Dariah (85 tahun)
yang merupakan seorang penari tradisional laki-laki dari Banyumas bersama Didik
Nini Thowok (kanak) saat mendokumentasikan kisah penari lengger lanang tersebut
yang masih tersisa, (16/11). Aris Andrianto/Tempo
Seni Tari Lengger Lanang terancam punah. Meningkatnya
sentimen negatif terhadap kelompok LGBT meresahkan penari warisan Banyumas ini
untuk tampil secara bebas dan terbuka.
Agus Widodo was-was. Penari lengger lanang ini berhati-berhati bila menerima tawaran untuk manggung di saat meningkatnya ajakan menolak dan mengharamkan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Agus Widodo was-was. Penari lengger lanang ini berhati-berhati bila menerima tawaran untuk manggung di saat meningkatnya ajakan menolak dan mengharamkan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
"Saya rajin bertanya ke pengundang aman atau tidak sebelum mau pentas lengger. Takut digrebek," ucap Agus yang bernama panggung Agnes.
Penari pria Dariah
(kiri) saat ikut menari saat Penari pria Didik Nini Thowok ingin
mendokumentasikan kisah penari lengger lanang tersebut yang tersisa, (16/11).
Aris Andrianto/Tempo
Lengger lanang merupakan tari lintas gender yang banyak
dipentaskan laki-laki. Tari rakyat Banyumas ini berkembang secara turun temurun
sebagai bagian dari ritus kesuburan. Budayawan Banyumas Yusmanto memperkirakan,
tari rakyat ini sudah ada sejak masa Kerajaan Majapahit.
Penari lengger adalah laki-laki yang berdandan seperti
perempuan. Dalam Bahasa Banyumas, lengger berasal dari dua kata yakni leng yang
berarti lubang sebagai simbol jenis kelamin perempuan dan ger berasal dari kata
jengger yang artinya mahkota ayam jago sebagai simbol laki-laki.
Agus dikenal sebagai satu diantara lengger lanang muda
yang sedang moncer di Banyumas dan sekitarnya. Ia pernah diundang menari di
Festival and Celebrating The 40th Anniversary of Korea-Indonesia Diplomatic di
Korea Selatan pada Desember 2013.
Menari sejak usia 7 tahun membawa Agus akhirnya
memutuskan menjadi penari lengger. Dia mulai menampilkan tarian lengger sejak
2004 di Banyumas dan sekitarnya. Pilihannya menjadi penari lengger mendapat
tentangan sejumlah orang. Beberapa di antaranya menganggap Agnes yang berjenis
kelamin laki-laki tidak pantas mengenakan pakaian perempuan ketika
menari.
Di luar panggung, Agus mengenakan pakaian laki-laki.
Berbeda ketika di atas panggung. Dia mengenakan pakaian lengger lengkap dengan
riasan sanggul berkonde, sampur, kemben, jarit dan riasan wajah seperti penari
perempuan.
"Saya total menjadi lengger saat di panggung," katanya.
Menurut Agus, diskriminasi terhadap lengger lanang kerap
terjadi. Cibiran dan cacian menjadi hal biasa ketika memilih menjadi penari
lengger.
"Mereka menyebut saya banci dan memandang penari lengger sebelah mata," katanya.
Ketika pentas, perlakuan buruk juga kerap mereka terima.
Penonton yang mabuk mengolok-olok mereka dengan sebutan bencong sembari
meraba-raba bagian tubuh mereka. “Saya takut dan trauma,” kata Fizay Nurhamid
ketika menceritakan pengalamannya tampil di Kebumen, Jawa Tengah, pada 2017
lalu.
Fizay yang bernama panggung Fifi mulai menari lengger
sejak 2011. Laki-laki dari Cilacap ini dulu dikenal sebagai penari kesenian
jaran kepang di komunitas seni kuda kepang Mekar Budaya Kencana. Dia kemudian
mengikuti jejak kakeknya yang menari lengger.
Sepekan sejak kejadian di Kebumen, Fizay kembali menerima
tawaran. Tetapi, dia menampik tawaran itu karena masih trauma.
Otniel Tasman, koreografer yang menciptakan tari
kontemporer dari tradisi lengger Banyumasan juga memiliki pengalaman buruk saat
hijrah ke Solo, Jawa Tengah. Suatu hari dosennya di kampus ISI Surakarta bahkan
menertawakannya ketika menari lengger.
Otniel kemudian dilarang menari lengger di pendopo
padahal waktu itu dia sudah siap mau pentas. Waktu itu Otniel dan kelompok
penari dari Banyumas hendak pentas lengger untuk menyambut seorang menteri yang
datang ke ISI Surakarta. Mereka sudah berlatih menari lengger jauh hari hingga
hari H acara.
Tapi, dosen itu melarang dengan alasan lengger penarinya
adalah perempuan, bukan laki-laki.
"Lengger dianggap hanya sebatas hiburan saja apalagi ketika laki-laki yang menarikannya," ujarnya.
Penampilan lengger lanang di Festival Kendalisada,
Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah (TEMPO/Shinta Maharani)
Banyak yang risih menonton tarian lengger. Danang salah
satunya. Penonton Festival Lengger yang berlangsung September lalu itu mengaku
enggan menonton tarian tersebut. Namun, malam itu, Danang terpaksa datang
menonton karena harus mengantarkan tamu ke Desa Kaliori, tempat berlangsungnya
acara.
"Saya agak takut, risih, dan tidak nyaman," katanya.
Meski mendapat cap jelek, Agus dan Fizay masih berusaha
menunjukkan dirinya mampu menjadi penari lengger yang baik. Mereka ingin
mempertahankan kesenian tradisional yang hampir hilang karena masyarakat lebih
memilih pertunjukkan organ tunggal.
Maestro tari lintas gender Didik Nini Thowok mengakui
jumlah penari lengger kini semakin menipis akibat diskriminasi. Sebagian dari
mereka tidak diterima, dikucilkan dan diskriminasi.
“Tidak gampang bertahan sebagai lengger lanang. Buat yang tidak kuat dan takut akan sulit bertahan,” katanya.
Foto Presiden Sukarno bersetelan jas masih terpajang di
ruang tamu rumah keluarga Dariah. Potret itu mengingatkan kejayaan Dariah
sebagai penari lengger lanang di masa akhir Orde Lama hingga Orde Baru. Rezim
Orde Baru memberangus semua kesenian rakyat termasuk lengger lanang karena
dianggap dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang
dianggap bagian dari Partai Komunis Indonesia.
Hanya segelintir laki-laki yang bisa menarikan tarian
ini. Salah satunya Dariah. Dariah mengawali karir sebagai penari lengger dari
satu kampung ke kampung lainnya. Bersama sekelompok musik sederhana seperti
calung, kendang, gong kecil dan gambang, Dariah mbarang (mengamen) di wilayah
Banyumas.
Karir Dariah menanjak pada periode 1930 hingga 1960-an.
Pria yang bernama asli Sadam ini menjadi idola pada waktu itu di Banyumas.
Tariannya yang lemah gemulai layaknya seorang perempuan selalu menjadi magnet
bagi warga Banyumas.
Sejak diberangus, Dariah menghabiskan hidupnya di Desa
Plana, Kecamatan Somogede, Banyumas, Jawa Tengah, bersama keponakannya, Misti.
Mereka tinggal di rumah berdinding bata dengan cat yang mengelupas di sana
sini. Dariah menghabiskan hidupnya sebagai perempuan. Dia memakai baju
perempuan dalam aktivitas sehari-hari di rumah dan beralih menjadi penata rias
pengantin di desa-desa Banyumas dan Purbalingga demi menyambung hidup.
Pada 12 Februari 2018 lalu, Dariah meninggal pada usia 97
tahun. Keluarga mengenang Dariah hidup dalam ketakutan akibat peristiwa 1965.
"Semua hartanya habis karena peristiwa 1965," kata Nur Kholifah, anak Misti kepada Tempo di awal November lalu.
Pada 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi
Dariah gelar Maestro Seniman Tradisional. Untuk menghormati Dariah, Pemerintah
Desa Kaliori, Banyumas dan komunitas seni desa menggelar Festival Kendalisada
pada 14-16 September lalu.
Teks: Shinta Maharani
Editor: Edy Can
Tulisan ini adalah produk dari program fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Ardhanary Institute
Teks: Shinta Maharani
Editor: Edy Can
Tulisan ini adalah produk dari program fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Ardhanary Institute
Sumber: Tempo.Co
0 komentar:
Posting Komentar