Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Minggu, 28 Februari 2016

Tembang Macapat, Enerji dan Abstraksi Doa [3]

// bertapa tanpa rimba yang terpeta / bijaksana lebih baiknya / bawa lah demi kebaikan / ingat tidak gegabah / menyadari badan yang ringkih / suramnya sang cakrawala / rasa yang terbingkai / terurai mengharap atas anak / lancar si Rarindra Ratu Hestungkari / dalam pelukan lanjut nama //

SERAT: Tradisi dalam karya Serat yang bukan saja sarat muatan ajar mengenai kearifan yang tetep relevan, tapi juga elaborasi pemikiran-pemikiran kekinian [Foto: Mario M Sano]    

Sinyalemen yang dapat ditarik dari sharing Tetet Srie WD bahwa lahirnya Serat Dras Sumunar melalui tapa keprihatinan seorang ayah yang tekun  bermunajat, bahwa anak putrinya (Rarindra Ratu Hestungkari) dapat lah mencapai bontos kaweruh, merengkuh kebijaksanaan tinggi serta kemuliaan dalam perjalanan hidupnya; tak melenceng dari wiradat atas sang anak. Secara naluriyah, bagi sastrawan jawa yang telah melanglang buwana ini menempatkan fitrah keperempuanan sebagai kemuliaan.  

Capaian derajad kemuliaan putrinya adalah rengkuhan derajat kemuliaan linimasa perempuan jawa pada umumnya. Apa yang tersurat dalam Serat Dras Sumunar, dengan begitu, mereposisikan diri sebagai rangkuman asa penciptaannya. Jadilah ia -Serat Dras Sumunar itu- semacam abstraksi dari doa. Tentu, sublimasi kosakata pilihan masih saja menghamparkan ruang dan kisi-kisi yang dapat memunculkan interpretasi yang berbeda.

Yang jelas, usaha mengapresiasi karya sastra Jawa itu tak bisa pasifistik dengan berhenti setelah mendengarkan serangkaian tembang atau pun liris-liris geguritan belaka; yang dalam pagelaran macapat di Roemah Martha Tilaar dikonfigurasikan sebagai transisi fase-fase pergantian pupuh. Macapat sendiri, dalam bentuknya sebagai pupuh itu; mengkerangkai bagaimana secara spesifik kita dibuat mengaktifkan nalar berikut sensitivitasnya.

Begini lah masyarakat Jawa membangun kecerdasannya dalam dialektika amemayu hayuning bawana itu...                   

Tembang Macapat, Enerji dan Abstraksi Doa [2]

 SAMBUNG-RASA: Sessi kajian pasca pertunjukkan macapat. Sastrawan Tetet Srie WD memaparkan proses penciptaan sebagai jembatan mengapresiasi [Foto: Aris Panji Ws] 

Tak bisa dipungkiri bagaimana luruh suasana dalam Roemah Boedaya itu, dimana tembang-tembang jawa mengaliri jiwa yang hadir di serambinya. Seolah ada spektrum tafakur yang melingkar, tak terpisah, tapi juga tak terdera basah sisa hujan di luaran. Begitu lah suasana dibangun dari getar serangkaian tembang-tembang jawa yang dilantunkan dari titah rasa. Selain Ika Lustiyati, ada Na Dhien, KMA Arum, Ajang Mas, Sukinah, Heru RRI, Trimo Raharjo, Dian Kusumawati, Alek Sudianto, Wagimin, Surawan dan Nanang SP.

Banyak lagi orang hebat menepi di sini. Namun Serat Dras Sumunar juga terasa benar hebatnya. Karya Tetet Srie WD yang diselesaikan selama 2 tahun pada 1986; tak lekang pesona magisnya hingga hari ini. Bahkan sang Empu Anggit pada saat melantunkan pupuh Mijil seperti memuncaki kulminasi dalam reaktualisasi pergulatan seninya. Karya yang dibabar pertama justru di mancanegara, yakni di Neully sur Seine, Perancis; memang bukan karya biasa-biasa saja.

Terlebih bagaimana mengolah karya sastra dalam pementasan collaseum dengan kendala verbal dan bahasa yang berbeda; aspek pembelajaran berkesenian tentu jadi resensi dan referensi besar. Karena saat petikan Serat Dras Sumunar dihelat di negeri sendiri, pun mengalami kendala serupa. Untuk bisa memahami ikrah karya sastra Serat seperti ini memang butuh pergulatan lanjut dan intensitas dalam menyelami teleng kedalamannya.

“Saya kepranan menyimak Dras Sumunar ini. Seperti apa penjabaran prakarsa kepenulisannya..?”. Tak kurang seorang Ketua Umum DKD Kebumen Pekik Sat Siswonirmolo melansir tanya ihwal kegamangan interpretasi seputar ikrah karya ini, dalam respon apresiasinya.

“Dras Sumunar adalah sesuatu yang bersumber di telenging ati manusia”, urai Tetet Srie WD mengawali sambung rasa.

Teleng adalah pancer dari semesta hati, semesta yang mendadah laras kehidupan ke dalam krenteg, mobah-mosik jadi spektrum spiritualnya. Membaca ikrah Serat ini memang menemukan keterhanyutan, tapi yang menghidupkan takjub. Ini lah keterpengarahan itu...

// tapa tanpa alas kang jinarwi / wicaksana den langkung prayoga /gawanen amrih becike / eling nora gegupuh / puh apuhing raga kang aking / kingkin sang dewangkara / rasa den kawengku / kumadarna nggadhang yoga / gancar pun Rarindra Ratu Hestungkari / rinengkuh nulya asma //
[Dhandhanggula, Serat Dras Sumunar, Tetet Srie WD]

[to be continued]      

    

Tetet Srie WD dalam Serat “Dras Sumunar” [1]

Tembang Macapat, Enerji dan Abstraksi Doa    

Tetet Srie WD di tengah Gelar Macapat "Serat Dras-Sumunar" di Roemah Budaya Martha Tilaar [Foto: Aris Panji Ws]

Serangkaian pupuh tembang jawa dalam bunga rampai “Dras Sumunar” usai digelar di Roemah Martha Tilaar Gombong Kebumen (27/2/2016). Rangkaian yang lengkapnya terdiri dari 1.000 gatra [pada_jw] tembang seperti Dhandhanggula, Mijil, Sinom, Pangkur dan Durma, karya Tetet Srie WD, yang telah dipentaskan di berbagai negara Asia, Eropa dan Afrika. Petikan karya sastra Jawa ini dilantunkan langsung oleh Tetet Srie WD dengan melibatkan tak kurang dari 10 orang termasuk 3 seniman yang menyertai perjalanannya; Na Dhine, Heru RRI dan KMA Arum. Beberapa seniman setempat juga menyertai perhelatan langka ini...

Serat sebagai karya sastra Jawa tak melulu lahir dalam budaya tradisi di masa yang telah berlalu. Masyarakat lama telah mengenal berbagai karya sastra adiluhung sejenis sebagai bagian khasanah kesusasteraan lama. Dalam khasanah klasik itu setidaknya ada Serat Pararaton, Wedhatama, Wulangreh, Tripama, Centhini, Jayeng Baya, Sasangka Jati, Sabdo Palon, hingga karya fenomenal seperti Serat Gatholoco dan Darmo Gandul; serta banyak lagi karya klasik lainnya. Sedang di era kekinian tradisi serat ini terus dielaborasi oleh para sastrawan Jawa. Salah satu penulis sastra Jawa [baca: pangripta_pen] serat ini adalah Tetet Srie WD dengan karya Serat Dras-Sumunar (1986).

Karya yang dalam serat aslinya terdiri tak kurang dari 1.000 gatra tembang macapat ini memuat aspek falsafah perjalanan hidup manusia, dari soal-soal cinta, gejolak muda, pengembaraan, bahkan juga kritik sosial hingga kawruh seputar  kearifan dan nilai-nilai spiritualitas kehidupan. Ada sajian pengantar dari rintisan Teater Kopong menyertai. Helatan bernuansa ritus menyimak tembang-tembang macapat namun jadi terasa gayeng hingga usai dinarasikan. Diikuti sambung rasa dibawah fasilitator Sigit Tri Prabowo.   

TETET SRIE WD: Penampilan penulis serat "Dras Sumunar" di Roemah Martha Tilaar Gombong [Foto: Mario M. Sano] 

Penulisnya, Tetet Srie WD; berada di tengah deretan penembang dengan konfigurasi simbolik yang fokusnya menggambarkan visi kesastraan dari karya seratnya. Ini muncul pada fase tembang dengan sepuluh gatra pupuh Dhandhanggula yang dilantunkan perempuan muda berbakat Ika Lustiati, siswi SMA1 Gombong. Konfigurasi demikian menjelaskan bagaimana sastrawan yang juga seorang koreografer Tetet Srie WD ini ingin menempatkan tema besar kesetaraan gender sebagai sebuah arus utama yang menghilir karyanya. Mainstreaming mana, dalam karya visioner Serat Dras-Sumunar ini mengeksplor basis kultural dan filosofi Jawa yang melandasinya; yang membedakan Sastra Jawa dengan Sastra Barat.


Dunia Barat sendiri menyambut pentas “Dras-Sumunar” sebagai karya serat yang dipanggungkan dengan pernik spektakularitasnya...   

Kamis, 25 Februari 2016

Legenda Penari Lengger dan Jejak LGBT di Serat Centhini


Aris Andrianto
25 Feb 2016, 19:59 WIB

Dariah maestro Lengger Lanang dari Banyumas (Liputan6.com/Aris Andrianto)

Liputan6.com, Banyumas - Sejarah kesenian di Banyumas tak lepas dari wacana transgender. Terutama kesenian lengger lanang.

Tarian khas Banyumas ini dimainkan oleh laki-laki yang mengubah dirinya menjadi perempuan secara utuh dalam keseharian.

Sejarah transgender di Banyumas tercatat sejak abad ke-18. Kala itu Mangkunegaran VII memerintahkan tiga sastrawan untuk berkeliling Jawa. Mereka diperintahkan untuk menulis kehidupan penduduk Jawa saat itu.

Tiga sastrawan itu singgah di Banyumas dan menjumpai kesenian Lengger Lanang Banyumas. Kisah mereka belakangan tertulis dalam Serat Chentini, kisah tentang Jawa.

Kini, ratusan tahun kemudian, Dariah, 88 tahun, masih menari lengger. Dariah merupakan penari lengger lanang terakhir yang masih hidup. Ia menjalankan ritual yang komplit untuk bisa menjadi penari lengger.

Totalitasnya membuat Dariah yang nama aslinya Sadam, berperilaku seperti perempuan. Gerakannya luwes dan gemulai. Namun, energi yang dipancarkan dari kerendahan hati seorang penari lengger masih awet hingga kini.

Dariah merupakan simbol militansi kesenian rakyat yang saat ini mulai terancam punah. Bagi Dariah, lengger lanang merupakan kesenian adiluhung yang penuh makna filosofis kehidupan manusia.
"Saya pakai make up seadanya saja, tidak usah berlebihan," ujar Dariah, maestro lengger lanang Banyumas dari Desa Somakaton Kecamatan Somagede, kepada Liputan6.com, Kamis (25/2).
Siang itu, Dariah bersama tiga penari lengger lanang lainnya didapuk menari lengger di Petilasan Manggihsari di desa itu. Di petilasan itulah Dariah puluhan tahun lalu melakukan perjalanan ritualnya untuk menjadi seorang penari lengger.

Dariah maestro Lengger Lanang dari Banyumas dan para penari muda (Liputan6.com/Aris Andrianto)

Panggung dibuat sederhana, tanpa atap. Meski tanpa atap, panggung cukup teduh karena terlindung rerimbunan pohon beringin yang berdiri kokoh di belakang petilasan. Penonton berjubel di dekat panggung. Tak ada sekat antara penari dan penonton.

Tetua adat Desa Somakaton, Jaya Martono mengatakan, pentas mini napak tilas itu juga dimaksudkan untuk mengajak masyarakat agar kembali berpikir bersih.
"Di sini ada takir atau makanan yang dibungkus daun pisang untuk dimakan bersama," katanya.
Takir merupakan akronim dari tata pikir atau menata pikiran. Saat ini, kata Jaya, banyak agama yang merasa benar sendiri dan menjelekkan agama lain.
Yusmanto, budayawan lokal Banyumas menambahkan, untuk menjadi penari lengger yang sebenarnya memang harus mengikuti ritual khusus. "Jadi tidak bisa instan," katanya.
Seperti yang diungkapkan oleh Astuti, penari lengger asal Cilacap yang ikut menari bersama Dariah.
"Tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon harus tidur di depan pintu," ujarnya.
Selain itu, ia harus melakukan puasa mutih alias tidak makan apapun kecuali nasi putih sekepal dalam sehari. Calon penari harus melakukan tirakat agar menjiwai dan bisa diterima khalayak.

Ritual itulah yang ingin disampaikan kembali oleh Dariah kepada generasi penerusnya. Dariah sendiri merupakan lengger lanang generasi sebelum kemerdekaan yang saat ini masih konsisten menari.


Perjalanan Mistis Sang Penari

Dariah lahir di desa Somakaton, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas dengan nama Sadam, berjenis kelamin laki-laki. Ibu bernama Samini dan ayah bernama Kartameja yang hidup sebagai petani kecil.

Dariah tidak dapat menyebutkan angka tahun yang pasti tahun berapa Dariah dilahirkan. Dariah menuturkan bahwa kakeknya pernah bercerita dirinya lahir tidak lama setelah Kongres Pemuda. Dengan demikian diperkirakan Dariah lahir pada akhir tahun 1928 atau awal tahun 1929.

Dariah kecil meskipun berjenis kelamin laki-laki, namun suka lenggak-lenggok seperti seorang lengger dan suka nyindhen atau melagukan tembang-tembang Jawa. Kegemarannya menari dan menyanyi dilakukan sambil melakukan pekerjaan apa saja.

Sebelum menjadi penari lengger, Dariah kecil merasa seperti kerasukan indang lengger. Sadam seperti dituntun oleh alam bawah sadar. Tanpa pamit dengan orang-orang tercinta dan tanpa tahu kemana tujuannya, Sadam pergi dari rumah tanpa berbekal apapun kecuali sedikit uang yang dimilikinya.

Sadam berjalan sekedar mengikuti langkah kaki. Hal yang masih diingatnya adalah berjalan ke arah timur mengikuti jalan beraspal jalur Banyumas-Banjarnegara, kemudian berbelok ke kiri ke arah Purbalingga. Di daerah Bukateja Sadam sempat berhenti dan diberi air minum oleh warga setempat.

Dariah terus berjalan entah ke mana dan entah berapa hari sudah dilewatinya, hingga akhirnya sampai di sebuah pekuburan tua. Dariah melihat banyak batu lonjong dalam posisi berdiri (menhir) dan ada sebuah arca wanita cantik terbuat dari batu.

Dariah belum juga tahu di wilayah mana dirinya berada. Dariah hanya dapat memasrahkan hidup dan matinya kepada Hyang Maha Pencipta, dan memohon kalau memang ditakdirkan menjadi seorang lengger maka dirinya akan menerima dengan sepenuh hati.

Di tempat yang sebelumnya sama sekali tidak dikenalnya, Dariah sama sekali tidak berniat bertapa atau bersemadi, tetapi betapa dirinya merasa tenang dan damai, sehingga merasa betah dalam waktu berhari-hari. Dariah merasa mendapatkan perlindungan dari kekuatan magis yang tidak pernah dimengerti.

Dariah tidak dapat mengingat berapa hari dan berapa malam berada di makam tua tanpa makan dan minum. Menurut Dariah peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia atau sekitar tahun 1944 – 1945 .

Setelah berhari-hari Dariah berada di tempat pekuburan tua yang sangat mendamaikan hatinya, selanjutnya mulai terdengar pembicaraan orang-orang yang lewat di jalan yang ada di sisi barat tempat ia bersimpuh.

Dariah mulai paham bahwa selama beberapa hari ternyata dirinya berada di Panembahan Ronggeng atau lengger yang merupakan tempat bagi orang memohon kepada Penguasa Alam agar dapat menjadi seorang ronggeng.

Dariah maestro Lengger Lanang dari Banyumas (Liputan6.com/Aris Andrianto)

Panembahan Ronggeng merupakan tempat bersemadi bagi orang yang menginginkan dirinya menjadi ronggeng atau lengger, terdapat di desa Gandatapa, kecamatan Sumbang, kabupaten Banyumas.

Dengan demikian Dariah telah berjalan mengelilingi tiga kabupaten, yaitu kabupaten Banyumas, Banjarnegara, dan Purbalingga, sebelum akhirnya kembali ke wilayah kabupaten Banyumas di lokasi Panembahan Ronggeng.

Setelah merasa puas berada di Panembahan Ronggeng, selanjutnya Dariah melanjutkan perjalanan pulang. Untuk menuju ke tempat tinggalnya di Somakaton, Dariah tidak begitu saja tahu jalan yang harus dilalui.

Dariah harus banyak bertanya kepada orang yang dijumpainya dalam perjalanan. Akhirnya Dariah sampai di kota Purwokerto. Di Purwokerto Dariah membelanjakan bekal uangnya untuk membeli perlengkapan yang dibutuhkan oleh seorang lengger dalam pementasan.

Dariah berambut pendek, dibelinya satu buah gelung brongsong (konde yang dilengkapi semacam ikat kepala sehingga pemakaiannya tinggal diterapkan di kepala). Dariah juga membeli kemben (kain penutup dada), sampur, kain, dan keperluan lain.

Barang-barang hasil belanjaan yang dipersiapkan untuk perlengkapan lengger lalu dibawanya pulang. Dengan berjalan kaki akhirnya Dariah sampai di Somakaton.

Pasang Surut Lengger Lanang

Betapa gemparnya seluruh keluarga, kerabat dan tetangga-tetangganya demi mengetahui Dariah pulang setelah sekian lama pergi entah kemana tanpa ada seorangpun yang tahu. Sesampainya di rumah Dariah menceritakan semua yang dialami selama kepergiannya.

Seluruh keluarga dan kerabat menanggapi positif semua yang terjadi. Semua kerabat menganggap bahwa semua yang telah terjadi merupakan bagian dari proses yang harus dialami oleh Dariah untuk menjadi seorang lengger.

Beberapa orang yang memiliki ketrampilan bermain gamelan dikumpulkan untuk berlatih bersama-sama dengan Dariah.

Semenjak itulah Dariah menjadi seorang lengger. Menurut Dariah apa yang dialaminya itu terjadi pada masa penjajahan Jepang menjelang kemerdekaan Indonesia (antara tahun 1944 – 1945).

Kejayaan lengger bertahan hingga Gerakan 30 September 1965 meletus. Kala itu seniman tradisional menjadi kelompok sosial yang oleh rezim Orde Baru ditengarai dekat dengan komunisme. Begitu pula seniman lengger yang banyak ditangkap pemerintah.

Saat lengger dilarang, Dariah menjadi perias pengantin atau sering disebut dukun manten. Pekerjaan yang dilakoninya hingga usia senja.

Dariah mendapat pengakuan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi anugerah kategori Maestro Seniman Tradisional pada tahun 2011.

Namun, lebih dari itu, perjalanan kesenimanannya sungguh berliku. Demi seni yang begitu dicintanya, dia memilih melakoni hidup menjadi perempuan walau terlahir sebagai laki-laki.

Kini, ada salah satu penerusnya yang mulai naik daun sebagai lengger lanang. Namanya Agus. Nama panggungnya, Agnes.
“Mbok Dariah merupakan inspirasi saya sehingga saya ingin menjadi penari lengger lanang,” katanya.
Seniman serba bisa asal Jogjakarta, Didik Nini Thowok mengaku kagum dengan totalitas berkesenian penari lengger lanang, Dariah.
"Totalitasnya masih terasa. Saya salut dengan Mbok Dariah," kata Didik
Didik pernah mendokumentasikan sosok Dariah. Mulai dari rumahnya, Sungai Serayu, Pendopo Sipanji dan sejumlah tempat keramat yang pernah digunakan ritual oleh Dariah.

Didik blusukan hingga Banyumas merupakan hasil perenungannya akan Serat Chentini. Sebuah kisah yang menggambarkan bagaimana lengger masa lalu hidup. Serat ini juga berkisah tentang banyaknya kesenian yang diperankan oleh laki-laki, lengkap dengan latar belakang sejarahnya.

Ia mengatakan, ide untuk mendokumentasikan Lengger Dariah ini berawal dari perjalanannya di Amerika Serikat pada 20 September hingga 4 Oktober 2012. Saat menari lengger di Yale University di New Haven, Amerika Serikat, ia berjanji akan mendatangi Dariah untuk membuat film dokumenternya.

Dariah, kata Didik, merupakan representasi kesenian transgender yang sudah ada sejak zaman Sultan Hamengkubuwono VII. Saat itu, tari Golek yang dimainkan penarinya adalah laki-laki.

Transgender, kata dia, juga ditemukan pada serat Chentini buku kelima. Di serat itu, diceritakan tentang Cebolang yang menari lengger dengan dandanan perempuan.

Menurut dia, lengger merupakan kesenian tradisional yang adiluhung. Untuk menjadi penari lengger sebenarnya seperti Dariah, kata Didik, dibutuhkan keseriusan. Saat ini, kata dia, banyak penari lengger baru yang meninggalkan proses ritual agar bisa menjadi penari instan.

Padahal, totalitas menjadi penari lengger harus diperoleh melalui proses ritual yang berat. Selain harus puasa, penari lengger juga harus mandi di tujuh sumur yang berbeda.
"Penari juga harus bersemedi di tempat khusus lengger," kata dia.
Dariah mengaku senang dengan komitmen Didik terhadap kesenian lenger.
“Saya langsung klop saat ketemu Didik,” ujar Dariah yang hanya bisa berbahasa Banyumasan itu.
Dariah mengaku sempat bermimpi bertemu Didik sebelum pentas itu. Ia sendiri berkeinginan untuk bisa tampil di Keraton Yogyakarta untuk menari lengger.

Aroma LGBT Dalam Seni

Budayawan Banyumas yang juga penulias novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, mengatakan, di Banyumas seni transgender sudah sangat biasa.
"Sudah sejak dulu ada. Penari menjadi wandu atau banci karena menari lengger itu banyak," katanya.
Hanya saja saat ini generasi itu sudah mulai hilang. Saat ini lebih banyak penari ronggeng yang dimainkan oleh perempuan. Lengger sendiri berasal dari kata leng dan jengger. Ia menyebutkan, kisah soal transgender juga tertulis di History of Java kaya Sir Raffles.

Menurut dia, kesenian banyumasan hampir seluruhnya berorientasi kerakyatan. Kesenian yang tidak elitis dan bisa dinikmati oleh rakyat jelata sebagai manifestasi budaya agraris. Bukan pula kesenian yang disebut adiluhung seperti tarian Serimpi dan Gambyong yang hanya bisa dinikmati di keraton


Dariah meastro Lengger Lanang dari Banyumas (Liputan6.com/Aris Andrianto)

Rudi Lukmanto, salah satu penari lengger lanang zaman sekarang mengatakan, saat ini lengger masih menjadi tontonan yang ditunggu masyarakat Banyumas.
"Saya ingin mengikuti jejak Mbok Dariah," katanya.
Selama ini, kata dia, tidak ada yang membuat dia resah saat menari lengger.
"Selama ini tidak ada yang membuat kami resah selama manggung keliling di beberapa daerah.  Bahkan, pertunjukan selalu ramai," kata pria yang kini berstatus bapak beranak satu ini.
Bahkan setelah mentas, Rudi mengaku kerap dikejar-kejar kaum pria dan wanita yang terpesona akan aksinya. Kesenian lengger yang diperankan kaum lelaki menurutnya merupakan bentuk asli kesenian tradisional Banyumas.
"Kalau yang nari perempuan ya namanya ronggeng, sedangkan lengger ya penarinya laki-laki," pungkas dia.

Minggu, 21 Februari 2016

Wahyu Cakraningrat; Antara Tontonan dan Tuntunan [2]

ABIMANYU: Dalam "Wahyu Cakraningrat" Abimanyu diganggu oleh ancaman macan yang dalam asumsi dan realitas manusia umumnya menakutkan. Bagi pemimpin, tak ada watak takut menyikapi ancaman yang dimanifestasikan dalam sosok macan [Foto: Doc]

Di sela menonton pagelaran wayang ini ada frasa limbukan dan goro-goro; fase yang biasa ditunggu-tunggu audiens umumnya. Karena materinya melulu guyon intermezzo, joke-joke ataupun nyanyian yang menghibur. Proporsi populis pada jeda ini seolah berjalan linier dengan trend dan selera kekinian pasar.

Catatan menarik atas 2 fase ini pentas wayang alun-alun Kebumen  adalah munculnya ungkapan “nguri-uri budoyo” dari partisipan yang justru berasal dari kalangan pemangku kepentingan. Sebegitu menariknya hingga memicu perdebatan kami pasca kedua priyayi ini nyawer sang waranggana di depan audiens yang tersisa. Plus minus kemenarikannya terangkum dalam rangkaian pertanyaan: Benarkah budaya [tradisi] kita telah rusak tersisih? Jika benar, lalu siapa yang merusak dan menyisihkannya? Apakah karena itu lalu muncul frasa “nguri-uri” budaya itu? Dan bagaimana cara kita memperlakukannya?

Barangkali memang dalam bersit sesaat, saweran-saweran kepada para pelaku bakal jadi “cara-cara baru” memperlakukan kesenian tradisi. Dengan begitu lebih membuka kian lebar porsi tontonan ketimbang tuntunan. Tetapi, sesungguhnya ini berkait kelindan dengan problem masyarakat apresian hari ini.  

Dan bagaimana “Wahyu Cakraningrat” turun sebagai wahyu keraton dan untuk selanjutnya manitis pada seorang yang ditakdirkan sebagai “pancering ratu” tanah Jawa. Maka ini lah makrifat tuntunanya.


Narasi “Wahyu Cakraningrat”
        
CAKRANINGRAT-ABIMANYU: Pada akhirnya Cakraningrat "manjing-angga" manunggal ke dalam jagad Abimanyu yang teruji memiliki semua syarat-syarat kepemimpinan. [Foto: Doc]
_____

Sebagai sebuah tuntunan maka pementasan wayang dengan lakon “Wahyu Cakraningrat” ini, sesungguhnya sarat dengan wewarah keteladanan pemimpin daerah, bukan saja pada masa “turunnya wahyu” dan penobatan pemegangnya; melainkan juga realitas keselanjutannya. Wewarah lakon ini memiliki korelasi dalam aspek kultural dan spiritualitas Jawa yang  mengkonstruksi nalar sehat. Nalar sehat yang dimaksud adalah suatu pemikiran dialektis yang berkesadaran budaya dan memiliki kecerdasan dalam memahami perkembangan situasi kedaerahannya.

Bagi seorang pemimpin, kecerdasan seperti ini menjadi sangat penting karena segala abstraksi karunia-karunia [baca: wahyu] Tuhan telah diamanahkan kepadanya. Jaiz Tuhan pula yang turun menggerakkan masyarakat pemilih untuk sebuah konsekuensi kepadanya menjadi pemimpin (ratu) dan bahkan menurunkan trah kepemimpinannya. Kecerdasan yang (lebih dari sekedar pintar tapi juga mengerti dan mampu memahami) ada pada seorang pemimpin mengkonstruksi kebijaksanaannya. Kebijaksanaan demikian tentu berkorelasi secara signifikan dengan keputusan-keputusan penting dalam kepemimpinannya. Dalam idiom politik ini disebut kebijakan daerah yang dipimpinnya.

Ini lah narasi “Wahyu Cakraningrat” yang, sekali lagi, sesungguhnya belum tamat lakonnya itu. Apakah pemimpin yang penobatannya telah disyukuri dengan suka-cita itu sebagai salah satu dari “kontestan” pemburu wahyu; sebagaimana dinarasikan dalam pewayangan semalam?

Antara Lesmana Mandrakumara, Samba Wisnubrata, dan Abimanyu; tak berhenti menjadi mitos kekuasaan daerah hari ini. Dialetika yang akan menentukannya...      


Sabtu, 20 Februari 2016

Wahyu Cakraningrat; Antara Tontonan dan Tuntunan [1]

Catatan Pentas Wayang Kebumen
  
WAYANG: Pementasan wayang (20/2) berlakon "Wahyu Cakraningrat" dengan dalang lokal Eko Suwaryo; semarak dalam syukuran pasca pelantikan Bupati Kebumen (Foto: DKD Kebumen) 

Dalam rangka syukuran pasca pelantikan Bupati Kebumen dan wakilnya, dihelat pementasan wayang kulit dengan dalang lokal Eko Suwaryo (20/2) di alun-alun Kebumen. Dalam pementasan itu dalang dari Jatiroto Buayan yang tengah “naik daun” ini membawakan lakon “Wahyu Cakraningrat”.
Adakah korelasi cerita pewayangan ini dalam konteks Kebumen kekinian dengan Bupati yang baru? Jika ada, seberapa dalam makna tuntunan dimensi-dimensi wayang terhadap percaturan seputar kepemimpinan daerah dengan slogan “beriman” ini?

Meski secara umum Ki Dalang Eko Suwaryo yang masih terbilang muda ini teguh mengimani pakem klasik jagad pewayangan, dia tak keberatan untuk  mengadopsi trend pementasan pembaharuan poles ala Manteb Sudarsono maupun Entus Susmono; dua dalang kondang di mata publik yang sebelumnya pernah beberapa kali mementaskan kepiawaiannya di Kebumen. Tentu, Eko Suwaryo berbeda dengan ke dua dalang itu.

Pementasan dengan audiens berjubel yang menyusut pada pasca tradisi limbukan dan menyusut lagi setelah lewat fase goro-goro merupakan gejala sosiologis massa apresian pada umumnya, dimana-mana. Secara kuantitas mungkin ini merupakan sinyalemen awal surutnya salah satu dari dua aspek terpenting wayang; tuntunan dalam tontonan.
Namun secara kualitas, pementasan lakon “Wahyu Cakraningrat” emang sarat  wewarah dalam konteks kepemimpinan daerah, memiliki taut korelasi yang kuat hari-hari ini.

Dan sanggit sang Dalang Eko Suwaryo dengan konvensi tradisi jejeran dan pathet telah mentransformasikan pertunjukkannya, di tengah audiens dengan spiritualitas Jawa kekinian yang nampak surut militansinya.  


Cakraningrat Wahyu Yang Tak Diburu

Dalam “realitas” genesis kewahyuan, Cakraningrat itu seorang dewa yang turun dari alam kahyangan dengan nama Batara Cakraningrat. Berbeda dengan wahyu dalam jagad pewayangan yang kebanyakan diturunkan oleh Batara Wisnu, maka Cakraningrat itu diturunkan oleh Batara Kamajaya dan Kamaratih; istrinya.             
Wahyu Cakraningrat disebut pula wahyu keraton, sebab dalam mithologi Jawa Wahyu Cakraningrat merupakan abstraksi yang menghimpun karunia-karunia Hyang Wenang [Allah_pen] dari muatan aspek rajawi.
Sanggit sang dalang mengisahkan perjalanan Sang Cakraningrat sebagai seorang dewa yang atas wenang Hywang Pada harus menitis pada ketiga pemburunya yang tengah bertapa di bumi Mayapada.
ABIMANYU: Penerima wahyu Cakraningrat ini tengah menghadapi godaan Endang Sukrawinanti yang tak lain adalah jelmaan Durga sang Penggoda [Foto: DKD Kebumen]
_____
Ketiga orang itu adalah Lesmana Mandrakumara, putra Suyudana raja Astinapura. Kemudian tercatat pula Samba ksatria Parang Garudha anak dari Prabu Kresna raja Dwarawati. Yang ketiga adalah Abimanyu ksatria Plangkawati keturunan Arjuna dari istri Subadra. Ketiganya manekung, mesu-raga, mesu-budi, dalam rangka mendapatkan wahyu yang jadi muatan simbol dan abstraksi dari kehendak kesejahteraan manusia semesta.
Karena wahyu ini merupakan abstraksi yang memuat amanah keagungan semesta, maka secara epika nalar tentu layak menjadi pertimbangan paling utama bagi siapa pun yang menghendakinya. Di sisi lain, kehendak Hyang Pada Wenang akan kelestarian bumi yang harus manifest ke dalam kuasa kebijakan dalam menata dan mengatur (aspek rajawi) bagi Sang penerimanya. Maka Batara Cakraningrat menguji ketiga ksatria pemburu yang menunggu turunnya.
Apakah kesadaran spiritualitas Jawa yang dipertuntunkan dalam tontonan wayang dengan lakon “Wahyu Cakraningrat” seperti ini telah jadi resensi dan referensi pada syukuran pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Kebumen?
Saat menjelang fajar subuh, makin sedikit orang menonton pertunjukanNya...           

Kamis, 18 Februari 2016

10+1 Babak Sastra Indonesia


Ayu Utami* - 18/02/2016


Kayak apa sih perkembangan sastra Indonesia? Saya kerap mendapat pertanyaan itu dari orang asing (dan orang dalam negeri juga sebenarnya) dan harus menjawab dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Jadi, ini biasanya yang saya katakan bagi mereka yang buta sastra Indonesia:

1. Apa itu sastra Indonesia? Indonesia masih muda. Republik ini baru berdiri 1945. Bahasa Indonesia baru dideklarasikan tahun 1928. Sebelum itu? Yang ada sastra berbahasa daerah. Sastra Melayu, Jawa, Bali, Bugis, dll.
Merekalah cikal-bakal khazanah sastra Indonesia kemudian.

Kalau ingin mencicipi, ada beberapa teks yang telah diterjemahkan dan masih beredar: Negarakertagama (Mpu Prapanca), Wedhatama (Mangkunegara IV), La Galigo (anonim, Bugis), dll. Biasanya, kesusastraan ini bersifat religius-spiritual dan dekat dengan keraton. Sebutlah ini babak “Sastra Berbahasa Daerah”.

2. “Sastra Indonesia dalam bahasa Belanda.” Sebelum Indonesia merdeka, kaum intelektual memakai bahasa penjajah: Belanda. Tulisan-tulisan berbahasa Belanda dari masa ini (sekitar 1900 sd 1945), yang berharga sampai sekarang, membawakan sikap kritis perihal kolonialisme.

Yang wajib  kita baca adalah surat-surat Kartini (terjemahannya diterbitkan dalam beberapa versi). Surat Kartini adalah karya sastra non fiksi yang sangat berharga. Selain itu, baca juga Max Havelaar (novel karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker). Keduanya menginspirasi semangat kebangsaan sehingga terus dikenang di era Indonesia merdeka.

3. “Sastra dalam bahasa Melayu.” Bahasa Melayu adalah bahan dasar bahasa Indonesia. Ia adalah lingua franca di nusantara. Ada bahasa Melayu yang digunakan kaum pujangga dan cendekia kesultanan-kesultanan Melayu.

Ada juga yang dipakai untuk berdagang dan komunikasi umum—biasa disebut Melayu Pasar. Untuk mengintip teks yang masih tersedia, bisa cari Gurindam Duabelas karya Raja Ali Haji, yang berisi petatah-petitih. Itu yang menggunakan Melayu tinggi.

Sementara itu, mendekati 1900 hingga kemerdekaan, banyak novel berbahasa Melayu Pasar yang ditulis dan diterbitkan oleh orang-orang Tionghwa. Ketika itu, mereka sudah maju dalam industri media cetak.

Kalau mau baca, silakan pilih Drama di Boven Digul karya Kwee Tek Hoay, pernah diterbitkan ulang beberapa tahun lalu. Temanya berkenaan dengan situasi penjajahan juga. Para penulis Tionghwa besar perannya, tapi sering tidak diakui dalam sejarah sastra kita.

4. “Balai Pustaka.” Di awal 1900-an itu, setelah ada politik etis, pemerintah Belanda ingin memberi bacaan yang [mereka anggap] baik dalam bahasa-bahasa di negeri jajahan, terutama bahasa Melayu. Mereka membuat Balai Pustaka yang menerbitkan karya-karya yang dianggap memenuhi syarat.

Karena didirikan Belanda, tentu saja buku-buku terbitan Balai Pustaka tidak kritis terhadap penjajahan. Tema menonjol: konflik antara adat dan modernitas. Contoh yang sangat terkenal: Siti Nurbaya (Marah Roesli), Tenggelamnya Kapan van der Wijk (Hamka)—keduanya pernah dijadikan film.

5. “Pujangga Baru.” Ini nama majalah yang diterbitkan oleh trio Sutan Takdir Alisjahbana, Armyn Pane, dan Amir Hamzah tahun 30-an. Mereka ingin sebuah terbitan yang independen, tak seperti Balai Pustaka, yang dikontrol Belanda.

Para intelektual di balik Pujangga Baru sangat sadar akan proyek kebangsaan. Dalam semangat Sumpah Pemuda, mereka “menciptakan” bahasa Indonesia untuk kesusastraan bangsa yang baru—mencampur dan menyerap kata-kata daerah ke dalam bahasa Melayu, tindakan yang kontroversial di masa itu.

Benih puisi modern Indonesia mulai lahir. Yang paling sering disebut sampai sekarang adalah karya Amir Hamzah (penyair ini wafat secara tragis, dibunuh oleh barisan anti bangsawan di masa revolusi kemerdekaan). Pujangga Baru berhenti terbit ketika Jepang berkuasa.

6. “Angkatan 45.” Ini tahun Revolusi Kemerdekaan. Istilah “angkatan” juga tak bisa dilepaskan dari jargon revolusi dan semangat zaman. Tiga nama yang sering disebut adalah Chairil Anwar, Rivai Apin dan Asrul Sani, yang menerbitkan kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir, yang menantang pendekatan Sutan Takdir.

Tapi, yang paling ikonik tentu saja Chairil Anwar. Puisi-puisinya sangat berbeda dari tradisi puisi sebelumnya. Sangat kontemporer. Bahkan masih bisa kita nikmati tanpa terasa kuno sampai sekarang! Hampir semua anak Indonesia ingat sajak “Aku”.

7. “Modernisme dan Sastra Indonesia.”  Ini bukan periodisasi waktu, melainkan pembabakan tematis yang bisa kita pakai untuk melihat sastra Indonesia menjelang dan di awal kemerdekaan. Katakanlah, dari era Sumpah Pemuda hingga Demokrasi Terpimpin (1930-an sd 60-an).

Proses modernisme di Indonesia terjadi bersama kesadaran nasionalisme. Kemajuan, kemerdekaan, humanisme adalah kata-kata kunci dalam memahami babak ini. Yang wajib dibaca untuk tema ini setidaknya Pramoedya Ananta Toer dan Sutan Takdir Alisjahbana. Setidaknya, bacalah Bumi Manusia dari Pram, dan Layar Terkembang dari Takdir.

8. “Polemik dan Politik Sastra.” Ini juga perspektif lain yang bisa dipakai untuk mendalami sastra Indonesia di era yang lebih panjang. Para sastrawan tidak hanya mengarang cerita atau menulis puisi. Mereka juga beradu pendapat,  bersikap politis, bermusuhan.

Polemik adalah pertentangan pendapat secara terbuka, biasanya antara dua kubu. Setidaknya, ada dua polemik yang wajib diingat. Pertama, Polemik Kebudayaan di tahun 30-an. Topiknya: apakah sastra Indonesia harus baru, lepas dari belenggu masa lalu dan nilai-nilai Timur, atau sinambung.

Untuk mendalami ini, baca Polemik Kebudayaan (editor Achdiat Karta Mihardja). Politik Kebudayaan ini bersifat intelektual, tak sampai saling cacimaki. Yang kedua, perseteruan antara kelompok Lekra (organisasi di bawah payung PKI) melawan Manifes Kebudayaan di tahun 60-an, yang berakhir bersama peristiwa berdarah 1965-66. Perseteruan ini kasar dan melibatkan tindakan sensor. Bahkan masih menimbulkan debat panas hingga saat ini.

9. “Sastra dan Rezim Militer.” Setelah G30S dan pembunuhan massal terhadap tertuduh PKI (1965-66), Indonesia memasuki rezim militer di bawah Jenderal Soeharto. Di masa ini ada pertumbuhan ekonomi yang pesat. Daya beli meningkat.

Lahirlah novel-novel populer, misalnya karya Marga T, Mira W, Ashadi Siregar, Motinggo Busye, dll. Sering kali novel populer tidak mengangkat tema politis. Di ujung lain, ada pengarang yang berusaha menyingkapkan ketidakadilan dan menyuarakan korban.

Novelis yang menggarap tema itu secara hati-hati, antara lain: Umar Kayam, YB Mangunwijaya alias Romo Mangun, Ahmad Tohari, Seno Gumira Ajidarma. Era ini juga ditandai pelarangan, misalnya terhadap karya Pramoedya dan penampilan penyair W.S. Rendra. Penyair Wiji Thukul termasuk orang hilang, diduga karena puisi-puisinya yang kritis. Salah satu kutipannya yang sangat terkenal: Hanya ada satu kata: Lawan!

10. “Reformasi.” Reformasi Indonesia kebetulan diawali oleh maraknya filsafat postmodernisme. Pendekatan dan kritik sastra di tahun 1990-an didominasi wacana postmodernisme. Saya sendiri menerbitkan novel pertama di era ini: Saman, yang mendapat penghargaan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998 karena dianggap menulis dengan cara baru, mendobrak tabu dan meluaskan cakrawala sastra Indonesia.

Kejutannya, sepuluh hari setelah peluncuran Saman, Presiden Soeharto mundur. Rezim militer usai! Setidaknya tujuh tahun pertama era Reformasi dipenuhi dengan karya yang mengusung tema kebebasan. Pengarang perempuan urban bermunculan—Jenar Maesa Ayu, Dewi Lestari,  Vira Basuki, dll—sehingga ada istilah yang sebenarnya agak mengejek, “sastra wangi”.

+1. Hingar bingar Era Digital. Perubahan politik Indonesia terjadi bersamaan dengan revolusi teknologi di seluruh dunia. Kini adalah era digital. Teknologi ini memudahkan penerbitan dan penyebaran teks. Keadaan sangat ramai dan bising. Segala pilihan ada. Dari aspek best seller, trend kebebasan di awal Reformasi bergeser menjadi trend novel religi dan cerita sukses.

Contohnya, Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman El Shirazy) dan Laskar Pelangi (Andrea Hirata). Pelbagai eksplorasi dan eksperimen sastra terjadi, seperti penulisan novel ramai-ramai sampai fiksimini. Anak-anak muda menulis dengan bahasa Inggris dan menampilkan “spoken words” tanpa rasa menyalahi keindonesiaan. Ada banyak perubahan paradigma yang belum diteliti. Di tengah hingar-bingar ini, kritik sastra pontang-panting mengimbangi kecepatan produksi sastra...

Di tengah bising itulah, semoga tulisan yang [terpaksa] simplistis ini bisa membantu siapapun yang awam untuk melihat peta besar sastra Indonesia. Sambil kita menunggu kritik atau penjelasan yang lebih dalam. Misalnya, buku Anton Kurnia (Mencari Setangkai Daun Surga) yang akan terbit akhir Februari 2016 ini.

*Ayu Utami, Novelis, kurator. Tulisan Ayu di Qureta mengenai isu iman dan bahasa yang dibahas dengan perspektif spiritual-kritis. Ayu antara lain menulis Saman, Bilangan Fu, dan seri Spiritualisme Kritis

10+1 Babak Sastra Indonesia


Ayu Utami 
Novelis
18 Feb 2016 

Chairil Anwar

Kayak apa sih perkembangan sastra Indonesia? Saya kerap mendapat pertanyaan itu dari orang asing (dan orang dalam negeri juga sebenarnya) dan harus menjawab dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Jadi, ini biasanya yang saya katakan bagi mereka yang buta sastra Indonesia:

1. Apa itu sastra Indonesia? Indonesia masih muda. Republik ini baru berdiri 1945. Bahasa Indonesia baru dideklarasikan tahun 1928. Sebelum itu? Yang ada sastra berbahasa daerah. Sastra Melayu, Jawa, Bali, Bugis, dll. Merekalah cikal-bakal khazanah sastra Indonesia kemudian.
Kalau ingin mencicipi, ada beberapa teks yang telah diterjemahkan dan masih beredar: Negarakertagama (Mpu Prapanca), Wedhatama (Mangkunegara IV), La Galigo (anonim, Bugis), dll. Biasanya, kesusastraan ini bersifat religius-spiritual dan dekat dengan keraton. Sebutlah ini babak “Sastra Berbahasa Daerah”.

2. “Sastra Indonesia dalam bahasa Belanda.” Sebelum Indonesia merdeka, kaum intelektual memakai bahasa penjajah: Belanda. Tulisan-tulisan berbahasa Belanda dari masa ini (sekitar 1900 sd 1945), yang berharga sampai sekarang, membawakan sikap kritis perihal kolonialisme.

Yang wajib  kita baca adalah surat-surat Kartini (terjemahannya diterbitkan dalam beberapa versi). Surat Kartini adalah karya sastra non fiksi yang sangat berharga. Selain itu, baca juga Max Havelaar (novel karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker). Keduanya menginspirasi semangat kebangsaan sehingga terus dikenang di era Indonesia merdeka.

3. “Sastra dalam bahasa Melayu.” Bahasa Melayu adalah bahan dasar bahasa Indonesia. Ia adalah lingua franca di nusantara. Ada bahasa Melayu yang digunakan kaum pujangga dan cendekia kesultanan-kesultanan Melayu.

Ada juga yang dipakai untuk berdagang dan komunikasi umum—biasa disebut Melayu Pasar. Untuk mengintip teks yang masih tersedia, bisa cari Gurindam Duabelas karya Raja Ali Haji, yang berisi petatah-petitih. Itu yang menggunakan Melayu tinggi.

Sementara itu, mendekati 1900 hingga kemerdekaan, banyak novel berbahasa Melayu Pasar yang ditulis dan diterbitkan oleh orang-orang Tionghwa. Ketika itu, mereka sudah maju dalam industri media cetak.
Kalau mau baca, silakan pilih Drama di Boven Digul karya Kwee Tek Hoay, pernah diterbitkan ulang beberapa tahun lalu. Temanya berkenaan dengan situasi penjajahan juga. Para penulis Tionghwa besar perannya, tapi sering tidak diakui dalam sejarah sastra kita.

4. “Balai Pustaka.” Di awal 1900-an itu, setelah ada politik etis, pemerintah Belanda ingin memberi bacaan yang [mereka anggap] baik dalam bahasa-bahasa di negeri jajahan, terutama bahasa Melayu. Mereka membuat Balai Pustaka yang menerbitkan karya-karya yang dianggap memenuhi syarat.

Karena didirikan Belanda, tentu saja buku-buku terbitan Balai Pustaka tidak kritis terhadap penjajahan. Tema menonjol: konflik antara adat dan modernitas. Contoh yang sangat terkenal: Siti Nurbaya (Marah Roesli), Tenggelamnya Kapan van der Wijk (Hamka)—keduanya pernah dijadikan film.

5. “Pujangga Baru.” Ini nama majalah yang diterbitkan oleh trio Sutan Takdir Alisjahbana, Armyn Pane, dan Amir Hamzah tahun 30-an. Mereka ingin sebuah terbitan yang independen, tak seperti Balai Pustaka, yang dikontrol Belanda.

Para intelektual di balik Pujangga Baru sangat sadar akan proyek kebangsaan. Dalam semangat Sumpah Pemuda, mereka “menciptakan” bahasa Indonesia untuk kesusastraan bangsa yang baru—mencampur dan menyerap kata-kata daerah ke dalam bahasa Melayu, tindakan yang kontroversial di masa itu.

Benih puisi modern Indonesia mulai lahir. Yang paling sering disebut sampai sekarang adalah karya Amir Hamzah (penyair ini wafat secara tragis, dibunuh oleh barisan anti bangsawan di masa revolusi kemerdekaan). Pujangga Baru berhenti terbit ketika Jepang berkuasa.

6. “Angkatan 45.” Ini tahun Revolusi Kemerdekaan. Istilah “angkatan” juga tak bisa dilepaskan dari jargon revolusi dan semangat zaman. Tiga nama yang sering disebut adalah Chairil Anwar, Rivai Apin dan Asrul Sani, yang menerbitkan kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir, yang menantang pendekatan Sutan Takdir.

Tapi, yang paling ikonik tentu saja Chairil Anwar. Puisi-puisinya sangat berbeda dari tradisi puisi sebelumnya. Sangat kontemporer. Bahkan masih bisa kita nikmati tanpa terasa kuno sampai sekarang! Hampir semua anak Indonesia ingat sajak “Aku”.

7. “Modernisme dan Sastra Indonesia.”  Ini bukan periodisasi waktu, melainkan pembabakan tematis yang bisa kita pakai untuk melihat sastra Indonesia menjelang dan di awal kemerdekaan. Katakanlah, dari era Sumpah Pemuda hingga Demokrasi Terpimpin (1930-an sd 60-an).
Proses modernisme di Indonesia terjadi bersama kesadaran nasionalisme. Kemajuankemerdekaanhumanisme adalah kata-kata kunci dalam memahami babak ini. Yang wajib dibaca untuk tema ini setidaknya Pramoedya Ananta Toer dan Sutan Takdir Alisjahbana. Setidaknya, bacalah Bumi Manusia dari Pram, dan Layar Terkembang dari Takdir.

8. “Polemik dan Politik Sastra.” Ini juga perspektif lain yang bisa dipakai untuk mendalami sastra Indonesia di era yang lebih panjang. Para sastrawan tidak hanya mengarang cerita atau menulis puisi. Mereka juga beradu pendapat,  bersikap politis, bermusuhan.

Polemik adalah pertentangan pendapat secara terbuka, biasanya antara dua kubu. Setidaknya, ada dua polemik yang wajib diingat. Pertama, Polemik Kebudayaan di tahun 30-an. Topiknya: apakah sastra Indonesia harus baru, lepas dari belenggu masa lalu dan nilai-nilai Timur, atau sinambung.

Untuk mendalami ini, baca Polemik Kebudayaan (editor Achdiat Karta Mihardja). Politik Kebudayaan ini bersifat intelektual, tak sampai saling cacimaki. Yang kedua, perseteruan antara kelompok Lekra (organisasi di bawah payung PKI) melawan Manifes Kebudayaan di tahun 60-an, yang berakhir bersama peristiwa berdarah 1965-66. Perseteruan ini kasar dan melibatkan tindakan sensor. Bahkan masih menimbulkan debat panas hingga saat ini.

9. “Sastra dan Rezim Militer.” Setelah G30S dan pembunuhan massal terhadap tertuduh PKI (1965-66), Indonesia memasuki rezim militer di bawah Jenderal Soeharto. Di masa ini ada pertumbuhan ekonomi yang pesat. Daya beli meningkat.

Lahirlah novel-novel populer, misalnya karya Marga T, Mira W, Ashadi Siregar, Motinggo Busye, dll. Sering kali novel populer tidak mengangkat tema politis. Di ujung lain, ada pengarang yang berusaha menyingkapkan ketidakadilan dan menyuarakan korban.

Novelis yang menggarap tema itu secara hati-hati, antara lain: Umar Kayam, YB Mangunwijaya alias Romo Mangun, Ahmad Tohari, Seno Gumira Ajidarma. Era ini juga ditandai pelarangan, misalnya terhadap karya Pramoedya dan penampilan penyair W.S. Rendra. Penyair Wiji Thukul termasuk orang hilang, diduga karena puisi-puisinya yang kritis. Salah satu kutipannya yang sangat terkenal: Hanya ada satu kata: Lawan!

10. “Reformasi.” Reformasi Indonesia kebetulan diawali oleh maraknya filsafat postmodernisme. Pendekatan dan kritik sastra di tahun 1990-an didominasi wacana postmodernisme. Saya sendiri menerbitkan novel pertama di era ini: Saman, yang mendapat penghargaan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998 karena dianggap menulis dengan cara baru, mendobrak tabu dan meluaskan cakrawala sastra Indonesia.
Kejutannya, sepuluh hari setelah peluncuran Saman, Presiden Soeharto mundur. Rezim militer usai! Setidaknya tujuh tahun pertama era Reformasi dipenuhi dengan karya yang mengusung tema kebebasan.

Pengarang perempuan urban bermunculan—Jenar Maesa Ayu, Dewi Lestari,  Vira Basuki, dll—sehingga ada istilah yang sebenarnya agak mengejek, “sastra wangi”.

+1. Hingar bingar Era Digital. Perubahan politik Indonesia terjadi bersamaan dengan revolusi teknologi di seluruh dunia. Kini adalah era digital. Teknologi ini memudahkan penerbitan dan penyebaran teks. Keadaan sangat ramai dan bising. Segala pilihan ada. Dari aspek best seller, trend kebebasan di awal Reformasi bergeser menjadi trend novel religi dan cerita sukses.

Contohnya, Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman El Shirazy) dan Laskar Pelangi (Andrea Hirata). Pelbagai eksplorasi dan eksperimen sastra terjadi, seperti penulisan novel ramai-ramai sampai fiksimini. Anak-anak muda menulis dengan bahasa Inggris dan menampilkan “spoken words” tanpa rasa menyalahi keindonesiaan. Ada banyak perubahan paradigma yang belum diteliti. Di tengah hingar-bingar ini, kritik sastra pontang-panting mengimbangi kecepatan produksi sastra...

Di tengah bising itulah, semoga tulisan yang [terpaksa] simplistis ini bisa membantu siapapun yang awam untuk melihat peta besar sastra Indonesia. Sambil kita menunggu kritik atau penjelasan yang lebih dalam. Misalnya, buku Anton Kurnia (Mencari Setangkai Daun Surga) yang akan terbit akhir Februari 2016 ini.

Sumber: Qureta 

Rabu, 17 Februari 2016

Dorongan ke Arah Estetika Partisipatoris

Martin Suryajaya | Logika


ESTETIKA sebagai disiplin filsafat seni telah mengalami banyak perubahan sepanjang abad ke-20.[1] Sejak kemunculannya sebagai pendekatan berkat Alexander Baumgarten di abad ke-18 sampai dengan akhir abad ke-19, estetika cenderung dimaknai sebagai filsafat keindahan atau setidaknya filsafat seni yang berorientasi pada klarifikasi atas tetek-bengek keindahan. Masalah-masalah yang dibahas cenderung terbatas pada tiga hal ini:
  • Nilai estetis karya seni (utamanya keindahan dan kesubliman)
  • Pengalaman estetis (dalam menghasilkan dan mencerap keindahan)
  • Evaluasi estetis (dalam mengapresiasi karya seni secara ‘tanpa pamrih’)
Dari bentangan masalah itu, terlihat bahwa model estetika tradisional cenderung menempatkan problem pengalaman dan pengetahuan dalam bingkai keindahan dan kesubliman. Pengalaman estetis menjadi ihwal yang sangat pribadi sifatnya. Tak jarang disangkut-pautkan dengan ilham suci yang diterima seniman. Sementara pengetahuan estetis yang menjadi pangkal evaluasi karya seni menjadi sesuatu yang sangat elitis, yakni hanya dimiliki oleh sekelompok orang tertentu yang standar seleranya telah terberadabkan. Cara pandang semacam ini dibuat jadi bermasalah sejak abad ke-20, yakni ketika praktik seni rupa tak lagi berkutat pada urusan keindahan dan kesubliman belaka, tetapi kian merambah masuk ke masalah-masalah hubungan sosial dan intervensi ke lingkungan sekitar.[2]
Tulisan ini akan berusaha mencatat peralihan praktik seni rupa yang semakin meninggalkan pakem estetika tradisional. Hal-hal yang dimunculkan oleh karya seni kontemporer bukan lagi ihwal keindahan semata, melainkan perubahan sensibilitas dalam memandang kenyataan (misalnya dalam seni rupa konseptual sejak 1960-an) dan penciptaan hubungan sosial yang baru (misalnya dalam street art dan berbagai praktik seni rupa komunitas). Muaranya adalah perubahan sosial. Bersamaan dengan itu, bergeserlah juga pengertian seniman sebagai subjek seni maupun karya seni sebagai objek seni ke arah yang lebih partisipatoris. Oleh karena karya seni sesungguhnya tak lain daripada sejumput hubungan sosial, maka setiap orang yang bekerja melakukan perubahan hubungan sosial atau penciptaan hubungan sosial yang baru adalah seniman. Dengan begitu, praktik seni menjadi lebih bersifat partisipatoris. Pergeseran ini, tentu saja, menuntut suatu cara pandang estetik yang baru. Model estetika yang lebih sesuai dengan praktik seni rupa kontemporer inilah yang akan coba kita sarikan pada akhir makalah ini. Untuk itu, kita perlu membaca dengan lebih teliti perubahan praktik keseni-rupaan kontemporer dan mengamati dampaknya pada pergeseran pengertian tentang objek dan subjek seni. Kita akan mengawalinya dengan memeriksa dilema yang kerap muncul manakala praktik seni dikaitkan dengan masalah perubahan soial.

Dilema Seni Emansipatoris
Seni dan perubahan sosial adalah salah satu topik paling lawas yang pernah dibicarakan dalam sejarah teori-teori estetika. Tema itu bahkan sudah diperdebatkan pada zaman Yunani Klasik, sekitar 500 – 300 SM. Orang-orang pada masa itu lazimnya beranggapan bahwa karya seni yang baik adalah karya seni yang mengajarkan nilai-nilai moral yang baik. Jadi kesenian dipersepsi secara didaktis sebagai sarana untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih baik. Dalam kerangka didaktis semacam ini, keindahan tidak dapat dievaluasi terpisah dari kegunaan sosial. Suatu karya yang indah mesti juga berguna secara sosial. Di situ, perkara kesenian dan perkara perubahan sosial bukanlah dua hal yang terpisah. Dalam tradisi didaktisis semacam inilah sejarah seni di Eropa berkembang sampai dengan masa Renaisans di abad ke-16.
Konsensus ini dibongkar sejak masa Romantik (abad ke-18 dan 19). Pada masa itu, timbul sejumlah pendapat yang mau melepaskan aspek keindahan karya seni dari seluruh aspek kegunaannya. Karya seni yang baik adalah karya seni yang indah kalau dipersepsi secara ‘tanpa pamrih’ (disinterested). Pemikir estetika seperti Earl of Shaftesbury, Immanuel Kant, Théophile Gautier dan Oscar Wilde dipersatukan oleh kesamaan pendapatnya akan hal ini. Sejak saat itu muncullah dilema khas estetika Modern:
  • Tegangan antara keindahan dan kegunaan
  • Tegangan antara bentuk dan isi
  • Tegangan antara otonomi dan keberpihakan
Beragam pemikiran estetika yang bermuara pada tradisi Modernis akan menekankan keindahan, bentuk dan otonomi seni di atas segalanya. Inilah yang tercermin dalam estetika formalis dan gerakan estetisisme (yang bersemboyan ‘seni untuk seni’). Sementara pemikiran estetika yang berada di luar tradisi Modernis, yakni para penganut estetika realis, sisa-sisa penganut tradisi Klasik dan sebagian penganut estetika Marxis, akan lebih mementingkan kegunaan, isi dan keberpihakan seni. Demikianlah, sejak abad ke-18 tercipta suatu jurang antara seni dan perubahan sosial—sebagian mencoba menjembataninya, sebagian lain justru merayakannya.
Tradisi Modernis dalam estetika menekankan pentingnya evaluasi formal atas karya seni. Hal-hal yang tidak muncul dari ‘kekhasan wahana’ cabang seni terkait dianggap tak perlu disertakan dalam evaluasi estetis. Makna dan acuan mimetik, misalnya, dikesampingkan dari ranah evaluasi seni lukis (Clive Bell dan Clement Greenberg). Lirik dan moral, contoh lainnya, dikesampingkan dari ranah evaluasi seni musik (Eduard Hanslick). Ideologi, pesan dan konteks disingkirkan dari ranah evaluasi kesusastraan (René Wellek dan Austin Warren). Di berbagai cabang seni, aspek-aspek isi, kegunaan dan keberpihakan sang seniman dianggap sebagai elemen-elemen yang asing terhadap karya seni itu sendiri. Tradisi semacam ini biasanya dibarengi dengan ‘kultus keindahan’, yakni suatu keyakinan yang nyaris religius bahwa karya seni hanya berurusan dengan keindahan. Keyakinan inilah yang dirangkum dalam slogan estetisis abad ke-19: seni untuk seni. Tradisi itu juga lazimnya disertai dengan kultus terhadap kemurnian seni dan seniman: karya seni dipandang sebagai hasil kontemplasi murni (tanpa pamrih) dari seorang seniman jenius yang demikian sublim sampai tak bisa dikenali oleh masyarakat biasa. Di sini, ada pemisahan tegas antara ‘benda seni’ dan ‘benda non-seni’ serta antara ‘seniman’ dan ‘orang biasa’—dengan sendirinya juga, antara pengalaman estetis dan non-estetis serta pengetahuan estetis dan non-estetis.
Sebaliknya, tradisi yang kritis terhadap Modernisme biasanya berangkat dari pengertian Klasik bahwa kesenian sudah selalu jalin-jemalin dengan perkara moral, politik dan seluruh pengaruh ekonomis atau sosio-kultural. Keinsyafan akan keterjalinan itu memungkinkan para pemikir yang kritis terhadap estetika Modernis untuk mengapresiasi aspek kegunaan, isi dan keberpihakan seni. Di sini, kita dapat memilah dua varian yang sama-sama kritis terhadap Modernisme. Yang pertama bisa kita sebut tradisi ‘anti-Modernis’, yakni para estetikawan yang lebih mementingkan aspek ekstrinsik ketimbang intrinsik dalam evaluasi karya seni. Pemikir seperti Auguste Comte menciutkan peran seni menjadi sekadar sarana untuk mendorong kemajuan moral masyarakat. Sementara birokrat seperti Andrei Zhdanov mewajibkan setiap karya seni untuk menghadirkan penderitaan rakyat pekerja dalam kapitalisme dan kegembiraannya dalam sosialisme serta bertumpu pada mimesis atau penyalinan yang sempurna atas kenyataan indrawi sekaligus idealisasi terhadapnya.
Namun, di samping itu, ada varian kritis kedua yang bisa kita sebut tradisi ‘Modernisme dialektis’. Inilah yang mengemuka dalam pemikiran estetika Georg Lukacs, Walter Benjamin, Frederic Jameson dan Terry Eagleton. Pemikiran mereka dipersatukan oleh gagasan bahwa aspek intrinsik dan ekstrinsik dalam setiap karya seni sejatinya saling terhubung dan tak bisa dipisahkan. Bentuk artistik tertentu, seperti misalnya novel, merupakan konsekuensi dari perkembangan sejarah dan karenanya dikondisikan oleh isi artistik. Hubungan timbal-balik yang mempersatukan elemen intrinsik dan ekstrinsik karya seni inilah yang menyebabkan karya seni tetap bisa bermutu secara formal tetapi juga sekaligus mengandung daya emansipatoris.
Apa yang disampaikan sejauh ini masih terbatas pada perkara evaluasi karya seni, belum menyentuh aspek produksi karya seni. Tradisi ‘Modernisme dialektis’ yang berkembang hingga era 1960-an memang berhasil menyelesaikan dilema klasik dalam perkara evaluasi karya seni. Kendati begitu, tradisi ini belum berhasil menyuguhkan suatu pendekatan praktik artistik yang memungkinkan penciptaan karya seni yang dapat dipertanggung-jawabkan secara estetik sekaligus mampu memberikan sumbangan bagi perubahan sosial. Upaya penyelesaian dilema seni pada aras produksi itulah yang berupaya dijawab oleh para pemikir estetika sesudah era 1960-an. Kita dapat memeriksa perkembangan upaya tersebut dengan mengamati pergeseran-pergeseran yang terjadi pada dua ranah sekaligus: pergeseran arti ‘karya seni’ dan pergeseran arti ‘seniman’.

Pergeseran Objek Seni
Akibat kemajuan teknologi, bergeserlah makna ‘karya seni’. Dalam esai klasiknya di tahun 1936, Walter Benjamin telah mencermati gejala lenyapnya ‘aura’ karya seni akibat kemungkinan untuk direproduksi secara mekanis sampai tak hingga. Lenyapnya aura berarti lenyapnya singularitas atau keunikan benda seni. Kemajuan teknologi kamera dan percetakan telah menjalankan desakralisasi atas benda seni. Sebelum adanya teknologi reproduksi citrawi, setiap benda seni seakan mengandung kesan misterius dan suci seperti pusaka yang dikeramatkan dalam kepercayaan religius dikarenakan fakta bahwa benda itu cuma ada satu dan karenanya unik. Kemajuan teknologi reproduksi membuyarkan suasana keramat itu. Berlawanan dengan tafsiran yang lazimnya dijumpai di Indonesia, Benjamin tidak mengartikan hilangnya aura ini sebagai sesuatu yang buruk atau perlu disesali. Justru sebaliknya, ia merayakan itu karena dengan begitulah karya seni bisa diakses oleh masyarakat luas dan dari situ terjadi pensosialan atas pengalaman estetis.[3] Demistifikasi benda seni ini justru memperlihatkan bahwa karya seni bukanlah hasil ritual artistik seorang seniman sublim yang sepenuhnya lain dari kerja ‘masyarakat awam’. Dengan kemungkinannya untuk direproduksi secara mekanis, terbuktilah bahwa kerja seorang seniman bisa disetarakan dengan kerja orang biasa—keduanya sama-sama bertumpu pada keahlian (skill) yang bisa dipelajari dan sama sekali tak ada mistiknya.
Makna karya seni pun bergeser. Karya seni tak lain daripada pencurahan sejumlah tenaga-kerja yang ditubuhkan dalam objek tertentu. Karena itu, esensi karya seni tidak terletak dalam kesubliman benda seni itu sendiri, melainkan dalam sistem pembagian kerja yang memungkinkan produksi benda tersebut. Akar sosial dari definisi karya seni ini ditekankan lebih lanjut oleh para teoretisi seni institusional seperti Arthur Danto dan George Dickie. Mereka berpandangan bahwa sebuah benda menjadi karya seni karena diakui demikian oleh konsensus di kalangan publik seni. Jaringan kolega seniman, kurator, pemilik galeri, kritikus, kolektor—singkatnya semua anggota ‘dunia-seni’ (artworld)—secara bersamaan memberikan pengesahan pada status seni sebuah benda. Dengan begitu, jadi kelihatan bahwa karya seni bukan lagi terjangkar pada bendanya, melainkan pada hubungan sosial yang mensituasikan benda tersebut dan membaptis benda itu jadi karya seni. Inilah yang menjelaskan mengapa urinoir yang dipamerkan Marcel Duchamp atau boks Brillo Warhol menjadi karya seni.
Dari kesadaran yang berkembang bahwa karya seni tak lagi bisa diartikan sebagai benda tetapi lebih terutama sebagai himpunan relasi sosial di balik benda, kemudian muncullah dorongan untuk membaca hubungan antara seni dan perubahan sosial secara baru. Konsepsi lama yang mereduksi pengertian karya seni pada aspek bendawinya telah menghasilkan dilema antara bentuk dan isi, antara aspek intrinsik dan ekstrinsik. Dengan terjadinya pergeseran ke konsepsi baru yang mengartikan karya seni tak lebih dari hubungan sosial yang meliputi sebuah benda, tak ada lagi dikotomi yang bisa dibangun antara aspek intrinsik dan ekstrinsik. Oleh karena karya seni adalah soal konsensus sosial tentang suatu benda, maka aspek intrinsik benda tersebut (seluruh aspek formal-komposisionalnya) tidak lain daripada perwujudan aspek ekstrinsiknya (seluruh sistem pembagian kerja yang mendorong terbentuknya segala aspek formal-komposisional tersebut). Begitu disadari bahwa karya seni tak lebih daripada produk konsensus sosial, maka yang-intrinsik menjadi efek dari yang-ekstrinsik. Situasi ini mendorong terwujudnya hubungan yang baru antara seni dan perubahan sosial.
Dengan bertumpu pada kesadaran baru itu, kini karya seni tidak lagi dipertentangkan dengan perubahan sosial. Tak ada lagi pertentangan antara seni sebagai instrumen atau sarana perubahan sosial dan seni sebagai wilayah aktivitas yang otonom. Karena suatu benda hanya bisa menjadi karya seni sejauh ada hubungan sosial yang menempatkannya pada posisi tersebut, dan hubungan sosial tak pernah steril dari ideologi dan kepentingan ekonomi-politik, maka otonomi seni adalah isapan jempol. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, seni adalah bagian dari proses perubahan sosial. Di sini kriteria evaluasi atas mutu karya seni pun bergeser. Kita tak bisa lagi memakai kriteria evaluasi yang sepenuhnya formal untuk membaca karya seni, sebab begitu diakui bahwa karya seni adalah produk dari suatu proses pembentukan konsensus dalam masyarakat, maka persoalan keindahan estetik menjadi amat sekunder dan tergantung pada konsensus yang membentuk selera estetik dalam publik seni terkait. Kriteria utama yang kini lebih banyak mengedepan dalam evaluasi karya seni adalah sejauh mana karya tersebut dapat mendorong terciptanya hubungan-hubungan sosial yang baru, menciptakan kenyataan sosial baru. Karena karya seni pada hakikatnya adalah sebentuk hubungan sosial, maka kriteria evaluasi paling intrinsik terhadapnya adalah sejauh mana karya tersebut mampu menghadirkan pengalaman yang paling intens akan hubungan sosial.
Di Barat, inilah kecenderungan yang mengemuka pasca-seni konseptual di era 1960-an. Sementara di Indonesia, kecenderungan ini mulai nampak sesudah Gerakan Seni Rupa Baru era 1970-an. Banyak karya seni konseptual, semisal karya-karya Barbara Kruger, yang mendorong pemirsanya untuk memikirkan segala apa yang diketengahkan oleh karya dan karenanya mendorong pemirsa itu untuk menginterogasi kembali keyakinannya selama ini sehingga berdampak pada terbentuknya hubungan sosial yang baru. Street artist seperti Banksy bekerja dengan cara yang serupa: menghadirkan persepsi baru tentang kenyataan di tengah-tengah ruang publik sehingga persepsi ini akan mendorong timbulnya hubungan sosial baru. Demikian pula dengan ‘seni rupa komunitas’ yang dipraktikkan oleh Moelyono di Tulungagung dan Arief Yudi di kecamatan Jatiwangi, yakni mengubah kenyataan sosial di sekitar melalui praktik seni partisipatoris yang melibatkan warga (walaupun perbedaan pengertian ‘partisipasi’ dalam kedua praktik itu cukup signifikan, seperti akan kita perika nanti). Ditambah pula dengan praktik jurnalisme warga yang dikedepankan Forum Lenteng melalui akumassa. Bedanya adalah bila seni konseptual dan street art masih menempatkan pemirsa sebagai konsumen benda seni yang kemudian ditransformasi menjadi agen perubahan dalam masyarakat, seni rupa komunitas menempatkan pemirsa sejak mula sebagai pencipta ‘karya seni’, yakni kenyataan sosial yang baru. Terlepas dari perbedaan corak aktif atau pasif, partisipatoris atau non-partisipatoris, praktik-praktik kesenian baru pasca-1960-an umumnya semakin mengalami pergeseran dari yang mulanya kontemplatif menjadi transformatif.

martnFoto diambil dari https://arissetyawanrock.wordpress.com

Pergeseran Subjek Seni
Perubahan arti objek seni juga terjadi bebarengan dengan pergeseran pengertian tentang subjek seni atau ‘seniman’. Wawasan peninggalan zaman Romantik yang mengkultuskan seniman sebagai sosok pencipta yang sublim dan adiluhung sudah banyak ditinggalkan dalam praktik seni kontemporer. Pergeseran ini juga turut dimungkinkan oleh meningkatnya kesadaran tentang akar sosial dari setiap karya seni. Begitu karya seni dipandang sebagai produk pengakuan sosial dan karenanya dikondisikan oleh hubungan sosial tertentu, status seniman sebagai pencpta pun tergusur. Yang menciptakan karya seni bukanlah seniman, melainkan masyarakat atau publik seni secara bebarengan. Seniman hanya menghasilkan benda—tetapi publik kemudian membaptis benda itu jadi karya seni. Dengan begitu, tumbanglah konsepsi usang tentang seniman sebagai creator.
Dengan pergeseran itu, terjadilah suatu demokratisasi atas proses produksi artistik. Penciptaan karya seni bukan lagi hak privilese seniman, melainkan setiap anggota masyarakat. Dari sinilah timbul kesadaran bahwa setiap orang adalah seniman. Kesadaran ini mengemuka dengan mencolok antara lain dalam estetika partisipatoris Augusto Boal berkenaan dengan seni teater. Melalui analisis sejarah seni, Boal memperlihatkan bahwa sistem teater yang bertopang pada representasi ketokohan dalam sosok protagonis individual bukanlah sesuatu yang alamiah atau ada sejak mula. Sistem tersebut baru diciptakan oleh Thespis di abad ke-6 SM. Sebelumnya lakon teater tidak dipentaskan oleh aktor-aktor individual, melainkan dinarasikan dan dinyanyikan secara kolektif oleh paduan suara (chorus). Apabila kita mundur lebih jauh lagi ke awal praktik seni teater, menurut Boal, kita tak akan menjumpai perbedaan antara pemain dan pemirsa sama sekali. Sistem yang memisahkan seniman teater dari pemirsa, baik dalam sistem choral maupun protagonis, hanya dimungkinkan oleh suatupembagian kerja artistik antara seniman dan pemirsa. Kenyataannya, bagi Boal, praktik seni teater paling awal tidak mengenal pembagian kerja semacam itu. Apa yang disebut pertunjukan teater mulanya adalah pesta rakyat di mana semua orang menyanyi, bermain peran dan minum anggur bersama.[4] Dengan demikian, Boal menunjukkan bahwa pada hakikatnya setiap orang adalah seniman karena distingsi antara seniman dan pemirsa, antara sang ‘ahli seni’ dan ‘masyarakat awam’, bukanlah suatu keniscayaan historis.
Berdasarkan kesadaran bahwa setiap orang adalah seniman, kemudian Boal mengembangkan praktik seni yang dikenal sebagai ‘teater forum’ di mana panggung menjadi tempat diskusi antara aktor dan pemirsa tentang cara-cara yang mesti ditempuh agar menghasilkan akhir cerita yang lebih baik. Di sana, tak ada distingsi tegas antara pemain teater dan pemirsa karena setiap pemirsa dapat menginterupsi pertunjukan dan memberikan saran ataupun terlibat memerankan tokoh dalam pertunjukan. Pada era 1990-an, Boal mempraktikkan pengembangan lanjutan dari praktik artistik semacam itu ke ranah pengambilan kebijakan politik—suatu ‘teater legislatif’. Apabila teater forum mengubah pemirsa menjadi aktor, teater legislatif mengubah warga negara menjadi legislator. Ketika ia menjabat sebagai walikota Rio de Janeiro, ia menyiapkan panggung teater khusus tempat setiap warga dapat mengajukan usulan undang-undang dengan jalan mementaskan suatu pertunjukan teatrikal yang mengedepankan usulan tersebut. Ada belasan undang-undang yang berhasil disahkan Boal dari praktik teater legislatif ini, misalnya ketentuan bahwa tanggal 7 Desember akan diperingati sebagai Hari Solidaritas Rakyat Timor Leste.
Apabila setiap orang adalah seniman, lalu apa fungsi yang tersisa bagi seniman profesional? Perannya adalah sebagai organizer. Jika setiap orang adalah pencipta karya seni, dan setiap karya seni tidak lain adalah hubungan sosial, maka tugas seniman profesional hanyalah menjadi penghubung yang mengkoordinasikan massa, sebagai para pencipta karya seni, sehingga menciptakan sehimpun hubungan sosial yang baru dan, dengan cara itu, kenyataan sosial yang baru. Gagasan semacam ini belakangan diteorikan dalam tajuk ‘estetika relasional’, antara lain oleh Nicolas Borriaud. Menurut paradigma estetika semacam ini, praktik kesenian sejatinya tertanam dalam ruang sosial sehari-hari dan tidak terkunci dalam ruang khusus seperti layaknya yang dibayangkan oleh para penganut teori seni institusional sekalipun—ruang elit yang tercipta dari hubungan antara seniman, kurator, pemilik galeri dan kolektor. Berbeda dari ruang khusus semacam itu, ruang sosial sehari-hari berarti ranah interaksi sosial yang lazim terjadi di masyarakat, bisa ruang-ruang urban seperti venue hipster, perkampungan kumuh kaum miskin kota, atau bisa juga ruang-ruang komunitas di tingkat desa. Di ranah umum seperti itulah praktik kesenian kontemporer yang partisipatoris terjadi.
Intervensi seniman dalam mentransformasi ruang sosial dan segenap hubungan sosial di dalamnya tidak diwujudkan berdasarkan suatu aspirasi avant-garde yang berpretensi menjadi agen perubahan dan lalu menggurui massa agar mengubah relasi sosialnya. Pendekatan khas pejabat dan pemuka agama itu tak berlaku dalam estetika relasional sebab estetika ini berangkat dari asumsi bahwa semua orang adalah agen perubahan sosial sehingga kapasitas transformasi sosial bukanlah privilese seorang seniman tercerahkan yang ‘turun ke bawah’, melainkan kapasitas kolektif massa itu sendiri. Sang seniman terlibat dalam proses musyawarah bersama, memberikan saran dan ikut bekerja bersama mewujudkan agenda-agenda kolektif masyarakat setempat. Produknya bisa apa saja, mulai dari yang masih berkaitan dengan ‘benda seni’ (misalnya pameran seni di tingkat kampung seperti yang dilakukan kolektif Hysteria di kampung Bustaman, Semarang, dalam event ‘Bok Cinta’) sampai dengan bentuk kegiatan yang tak ada sangkut pautnya dengan ‘benda seni’ (misalnya gerakan ekonomi mandiri yang resisten terhadap hubungan sosial-produksi kapitalis). Ada/tidaknya ‘benda seni’ tak lagi menjadi tujuan dari praktik kesenian relasional sebab praktik ini dilandasi oleh kemawasan bahwa seni pada dasarnya adalah hubungan sosial dan karenanya tak bisa direduksi pada benda. Kalaupun praktik seni nir-benda semacam itu mau dipamerkan dalamevent seni konvensional (seperti pameran tunggal atau biennale), maka yang dipamerkan lebih sering adalah dokumentasi dari proses kolektif itu.

Menuju Estetika Partisipatoris
Dengan demikian, kita sudah saksikan bagaimana terobosan dalam produksi artistik yang dimunculkan dalam praktik-praktik seni semacam itu telah berhasil menjawab dilema klasik seputar seni emansipatoris. Karya seni tak lagi bisa dipandang sebagai ‘benda seni’, tetapi lebih terutama sebagai himpunan relasi sosial yang baru. Seniman tak lagi bisa dipandang sebagai ‘pencipta’, tetapi lebih cenderung sebagai seorang organisator yang bekerja di tengah masyarakat. Kedua jenis pergeseran ini, pada aras objek maupun subjek seni, memperlihatkan bagaimana dilema klasik antara bentuk dan isi, antara keindahan dan kegunaan, serta antara otonomi dan keberpihakan, diselesaikan dalam praktik. Dalam praktik produksi artistik semacam ini, bentuk merupakan konsekuensi logis dari isi. Bentuk artistik dipilih sejauh ada keperluan untuk menyatakan sesuatu dalam konteks sosio-historis yang spesifik. Pilihan mengapa kolektif seni di Jatiwangi memilih wahana tanah liat sebagai wahana utama proses artistiknya dijawab oleh latar sosio-historis khas Jatisura sebagai desa produsen genting dari tanah liat secara turun-temurun. Pilihan mengapa produk seni yang diwujudkan dari wahana tanah liat itu adalah alat musik juga dijawab oleh latar kebutuhan para pemuda desa yang gemar main musik. Jadi bentuk artistik tidak direka-reka berdasarkan inspirasi sublim sang seniman soliter, melainkan diwujudkan sebagai jawaban atas kebutuhan sosio-historis masyarakat setempat.
Berdasarkan pembacaan kita sejauh ini, dapat kita sarikan tiga aspek pergeseran penting dalam praktik seni rupa kontemporer:
  • Pergeseran pengertian subjek seni: Dari seniman sebagai creator ke seniman sebagai organizer
  • Pergeseran pengertian objek seni: Dari karya seni sebagai benda ke karya seni sebagaihubungan sosial
  • Pergeseran pendekatan estetika: Dari pilihan bentuk artistik berdasarkan pertimbangan formal-komposisional ke pilihan bentuk artistik sebagai perwujudan dari kebutuhan sosio-historis masyarakat
Ketiga tonggak dalam praktik seni rupa kontemporer ini menerbitkan kebutuhan untuk melakukan pemaknaan baru atas estetika, khususnya berkenaan dengan dimensi pengalaman dan pengetahuan.
Ketiga pergeseran ini memiliki benang merah pada perkara partisipasi. Dengan sendirinya, hal itu menuntut suatu estetika yang juga partisipatoris. Pada pangkalnya, pengertian soal pengalaman estetis dan pengetahuan estetis pun berubah. Oleh karena seniman tak lagi bekerja sebagai pencipta artifak seni, melainkan lebih terutama sebagai organizer hubungan sosial, maka pengalaman estetis pun terdemokratiskan—tak lagi terbatas pada pengalaman estetis dalam benak seniman dan segelintir pengunjung pameran, tetapi praktis menyentuh masyarakat luas yang ikut dilibatkan dalam praktik-praktik seni kontemporer. Demikian pula dengan pengetahuan estetis yang menjelma ke dalam evaluasi atas karya seni. Di situ tak lagi berlaku evaluasi teknis atas keindahan komposisional suatu karya, melainkan evaluasi atas pengaruhnya bagi kehidupan orang banyak. Pengetahuan estetis, dengan begitu, bukan lagi suatu ilmu khusus yang ditopang oleh postulat tentang ‘indra seni’ atau ‘standar selera yang tercerahkan’ (seperti terjadi pada praktik estetika sebelum abad ke-20), melainkan menjadi bagian dari wawasan umum masyarakat dalam mengupayakan perbaikan kenyataan sosial di sekelilingnya. Dimensi keterlibatan yang menandai pengetahuan dan pengalaman estetis inilah yang menjadi dasar dari estetika partisipatoris.

Penutup: Dilema Seni Partisipatoris
Namun dilema seni emansipatoris juga masih menghantui seni partisipatoris. Dikotomi antara bentuk dan isi rentan timbul kembali dalam rupa dikotomi antara aspek ‘seni’ dan aspek ‘partisipasi’ dari praktik seni partisipatoris. Tegangan ini bersumber dari dua arus yang secara tradisional berlawanan, yakni arus ‘seni murni’ dan arus ‘aktivisme sosial’. Masing-masing eksponen dari kedua arus tersebut sering mengajukan dua pertanyaan berikut:
  • ‘Mana seninya?’
  • ‘Mana partisipatorisnya?’
Dua pertanyaan inilah yang lazim diutarakan berkenaan dengan praktik seni partisipatoris kontemporer. Pertanyaan pertama lazim diajukan oleh para penghayat ‘seni murni’, sementara pertanyaan keduanya biasanya dilontarkan oleh para aktivis gerakan sosial.
Dari perspektif penghayat ‘seni murni’, apa yang dilakukan Moelyono dan Arief Yudi bukanlah praktik kesenian, melainkan praktik advokasi sosial yang lazim dijalankan oleh para aktivis LSM. Seni, dalam pandangan tradisional ini, selalu berhubungan dengan produksi benda seni dengan seluruh elemen formal-komposisionalnya yang dapat dievaluasi secara estetis. Namun pendapat semacam ini mudah disanggah-balik. Pendapat itu masih bertopang pada asumsi bahwa karya seni identik dengan benda seni dan bahwa seniman adalah seorang creatorbenda seni. Dan asumsi semacam itu sudah kadaluarsa akibat pergeseran praktik kesenian sesudah era 1960-an. Anggapan semacam itu lazimnya muncul dari para pegiat seni yang mengandalkan galeri komersial dan penjualan karya secara konvensional. Secara ekonomi-politik, pandangan semacam itu bisa bertahan karena semaraknya pasar seni rupa yang dengan sendirinya memprioritaskan benda seni—sebab hanya ‘benda seni’ lah yang bisa dikomodifikasi dengan cepat, bukan hubungan sosial.
Namun bukan berarti hubungan sosial kebal terhadap proses integrasi ke dalam rantai kapitalisme. Justru landasan konsolidasi kapital, yakni hubungan kerja-upahan, merupakan bentuk hubungan sosial paling awal yang diserap ke dalam tatanan kapitalis. Dalam konteks seni partisipatoris, masalahnya cuma waktu. Pasar butuh waktu untuk membiasakan diri dengan produk seni non-bendawi seperti hubungan sosial. Jika suatu saat nanti hubungan-hubungan sosial yang tercipta dari praktik seni partisipatoris dapat dikapitalisasi seperti halnya pasar seni rupa mainstream saat ini, barangkali saat itulah seni rupa partisipatoris baru akan diterima dalam kanon ‘seni murni’ dan diakui oleh para pemilik galeri komersial dan kolektor. Jadi, sebelum saat itu tiba, para seniman partisipatoris mesti memutar otak untuk menyiasati jebakan batman para tengkulak seni. Mereka mesti mencari celah untuk mengubah hubungan sosial-produksi kapitalis sehingga terhindar dari gempuran kapitalisme. Dengan kata lain, para seniman partisipatoris pada akhirnya akan semakin didorong untuk kritis terhadap kapitalisme bila mereka hendak bertahan sebagai seniman partisipatoris dan bukan peliharaan kolektor. Radikalisasi praktik seni partisipatoris cuma soal waktu.
Dari perspektif aktivis gerakan sosial dan politisi progresif yang tak sabaran, apa yang dilakukan para seniman partisipatoris kerap juga dipertanyakan: ‘Di mana dimensi partisipatorisnya?’ Terlepas dari asumsi soal kesetaraan estetis yang diandaikan dalam praktik-praktik seni partisipatoris dewasa ini, masih perlu diperiksa lagi bagaimana hal itu terwujud secara konkrit. Apabila kita menyelenggarakan suatu pekan kesenian di kampung dan mengundang para seniman kontemporer untuk memamerkan karyanya di sana, lantas sungguhkah ada peran partisipatoris warga setempat selain sebagai penonton yang duduk termangu memandangi citra visual yang demikian asing di matanya? Kalau cuma berpartisipasi sebagai penonton, rumput juga berpartisipasi. Kalau kita menyelenggarakan suatu pentas musik dengan membawakan lagu-lagu Frank Zappa atau Jaco Pastorius di sebuah desa yang hanya mengenal lagu dangdut dan pop Nusantara, lantas sungguhkah ada peran partisipatoris warga setempat selain sebagai partisipan ‘gegar budaya’? Kalau cuma bikin gegar budaya, FPI juga bikin gegar budaya. Kalau cuma bikin situasi awkward, Kodim juga bisa bikin situasiawkward. Contoh-contoh ekstrem ini hanya untuk menunjukkan bahwa tidak semua yang ‘turun ke bawah’ itu otomatis partisipatoris—masih harus diperiksa lagi strategi partisipasi yang ditawarkan.
Di balik praktik seni berbasis komunitas selalu ada risiko ‘gentrifikasi estetis’ atau ‘pengkelas-menengahan selera estetis’ seperti yang dicontohkan tadi. Risiko ini dengan sendirinya mengarah pada kecenderungan avant-gardisme yang sebetulnya mau ditampik oleh praktik seni partisipatoris. Seni avant-garde selalu punya pretensi menggurui, menjadi yang terdepan dan mencerahkan mereka yang secara kultural tertinggal di belakang. Karena itu, kalaupun seniman avant-garde punya kecenderungan untuk ‘turun ke bawah’, artikulasinya kerap kali mewujud dalam patronase kultural baru. Inilah yang membedakan praktik seni Moelyono dan Arief Yudi. Dalam praktik seni Moelyono, masih ada pretensi untuk memberikan ‘penyadaran’ pada massa (karenanya estetikanya disebut ‘seni rupa penyadaran’) dan oleh sebab itu masih terbaca jejak pengaruh avant-gardisme di sana. Lain halnya dengan Arief Yudi dan kolektif Jatiwangi Art Factory yang sudah bermain di wilayah post-avant-garde. Dalam hal ini, seniman partisipatoris mesti belajar lagi dari sejarah gerakan Proletkult di Rusia era 1920-an. Dengan seluruh pretensi avant-garde-nya, para seniman suprematis dan Modernis di Rusia turun ke desa dengan membawa lukisan-lukisan yang sepenuhnya asing bagi warga desa yang hanya mengenal ragam hias tradisional. Para seniman ini menampilkan karya-karya seni modern itu sebagai buah kebudayaan Rusia baru yang maju secara intelektual. Dengan itu, mereka berpretensi menciptakan kebudayaan komunis yang baru, yang terbebaskan dari segala pengaruh tradisi kolot dan paham tua. Gerakan Proletkult ini dikritik keras oleh Lenin yang beranggapan bahwa kebudayaan baru tak bisa dihasilkan dari inspirasi sublim segelintir seniman garda-depan, melainkan hanya bisa dirakit dan disuling dari praktik-praktik kultural masyarakat yang ada.[5] Kritik Lenin ini masih relevan untuk menangkal risiko ‘gentrifikasi estetis’ atau ‘avant-gardisme lupa daratan’ dalam praktik seni partisipatoris kontemporer.
Sebagai praktik seni yang memusatkan perhatiannya pada perubahan kenyataan dan hubungan sosial yang menopang kenyataan itu, pada akhirnya praktik seni partisipatoris mesti menjawab tantangan perubahan itu sendiri. Pada aras debat estetika, tantangan ini masih membelenggu estetika relasional—jenis estetika yang selama ini dipandang selaras dengan praktik-praktik seni partisipatoris. Nicholas Bourriaud, pencetus estetika semacam itu, masih berteori dalam jejak-jejak avant-gardisme. Karya seni diposisikan sebagai wahana untuk mengubah kenyataan melalui penyadaran atas hubungan sosial yang baru. Bedanya dengan para avant-gardiste awal abad ke-20 (semisal Proletkult) hanyalah bahwa dalam estetika relasional, tak ada kepastian tentang tujuan akhir dari hubungan sosial yang hendak dibentuk—tak ada tatanan utopis yang diidamkan. Inilah yang dijelaskan Bourriaud dengan meminjam konsep Louis Althusser, suatu ‘materialisme acak’ (random materialism) atau pandangan atas semesta material yang digerakkan oleh daya-daya non-teleologis (tanpa tujuan final). Kendati begitu, pendekatan semacam ini bukannya bebas dari kritik. Claire Bishop (Bishop 2004: 65) mempersoalkan, antara lain, hubungan baru yang diklaim Bourriaud tengah dimunculkan dalam karya-karya relasional: hubungan macam apa, hubungan untuk kepentingan siapa? Praktik-praktik seni yang diklaim relasional oleh Bourriaud, seperti karya-karya Rirkrit Tiravanija, tetap berkisar pada ruang pameran dan karenanya hanya melibatkan golongan elit pemirsa seni (art dealer, pemilik galeri, kritikus, dll.) yang mawas teori-teori seni kontemporer (Bishop 2004: 67). Apa yang ditekankan oleh estetika relasional Bourriaud adalah komunitas dan harmoninya. Namun di alam kapitalisme kontemporer ini mustahil rasanya ada komunitas yang tak mengandung antagonisme kelas, yang bebas dari hubungan kuasa yang timpang. Karena itu, tantangan terbesar seni partisipatoris kemudian adalah memikirkan dan menguji-cobakan praktik perubahan sosial yang betul-betul mendasar, bukan sekadar pulasan. Sehingga yang diubah bukan hubungan sosial pada aras permukaan saja (seperti pola interaksi di ruang makan dalam salah satu karya Tiravanija), melainkan hubungan sosial terdasar yang menstruktur hubungan-hubungan sosial lain dalam sebuah masyarakat. Hubungan sosial apakah itu, bagaimana cara mengubahnya dan dalam bentuk seperti apakah perubahan itu diartikulasikan—ketiganya adalah tantangan yang mesti dihadapi para seniman partisipatoris dewasa ini.***

Kepustakaan:
Bell, Clive. 1914. Art. New York: Frederick A. Stokes Company.
Benjamin, Walter. 2007. “The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction”. In Walter Benjamin. Illuminations, trans. Harry Zohn. New York: Schocken Books, 217-251.
Bishop, Claire. 2004. “Antagonism and Relational Aesthetics”. In OCTOBER 110, Fall 2004, 51–79.
Boal, Augusto. 2008. Theatre of the Oppressed, trans. Charles A. McBride, et.al. London: Pluto Press.
Bourriaud, Nicolas. 2002. Relational Aesthetics, trans. Simon Pleasance, et.al. Dijon: Les Presses du Réel.
Danto, Arthur C. 1964. “The Artworld”. In The Journal of Philosophy, Vol. 61, No. 19 (Oct. 15, 1964), 571-584.
Greenberg, Clement. 1999b. “Modernist Painting”. In In Charles Harrison and Paul Wood, ed.Art in Theory: 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas. Oxford: Blackwell, 754-760.
Lenin, V.I. 1999. “On Proletarian Culture”. In Charles Harrison and Paul Wood, ed. Art in Theory: 1900-1990, An Anthology of Changing Ideas. Oxford: Blackwell, 383-384.
Lukacs, Georg. 1974. Soul and Form, trans. Anna Bostock. Cambridge, MA: The MIT Press.
—————-
[1] Tulisan ini pernah diterbitkan sebagai salah satu artikel dalam buku perayaan satu dekade Jatiwangi art Factory bertajuk Paririmbon Jatiwangi (Majalengka: Yayasan Daun Salambar), 2016.
[2] Kendati begitu, pengertian yang menyempitkan estetika menjadi urusan ‘filsafat keindahan’ masih dipakai dalam beberapa diktat estetika di tanah air, misalnya Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, Estetika: Filsafat Keindahan (Kanisius, 1993), atau yang lebih baru, Matius Ali, Estetika: Sebuah Pengantar Filsafat Keindahan (Luxor, 2009).
[3] Pandangan yang nostalgis atas hilangnya aura benda seni, menurut Benjamin, justru dianut oleh para pendukung ide ‘seni untuk seni’: “The secular cult of beauty, developed during the Renaissance and prevailing for three centuries, clearly showed that ritualistic basis in its decline and the first deep crisis which befell it. With the advent of the first truly revolutionary means of reproduction, photography, simultaneously with the rise of socialism, art sensed the approaching crisis which has become evident a century later. At the time, art reacted with the doctrine of l’art pour l’art, that is, with a theology of art. This gave rise to what might be called a negative theology in the form of the idea of ‘pure’ art, which not only denied any social function of an but also any categorizing by subject matter.” (Benjamin 2007: 224)
[4] “‘Theatre’ was the people singing freely in the open air; the theatrical performance was created by and for the people, and could thus be called dithyrambic song. It was a celebration in which all could participate freely. Then came the aristocracy and established divisions: some persons will go to the stage and only they will be able to act; the rest will remain seated, receptive, passive – these will be the spectators, the masses, the people. And in order that the spectacle may efficiently reflect the dominant ideology, the aristocracy established another division: some actors will be protagonists (aristocrats) and the rest will be the chorus – symbolising, in one way or another, the mass. Aristotle’s coercive system of tragedy shows us the workings of this type of theatre.” (Boal 2008: xxiii)
[5] “Marxism has won its historic significance as the ideology of the revolutionary proletariat because, far from rejecting the most valuable achievements of the bourgeois epoch, it has, on the contrary, assimilated and refashioned everything of value in the more than two thousand years of the development of human thought and culture. […] Adhering unswervingly to this stand of principle, the All-Russia Proletcult Congress rejects in the most resolute manner, as theoretically unsound and practically harmful, all attemts to invent on’s own particular brand of culture” (Lenin 1999: 383-384).

http://indoprogress.com/2016/02/dorongan-ke-arah-estetika-partisipatoris/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29