Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Minggu, 19 Mei 2019

Menggagas Repertoar ‘baru’ Cepet Dangsak

Catatan: Aris Panji Ws – 18 Mei 2019

 CEPET-LESUNG: Pertunjukan kolaborasi seni Cepet Dangsak Watulawang dengan Lesung Bonorowo di plaza utara alun-alun Kebumen. Proses pembaharu yang terus difasilitasi [Foto: SRMB]

Rubungan kecil di salah satu petarangan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB), Sabtu (18/5) menelurkan ide seputar bagaimana mendudah dan mendadah tataran lanjut kesenian tradisi yang pernah dicuatkan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen; Cepetan Alas. Seni tradisi -pada entitas lainnya dinamai Tongbreng atau Dhangsak- yang nyaris kehilangan pamor ini pada satu dekade lalu, sesungguhnya, bukan lah semata sebuah seni pertunjukan

Dalam konteks sejarah tradisionalnya, kemunculan seni ‘topeng sosok’ ini memang tak berdiri sendiri. Ia tumbuh dan berkorelasi dengan ritual-ritual tertentu pada tradisi yang ada di beberapa desa yang membidaninya. Desa Karangtengah, Kajoran, Karangjoho, Sentul-Kalirejo, Silampeng-Gunungsari di Karanggayam, maupun Watulawang dan Peniron di Pejagoan hulu1. Ditengarai pula kemunculannya di tlatah Alian. Belakangan, meski hilang tergerus zaman, disinyalir adanya tradisi ‘cepetan’ melalui ritual racukan di masa lalu pada beberapa desa seperti Klapasawit, Sangubanyu dan pesisiran Urutsewu. 

Dari aspek sejarah, menurut penuturan mBah Ruslan2 kesenian ini bahkan merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap eksistensi budaya kolonialisme di masa lalu. Itu sebabnya mengapa dari desa-desa sekitar basis perkebunan onderneming pemerintah kolonial Hindia-Belanda lah, kelompok tradisi berkesenian ini lahir.

Meski memang tak ada referensi teks yang berkaitan langsung dengan sejarah kelahirannya, namun bukan berarti testimoni para pelaku dan penutur dari masa lalu ini tak penting. Karena apa? Jelas bahwa tradisi literasi itu tak melulu yang manifest dalam bentuk teksbook. Dan testimoni para penutur tradisi ini tentu bisa dijadikan telusur awal bagi periwayatan yang shahih.

Ketoprak Dangsak

Ketika DKD mendedah dan mempromosikan seni Cepetan atau Dhangsak ini sebagai salah satu icon seni tradisi Kebumen, akselerasi citra dan corak asli dalam konteks nya seolah berlaga dengan irisan mitos bahwa Cepet itu makhluk halus pengganggu kehidupan manusia. Mitos ini dikonstruksi melalui dongeng-dongeng klasik yang berkonotasi negatif, tanpa mempertimbangkan realitas bahwa justru manusia lah yang acap merusak keseimbangan hidup dan lingkungannya.

Ironisnya, terjadi penguatan yang berkonotasi negatif ini melalui beberapa koreografi tarian yang digarap seniman lainnya. Paradoks ini dinilai bakal makin bias interpretasi dan bahkan ‘menjerumuskan’ seni Cepetan, ketika dikemas menjadi paket-paket pembelajaran yang didistribusi ke sekolah-sekolah resmi. Jelas, dalam konteks pendidikan DKD bakal terkena percik getahnya.

Seiring dengan keinginan untuk menempatkan seni Cepetan pada alur dan materi historisnya, DKD membangun narasi baru dengan mengkolaborasi seni topeng sosok ini melalui pendekatan dan konsep ketoprak. Jadi lah “Ketoprak Dangsak”. Seorang penulis cerita Pekik Sat Siswonirmolo menulis lakon carangan Reksa Mustika Bumi. Saat dipanggungkan, narasi baru ini memuat pesan moral yang membangunkan tafsir baru audiens penontonnya  Rupanya bisa sedikit mendorong Cepetan ke tengah panggung dengan sajian performa lebih baru.


Beberapa testcase pertunjukan di panggung lokal menghasilkan promosi kelayakan pentas yang menjembatani pertunjukan hingga ke luar kota. Dan antusiasme penonton PRPP Jateng maupun TBRS Semarang3 boleh dijadikan salah satu ukuran bahwa upaya pembaharuannya telah mendapat tempat dan diterima khalayak. Sementara di sisi lain ‘polemik’ kecil yang dipicu oleh konotasi Cepet dengan stigma negatif yang dilekatkan, tetaplah berjalan  terbelah melewati dua jalur dikotomisnya yang berbeda.

Upaya naratif yang panjang dalam membangun perspektif baru atas seni tradisi Cepet Dangsak sebagai icon daerah ini, di satu sisi menghasilkan ‘perang’ wacana, antara dikotomi pengganggu dan penjaga pun berlanjut. Namun ini sekaligus membukakan peluang percaturan baru di sisi lainnya.

Dan karena berkesenian itu memerdekakan dalam makna tak menjustifikasi; maka ide melahirkan ‘repertoar baru’ muncul malam-malam itu...
[ap]

2 Ruslan, Mohamad; 2010

Rabu, 15 Mei 2019

"Kucumbu Tubuh Indahku": 'kampanye LGBT' dan trauma tubuh yang menuai kontroversi


Ayomi Amindoni - BBC News Indonesia
15 Mei 2019

Film Kucumbu Tubuh Indahku garapan sutradara kawakan Garin Nugroho ditolak penayangannya di beberapa daerah karena dianggap "mengkampanyekan LGBT". Padahal, film bertema gender ini justru mendedah lebih dalam tentang trauma tubuh dan feminitas-maskulinitas dalam tubuh penari. FOURCOLOURS FILMS

Kini, membuka ruang untuk membicarakan suatu hal yang traumatis berisiko antipati dari khalayak, di tengah "anarkisme massa dan politik identitas". Setidaknya itu yang dialami oleh sutradara kawakan Garin Nugroho tentang film terbarunya, Kucumbu Tubuh Indahku.

Respons terhadap film Kucumbu Tubuh Indahku di bioskop-bioskop Indonesia rupanya tak seperti saat film tayang di berbagai festival di luar negeri. Alih-alih mendapatkan pujian, seperti ketika film ini meraih penghargaan Asia Pacific Screen Awards, film ini malah mendapat kecaman hingga petisi online pemboikotan.

Film yang menampilkan peleburan maskulin dan feminin dalam tubuh karakter utamanya dianggap mengangkat budaya LGBT secara berlebihan.

Sejak ditayangkan mulai 18 April, pemerintah di beberapa kota langsung melarang penanyangan film ini. Seperti yang terjadi di Depok, Bekasi, Garut, Palembang, Pontianak, Kubu Raya, Pekanbaru dan yang terakhir di Padang.

Meski kebanyakan dari mereka belum menonton film ini, mereka sepemahaman, bahwa film ini dipandang "mengandung unsur LGBT yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan merusak generasi muda."
Adegan 'penyimpangan seksual'

Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan menganggap pemutaran film ini berdampak pada keresahan masyarakat karena adegan penyimpangan seksual yang ditayangkan di film tersebut dapat mempengaruhi cara pandang atau perilaku masyarakat, terutama generasi muda.
"Terutama dalam kaitannya adanya perilaku seks menyimpang, yang itu tentu rentan dan dikhawatirkan akan menjadi suatu pembenaran bagi generasi muda yang tidak memahami," ujar Muda.
Padahal, Lembaga Sensor Film (LSF) menyatakan film ini lolos sensor. Ketua LSF Ahmad Yani Basuki beralasan meloloskan film ini karena dianggap mengandung nilai edukasi.

Film ini mengisahkan perjalanan Juno berpindah dari satu komunitas ke komunitas yang lain, setelah ditinggal ayahnya yang trauma dengan tudingan komunis yang ditujukan kepadanya. FOURCOLOURS FILMS

Sutradara Garin Nugroho mengatakan bertubi-tubinya pelarangan penayangan yang ditujukan terhadap filmnya dari berbagai pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sejumlah daerah menunjukkan "kemerosotan terhadap penghormatan cultural diversity dan demokratisasi."
"Jadi sebenarnya saya adalah korban dari apa yang disebut dengan demokratisasi dari massa yang banal," ujar Garin.
Selain itu, menurut Garin, menjamurnya politik identitas membuat semua kelompok, baik kaum mayoritas maupun minoritas, mulai sangat radikal.
 "Kucumbu terperangkap di tengah era dari apa yang disebut dengan politik identitas itu sendiri."
Sayangnya, sebelum pelarangan penayangan, Garin menuturkan dirinya tidak pernah diajak dialog oleh para pemimpin daerah dan pemuka agama yang melarang filmnya.

Padahal, Garin menuturkan, daftar panjang film-film bertema gender dan seksualitas ada dalam sejarah perfilman Indonesia. Seperti film Akulah Vivian dan Istana Kecantikan di tahun 80-an, disusul karya-karya baru yang muncul kemudian, banyak yang mengulas LGBT.

Sejak ditayangkan mulai 18 April, pemerintah di beberapa kota langsung melarang penanyangan film ini. Seperti yang terjadi di Depok, Bekasi, Garut, Palembang, Pontianak, Kubu Raya, Pekanbaru dan yang terakhir di Padang. FOURCOLOURS FILMS

"Sehingga dalam perspektif sejarah pun mengagetkan reaksi publik sekarang jauh lebih merosot dibanding apa yang disebut kematangan penonton sebelumnya.

Ben Murtagh, dosen di School of Oriental and African Studies, Inggris dalam bukunya "Gender and Sexualities in Indonesian Cinema: Constructing gay, lesbi and waria identities on screen" bahkan mencatat gay, lesbian dan waria sudah meramaikan layar lebar Indonesia sejak tahun 70-an.

Kehadiran mereka dalam dunia film, tak banyak menuai protes seperti sekarang.

Istana Kecantikan yang ditayangkan tahun 1988 dianggap sebagai salah satu film yang paling sering dirujuk ketika membahas soal penggambaran gay di sinema Indonesia.

Film yang dibintangi aktor Mathias Muchus ini juga menjadi film Indonesia pertama yang menyebut kata "gay" dalam dialognya.

Bukan untuk ditonton anak-anak dan remaja

Ketua LSF Ahmad Yani Basuki mengungkapkan kegaduhan muncul setelah beredarnya trailer film Kucumbu Tubuh Indahku yang belum disensor oleh LSF. Trailer itu diedarkan melalui platform YouTube dan bisa ditonton secara bebas oleh khalayak umum tanpa batasan usia.

Padahal, LSF kemudian meloloskan film ini untuk ditonton oleh dewasa dan tidak layak ditonton oleh anak-anak dan remaja.
"Untuk anak-anak dan remaja, film ini memang tidak layak. Tetapi kalau untuk dewasa, LSF memandang ini ada nilai edukasinya. Ada muatan edukasi yang patut ditonton oleh orang-orang dewasa," jelas Yani.
Garin Nugroho berharap filmnya dapat mengungkap trauma tubuh, tentang perjalanan maskulin dan feminim dalam tubuh seorang penari. FOURCOLOURS FILMS

Menurutnya, "wajar kalau itu menimbulkan [kegaduhan] bahwa film ini tidak cocok untuk anak-anak atau remaja."
"Kami juga berusaha menjelaskan kepada publik, film ini secara proporsional," tuturnya.
Film ini mengisahkan kehidupan anak manusia bernama Wahyu Arjuno yang disapa Juno, yang pada masa kecilnya tidak memperoleh asuhan sebagaimana mestinya karena ketidakhadiran orang tuanya.

Kesendiriannya mengharuskannya untuk pindah dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain.

Perjalanan hidup membawanya ke lingkungan komunitas lengger lanang, tari tradisional asli Banyumas yang dimainkan oleh lelaki yang didandani dan menari layaknya perempuan. Di sini dia menjadi seorang penari yang harus tampil feminim sebagai penari yang lemah gemulai.

Perjalanan hidup Juno kemudian menjadikannya seorang gemblak, sebutan bagi anak muda laki-laki yang dianggap semacam 'kekasih' warok, tokoh dalam seni reog. FOURCOLOURS FILMS

Perjalanan hidup juga yang kemudian menjadikannya seorang gemblak, sebutan bagi anak muda laki-laki yang dianggap semacam 'kekasih' warok, tokoh dalam seni reog.
"Kehidupan ini secara umum untuk perkembangan anak dan remaja tidak lazim, tapi fenomena ini ada di tengah sudut kehidupan masyarakat."
"Ini sebetulnya ketika diangkat menjadi film ini, itu menjadi nilai edukasinya mengingatkan orang tua hati-hati ketika mendidik anak, jangan sampai salah asuh," kata Ketua LSF Ahmad Yani.

Metafora trauma tubuh

Namun, sang sutradara, Garin Nugroho yang kerap mengusung tema sensitif dalam film-filmnya mengungkapkan, film garapannya kali ini ingin mendedah trauma tubuh, tentang perjalanan maskulin dan feminim dalam tubuh seorang penari, Rianto, yang menjadi inspiratornya.
"Tema saya tentang trauma tubuh yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam film ini. karena tokohnya seorang penari, maka trauma tubuhnya menyangkut maskulin dan feminim."
Rianto yang menjadi inspirator Garin dalam film Kucumbu Tubuh Indahku juga berakting di film tersebut. FOURCOLOURS FILMS
"Tentang LGBT pasti menjadi bagian dari persoalan feminim dan maskulin itu. Oleh karena itu harus dimunculkan dan dialogkan."
Trauma 'tubuh' yang dimaksud Garin, bukan hanya tubuh secara fisik, tapi juga metafora. Selain tentang gender dan seksualitas, ia juga menyinggung memori sebuah bangsa yang dikubur dan enggan dibicarakan karena menimbulkan trauma.

Itu adalah 'tubuh personal' si penari, 'tubuh sosial'-nya, menyangkut perjalanan hidupnya beradaptasi dengan lingkungan yang satu dengan yang lain dan 'tubuh politik', yakni tudingan komunis yang ditujukan oleh ayahnya yang membuatnya trauma dan membayangi perjalanan hidupnya.
"Jadi ada sebuah tubuh dengan trauma-traumanya dan ada bangsa yang tidak memecahkan trauma-traumanya dan melahirkan trauma yang menjadi penyakit bersama bangsa ini," jelas Garin.
Lebih jauh, Garin menuturkan, selain mengisahkan perjalanan hidup si penari, karya ini juga tumbuh dari sebuah riset tentang dualisme gender dalam berbagai aspek kehidupan, baik alam semesta, maupun seni tradisi yang sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa.

Garin Nugroho mengungkapkan, film garapannya kali ini ingin mendedah trauma tubuh, tentang perjalanan maskulin dan feminim dalam tubuh seorang penari yang menjadi inspiratornya. BBC INDONESIA

Pemilihan lengger dan reog merupakan usaha Garin mendekatkan tema-tema tersebut pada penonton.

Lewat tokoh warok yang menjadikan Juno sebagai gemblaknya, Garin membuat pernyataan bahwa hubungan sesama jenis bukan hal baru dalam budaya Indonesia.

Bahkan, kisah penari lengger dipilih untuk menjadi contoh keberagaman ekspresi seksual. Lengger merupakan kesenian yang ditarikan lelaki dengan berdandan ala perempuan.

Kesenian ini sudah hadir di tengah masyarakat Banyumas sejak lama dan tercatat dalam Serat Centhini yang keluar pada 1814.

Feminisme dan maskulinitas dalam tubuh penari

Didik Nini Thowok, penari yang sudah sekian lama mempraktikan tarian lintas gender mengungkapkan alasan di balik mengapa dahulu kala, banyak pria yang menari layaknya perempuan.

Contohnya, dalam wayang wong gaya Yogyakarta yang dipentaskan pada masa Sultan Hamengkubuwono VII pada Abad 19, tokoh perempuan dalam kisah itu diperankan oleh laki-laki untuk menjaga citra perempuan kala itu.
"Wanita pada zaman itu kalau tampil di depan umum imejnya jelek. Makanya wanita digantikan perannya oleh laki-laki," jelas seniman yang kini tinggal di Yogyakarta itu.
Didik Nini Thowok adalah salah satu seniman dan koreografer yang mempopulerkan seni lintas gender di Indonesia. KOMUNITAS SALIHARA/WITJAK WIDHI CAHYA 

Hal yang sama juga diterapkan dalam seni lengger yang berasal dari Banyumas, Jawa Tengah.

Bahkan, ada satu desa di Banyumas yang hingga kini masih mempertahankan tradisi tarian lengger untuk keperluan ritual, harus dilakukan oleh penari pria.
"Kalau yang menarikan wanita, pasti ada malapetaka, mana yang panggungnya jebol, mana yang hujan angin, macam-macam," kata dia
Sama dengan film-film bertema gender, Didik yang sudah berpuluh-puluh tahun mempraktikkan tarian lintas gender mengaku, baru akhir-akhir ini muncul pelarangan untuk pentas di televisi.
"Mereka itu harusnya memahami budaya, karena ini kaitannya dengan seni budaya, dan juga sebaiknya belajar dulu. Karena apa yang saya lakukan membawakan tari cross-gender adalah tradisi yang sudah lama di Indonesia,"
Bahkan, stereotip penari pria yang lemah gemulai, identik dengan homoseksual kian menggejala.

Dia was-was jika stereotip buruk terus dicapkan pada seni tradisi ini, alih-alih tradisi ini justru tergerus zaman.
"Kalau kemudian itu banyak orang yang semakin melarang tradisi semacam ini ya selesai sudah," cetusnya.

Sabtu, 11 Mei 2019

Kisah Musa dan Abrohah di Wayang Santri


WAYANG SANTRI: Pementasan Wayang Santri yang direaktualiai dalang Wido Seno Aji dari alm. Entus Susmono (11/5) di Panggung Terbuka Ratih TV Kebumen [Foto: AP]

Reaktualisasi kisah-kisah klasik dalam konteks kekinian rupanya tengah menjadi upaya intens dari narasi panjang pembaharuan jagad pentas seni tradisional yang satu ini. Adalah Wido Senoaji, sang dalang dari Ambal yang mencoba bertutur melalui pilihan media Wayang Santri dengan cara mendalang selain wayang kulit pakeliran.

Meskipun sang Wido bukan perintis pembaharu Wayang Santri, namun selama puluhan tahun sang dalang telah memainkan wayang golek lintas kampung; sebagai basis berkesenian yang menjadi pilihannya.

Dalam konteks Kebumen, tumbuh kembang pewayangan bercorak ‘pesisiran’ ini mengingatkan pada tokoh dalang Sindu yang populis pada masa lalu. Pada era berikutnya, dalang Ki Basuki Hendro Prayitno memainkannya pula. Namun, secara khusus Wayang Santri yang -boleh jadi- metamorphose dari  Wayang Sadat (Sutarjo, 2019); adalah corak warna lainnya. Dalam hal ini, Wido Seno Aji membukakan kredo mendalangnya.
“Saya berguru dan meniru jejak dalang (alm_Red) Entus Susmono”, akunya di sela pentas (11/5) pada panggung terbuka Ratih TV Kebumen.
Selama 10 tahun Wido “nyantrik” pada dalang kondang yang semasa hidupnya sempat menjabat bupati Tegal itu. Bedanya, pentas Wayang Santri sang “suhu” dari tlatah Pantura itu lebih fokus mengelaborasi kisah-kisah klasik ‘pesisiran’ Jawa. Meski begitu, dalam pementasan wayang golek, Wido Seno Aji telah mulai menekuninya sejak usianya masih anak-anak.

Musa dan Abrohah

Kalau Wayang Golek pada umumnya mengambil cerita dari Babad Persia seperti Kisah Menak atau dalam ‘akulturasi’ lain berpakem pada Serat Panji, maka Wayang Santri yang dimainkan Wido mengambil narasi yang berbeda. Reaktualisasi ‘kisah nabi’ atau ‘kisah klasik’ Mesir lama yang dituturkan dalam pentasnya, diakuinya sebagai upaya korelatif menyesuaikan dengan konteks jaman dan situasi tertentu; seperti puasa atau lainnya.

Demikian pula dalam soal memilih tokoh-tokoh Wayang Santrinya. Wido tak mengambil resiko dengan sepenuhnya menampilkan ‘tokoh-tokoh Mesir’, melainkan dengan tak meninggalkan penokohan dalam terminologi wayang Jawa. Basis argumen Wido dalam soal pilihan tokoh wayang santrinya lebih pada pendekatan yang mewakili gambaran watak secara umum.
“Fir’aun jadi seperti buto Cakil..”, komentar Krisnajati dari sisi penonton. “Padahal tak ada Cakil dikenal di Mesir”, imbuhnya.

MUSA-FIR’AUN: Penggalan episode Kisah Musa dalam pementasan Wayang Santri yang dinarasikan “Dalang Ambal” Ki Wido Seno Aji (11/5) [Foto: AP] 

Barangkali ini memang hasil dari proses re-interpretasi dan itu tak diharamkan dalam disiplin berkesenian; dan dari aspek pengembangan jadi sah-sah saja. Ada semacam tesis yang menguatkan manifestasinya. Bahwa pengembangan seni tradisi itu mengacu pada dua prasyarat: keberanian berinovasi dan improvisasi dalam konteks relasi zaman (Hendroprayitno, Basuki, 2018). Ki dalang Basuki ini juga mengelaborasi lakon-lakon Carangan berbasis sejarah lokal, seperti Kolopaking Arumbinang lainnya.

Kisah-kisah klasik Mesir, sebagaimana juga kisah-kisah nabi, bukan lah monopoli yang dinarasikan dalam lakon wayang golek tertentu –wayang sadat maupun wayang santri- melalui pentas-pentasnya; termasuk episode Kisah Musa, Fir’aun dan Raja Abrohah.

Wayang Santri dan Visi Pembaharu

Sang Wido Seno Aji, selain sebatas mengikuti jejak guru wayang santrinya, ia belum sampai meradikalisasi pembaharuan. Padahal sebagai sebuah corak baru, wayang santri relatif terbuka peluangnya. Bagaimana kehadirannya dapat diterima khalayak luas, termasuk generasi milenial hari ini, menjadi tema perbincangan tersendiri para pemerhatinya.

Ada yang secara umum tengah menjadi upaya panjang kalangan pelaku seni tradisi ini. Tetapi fokusnya lebih pada komposisi kemasan dan proporsi yang dianggap paling utama: sebagai tuntunan dan tontonan. Rupanya orientasi para pelaku cenderung lebih mengarah pada pilihan kedua. Orientasi ini menghasilkan porsi hiburan yang lebih banyak ketimbang gambaran visi pembaharuan aspek yang lebih mendasar.

PORSI HIBURAN: Penambahan durasi hiburan seperti ini, secara umum, lebih mengedepan dalam event pementasan seni tradisi; sebuah upaya umum pembaharuan? [FOTO: AP] 

Menurut Jatmiko (Krisnajati, 2019) Wayang Santri memberikan gambaran umum (wewayangan_Jw) tentang kehidupan manusia pencari ilmu (santri) yakni ngelmu kaweruh kebajikan. Audiens, sesuai fitrah dan kapasitas ilmiahnya, dapat mengambil hikmah suri-tauladan dari cerita ‘islami’ yang disajikan sang Dalang.

Dalam porsi sajian tertentu, capaian dimaksud menjadi target setiap pementasan, tak terkecuali untuk episode Kisah Musa dan Abrohah; yang dinarasikan Wido dengan menyertakan “gamelan pitu” (7 instrument_Red) iringan pentasnya. Namun yang terjadi secara keseluruhan bukan lah bobot kualitas dalam konteks pembaharuan konsepsinya. Melainkan penambahan porsi hiburan (aspek tontonan_Red) lebih banyak dari aspek narasi, yang seharusnya sebagai penguatan substansi tuntunan. [ap]

Sabtu, 04 Mei 2019

Ketoprak Jawa Pernah Dibunuh Dua Kali


Mahandis Yoanata Thamrin - Sabtu, 4 Mei 2019 | 09:00 WIB 

Adegan tawur atau perang menjadi daya tarik pemirsanya. Pemain ketoprak membutuhkan kekuatan otot dan nyali. Tidak seperti tayangan film atau sinetron, sedikit lengah badan pemain pun memar.

Meskipun kesenian ketoprak merupakan tradisi masyarakat agraris, sejarah lahirnya kesenian ketoprak modern tak bisa lepas dari peran Keraton Kasunanan Surakarta pada awal abad ke-20.

Kristian Haryanto, anggota Dewan Kesenian Surakarta dan salah satu pemain gender terbaik di kota itu, mengatakan bahwa seorang pejabat Kasunanan telah membina seniman-seniman ketoprak lesung, kemudian mementaskan di kediamannya pada 1908. Pentas mereka masih menggunakan lesung, belum menggunukan iringan gamelan.

Baru pada periode 1925-26, pertunjukan ketoprak tak hanya menggunakan iringan musik lesung, tetapi juga gamelan sederhana—juga alat musik gesek dan petik dari Eropa. Tema cerita, tata kostum dan tata pentas pun mengalami kemajuan.

Berbeda dengan wayang orang atau wayang kulit yang menggunakan sumber ceritanya dari epos Mahabarata atau Ramayana, ketoprak melakonkan peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasanya sangat cair.

Kristian mengungkapkan bahwa pada masa itu pernah ada lakon yang mengangkat tentang kehidupan perselingkuhan antara istana dan pejabat Belanda. Juga, tema-tema pergerakan menentang penguasa kolonial. 
“Itu menarik sekali, sebenarnya cerita itu adalah sindiran juga kepada penguasa.”
 “Akhirnya ketoprak pernah tidak diperkenankan di lingkungan keraton,” ujarnya. ”Namun, di perdesaan masih banyak yang mementaskan.” Meskipun bersifat lokal, pelarangan pertunjukan ketoprak di zaman Hindia Belanda itu menjadi skenario “pembunuhan” pertama yang dialami kelompok kesenian tradisi ini
Pada 1955-65 kelompok ketoprak telah terbagi dua aliran: PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berafiliasi dengan Lembaga Ketoprak Nasional, dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berafiliasi LEKRA (Lembaga Kebudajaan Rakjat). 
BAKOKSI (Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia)—yang berhalauan komunis—telah menaungi paguyuban ketoprak dari 275 paguyuban pada 1957 menjadi  371 paguyuban pada 1964.

Boleh dikata, kesenian ketoprak sangat diperhatikan saat itu, bahkan lakon-lakon ketoprak kerap menjadi alat propaganda politik. Namun, terjerumusnya kesenian ketoprak dalam politik telah membuat pada akhirnya meredup kembali. Pembersihan komunis telah turut menciduk seniman-seniman ketoprak—yang sesungguhnya tidak tahu menahu soal organisasi komunis.

Mereka dicari, diasingkan, bahkan dibunuh atau dihilangkan pada periode 1965-1967. Ketakutan pun melanda semua seniman ketoprak. Keterlibatan ketoprak dalam panggung politik pada awal Republik ini berdiri yang akhirnya membinasakan ketoprak itu sendiri—dan juga nyawa para senimannya.

Seorang pemain ketoprak tengah merentang kain jarik yang menjadi busana panggungnya.

Pada dekade 1970-an, menurut Kristian,  ketoprak banyak digunakan untuk kampanye berbagai lembaga pemerintah di tingkat daerah untuk wahana penerangan, cara hidup sehat, dan Program Keluarga Berencana, Penataran Pancasila, sampai perayaan hari-hari besar nasional.
“Satu-satunya corong paling cerdas dan mudah ditangkap masyarakat adalah ketoprak,” ungkapnya.
Kristian menjelaskan fenomena modernisasi ketoprak yang terjadi periode 2000-an. Dalam tayangan media televisi ketoprak kadang tidak lagi menggunakan tembang-tembang klasik, atau bahkan merubah alur dengan menempatkan dagelan sebagai pembuka.

Berkembangnya modernisasi ketoprak itu juga karena pengaruh media televisi bermodal kuat yang mampu mendatangkan artis dalam ketoprak
 “Kesenian itu sudah tidak diminati oleh masyarakat,” ujarnya, “tetapi bagaimana peran media membangkitkan semangat ketoprak di masyarakat.”