Kamis, 10 Desember 2015

Tayub dan transformasi tradisi agraris dalam modernitas masyarakat desa

December 11, 2015 | Ikwan Setiawan*



Salah satu ketakutan terbesar dalam pengembangan kesenian tradisional adalah hilangnya tradisi agraris yang menjadi cikal-bakal lahirnya kesenian tradisional, seperti tayub maupun gandrung. Ketika masyarakat desa semakin modern di era 2000-an dimana sebagian besar warganya sudah mempunyai televisi dan VCD players, sudah mempunyai telepon seluler alias HP, sudah biasa dengan budaya metropolitan, atau sudah terbiasa menggunakan internet, banyak pengamat memprediksikan tradisi agraris akan semakin hilang. Ritual-ritual untuk nylameti bumi akan dengan cepat musnah dari ruang desa, apalagi dengan massifnya syiar agama yang memosisikan ritual-ritual itu sebagai perbuatan musyrik.
Kenyataan membuktikan, masyarakat desa ternyata tidak mau sepenuhnya menghilangkan tradisi leluhur tersebut serta tidak mau sepenuhnya menerima modernitas yang mengandalkan rasionalitas. Mereka berhasil mentransformasi sebagian tradisi agraris dalam konteks kekinian. Di banyak desa, tradisi nyadran atau sedekah bumi masih dijalankan. Masyarakat masih meyakini bahwa nylameti bumi pertiwi bukanlah musyrik, karena bumi ciptaan Tuhan ini telah memberi banyak bagi kehidupan umat manusia. Kalau tidak dislameti, berarti mereka mengingkari ketulusan bumi dalam memberikan sesuatu kepada umat manusia.
Ritual-ritual untuk nylameti bumi pertiwi itu selalu dilengkapi dengan hiburan. Dan, mayoritas di wilayah Lamongan, Tuban, Bojonegoro, maupun Nganjuk, tayub menjadi pilihan karena dianggap sebagai perwujudan tari kesuburan untuk menghormati Dewi Sri. Acara nylameti bumi di Lamongan disebut dengan istilah nyadran atau sedekah bumi yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Di Tuban biasa disebut dengan istilah manganan yang juga dilaksanakan satu tahun sekali.
Nyadran di Lamongan
Sebelum pelaksanaan acara nyadran, satu atau dua bulan sebelumnya, biasanya perangkat dusun akan mengumpulkan kaum pemuda untuk membentuk kepanitiaan. Setelah kepanitiaan terbentuk, mereka akan bekerja menyiapkan pelaksanaan acara. Salah satu tugas mereka adalah mengumpulkan sumbangan dari para warga, baik yang berdomisili di dusun atau yang berada di kota untuk keperluan kerja. Biasanya, mereka juga akan narik—meminta sumbangan—ke beberapa pemilik toko yang biasanya memberikan sumbangan lebih besar dibandingkan warga biasa.
Sebelum menggelar tayuban, warga desa akan mengadakan slametan barikan yang dipimpin oleh modin, pemimpin urusan keagamaan di dusun. Slametan biasanya diselenggarakan di tempat pemakaman pendiri dusun atau di perempatan dusun. Dalam slametan itu, para warga memohon agar usaha pertanian mereka dilimpahi rezeki oleh Tuhan dan warga desa dijauhkan dari segala macam penyakit. Slametan ini bisa dilaksanakan malam atau pagi hari sebelum tayuban, tergantung tradisi masing-masing dusun. Untuk dusun-dusun yang tidak menggelar tayub, biasanya akan menggelar pertunjukan wayang ataupun ludruk.

Karena hajatan tayuban dilaksanakan oleh warga dusun, biasanya dalam acara pembukaan waranggono akan memberikan sampur penghormatan kepada kepala desa, kepala dusun, dan para perangkat. Baru setelah itu dilanjutkan oleh warga dari generasi tua dan generasi muda. Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari pertunjukan tayub di Lamongan adalah tradisi minum bir. Tidak seperti di Tuban yang sebagian besar masih menenggak tuak, para penggila tayub di Lamongan memang sudah terbiasa dengan bir. Biasanya, agen penjual bir akan mengirim satu pick-up bir ke lokasi pertunjukan. Tradisi minum bir di siang hari tidak begitu menyolok, dalam artian tidak menjadi warna utama dalam pertunjukan tayub. Baru pada malam hari, para penayub dari masing-masing meja—satu meja biasanya diisi 4 sampai 5 penayub—seperti jor-joran (saling bersaing) untuk menenggak bir sebelum menari bersama para tandhak. Tradisi inilah yang banyak dikritik oleh tokoh agama. Meskipun demikian, kritik tersebut tidak pernah dihiraukan oleh para penayub. Karena, menurut mereka, kurang afdol kalau dalam tayuban tidak menenggak bir. Selain itu, dalam pengaruh alkohol, penayub bisa mengusir rasa malu ketika ditonton oleh orang banyak. Memang, kalau ditilik dari fungsi nyadran yang berkaitan dengan ritual kesuburan, tradisi tayub menjadi ekspresi estetik-profan yang bisa melepaskan makna-makna kesakralan dari ritual ini. Namun, sekali lagi, tradisi minuman beralkohol sudah berlangsung secara turun-temurun, sehingga sulit untuk dihilangkan.
Manganan di Tuban
Mangananberasal dari bahasa Jawa yang berarti “makan”. Manganan dalam tradisi masyarakat Tuban berarti “aktivitas makan bersama.” Ritual ini dilaksanakan di pemakaman para leluhur di masing-masing desa. Pada hari pelaksanaannya, warga desa berduyun-duyun ke makam leluhur sambil membawa makanan untuk dimakan bersama serta makanan untuk sesaji para roh-roh leluhur. Makanan beserta sesaji yang dibawa penduduk, dikumpulkan di pelataran makam. Oleh sesepuh desa yang dianggap sebagai “juru kunci” makam, makanan dibacakan doa-doa permohonan keselamatan. Setelah itu, malam harinya digelar acara tayuban.
Saat menggelar ritus manganan dan tayuban biasanya disertai minum tuak. Di saat-saat seperti ini, kaum perempuan berperan sangat sentral. Segala ubo rampe untuk kebutuhan sesaji dan makanan bersama, jelas dipersiapkan oleh kaum perempuan. Saat arena tayuban digelar, para penarinya semuanya jelas kaum perempuan, sedangkan kebutuhan akan tuak dalam arena itu juga disuplai dari warung-warung tuak yang para penjualnya juga kaum perempuan.
Bagi desa-desa yang menggelar manganan dengan pola lama, doa-doa dipimpin oleh juru kunci makam dengan perpaduan bahasa Arab (Islam) dan Jawa. Selain memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Kanjeng Rosul Muhammad SAW, juru kunci makam juga menyertakan nama-nama sesepuh desa yang telah meninggal dan danyang-danyang desa. Doa bersama ini dibarengi dengan menaruh kemenyan (dupa) dan makanan sesaji di tempat-tempat yang oleh warga desa dianggap keramat. Setelah juru kunci makam memanjatkan doa-doa dan menaruh sesaji di lokasi danyang-danyang, acara makan bersama dimulai. Makanan yang dibawa oleh masing-masing orang, dipertukarkan satu sama lain sehingga bisa merasakan beragam jenis makanan yang dibawa oleh masing-masing warga. Mereka makan bersama secukupnya di pelataran makam. Sisa makanan mereka bawa pulang untuk bekal makan seharian penuh. Malam harinya, digelar tayuban sebagai rangkaian ritus manganan.


Tayuban, biasanya digelar di pelataran pemakaman desa atau pelataran balai desa. Seluruh kebutuhan tayuban, biasanya disokong penuh oleh kepala desa dan iuran penduduk setempat. Di beberapa desa di Kecamatan Semanding, kepala desa bahkan memberi sesaji seekor kepala kerbau kepada danyang-danyang desa. Acara tayuban akan dihelat semalam suntuk, selepas Isya’ hingga menjelang Subuh. Ada juga yang selepas Dzuhur dan istirahat menjelang Maghrib. Selepas Isya” tayuban dilanjutkan-kembali.
Biasanya, dalam menggelar tayuban, cenderung berlangsung persaingan antardesa. Para penyelenggara di tingkat desa berlomba lomba untuk mendatangkan sindir yang dianggap idola dan tenar, meskipun dengan bayaran yang teramat mahal untuk ukuran warga desa. Untuk menggelar tayuban, tuan rumah sebagai pihak pengundang harus mempersiapkan uang jutaan rupiah. Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding, satu dari belasan desa yang menjaga “gengsi tinggi” dalam menggelar manganan dan tayuban. Warga dan perangkat desa setempat cenderung memberi perhatian yang spesial bagi pelaksanaan ritual manganan dan tayuban.
Biasanya, siang sebelum tayuban dimulai, desa setempat yang memiliki hajat akan diramaikan dengan para penjual makanan dan minuman termasuk tuak, arak, dan bir. Para penjual dadakan itu, berasal dari warga setempat maupun warga dari luar desa. Semakin malam, mendekati digelarnya tayuban, jalanan menuju tempat tayuban akan semakin dipenuhi penjual makanan dan minuman, serta pengunjung yang hilir mudik. Jika sindirnya figur-figur populer dan cantik, jumlah pengunjung akan semakin ramai bahkan dari luar-luar kecamatan. Dalam semalam di arena tayuban, ratusan liter tuak dan arak akan habis, belum lagi ratusan botol bir. Tentu sungguh fantastis untuk perputaran dan pergerakan roda ekonomi di tingkat desa.
Keberadaan tuak, arak, dan bir tidak saja di kalangan para penjual, biasanya panitia manganan dan tayuban akan menyediakan tuak, arak dan bir bagi tamu-tamu yang akan menjadi pengibing (lelaki yang akan berjoget dengan sindir). Tuak, arak, bir, dan sindir menjadi kontestan bagi banyak para pengibing untuk eksploitasi maskulinitasnya. Situasi minum tuak harian dengan di arena tayuban juga berbeda. Dalam arena tayuban, biasanya orang yang bertahan untuk tidak mabuk secara diam-diam memberi pesan ke kontestan pengibing lainnya. Di arena tayuban, para pengibing minum tuak, arak, ataupun bir ada dalam dua arena sekaligus.
Pertama pengibing biasanya minum tuak, arak, atupun bir di arena meja tamu untuk para pengibing. Sambil bercengkerama satu sama lain, para pengibing menikmati minuman yang disediakan panitia. Meskipun menyaksikan para pengibing menenggak minuman keras, para penonton tetap menikmati atraksi mereka ketika menari bersama sindir.
Kiranya dengan mudah kita hitung, kalau masing-masing dusun menyelenggarakan tradisi nyadran, maka betapa sering intensitas pertunjukan tayub yang dilaksanakan. Maka, setiap paguyuban tayub akan mendapatkan job tanggapan, karena tidak mungkin hanya diambil oleh satu paguyuban saja. Apalagi kalau ritual nyadran itu digabungkan dengan peringatan 17-an, maka tanggapan tayub akan semakin ramai. Dengan demikian, transformasi tradisi agraris masyarakat perdesaan ikut berkontribusi bagi perkembangan dan pemberdayaan tayub di tengah-tengah masyarakat yang tengah berubah, baik secara teknologi maupun syiar agama. Menariknya, tradisi ritual agraris ini dari tahun ke tahun semakin ramai saja, bukan semakin sepi. Memang, pada saat panen padi terserang hama, biasanya peringatan tidak terlalu meriah. Namun, hal itu biasanya hanya berlangsung dalam setahun, sesudahnya ritual tetap ramai.
Khusus di Tuban, selain ritual manganan, bagi masyarakat nelayan juga sering menggelar pertunjukan tayub untuk acara petik laut atau lebih dikenal dengan istilah sedekah laut. Salah satu kelurahan di wilayah Kecamatan Tuban yang setiap tahun menggelar pagelaran tayub sebagai rangkaian ritual sedekah laut adalah Kelurahan Karangsari. Di kelurahan ini terdapat lingkungan Karangsari Timur, Jaringan, Tepi barat dan Tamping. Setiap lingkungan ini merayakan sedekah laut di waktu yang berbeda meski sebenarnya acara sedekah laut yang dilaksanakan masing-masing lingkungan bisa dikatakan sama. Ketidakmauan masing-masing lingkungan untuk disatukan perayaan sedekah laut dan tayubannya lebih didasari semangat mandiri dalam ritual dan perayaannya. Selain itu, melalui pagelaran tayub, masing-masing lingkungan ingin menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi yang terbaik, sehingga akan berimplikasi pada kebanggaan warga. Begitulah, pagelaran tayub semakin ramai dengan adanya iklim kompetisi yang apabila dikelola dengan baik akan semakin menciptakan dinamika yang sangat positif.
Keterangan
Dicuplikkan dari Laporan Penelitian Strategis Nasional “Pengembangan Ludruk dan Tayub Jawa Timur-an dalam Perspektif Industri Kreatif”. Didanai oleh Dirjen DP2M Dikti Kemendikbud, 2013. Penelitian ini juga melibatkan Prof. Dr. Sutarto dan Drs. Albert Tallapessy, M.A., Ph.D.
______
*Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com

Source: MataTimoer 

0 komentar:

Posting Komentar