Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Kamis, 02 Mei 2013

Pergelaran Wayang Golek Menak Kebumen



Wayang Golek Menak Kebumen adalah salah satu jenis wayang golek yang sumber ceritanya bersumber pada Hikayat Hamzah, Regester Menak baik yang berbentuk sekar maupun gancaran yang terdiri dari 24 episode. Cerita-cerita tersebut berkembang turun-temurun secara tradisi lisan. Cerita menak yang terdapat di Kebumen juga berkembang karena kreativitas dalang yang melakukan inovasi cerita dengan menambah lakon-lakon carangan sesuai dengan kemampuan dalang masing-masing, dengan demikian dimungkinkan ada perbedaan lakon dari dalang yang satu dengan dalang yang lain.

Wayang golek Menak Kebumen berbentuk tiga demensi. Bahan utama pembuatan kepala, badan, dan tangan dari kayu jaranan, weru, atau sengon laut. Busana bagian atas menggunakan kain beludru yang dihias manik-manik payet, dan benang emas, sedangkan busana bawah biasanya menggunakan kain bermotif batik. Sampur menggunakan kain jenis sifon, bisa juga menggunakan kain santung. Gapit atau tangkai wayang sebagai pegangan, sekaligus poros penggerak kepala tersebut dari bambu, kayu pinang, dan sejenisnya. Demikian juga tuding yang digunakan sebagai alat untuk menggerakkan tangan. Pewarnaan wayang menggunakan bahan baku dari cat tembok yang dicampur dengan lem kayu dan inti warna (pigmen).

Iringan wayang golek Kebumen menggunakan perangkat gamelan ageng slendro dan pelog yang terbagi menjadi 3 (tiga) pathet yaitu pathet nem, sanga, dan manyura. Gendhing-gendhing, dan sulukan wayang golek Kebumen mempunyai ciri garap khusus yang tidak sama dengan iringan wayang kulit terutama pada bentuk srepeg yang masing-masing berperan sesuai dengan kebutuhannya. Sebagai contoh untuk mengiringi adegan perang tiap-tiap pathet mempunyai iringan masing-masing, demikian juga untuk mengiringi adegan perang putri. Gendhing yang digunakan untuk mengiringi adegan sama dengan iringan wayang kulit.

Pertunjukan wayang Golek Kebumen dipergelarkan sesuai dengan kebutuhan penanggap, dapat dilaksanakan satu hari satu malam, satu malam saja, dan 2 (dua) sampai 4 (empat) jam. Tetapi yang masih berlaku sampai saat ini dilaksanakan satu hari satu malam yaitu siang pukul 11.00 - 17. 00, dilanjutkan pada malam harinya pk 20.00 - 05.00

Wayang golek Kebumen dipertunjukkan untuk upacara perhelatan seperti khitanan, pernikahan, kelahiran dan sebagainya, juga dipertunjukkan dalam rangka upacara tradisi desa bersih dusun, dan acara-acara pemerintah.

Cerita Wayang Golek Kebumen

Cerita Menak di Jawa paling awal diperkirakan berasal dari zaman pemerintahan Sultan Agung Mataram (1613 - 1645), dari sumber Melayu diperkirakan bahwa penulisan Menak terjadi pada abad XV dan XVI. Hal ini didasarkan pada penggunaan kata Menak Jingga dalam Serat Damarwulan, dalam sastra jawa pertengahan, yaitu sastra kidung, telah terdapat kata menak yang berarti berbudi luhur, mulia, tampan dsb. Hal ini dapat diperkirakan bahwa penulisan dari sumber Melayu kemungkinan dibuat pada abad XV atau XVI.

Cerita menak tersebut luas dikenal melalui saduran R.Ng Yasadipura I, Ia mendasarkan karyanya pada versi Kartasura tulisan Ki Carik Narawitan. Tulisan-tulisan yang dianggapnya masih sederhana kemudian dikembangkan oleh R. Ng Yasadipura I dengan perluasan-perluasan, dan penambahan-penambahan, kendati demikian garis besar cerita masih sangat dekat dengan sumber cerita Melayu.

Balai Pustaka mencetak cerita Menak dalam tulisan Jawa berdasarkan naskah versi macapat antara th 1933 s/d 1941 M dari teks Yasadipura I dalam 24 bagian (46 jilid) Bagian-bagian tersebut masing-masing diberi nama berdasarkan tokoh utama atau tempat yang paling penting, yaitu:
1. Menak Sareh.
2. Menak Lare
3. Menak Srandhil
4. Menak Sulub
5. Menak Ngajrak
6. Menak Demis
7. Menak Kaos
8. Menak Kuristam
9. Menak Biraji
10 Menak Kanin
11 Menak Gandrung
12 Menak Kanjun
13. Menak Kandhabumi
14. Menak Kuwari
15. Menak Cina
16. Menak Malebari
17. Menak Purwakanda
18. Menak Kustub
19. Menak Kalakodrat
20. Menak Sorangan
21. Menak Jamintoran
22. Menak Jaminambar
23. Menak Talsamat
24. Menak Lahat

Dari cerita-cerita tersebut diatas oleh dalang wayang golek Kebumen diolah menjadi lakon wayang golek menurut kemampuan masing-msing dalang membuat struktur adegan dan membuat sanggitnya. Untuk itu tidak jarang terjadi dalam satu judul lakon yang sama dengan dalang yang berbeda akan berbeda pula garap adegan ataupun sanggitnya.

Sindu Jataryana seorang dalang dari Mirit yang pernah mendapat tempat di hati masyarkat pendukung wayang golek di Kebumen dan sekitarnya pernah menggelar lakon yang tidak terdapat dalam bagian-bagian lakon menak seperti;
1. Ngembajati
2. Dewi Nawangwulan
3. Dewi Mandhaguna-Mandhagini
4. Mandarpaes
5. Jayengrana Wayuh
6. Gendreh Kemasan
7. Bambang Sekethi Lahir
8. Ganggamina-Ganggapati
9. Imanjaka Takon Bapa
10. Rasakusuma Takon Bapa
11. Kendhit Brayu
12. Ganggakesuma Takon Bapa
13. Dewi Sri
14. Umarmaya Kembar
15. Menak Sathit
16. Jayengrana Kembar
17. Iman Suwangsa Kembar
18. Kadarwati Ranjam
19. Pernah menyusun lakon yang bersarkan atas peristiwa orang bunuh diri dengan kereta api.
Lakon ini diminta khusus oleh penanggapnya.

Daerah Jawa mengenal adanya lakon-lakon yang tabu untuk dipergelarkan, karena beranggapan apabila mempergelarkan lakon tersebut akan mendapatkan petaka. Demikian halnya dengan pergelaran wayang golek menak di Kebumen ada beberapa lakon menak yang ditabukan seperti;
a. Umarmaya Ngemis
b. Menak Jaminambar
c. Menak laka
d. Bestak Bencek dan lain-lain

Sindu Jataryana adalah seorang dalang yang mengalami masa kejayaan di tahun 50 sampai dengan awal 80-an. Banyak peristiwa yang mendukungnya diantaranya:
a. Dalam rangka festival wayang Golek di Pekalongan tahun 1976.
b. Dalam rangka studi banding dengan wayang golek cepak dengan dalang Ki Ali Wijaya di Sragi tahun 1977.
c. Dalam rangka studi banding wayang menak di Jakarta tahun 1978.
d. Mendapat anugrah seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Nugraha Notosusanto).

Pergelaran Wayang Golek Menak di Kebumen

Pertunjukan wayang golek menak di Kebumen dilaksanakan pada siang dan malam yang memerlukan rentang waktu 6 sampai 8 jam. Siang hari dipergelarkan dari pukul 11.00 hingga 17.00, sedangkan pada malam hari pada pukul 21.00 hingga 05.00 yang masing-masing terbagi menjadi 3 (tiga) bagian pathet yaitu pathet nem, pathet sanga, dan Manyura. Sebelum pergelaran dimulai biasanya didahului dengan konser gendhing.

Iringan yang mendukung jalannya pertunjukan dengan menggunakan perangkat gamelan ageng slendro, dan pelog, tetapi gendhing-gendhing dan sulukan iringan wayang golek menak Kebumen mempunyai lagu khusus tidak seperti iringan wayang kulit gaya Yogyakarta atau Surakarta.

Terutama pada lagu sulukan dan srepeg yang digunakan sebagai iringan baku wayang golek Kebumen. Masing-masing srepeg mempunyai lagu, dan kegunaan yang berbeda sesuai dengan Kebutuhan masing-masing adegan sebagai contoh;

Srepeg Kembang jeruk nem digunakan sebagai Srepeg baku pada bagian pathet nem, Srepeg Kembang Jeruk Prang khusus digunakan pada adegan perang pada bagian pathet nem, Srepeg Kawosempal digunakan khusus untuk mengiringi adegan suasana sedih, untuk adegan perang pada bagian pathet sanga diiringi dengan Srepeg Rujak Beling pathet sanga, Srepeg semarangan digunakan untuk srambahan perjalanan tokoh gagah dan tokoh halus yang masing-masing mempunyai lagu sendiri-sendiri.

Srepek Rujak beling pathet manyura digunakan khusus sebagai iringan perang pada bagian pathet manyura, Srepeg Bribil Buntung digunakan apabila ada tokoh putri yang berperang, Srepek Adhuh-adhuh sebagai iringan baku pada bagian pathet manyura, dan Godril Ladrang digunakan sebagai iringan perang tokoh gecul.

Struktur adegan pada pergelaran wayang golek Kebumen menyesuaikan dengan lakon yang dipergelarkan. Tetapi pada awal pergelaran dapat dipisahkan selalu diawali dengan Jejer I, dengan diiringi Bondhet, gendhing kethuk kalih kerep, sebagai iringan tampilnya tokoh-tokoh yang menghadap raja, dan janturan adegan, sebagai iringan tampilnya tokoh-tokoh yang menghadap raja, dan Janturan adegan, dilanjutkan dengan Monggang Sekaten cengkok Kebumen untuk mengiringi tampilnya tokoh raja.

Tampilnya tokoh raja gagah dengan tarian kiprah biasa diiringi dengan Bendrong , lancaran.

Pergelaran wayang golek menak Kebumen tidak terdapat struktur adegan gara-gara seperti halnya wayang kulit, tetapi juga mengenal tokoh punakawan baku bernama Jiweng sebagai pamomong tokoh-tokoh protagonis seperti Iman Suwangsa, Umarmaya, Jayengrana, Jayusman dan lain sebagainya.

Perkembangan Pergelaran

Perjalanan waktu akan mendorong adanya perubahan terhadap sesuatu, demikian juga yang dilakukan oleh beberapa dalang wayang golek di Kebumen, seniman dalang tersebut mencoba mengadakan perubahan-perubahan dalam usaha mempopulerkan kembali pergelaran wayang golek menak Kebumen. Seniman dalang berharap akan wayang golek dapat menjadi pertunjukan yang elastis, dapat berdialog dengan masyarakat, mampu menampung aspirasi penggemarnya.

Tetapi usaha-usaha yang dilakukan masih sangat terbatas pada kulitnya saja belum dapat menyentuh pada esensi wayang golek menak itu sendiri. Sebagai contoh dengan di tambahkan adegan Limbukan yang mengalunkan lagu-lagu dangdut, dan campur sari, demikian juga pada bagian pathet sanga ditampilkan Jemblung Marmadi, dan Jiweng sebagai pengganti adegan gara-gara.

Minat Penonton

Masyarakat pendukung wayang golek Kebumen pada saat ini tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang cerita Menak. Lain halnya apabila dibandingkan dengan masyarakat pendukung wayang kulit, cerita Mahabarata dan Ramayana. Ujud dari tokoh wayang menak khususnya wayang golek tidak akrap dengan penonton, di samping itu wayang golek tidak dapat dilihat dari jarak jauh secara jelas. Lain halnya dengan wayang kulit yang dapat dilihat dari jarak 40 sampai 50 meter, sedangkan wayang golek dari jarak 15 meter saja sudah agak kabur kejelasan wajahnya.

Pada saat ini tugas dalang wayang golek tidak hanya menampilkan dramatisasi cerita saja, tetapi harus mengenalkan cerita menak, karakternya tokoh dan ujud dari tokoh yang ditampilkan. Lain halnya dengan masyarakat yang menonton wayang kulit. Sebagai contoh; dalang menampilkan tokoh Bima, masyarakat sudah tahu bagaimana karakter Bima, bagaimana Jalannya Bima, siapa saja anaknya Bima dan lain sebagainya.

Minat masyarakat untuk menonton wayang golek pada saat ini tidak seperti pada tahun 60 sampai dengan awal 80-an, karena tinggal generasi tua yang pernah ikut menyaksikan masa kejayaan wayang golek menak tempo dulu. Dimasa kejayaan dalang Dindu Jataryana dan dalang seangkatannya yang mampu mengangkat pertunjukan wayang golek Menak menjadi tontonan masyarakat yang membanggakan. Masyarakat mempunyai harga diri yang lebih apabila mempunyai hajad dengan menanggap wayang golek

Kendala Pertunjukan Wayang Golek Menak Kebumen

Cerita-cerita menak yang beredar di daerah Kebumen dan sekitarnya, setelah almarhum Sindu Jataryana surut sudah tidak akrab lagi dengan masyarakat generasi pendukung pergelaran wayang golek menak di Kebumen, sehingga masyarakat yang menonton wayang golek harus belajar tentang cerita menak, belajar mengenal tokoh-tokoh wayang golek menak, belajar mengenal karakternya dan sebagainya. Sedangkan masyarakat penonton wayang golek tidak semuanya ingin mengetahui jalannya cerita, tetapi ada yang ingin bermain, melihat suasana, cari hiburan untuk melepas kepenatan hidupnya dan sebagainya.

Seorang dalang wayang golek menak diharapkan untuk dapat menari, bercerita, menguasai gendhing, dan gerak bela diri seperti pencak silat dan sejenisnya. Dalang yang akan mempunyai kemampuan 4 hal seperti yang disebutkan sebelumnya akan mengurangi bobot seorang dalang wayang golek. Sedangkan untuk menguasai hal tersebut tidaklah mudah, akibatnya banyak generasi dalang wayang golek yang menekuni wayang kulit, apabila tanggapan pergelaran wayang golek pada saat ini sangat jarang.

Sebagai masyarakat di wilayah tertentu saat ini masih ada yang beranggapan bahwa mengadakan pertunjukan wayang golek itu tabu, bahkan akan mendatangkan malapetaka bagi wilayah tersebut atau penanggapnya, sehingga pada saat ini ada wilayah yang masyarakatnya belum pernah melihat secara langsung pertunjukan wayang golek.

Preman-preman daerah yang memalak orang yang mempunyai hajad juga menjadi kendala bagi anggota masyarakat yang akan mengadakan pertunjukan/penanggap.

Hal tersebut membebani anggota masyarakat, karena apabila anggota masyarakat akan mengadakan pertunjukan paling tidak harus mendatangkan aparat kepolisian setidak-tidaknya satu kijang, pada hal untuk mendatangkan aparat juga mengeluarkan dana.

Apabila tidak mendatangkan aparat kepolisian kemungkinan besar pertunjukan wayang golek dimana dipergelarkan menjadi ajang joged dan mabuk-mabukan semalam suntuk. Peristiwa ini beberapa kali terjadi, pengrawit bubar meninggalkan intrumen gamelan yang ditabuh karena ada penonton yang naik panggung dengan membawa senjata tajam diacungkan.
 Betapa mengerikan.

Selasa, 23 April 2013

Kesenian Ketoprak Telah Menjadi Anak Tiri di Tanah Kelahirannya?


Mahandis Yoanata Thamrin - Selasa, 23 April 2013 | 16:12 WIB

Salah satu adegan dalam pementasan ketoprak di Taman Balekambang Surakarta. Ketoprak modern awalnya
Ketoprak itu merupakan kesenian baru,” ungkap Purnawan Andra, lelaki berusia 34 tahun yang selalu mengikat rambut ikalnya ke belakang. Dia merupakan pegiat dan peneliti seni tari di Surakarta.
“Kalau mau menyusuri asalnya, ketoprak merupakan kesenian orang-orang agraris.”
Ketoprak modern—dengan iringan gamelan, alur yang jelas, dan tata panggung—baru muncul pada awal abad ke-20 di Surakarta. Sementara, wayang orang berkembang di Keraton Kartasura sekitar pertengahan abad ke-18. Bahkan, naskah tertua mengenai pagelaran wayang orang yang ditemukan bertahun 1781 dan mulai dipentaskan di luar kraton sebagai pertunjukan komersial sekitar 1880-an.
“Dilihat dari kacamata penonton,” ujar Andra, “wayang orang itu lebih lengkap, ada tarian, pakaian yang glamor, dan dramatisasi cerita.” 
Secara politis memang kenyataannya wayang orang lebih digemari kalangan keraton lantaran lebih mempunyai punya daya pikat. Sedangkan untuk pertunjukan ketoprak, “kisahnya sangat biasa, pakaiannya sangat biasa.”
“Namun, [ketoprak] punya kedekatan cerita dengan masyarakat yang menjadi daya tarik sendiri,” ujar Andra.  
Faktor inilah yang merupakan keunggulan ketoprak sebagai kesenian yang lahir dari masyarakat agraris—jati diri masyarakat Jawa. Sebagai sebuah keraifan lokal, menurut Andra, ketopraksebenarnya sangat dekat dengan masyarakat Jawa, baik legenda, tokoh, maupun pola pengucapannya.
“Kalau posisi sekarang berbicara itu menjadi sangat kabur artinya atau dalam maksud memang sengaja mengaburkan arti suatu peristiwa,” ujar Andra mengajak berfilosofi, “manfaatkan kearifan lokal berbicara ala ketoprak.”
Ketoprak Balekambang Surakarta berpentas di sebuah gedung kesenian yang terletak di kompleks taman milik Mangkunegaran.

Artikulasi dalam drama ketoprak sangat cair sehingga sangat mudah untuk mengadopsi ide aktual yang menjadi permasalahan dalam masyarakat. Di sisi lain, sumber cerita wayang orang dari kitab Mahabarata atau Ramayana—sudah ada pakemnya. Oleh karena itu Andra mengerti benar mengapa di suatu masa pada zaman kolonial ketoprak pernah dilarang, bahkan ditunggangi kepentingan politik pada awal masa republik ini berdiri.

Ketoprak memang pernah terjerumus dalam propaganda politik 1955-65 yang turut membinasakan para senimannya—meski mereka bukan simpatisan partai tertentu. Namun, lewat politik pembangunan juga mereka kembali dibutuhkan untuk penyampaian program  pemerintah pada 1970-an dan 1980-an.

Tampaknya ketoprak bukanlah anak tiri, namun anak mandiri yang ditempa keadaan menjadi penyitas kehidupan. Hingga kini, di pesisir utara Jawa dan pedalaman Blora masih terdapat rombongan ketoprak yang hidup dari undangan berpentas untuk hajatan desa. Ada juga yang sengaja berkeliling dengan panggung darurat seperti di pinggiran Yogyakarta.
Melihat perjalanan ketoprak dalam masyarakat sekarang, Andra berkomentar,   Ketoprak itu punya kekuatan politis. Jika pemerintah tidak melihat kesenian sebagai sarana potensial—untuk melakukan sesuatu yang lebih baik—itu aneh!”