Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Senin, 30 Juli 2018

Linus Suryadi AG dan Pengakuan Pariyem

Catatan: Sunardian Wirodono

Cover buku stensilan Prosa Lirik Pengakuan Pariyem (1980) dalam ukuran folio [Foto: SW]

19 tahun lalu, Mas Linus, Linus Suryadi AG meninggal dunia. Penyair yang beken dengan prosa lirik ‘Pengakuan Pariyem’ itu meninggal karena penyakit akutnya, sebagai fanatikus tongseng. Siang hari 30 Juli 1999, di depan RS Panti Rapih, Yogyakarta, Mas Landung Simatupang, yang barusan menjenguk dari ruang rawat, berkata lirih di samping saya, “Mas Linus wis ra ana,...”
Darah saya terkesiap. Dari pagi kami menunggu, kondisi Mas Linus waktu itu sudah makin kritis. Kami saling diam termangu. Pembuluh darahnya pecah. Saya nahan tangis, hingga mata membasah. Orang baik itu meninggal dalam sunyi dan kegamangan. Saya ingat hari-hari terakhirnya, ketika banyak menemani dolan-dolan ke mana ia ingin (asal tidak ke kota, Yogyakarta. Ia dalam marah dan galau, jadi korban fitnah, hingga dulu kantor koran Bernas pernah didemo, karena memuat tulisannya tentang tradisi sunat, yang menurutnya berasal dari bangsa Yahudi. Dari sini kita tahulah siapa yang ngamuk. Mas Linus sangat kecewa. Ia menduga ada tukang kompornya. Ia menyebut nama, tapi itu rahasia kami).
Saya ingin ceritakan salah satu bagiannya saja, ketika ia sedang berproses menggarap prosa lirik ‘Pengakuan Pariyem’, yang dipersembahkan untuk Prof. Dr. Umar Kayam. Waktu itu ia meminjam buku ‘Serat Centhini’, koleksi bapak saya yang tanpa seijinnya saya pinjamkan ke Mas Linus. Waktu itu saya banyak galang-gulung dengannya, diam-diam menjadi supervisor untuk beberapa ejaan bahasa Jawanya yang acak-kadut. Buku itu dilaunching di Auditorium Karta Pustaka, Sabtu, 6 September 1980.
Sebelumnya, saya dan beberapa teman (Kaca Budi Nugraha, Joko Budhiarto, Anthon Ys Taufan Putera, Rela Sayekti) sibuk menyiapkan kelengkapannya. Menggarap buku stensilan ‘Pengakuan Pariyem’, yang dicetak (stensil) di SMEA Sentolo, Kulon Progo. Kok jauh amir? Itu tempat Joko Budiarto waktu itu mengajar. Sekarang beliau redaktur senior SKH Kedaulatan Rakyat. Nyetensil di sana agar dapat gratisan. Tinta dan kertas pakai fasilitas stock sekolah itu.
Saya masih ingat, waktu dari Yogya, ke Sleman (rumah Mas Linus), ke Sentolo, naik sepeda motor Honda CB Plangkok. Sementara Kaca Budi Nugraha, yang kemudiannya jadi pendeta di Gereja Sawo Kembar, pakai Yamaha Trail warna kuning. Kami waktu itu masih muda, masih umur-umur 19 tahun. Ehm. Kita acap ke Sentolo sore hari, karena nyetensil tiap sekolah itu sudah off. Ada 137 lembar sheet yang kami stensil, masing-masing 200 eksemplar. Jadi kita butuh kertas 27.400 lembar alias 55 rim kertas. Saya masih menyimpan satu eks, tapi sebagiannya geripis dimaem rayap.
Sebelumnya saya ngetik teks dari Mas Linus di kertas sheet. Harus hati-hati karena salah ketik tak mudah membenahi. Saya pakai dua mesin ketik dengan jenis huruf beda. Waktu itu meskipun stensil, sudah berpikir biar typhografinya agak keren. Saya beruntung belajar ngetik rapi, rata kiri dan kanan dari Mas Suwarno Ragil Pragolapati, penyair angkatan Mas Linus.
Buku stensilan itu ukuran folio, dengan desain cover Mas Sukasman Wayang Ukur. Saya lupa mungkin waktu itu dijual Rp 300 per-eksemplar (?). Kalau benar begitu, Mas Linus dapat duit Rp 60.000, karena buku ludes terbeli. Kami senang bisa makan gudeg dengan telor dan gending.
Waktu itu pembaca prosa lirik; Denny Sutoyo Landung, Ami Simatupang, Nuning Efendi, Ninik Sumiani, Nining Sulasdhi, didahului macapatan Ninik Sumiani, yang menjadi model cover garapan Mas Kasman itu.
Sebelum dibukukan fragmen Pengakuan Pariyem dibacakan penyairnya di beberapa universitas. Saya senang Mas Linus berani mengambil risiko. Waktu itu Pariyem dikritik bukan karya sastra. Aspek lokalitas dan tingkat kerusuhannya (pornografi) sangat kental. Tapi dibanding Serat Centhini, tingkat kerusuhan Pengakuan Pariyem belum seberapa. Hanya saja memang untuk teks sastra Indonesia, waktu itu, tidak lazim.
Demikian sekelumit Linus Suryadi Agustinus (3 Maret 1951 – 30 Juli 1999), yang sehari setelah tanggal kelahirannya saya pun lahir, meski 10 tahun kemudian. Semoga ada yang mengingat orang baik ini, yang meninggal pas 19 tahun lalu. Syukur bage ada yang merayakannya, meski hanya dalam kenangan, atau perbincangan medsos, hingga tak perlu repot-repot nyari danais. | @sunardian

Minggu, 15 Juli 2018

FFP 2018 di Kebumen Berlangsung Meriah

FFP 2018: Festival Film Purbalingga 2018 menghadirkan film-film karya pelajar FFP
FFP 2018: Festival Film Purbalingga 2018 menghadirkan film-film karya pelajar Kebumen di kompleks Perum Jatisari Indah (10/7). [Foto: FFP 2018]
KEBUMEN – Perumahan Griya Jatisari Indah mendadak ramai pada Selasa (10/07/2018) sejak sore hari. Pasalnya ada layar tanjleb yang dihadirkan Jaringan Kerja Film Banyumas Raya (JKFB). Event dalam rangka Festival Film Purbalingga (FFP) 2018 ini merambah wilayah Kebumen pada 2 lokasi pemutaran film dengan model layar tanjleb.
Desa Jatisari merupakan titik ketiga dalam rangkaian layar tanjleb FFP 2018 dan lokasi pemutaran kedua setelah lokasi Pesanggrahan Desa Karangsambung pada malam sebelumnya.
Selain memutarkan film karya pelajar se-Barlingmascakeb, warga Perum Jatisari Indah juga memanfaatkannya untuk sekaligus menggelar silaturahmi lebaran dan serah terima pengadaan tong sampah sumbangan warga untuk desa.
“Momen sederhana warga untuk berkumpul dan bersilaturahmi”, kata Kepala Desa Jatisari dalam sambutannya. “Alhamdulillah bisa terbantu menjadi lebih hangat dan meriah berkat kedatangan kru layar tancap, sehingga anak-anak menjadi betah dan turut terhibur dengan tontonan yang dihadirkan.” Sambung Kades Muslihudin.

Film Karya Pelajar Kebumen 

JATISARI: Warga Perum Jatisari Indah Kebumen nampak antusias menyaksikan film-film yang diputar (10/7) dalam rangka Festival Film Purbalingga 2018
Koordinator pelaksana FFP 2018 untuk wilayah Kebumen, Ridho Saputro menjelaskan kehadiran film-film karya sineas muda dari kalangan pelajar Kebumen, dalam genre dokumenter dan film fiksi pendek . Diantaranya ada “Badar Besi” (Sutradara: Amaroh Alfa Khurohman, Sangkanparan), “Sega Penggel” (Sutradara: Azizatun Zahro, Sangkanparan) untuk film documenter pendek.
Sedangkan untuk genre film fiksi ada “Melawan Arus” (Sutradara: Eka Saputri, Lemah Wedhi Production). “Di Dasar Air” (Sutradara: Intan Karunia, Candradimuka Production). Serta film berjudul “Tanah Tuan Tanah” (Sutradara: Hestika Sari, Netuka Creative Community).
Ketiga film fiksi pendek yang diputar merupakan hasil Lokakarya Produksi Sinema Kedung Meng Desa-Desa 2017 yang digagas Komunitas Kedung bekerjasama dengan CLC (Cinema Lover’s Community) Purbalingga sebagai fasilitator produksi.
Selain sedang diapresiasi di program Layar Tanjleb FFP 2018 saat ini ketiga film tersebut juga sedang dikelilingkan ke seluruh Indonesia melalui program pemutaran film Indonesia Raja 2018 yang digagas komunitas film “Minikino” (Bali) sejak 2016. Khusus untuk film “Melawan Arus” yang bercerita tentang perjuangan petani perempuan bernama Siti di lahan konflik agrarian telah mendapat penghargaan di Malang Film Festival 2018 sebagai Jawara Fiksi kategori pelajar dan INVECT (Independent Movie Competition) Tebas Awards 2018.
Malam sebelumnya layar tancap serupa juga sukses digelar di dusun Pesanggrahan, Desa Karangsambung dengan melibatkan Karang Taruna setempat dan pegiat kelompok sadar wisata (pokdarwis) Bukit Pentulu Indah.
Reporter: Puput Juang | Editor: AP

Selasa, 10 Juli 2018

Legenda Umbu Landu Paranggi dan Persada Studi Klub di Malioboro

Oleh: Fadrik Aziz Firdausi - 10 Juli 2018

Iman Budhi Santosa dalam peringatan 45 tahun Persada Studi Klub (PSK) di Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib, Yogyakarta. FOTO/caknun.com

Dari jalanan Malioboro, sekumpulan anak muda meretas mimpi jadi penulis besar. Belajar puisi langsung dari kehidupan.
“Anak ini memang bisa menulis puisi. Ini benar-benar puisi,” seru Cak Muntholib kepada Cak Fuad. Yang sedang mereka bicarakan adalah adik kandung Cak Fuad, Emha Ainun Nadjib. Emha yang kala itu masih anak SMA dibikin melambung oleh pujian Cak Muntholib itu. Sejak itu Emha tancap gas menulis puisi.
Emha remaja gandrung benar terhadap puisi, sampai-sampai mengesampingkan sekolahnya. Dalam buku semi-memoar Kiai Hologram (2018: 30), Emha mengakui bahwa renjana itu membuatnya rela bolos sekolah demi belajar puisi. Setidaknya ia membolos 40 kali dalam satu kuartal karenanya. Hampir tiap malam ia begadang di Malioboro untuk belajar puisi.

Ada apa di Malioboro sehingga Emha tertarik mendatanginya tiap malam? 

Membicarakan Malioboro—juga Yogyakarta—di akhir 1960-an tak pernah bisa dilepaskan dari keberadaan Persada Studi Klub (PSK). Sebuah komunitas yang menjadi medan kreatif penulis-penulis muda Yogya dan ke orbit itulah Emha berkitar.

Laiknya Pasar Senen pada dekade 1950-an, Malioboro jadi rendezvous para penulis muda Yogya. Di sana mereka belajar, berdiskusi, membaca puisi, dan merencanakan kegiatan-kegiatan kreatif. Di sanalah penulis masyhur generasi 1980-an seperti Emha, Linus Suryadi AG, Iman Budhi Santosa, juga Korrie Layun Rampan bertumbuh.

Diskusi Sepanjang Jalan

PSK lahir dari inisiatif Umbu Landu Paranggi, redaktur sastra mingguan Pelopor Yogya, pada 5 Maret 1968. Di lantai dua kantor redaksi mingguan tersebut, jalan Malioboro 175 A, kala itu ikut pula Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarna Pragolapati, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gito Warsono, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito. Tujuan mereka cuma satu: mengasah kreativitas penulisan.
“Sebagai tradisi, Umbu meminta yang hadir membacakan puisinya. Maka, enam penyair muda itu mencoba membacakan puisi yang dibawa, terutama yang belum pernah dimuat di media massa,” kenang Teguh Ranusastra Asmara dalam “Persada Studi Klub, Akar Kelahiran, dan Suburnya Komunalisme Kreatif di Yogyakarta” yang jadi bagian bunga rampai Orang-orang Malioboro (2010: 19).
Begitulah awalnya anggota PSK berkumpul tiap minggu. Umbu menyediakan kantor redaksi Pelopor Yogya sebagai tempatnya. Dimulai dari pembacaan karya, Umbu kemudian memberikan kritik dan masukan untuk karya anak PSK.

Achmad Munif, prosais jebolan PSK, mengenang kantor Umbu itu hanyalah salah satu tempat saja. Lapak diskusi atau pembacaan karya bisa digelar di mana saja. Mereka biasa pula berkumpul di rumah salah satu anggota PSK, tetapi paling sering memang di sepanjang jalan Malioboro. Bagi mereka waktu bukan soal. Lapak diskusi bisa dibuka kapan saja.
“Demikianlah potret para penulis muda waktu itu, sepertinya hidup hanya untuk berpikir, membaca, berdiskusi dan menulis. Sesekali ikut lomba deklamasi, sesekali datang ke Bengkel Teater untuk melihat latihan akting, sesekali membaca puisi keras-keras di Taman Garuda,” kenang penulis novel Merpati Biru itu dalam “Merangkai Kembali Lembar-lembar yang Hilang” (hlm. 27).
Dari diskusi mingguan itu kegiatan PSK lantas melebar ke luar Malioboro, bahkan ke luar Yogyakarta. Sesekali PSK bikin acara semacam wisata sastra, perkemahan sastra, perlombaan sastra, sarasehan, hingga pentas seni. Sebutlah misalnya di lereng bukit Kali Code, Kali Progo, Kali Gajah Wong, lapangan kampung, kampus, sekolah-sekolah, surau atau masjid, pasar, swalayan, kantor-kantor pemerintah, pesantren, panti asuhan, dan sebagainya.

Anggota PSK tak ingin menyekat diri dari masyarakat. Karenanya penonton PSK berasal dari beragam kalangan, terutama masyarakat akar rumput. Mulai dari akademisi yang paham sastra hingga warga kampung yang awam. Hingga memunculkan apa yang oleh Teguh Ranusastra disebut “baca puisi jalanan”.

Saeful Anwar dalam Persada Studi Klub dalam Arena Sastra Indonesia (2018) menyebut bahwa Umbu mendukung kegiatan-kegiatan itu dengan mengintegrasikannya dengan Pelopor Yogya. Mingguan tempat Umbu bekerja itu digunakan sebagai tempat pemuatan karya sekaligus media komunikasi PSK. Pelopor Yogya menyediakan rubrik khusus bagi anak-anak PSK yang dinamai Pos Persada.

Dalam kolom tersebut ia mengomentari karya-karya yang masuk ke redaksi, tetapi tidak dimuat dalam Pelopor Yogya. Paranggi juga terkadang menyapa para anggota yang telah lama tidak mengirim karyanya. 
"[...] Media ini juga menjadi pengesahan seseorang menjadi anggota PSK meskipun tidak berdomisili di Yogyakarta," tulis Saeful (hlm. 35-36).
Rubrik Pos Persada didesain Umbu sebagai wadah karya anggota PSK yang telah memenuhi standar tetapi belum cukup bermutu. Untuk puisi-puisi kelas wahid, Umbu punya ruang lain yang dinamai Sabana. Umumnya anggota PSK mesti tembus Persada dulu sebelum karyanya dipajang di Sabana. Meskipun Pelopor Yogya adalah media lokal, namun rubrik Sabana sama prestisiusnya dengan majalah sastra sekelas Horison, Budaya Jaya, dan Basis.

Latief S. Nugraha dalam Sepotong Dunia Emha (2018: 93) mengutip kelakar Emha tentang betapa prestisiusnya rubrik Sabana Pelopor Yogya kala itu. Jika berhasil terbit di Sabana, ia ibaratkan seperti naik haji, sementara jika tembus Horison
 itu sama saja seperti isra mikraj.
Infografik Persada Studi Klub

Umbu Sang Mentor

Tak bisa dibantah sosok Umbu sebagai inisiator dan mentor PSK memang penting. Sebagai redaktur sastra ia dianggap gurunya anak-anak PSK. Di kalangan PSK, redaktur sastra kelahiran Sumba, 10 Agustus 1943, itu dijuluki Presiden Malioboro.

Umbu dengan telaten dan intens membina penulis-penulis muda PSK. Tak hanya lewat perjumpaan mingguan, tetapi juga melalui rubrik Persada dan Sabana yang ia asuh. Ia membaca semua karya yang masuk dan mengurasinya. Karya-karya yang belum memenuhi syarat muat tak ia singkirkan begitu saja, tetapi dikembalikan kepada si penulis dengan catatan-catatan perbaikan.

Iman Budhi Santosa, anggota PSK generasi pertama, mengakui bahwa kelebihan Umbu adalah caranya yang tak biasa dalam memperkenalkan sastra. Bukan lewat teori dan standar teknis sebagaimana dipelajari di kelas, Umbu memperkenalkan sastra sebagai kesatuan dengan kehidupan. Ia mengajari orang menulis melalui pengalaman.
Dalam “Kreativitas ‘Sarang Laba-laba’ dari Balkon Tua Lantai Dua” yang terhimpun dalam Orang-orang Malioboro (hlm. 79), Iman menulis, “Ia [Umbu] fasih mengubah sebuah pertemuan di warung kopi sehingga memunculkan banyak ‘puisi’.”
Hal itu misalnya bisa dilihat dari pengalaman Teguh Ranusastra Asmara. Suatu malam Umbu mengajak Teguh menyusuri Malioboro. Beberapa kali Umbu berhenti dan meminta Teguh mengamati sekelilingnya. Ditunjuknya seorang gelandangan yang tertidur di emperan sebuah toko.
“Dik, itu puisi! Coba amati, rasakan dan renungkan. Bangun puisi dengan suasana malam seperti ini. Cari kata yang sederhana untuk mewakili ide adik,” kata Umbu kepada Teguh tiba-tiba.
Peristiwa dan kata-kata Umbu itu benar-benar menggugah pikiran Teguh. Ia terus memikirkannya hingga pulang. Berhari-hari kemudian ia sibuk bergelut menulis puisi seperti yang diminta sang mentor. Hasilnya adalah sebuah puisi berkepala “Gelandangan Malioboro.”
“Nasihat dan ‘cubitan-cubitan kecil’ seperti itulah yang selalu diberikan Umbu kepada teman-teman Persada Studi Klub. Manakala hasil yang ditulis belum mencerminkan adanya peningkatan, tak segan-segan Umbu minta direvisi, ditulis ulang, atau diganti sekalian,” tulis Teguh (hlm. 20).
Itulah yang memikat banyak anak muda yang bercita-cita jadi penulis mengorbit di sekeliling Umbu. Sebagai penyair, barangkali Umbu bukanlah penyair yang menonjol dengan karya-karya yang menarik minat kritikus. Tetapi, ia punya posisi penting sebagai pembina penyair-penyair muda.

Emha dalam esainya, “Presiden Malioboro, Untuk Umbu”, yang tayang di Kompas (16/12/2012) menyebut bahwa keterkenalan sebagai penyair memang bukanlah tujuan Umbu. Ia bahkan dengan sadar menjauhi eksistensi sebagai penyair. Padahal ia punya kesempatan untuk itu ketika pada 1973 puisi-puisinya hendak diterbitkan oleh majalah Horison.
“Umbu diam-diam masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya sendiri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan popularitas,” demikian Emha.

Bubar Ditinggal Umbu

Pada 1975, secara tiba-tiba Umbu minggat dari Yogya. Banyak yang mengira ia pulang kampung ke Sumba. Namun, ternyata ia memilih menetap di Bali hingga kini. Ditinggal sang mentor utama, kegiatan dan kegairahan di PSK perlahan surut.

Tak ada yang bisa benar-benar menggantikan posisi Umbu di PSK. Meskipun begitu, sebenarnya masih ada Ragil Suwarna Pragolapati yang mencoba meneruskan pekerjaan Umbu. Sepeninggal Umbu, Ragil membuka sanggar di rumahnya di Bantul. Di sana Ragil menggelar pertemuan dan diskusi. Penyair yang hilang di Gua Langse pada 1990 itu juga adalah dokumentator karya-karya anggota PSK yang paling tekun.

Ragil mendokumentasikan hampir semua hal terkait PSK. 
“Hampir setiap tulisan tangan puisi, ketikan puisi, makalah-makalah diskusi, buku-buku, koran-koran, majalah-majalah, dan segala jenis penerbitan puisi, karcis pertunjukan pembacaan puisi, esei-esei tentang puisi, bahkan segala sesuatu yang terkait dengan kehidupan para penyair orang-orang Malioboro ketika itu,” tulis Emha dalam epilognya untuk Orang-orang Malioboro (hlm. 267).
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Sumber: Tirto.Id