kebudayaan Gunungkidul DIY yang dikenakan para penari
serasa hidup, ibarat hidupnya ‘wayang-wayang’: penokohan di balik topeng-topeng
itu berasal dari wilayah Pegunungan Sisi Selatan (Ardikidul, Redikidul) dimana
wilayah Pegunungan Sisi Selatan terkesan kering dan tandus, ‘pemarah’, serta
menakutkan (sifat raksasa-raja dan bala-tentaranya), khususnya oleh penokohan
Raja Raksasa Klana Sewandana (Yestri) malam itu yang amat dominan sepanjang
pementasan. Ya, topeng raksasa Klana Sewandana ciptaan Sujiman itu: hidup!
Topeng Tari Wayang Klana: hidup! Ia mencuri perhatian; ia mencuri keindahan
(Sekarjati-Sekartaji). Topeng dan Tari Wayang Topeng Bobung berhasil ndhusta (mencuri)
perhatian jejel-riyel-nya penonton. Tepuk-tangan penonton menyesaki
Pendhapa Balai Kota Surakarta yang megah dan agung itu. Mereka telah
menghidupkan Tari-Wayang Topeng Bobung (bahkan di tanah kelahiran mereka
sendiri) tak mati dalam bentuk pementasan-pementasan rutin skala lokal,
nasional, maupun internasional; tak punah oleh gerak jaman.
Ke depan mereka harus berani menghidupkan karakter
topeng-topeng: semoga bukan sebagai topeng-topeng bendawiah belaka yang tanpa
roh (anima), bukan sebagai sentra kerajinan topeng di sisi barat Gunungkidul yang
menuju ke kematian, namun juga agar topeng-topeng laku di pasaran, agar
memiliki ketahanan menggerakkan arwah dan lakon kehidupan.
“Supados tari topeng boten pegat ing tengahing margi,” begini pembicaraan diakhiri oleh Marsilan, sang sekretaris sanggar, sebelum sesi foto saya-minta dilakukan.
[WG]
0 komentar:
Posting Komentar