Ayomi Amindoni - BBC News
Indonesia
15 Mei 2019
Film Kucumbu Tubuh Indahku garapan sutradara kawakan Garin Nugroho
ditolak penayangannya di beberapa daerah karena dianggap "mengkampanyekan
LGBT". Padahal, film bertema gender ini justru mendedah lebih dalam
tentang trauma tubuh dan feminitas-maskulinitas dalam tubuh penari. FOURCOLOURS
FILMS
Kini, membuka ruang untuk membicarakan suatu hal yang
traumatis berisiko antipati dari khalayak, di tengah "anarkisme massa dan
politik identitas". Setidaknya itu yang dialami oleh sutradara kawakan
Garin Nugroho tentang film terbarunya, Kucumbu Tubuh Indahku.
Respons terhadap film Kucumbu Tubuh Indahku di
bioskop-bioskop Indonesia rupanya tak seperti saat film tayang di berbagai
festival di luar negeri. Alih-alih mendapatkan pujian, seperti ketika film ini
meraih penghargaan Asia Pacific Screen Awards, film ini malah mendapat kecaman
hingga petisi online pemboikotan.
Film yang menampilkan peleburan maskulin dan feminin
dalam tubuh karakter utamanya dianggap mengangkat budaya LGBT secara
berlebihan.
Sejak ditayangkan mulai 18 April, pemerintah di beberapa
kota langsung melarang penanyangan film ini. Seperti yang terjadi di Depok,
Bekasi, Garut, Palembang, Pontianak, Kubu Raya, Pekanbaru dan yang terakhir di
Padang.
Meski kebanyakan dari mereka belum menonton film ini,
mereka sepemahaman, bahwa film ini dipandang "mengandung unsur LGBT yang
bertentangan dengan nilai-nilai agama dan merusak generasi muda."
Adegan 'penyimpangan seksual'
Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan menganggap pemutaran
film ini berdampak pada keresahan masyarakat karena adegan penyimpangan seksual
yang ditayangkan di film tersebut dapat mempengaruhi cara pandang atau perilaku
masyarakat, terutama generasi muda.
"Terutama dalam kaitannya adanya perilaku seks
menyimpang, yang itu tentu rentan dan dikhawatirkan akan menjadi suatu
pembenaran bagi generasi muda yang tidak memahami," ujar Muda.
Padahal, Lembaga Sensor Film (LSF) menyatakan film ini
lolos sensor. Ketua LSF Ahmad Yani Basuki beralasan meloloskan film ini karena
dianggap mengandung nilai edukasi.
Film ini mengisahkan perjalanan Juno berpindah dari satu komunitas ke
komunitas yang lain, setelah ditinggal ayahnya yang trauma dengan tudingan
komunis yang ditujukan kepadanya. FOURCOLOURS FILMS
Sutradara Garin Nugroho mengatakan bertubi-tubinya
pelarangan penayangan yang ditujukan terhadap filmnya dari berbagai pemerintah
dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di sejumlah daerah menunjukkan
"kemerosotan terhadap penghormatan cultural diversity dan
demokratisasi."
"Jadi sebenarnya saya adalah korban dari apa yang
disebut dengan demokratisasi dari massa yang banal," ujar Garin.
Selain itu, menurut Garin, menjamurnya politik identitas
membuat semua kelompok, baik kaum mayoritas maupun minoritas, mulai sangat
radikal.
"Kucumbu terperangkap di tengah era dari apa yang
disebut dengan politik identitas itu sendiri."
Sayangnya, sebelum pelarangan penayangan, Garin
menuturkan dirinya tidak pernah diajak dialog oleh para pemimpin daerah dan
pemuka agama yang melarang filmnya.
Padahal, Garin menuturkan, daftar panjang film-film
bertema gender dan seksualitas ada dalam sejarah perfilman Indonesia. Seperti
film Akulah Vivian dan Istana Kecantikan di tahun 80-an, disusul karya-karya
baru yang muncul kemudian, banyak yang mengulas LGBT.
Sejak ditayangkan mulai 18 April, pemerintah di beberapa kota langsung
melarang penanyangan film ini. Seperti yang terjadi di Depok, Bekasi, Garut,
Palembang, Pontianak, Kubu Raya, Pekanbaru dan yang terakhir di Padang. FOURCOLOURS
FILMS
"Sehingga dalam perspektif sejarah pun mengagetkan
reaksi publik sekarang jauh lebih merosot dibanding apa yang disebut kematangan
penonton sebelumnya.
Ben Murtagh, dosen di School of Oriental and African
Studies, Inggris dalam bukunya "Gender and Sexualities in Indonesian
Cinema: Constructing gay, lesbi and waria identities on screen" bahkan
mencatat gay, lesbian dan waria sudah meramaikan layar lebar Indonesia sejak
tahun 70-an.
Kehadiran mereka dalam dunia film, tak banyak menuai protes
seperti sekarang.
Istana Kecantikan yang ditayangkan tahun 1988 dianggap
sebagai salah satu film yang paling sering dirujuk ketika membahas soal
penggambaran gay di sinema Indonesia.
Film yang dibintangi aktor Mathias Muchus ini juga
menjadi film Indonesia pertama yang menyebut kata "gay" dalam
dialognya.
Bukan untuk
ditonton anak-anak dan remaja
Ketua LSF Ahmad Yani Basuki mengungkapkan kegaduhan
muncul setelah beredarnya trailer film Kucumbu Tubuh Indahku yang belum
disensor oleh LSF. Trailer itu diedarkan melalui platform YouTube dan bisa
ditonton secara bebas oleh khalayak umum tanpa batasan usia.
Padahal, LSF kemudian meloloskan film ini untuk ditonton
oleh dewasa dan tidak layak ditonton oleh anak-anak dan remaja.
"Untuk anak-anak dan remaja, film ini memang tidak
layak. Tetapi kalau untuk dewasa, LSF memandang ini ada nilai edukasinya. Ada
muatan edukasi yang patut ditonton oleh orang-orang dewasa," jelas Yani.
Garin Nugroho berharap filmnya dapat mengungkap trauma tubuh, tentang
perjalanan maskulin dan feminim dalam tubuh seorang penari. FOURCOLOURS FILMS
Menurutnya, "wajar kalau itu menimbulkan [kegaduhan]
bahwa film ini tidak cocok untuk anak-anak atau remaja."
"Kami juga berusaha menjelaskan kepada publik, film
ini secara proporsional," tuturnya.
Film ini mengisahkan kehidupan anak manusia bernama Wahyu
Arjuno yang disapa Juno, yang pada masa kecilnya tidak memperoleh asuhan
sebagaimana mestinya karena ketidakhadiran orang tuanya.
Kesendiriannya mengharuskannya untuk pindah dari satu
lingkungan ke lingkungan yang lain.
Perjalanan hidup membawanya ke lingkungan komunitas
lengger lanang, tari tradisional asli Banyumas yang dimainkan oleh lelaki yang
didandani dan menari layaknya perempuan. Di sini dia menjadi seorang penari
yang harus tampil feminim sebagai penari yang lemah gemulai.
Perjalanan hidup Juno kemudian menjadikannya seorang gemblak, sebutan
bagi anak muda laki-laki yang dianggap semacam 'kekasih' warok, tokoh dalam
seni reog. FOURCOLOURS FILMS
Perjalanan hidup juga yang kemudian menjadikannya
seorang gemblak, sebutan bagi anak muda laki-laki yang dianggap semacam
'kekasih' warok, tokoh dalam seni reog.
"Kehidupan ini secara umum untuk perkembangan anak
dan remaja tidak lazim, tapi fenomena ini ada di tengah sudut kehidupan
masyarakat."
"Ini sebetulnya ketika diangkat menjadi film ini,
itu menjadi nilai edukasinya mengingatkan orang tua hati-hati ketika mendidik
anak, jangan sampai salah asuh," kata Ketua LSF Ahmad Yani.
Metafora trauma
tubuh
Namun, sang sutradara, Garin Nugroho yang kerap mengusung
tema sensitif dalam film-filmnya mengungkapkan, film garapannya kali ini ingin
mendedah trauma tubuh, tentang perjalanan maskulin dan feminim dalam tubuh
seorang penari, Rianto, yang menjadi inspiratornya.
"Tema saya tentang trauma tubuh yang dialami oleh
tokoh-tokoh dalam film ini. karena tokohnya seorang penari, maka trauma
tubuhnya menyangkut maskulin dan feminim."
Rianto yang menjadi inspirator Garin dalam film Kucumbu Tubuh Indahku
juga berakting di film tersebut. FOURCOLOURS FILMS
"Tentang LGBT pasti menjadi bagian dari persoalan
feminim dan maskulin itu. Oleh karena itu harus dimunculkan dan
dialogkan."
Trauma 'tubuh' yang dimaksud Garin, bukan hanya tubuh
secara fisik, tapi juga metafora. Selain tentang gender dan seksualitas, ia
juga menyinggung memori sebuah bangsa yang dikubur dan enggan dibicarakan
karena menimbulkan trauma.
Itu adalah 'tubuh personal' si penari, 'tubuh
sosial'-nya, menyangkut perjalanan hidupnya beradaptasi dengan lingkungan yang
satu dengan yang lain dan 'tubuh politik', yakni tudingan komunis yang
ditujukan oleh ayahnya yang membuatnya trauma dan membayangi perjalanan
hidupnya.
"Jadi ada sebuah tubuh dengan trauma-traumanya dan
ada bangsa yang tidak memecahkan trauma-traumanya dan melahirkan trauma yang
menjadi penyakit bersama bangsa ini," jelas Garin.
Lebih jauh, Garin menuturkan, selain mengisahkan
perjalanan hidup si penari, karya ini juga tumbuh dari sebuah riset tentang
dualisme gender dalam berbagai aspek kehidupan, baik alam semesta, maupun seni
tradisi yang sudah menjadi bagian dari sejarah bangsa.
Garin Nugroho mengungkapkan, film garapannya kali ini ingin mendedah
trauma tubuh, tentang perjalanan maskulin dan feminim dalam tubuh seorang
penari yang menjadi inspiratornya. BBC INDONESIA
Pemilihan lengger dan reog merupakan usaha Garin
mendekatkan tema-tema tersebut pada penonton.
Lewat tokoh warok yang menjadikan Juno sebagai
gemblaknya, Garin membuat pernyataan bahwa hubungan sesama jenis bukan hal baru
dalam budaya Indonesia.
Bahkan, kisah penari lengger dipilih untuk menjadi contoh
keberagaman ekspresi seksual. Lengger merupakan kesenian yang ditarikan lelaki
dengan berdandan ala perempuan.
Kesenian ini sudah hadir di tengah masyarakat Banyumas
sejak lama dan tercatat dalam Serat Centhini yang keluar pada 1814.
Feminisme dan
maskulinitas dalam tubuh penari
Didik Nini Thowok, penari yang sudah sekian lama
mempraktikan tarian lintas gender mengungkapkan alasan di balik mengapa dahulu
kala, banyak pria yang menari layaknya perempuan.
Contohnya, dalam wayang wong gaya Yogyakarta yang
dipentaskan pada masa Sultan Hamengkubuwono VII pada Abad 19, tokoh perempuan
dalam kisah itu diperankan oleh laki-laki untuk menjaga citra perempuan kala
itu.
"Wanita pada zaman itu kalau tampil di depan umum
imejnya jelek. Makanya wanita digantikan perannya oleh laki-laki," jelas
seniman yang kini tinggal di Yogyakarta itu.
Didik Nini Thowok adalah salah satu seniman dan koreografer yang
mempopulerkan seni lintas gender di Indonesia. KOMUNITAS SALIHARA/WITJAK WIDHI CAHYA
Hal yang sama juga diterapkan dalam seni lengger yang
berasal dari Banyumas, Jawa Tengah.
Bahkan, ada satu desa di Banyumas yang hingga kini masih
mempertahankan tradisi tarian lengger untuk keperluan ritual, harus dilakukan
oleh penari pria.
"Kalau yang menarikan wanita, pasti ada malapetaka,
mana yang panggungnya jebol, mana yang hujan angin, macam-macam," kata
dia
Sama dengan film-film bertema gender, Didik yang sudah
berpuluh-puluh tahun mempraktikkan tarian lintas gender mengaku, baru
akhir-akhir ini muncul pelarangan untuk pentas di televisi.
"Mereka itu harusnya memahami budaya, karena ini
kaitannya dengan seni budaya, dan juga sebaiknya belajar dulu. Karena apa yang
saya lakukan membawakan tari cross-gender adalah tradisi yang sudah
lama di Indonesia,"
Bahkan, stereotip penari pria yang lemah gemulai, identik
dengan homoseksual kian menggejala.
Dia was-was jika stereotip buruk terus dicapkan pada seni
tradisi ini, alih-alih tradisi ini justru tergerus zaman.
"Kalau kemudian itu banyak orang yang semakin
melarang tradisi semacam ini ya selesai sudah," cetusnya.