Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Senin, 22 Desember 2014

Ancaman Ekologi yang Dipanggungkan

Menjelang tutup tahun, bertepatan dengan Hari Ibu di akhir tahun 2014 ini [22/12], Dewan Kesenian Daerah [DKD] Kebumen menggelar pentas kolaborasi Ketoprak Dangsak dengan lakon "Reksa Mustika Bumi". Naskah tulisan Pekik Sasinilo dan disutradarai Basuki Hendro Prayitno, dengan asisten sutradara Pitra Suwita dan Putut AS ini mengangkat tema kelestarian alam di tengah ancaman eksploitasi pertambangan. Pentas berlangsung sekitar 1,5 jam, di tengah guyuran hujan Desember basah di luar gedung Setda. Hadir diantara ratusan penonton ada Ibu Djuwarni, wakil bupati Kebumen. 


Pentas kolaborasi Ketoprak Dangsak DKD Kebumen. Adegan dimana tokoh Sekar putri Wicaksono diculik dari spektrum kearifan lokalnya [Foto: Dariman] 

Lakon "Reksa Mustika Bumi" sendiri membeberkan pertarungan kepentingan rejime kekuasaan yang bernafsu menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam dengan berdalih kesejahteraan rakyat sekitar. Pementasan didukung sekitar 42 pemain, terdiri dari pelaku seni tradisi cepetan dari desa Watulawang, teater Gerak IAI-NU Kebumen, grup seni Lengger Jatijajar, Sekolah Rakyat MeluBae dan beberapa pengurus DKD Kebumen sendiri. Grup kesenian lengger ini juga mengampu iringan gamelan dari SMP Tamansiswa sepanjang durasi pementasan yang dikolaborasikan dengan jimbe dan perkussi.


Chaos Kepentingan 


Cepet, simbol kewingitan lokal yang pada akhirnya tersingkir setelah dipaksa bertarung dengan kerakusan kepentingan kekuasaan [Foto: Dariman]

Lakon "Reksa Mustika Bumi" yang bercerita tentang keteguhan local-genius dalam melindungi ekologi bumi, dipaksa berhadapan dengan tren modal yang mengincar kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Lakon ini jadi menarik karena konteksnya terhadap situasi kontemporer, dimana kasus kekerasan mewarnai resistensi masyarakat adat versus segala bentuk ancaman, terutama serbuan pertambangan; terhadap penghancuran lingkungannya.

Chaos merupakan manifestasi konflik elit kekuasaan yang terduplikasi pada tataran sosiologis kerakyatan. Simbolisasi tradisi cepet [dangsak] mewakili perwujudan nilai-nilai kearifan lokal yang secara teguh dipelihara Ki Wicaksono bersama para pengikutnya. Batas akhir dari keteguhan pemeliharaan adalah saat kepentingan rejime kekuasaan dengan mengandalkan patron hierarki menekan dan memporak-porandakan segala tatanan lokal. Inilah hakekat antagonisme sosial yang jadi realitas obyektif dimana-mana; saat-saat ini.

Pendukung pentas: 
| Sutradara: Basuki Hendro Prayitno | Penulis Naskah: Pekik Sat Siswonirmolo | Astrada/Pemain: Putut AS | Astrada/Pemain: Pitra Suwita | Astrada/Penata Gending: Bambang Budiono | Para Pelaku: Wuryanto, Murdiono Mancung, Harnoto Aji, Ari Susanto, Sahid Elkobar, Agus Budiono, Pipin Damayanti, Darmawan Riyadi, Saeful, Pekik Sat Siswonirmolo, Pitra Suwita, John Silombo, Marikun Bahtiar, Achmad Marzoeki | Crew Photography: Dariman | Camera Arifin Ratih TV | Tata Lampu: Jack, dkk | Grup Cepet Dangsak desa Watulawang | Grup Lengger Jatijajar | [ap]

Kamis, 20 November 2014

Tentang Penggiringan Opini Publik dalam Skandal Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh


Berikut ini adalah tulisan Katrin Bandel, akademisi dan kritikus sastra Indonesia yang kini menetap di Yogyakarta. Tulisan ini disalin-tempel dengan kaidah bagi-serupa dari Jurnal Sastra Bawah Tanah Daring Boemipoetra. Versi yang diambil dari jurnal ini terbit pada tanggal 20 November 2014 yang merupakan naskah yang sebelumnya sudah dipresentasikan oleh Katrin Bandel di acara diskusi akademik “Denny JA dan Penipuan Sejarah Sastra Indonesia” yang diselenggarakan pada hari Rabu, 19 November 2014 di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada.

***
Perdebatan dan perselisihan adalah hal yang wajar dan sudah seharusnya di dunia intelektual, termasuk sastra. Namun kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh sungguh di luar kebiasaan. Bukan saja kasus itu sendiri, khususnya penobatan Denny JA sebagai salah satu “tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh”, bersifat cukup ekstrim. Tapi ada hal yang sangat aneh dan tidak lazim terjadi dalam perdebatan di dunia sastra, yaitu diskusi intelekual antar sastrawan dan pegiat sastra seputar buku tersebut mendadak dibawa ke ranah hukum, serta disosialisasikan lewat media massa di luar konteks dunia sastra. Tindakan tersebut cukup memprihatinkan, sebab dalam sosialisasi lewat media massa tersebut terjadi usaha penggiringan opini publik yang cukup mencolok.
Perhatian dialihkan dari substansi kritik terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pada lontaran berupa kata “bajingan” dan “penipu” yang berusaha dilepaskan dari konteks perdebatannya, dan fokus digeser dari Denny JA pada Fatin Hamama. Maka dalam pembahasan ini saya akan berfokus pada permasalahan penggiringan opini tersebut.

Dua tuduhan utama terhadap Iwan Soekri dan Saut Situmorang adalah “pencemaran nama baik” dan “pelecehan seksual verbal”, yang kedua-duanya bukan dikemukakan di forum-forum yang terkait untuk didiskusikan, tapi diproses secara hukum. Tuduhan pertama dilaporkan ke polisi, sedangkan yang kedua diadukan pada Komnas Perempuan. Tindakan pengaduan secara formal semacam itu dapat dikatakan sangat tidak lazim, lebih-lebih karena dilakukan sama sekali tanpa lebih dulu berusaha mengungkapkannya lewat diskusi atau debat intelektual, entah secara langsung di forum di mana kata-kata yang dirasakan “mencemarkan” dan “melecehkan” itu dilontarkan, atau lewat medium lain, misalnya tulisan di koran atau di situs internet. Dengan demikian, kasus ini langsung dibawa ke ranah publik, keluar dari ranah perdebatan di kalangan pegiat sastra di mana bentrokan antara Fatin Hamama dengan Iwan dan Saut berawal.

Dengan melepaskan kasus itu dari konteksnya, penggiringan opini menjadi jauh lebih mungkin. Kalangan awam yang tidak mengikuti kritik terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh hanya akan melihat adanya kata-kata yang oleh banyak orang dirasakan kurang sopan, yang dilontarkan kepada seorang perempuan yang, dalam berbagai laporan di media maupun dalam pembelaannya sendiri, digambarkan sebagai orang baik-baik. Belakangan bahkan ditekankan statusnya sebagai istri dan ibu. Dalam berita atau tulisan lain tentang kasus itu, khususnya yang memihak pada Fatin Hamama, berbagai jenis tuduhan dicampur-adukkan: masalah kesopanan bahasa begitu saja disandingkan dengan istilah “pencemaran nama baik”, “penistaan”, dan “pelecehan seksual”, tanpa mendefinisikan apa yang dimaksudkan, dan tanpa membedakan satu sama lain.
Dengan demikian, reaksi emosional spontan yang mudah timbul ketika orang membaca kata seperti “bajingan”, yaitu kesan bahwa kata seperti itu bersifat kasar dan tidak sopan, berusaha dimanfaatkan untuk menggiring pembaca sekaligus mengamini tuduhan pencemaran nama baik dan pelecehan seksual.

Berikut saya akan membicarakan kedua tuduhan utama yang dilontarkan, yaitu pencemaran nama baik dan pelecehan seksual verbal: apakah yang terjadi antara Iwan, Saut dan Fatin memang dapat disebut “pencemaran nama baik” atau “pelecehan seksual verbal”? Namun sebelum membahas kedua tuduhan utama itu, saya akan lebih dahulu membicarakan argumentasi yang mendasari kedua tuduhan itu, yaitu bahwa Fatin Hamama sejatinya tidak terlibat dalam kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang kontroversial itu, sehingga penyerangan terhadapnya bersifat ngawur dan murni penghinaan pribadi. 
Hanya dengan dasar tersebut ungkapan yang dilontarkan Saut dan Iwan dapat diinterpretasikan sebagai pencemaran atau pelecehan: konon kata-kata “kasar” itu bukan dilontarkan sebagai bagian dari sebuah debat interlektual tentang sesuatu yang secara nyata dikerjakan Fatin di dunia sastra, tapi dihamburkan begitu saja tanpa alasan.

Apakah Fatin Hamama terlibat?

Fatin berkali-kali menekankan bahwa baginya kritik alias “penistaan”, “pencemaran”, atau “pelecehan” yang dialaminya sangat tidak berdasar dan tidak bisa ditoleransi, sebab dirinya sama sekali tidak terlibat dalam pembuatan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Dirinya konon dimaki bukan dalam fungsi tertentu atas karena kinerja tertentu, tapi murni sebagai penghinaan terhadap dirinya secara pribadi. Dengan demikian usaha kelompok yang sedang membela Iwan Soekri dan Saut Situmorang untuk mengembalikan permasalahannya pada perdebatan tentang buku tersebut dapat dikatakan bersifat manipulatif dan sengaja berusaha menyesatkan publik.

“Keterlibatan” yang dimaksud di sini bentuknya apa? Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat tergantung pada versi sejarah penyusunan dan penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang kita anut. Menurut versi yang ingin dipertahankan pihak Denny JA serta tim penyusun buku itu sendiri, yang terjadi adalah kira-kira seperti berikut: Sebagai kontribusi unik dan orisinalnya terhadap dunia sastra Indonesia, Denny JA memperkenalkan “genre” baru yang disebutnya “puisi esai”. Sastrawan-sastrawan lain terinspirasi olehnya, dan ikut menulis “puisi esai”. Maka atas dasar kontribusinya tersebut, Denny JA dimasukkan sebagai salah satu “tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh” ke dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. 
 Dan karena buku itu penting dan menarik, maka kemudian diresensi dan dikomentari orang. Memang, berbagai kegiatan itu – penulisan “puisi esai”, buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, resensinya – didukung oleh pendanaan dari Denny JA. Tapi apa masalahnya? Bukankah pantas disyukuri bahwa ada orang kaya yang berbaik hati berkontribusi terhadap dunia sastra Indonesia?

Namun menurut versi yang lebih kritis, yang antara lain dikemukakan oleh Aliansi Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, tentu saja dalam rangkaian peristiwa itu banyak masalahnya. Kelewat lugu sekali kalau pendanaan tidak dipersoalkan, dan kalau kita tidak mempertanyakan asal usul perayaan terhadap “pengaruh” Denny JA yang demikian tiba-tiba. Bukankah tampak sekali betapa “pengaruh” itu diciptakan dengan sengaja lewat lomba berhadiah menggiurkan, dan dengan menawarkan honor dalam jumlah yang cukup tinggi untuk ukuran dunia sastra di Indonesia pada sejumlah sastrawan ternama agar mereka menulis “puisi esai”? Dengan kata lain, cukup jelas bahwa rangkaian peristiwa itu tidak terjadi “kebetulan” begitu saja, tapi ada skenarionya.

Keterlibatan Fatin akan tampak berbeda tergantung pada versi yang kita percayai. Menurut versi pertama, Fatin memang dapat dikatakan tidak terlibat. Alasannya sederhana: Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh disusun oleh Tim 8, dan Fatin Hamama bukan bagian dari tim itu. Fatin terlibat dalam mengurus proyek penulisan “puisi esai”, dan dalam pengadaan resensi atas buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (menghubungi penulis-penulis tertentu, termasuk Saut Situmorang yang menolaknya mentah-mentah, dalam rangka sengaja meminta mereka menulis resensi), namun menurut versi pertama ini, semua itu tidak ada hubungan langsungnya dengan buku kontroversial itu sendiri.

Namun menurut versi kedua, status Fatin sebagai editor buku-buku “puisi esai” yang, antara lain, bertugas untuk berurusan dengan para penulis yang sengaja dibayar untuk mempopulerkan “genre baru” tersebut, serta perannnya saat meminta resensi, jelas-jelas merupakan sebuah keterlibatan. Bukankah semua kegiatan itu saling berkaitan? Maka tanpa perlu berstatus sebagai penyusun atau editor buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Fatin tentu saja bisa disebut terlibat.

Dengan demikian, tampak bahwa lewat argumen bahwa Fatin Hamama “tidak terlibat”, sebetulnya opini publik berusaha digiring sekaligus berkaitan dengan dua hal, yaitu 1., diyakinkan bahwa ada “ketidakadilan” yang dialami Fatin, dan 2., diajak mempercayai versi Denny JA/Tim 8 tentang status dan sejarah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Bukankah menarik bahwa Fatin sama sekali tidak menyangkal keterlibatannya sebagai editor buku “puisi esai”, termasuk misalnya dalam kaitan dengan kasus pengembalian honor dengan alasan penulis menyadari betapa karyanya dimanfaatkan sebagai legitimasi penobatan Denny JA sebagai tokoh berpengaruh? 
Fatin juga tidak menyangkal bahwa dirinya giat menghubungi penulis-penulis yang diminta membuat resensi. Namun bersamaan dengan itu, dia bersikeras bahwa dirinya “tidak terlibat” dengan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
Dengan demikian, secara implisit ditegaskan bahwa memang tidak ada hubungan antara kegiatan mempopulerkan “puisi esai”, buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, dan penulisan resensi.

Maka jelas bahwa argumen tentang “tidak terlibat”nya Fatin Hamama mesti dipandang secara sangat kritis. Dari perspektif Saut Situmorang dan Iwan Soekri yang merupakan bagian dari Aliansi Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, Fatin jelas-jelas terlibat dalam kasus buku tersebut. Dengan demikian apa yang mereka utarakan terkait dengan Fatin, baik berupa kata makian atau tidak, merupakan bagian dari perdebatan intelektual seputar kasus buku tersebut, bukan penghinaan pribadi.

Apakah yang dilakukan Iwan dan Saut merupakan pencemaran nama baik?

Apa arti “pencemaran nama baik”? Sepemahaman saya, pencemaran nama baik umumnya berkaitan dengan fitnah. Cerita-cerita bohong (cerita yang tidak bisa dibuktikan) tentang seseorang disebarkan di ruang publik, sehingga reputasi (nama baik) orang tersebut tercoreng. Masuk akal kalau kasus semacam itu dibawa ke pengadilan, sebab keputusan pengadilan diharapkan menjadi bukti bahwa apa yang sudah telanjur menyebar tidaklah benar, sehingga reputasi korban pencemaran dapat dipulihkan.

Dalam kasus yang menimpa Saut dan Iwan, apakah ada cerita bohong atau tak terbuktikan yang disebarkan? Tampaknya tidak ada. Kasus yang dibicarakan sangat jelas, yaitu kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, khususnya dalam kaitan dengan peran Denny JA dan Fatin Hamama. Protes lantang disampaikan oleh sangat banyak sastrawan, dengan argumen-argumen yang jelas, berdasarkan fakta seputar buku tersebut. Artinya, yang sedang terjadi ada sebuah perdebatan antara dua pihak, yaitu antara yang membuat dan mendukung buku tersebut di satu pihak, dan yang mengkritiknya di pihak lain. 
Kondisi ini tentu tidak bisa dibandingkan dengan kasus di mana secara sepihak cerita buruk tentang seseorang disebarkan, sehingga namanya tercemarkan.
Kata-kata “kasar” yang dipersoalkan, yaitu “penipu” dan “bajingan”, perlu dipandang dalam konteks tersebut. Kata itu tidak berdiri sendiri, tapi digunakan dalam konteks perdebatan yang sedang terjadi. Ketika kata “bajingan” dan “penipu” disebut, maka kata itu merujuk pada perdebatan yang sedang berlangsung secara keseluruhan, khususnya pada ungkapan sastrawan yang sama di tempat lain maupun lewat ungkapan kritis lain terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Ungkapan-ungkapan lain tersebut berupa penjelasan yang tegas dan eksplisit mengenai keberatan mereka dalam kaitan dengan kasus buku tersebut, dan dengan demikian bukanlah fitnah. Maka ”kekasaran” kata tersebut bukanlah tanda terjadinya fitnah, tapi sekadar merupakan bagian dari gaya ungkap tertentu.

Mengapa gaya ungkapnya seperti itu? Perlukah sesuatu disampaikan dengan kata yang, bagi sebagian orang, terasa kasar dan kurang sopan? Ini pertanyaan menarik yang memang tidak jarang muncul di dunia sastra Indonesia. Pertama, perlu ditegaskan bahwa gaya ungkap seperti itu sangat lazim dijumpai di dunia sastra, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia, dan baik di dalam karya sastra maupun dalam pergaulan dan polemik-polemik antar sastrawan. 
Seandainya semua penggunaan kata “kasar” di dunia sastra Indonesia mau diperkarakan, sepertinya kepolisian dan pengadilan perlu menambah staf baru terlebih dahulu, saking membludaknya kasus yang akan perlu ditangani. Namun kedua, memang tidak semua orang di dunia sastra Indonesia menyukai penggunaan gaya ungkap seperti itu. Kritik terhadap gaya ungkap “kasar” tidak jarang disampaikan, dengan alasan utama bahwa gaya ungkap tersebut dirasakan kurang sopan. Dengan kata lain, sastrawan memiliki pandangan yang beragam mengenai penggunaan bahasa berkaitan dengan akhlak dan kesopanan.

Saya pikir, ini adalah persoalan yang sangat penting dalam kasus yang sedang dituduhkan pada Saut dan Iwan. Masalah akhlak harus dibedakan dari persoalan fitnah dan pencemaran nama baik. Sah-sah saja kalau ada yang berpendapat bahwa penggunaan kata “bajingan” menandakan akhlak kurang baik. Namun sejauh saya pahami, akhlak buruk bukanlah tindakan kriminal, sehingga tidak ada urusan dengan kepolisian.

Nama seseorang tidak tercemarkan hanya karena gaya ungkap yang dipakai untuk menyampaikan sesuatu tentang atau padanya, namun karena apa yang disampaikan itu sendiri. Maka kalau Fatin Hamama merasa namanya dicemarkan, seharusnya dia menunjukkan bahwa dalam kritik sastrawan-sastrawan yang keberatan pada buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh terdapat fitnah, bukan malah berkonsentrasi pada penggunaan kata-kata tertentu yang kemudian diekspos di luar konteks.

Apakah terjadi pelecehan seksual verbal terhadap Fatin Hamama?

Apa itu “pelecehan seksual verbal”? Pelecehan seksual dapat didefinisikan sebagai tindakan yang menempatkan korban (seringkali, tapi tidak selalu, perempuan) sebagai objek seksual, dan membuatnya merasa dihina dan direndahkan. Bentuk verbalnya dapat berupa komentar seksis atau kasar tentang tubuh atau seksualitas seseorang, atau ajakan bernada seksual yang tidak diinginkan dan diutarakan tidak pada tempatnya. Sebagai sebuah tindakan kriminal, pelecehan seksual seringkali diperkarakan dalam konteks lingkungan kerja: Di wilayah di mana seseorang seharusnya dinilai berdasarkan kinerjanya dalam melakukan tugas-tugas profesionalnya, dirinya dipandang justru murni sebagai tubuh seksual.

Berangkat dari definisi tersebut, tuduhan Fatin (dan tanggapan positif dari Komnas Perempuan) terkesan sangat ganjil. Ungkapan mana yang menempatkannya sebagai objek seksual? Justru, seperti yang sudah saya bicarakan di atas, Fatin dikritik murni atas dasar kinerjanya, yaitu keterlibatannya dengan kasus buku kontroversial 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, di mana dia berperan sebagai editor buku “puisi esai” dan terlibat dalam usaha meminta orang lain meresensi buku kontroversial itu. Perdebatan seputar buku itu terjadi dengan melibatkan banyak penulis, baik laki-laki maupun perempuan. 
Persoalan gender sama sekali tidak berperan dalam hal ini, termasuk dalam hal kritik terhadap Fatin Hamama. Tidak ada unsur pelecehan seksual, seksisme, atau penghinaan padanya khusus sebagai perempuan. Seandainya yang ada di tempat Fatin kebetulan bukan seorang perempuan, tapi seorang laki-laki, apakah kritiknya akan berbeda? Saya yakin tidak.

Dalam pernyataannya seputar kasus tersebut di bulan Februari 2014 (di situs merdeka.com), Fatin Hamama memposisikan diri sebagai penyair yang memang terlibat sebagai editor dalam penerbitan “puisi esai”, namun menolak disebut perantara Denny JA. Terlepas dari setuju atau tidaknya kita dengan pembelaan dirinya tersebut, pemosisian diri itu sesuai dengan sifat awal perdebatan tersebut, yaitu diskusi antar sastrawan, di mana masing-masing dinilai atas dasar kinerjanya di dunia sastra. Maka sangat ganjil bahwa dalam pernyataannya yang lebih baru, yaitu tanggal 23 Oktober 2014, Fatin mendadak memposisikan diri sebagai korban kekerasan terhadap perempuan. Mengapa kata “penipu” dan “bajingan” yang dipakai Iwan dan Saut tiba-tiba dikaitkan dengan gender lawan debat mereka? Apa relevansi keperempuanan Fatin di sini? Dalam pernyataannya yang cukup panjang, saya sama sekali tidak menemukan penjelasan atas hal itu. Fatin marah dirinya dimaki. Namun bukankah dirinya dimaki atas dasar kinerjanya, bukan atas dasar gendernya atau seksualitasnya?

Apakah kata kasar dianggap otomatis menjadi pelecehan seksual ketika diarahkan pada seorang perempuan? Dan kata yang mana tepatnya yang dimaksudkan? Di samping kata “bajingan”, kata “mucikari” juga sempat dipersoalkan. Namun dalam konteks tersebut, sangat jelas bahwa kata itu dimaksudkan sebagai metafor, bukan sebagai penghinaan bernada seksual terhadap Fatin. 
Yang dikritik adalah pekerjaan Fatin yang mau-maunya ditugaskan sebagai editor puisi esai yang mesti merayu penulis lain agar bersedia menulis dengan genre aneh ciptaan Denny JA tersebut, dengan iming-iming honor yang termasuk relatif tinggi. Dengan kata lain, Fatin pada mulanya sepenuhnya dipersepsi dan ditanggapi berdasarkan kinerjanya di bidang di mana dia melibatkan diri, namun kemudian justru dirinya sendiri mendadak mengedepankan identitas gendernya, dan minta dipandang sebagai korban pelecehan seksual, ketimbang menjawab tuduhan yang diajukan padanya di wilayah intelektual.

Lalu bagaimana kita mesti menilai kata bajingan?

Pendapat mengenai penggunaan kata makian pasti beragam. Bagi sebagian orang, kata “bajingan” bersifat kelewat kasar dan tidak sopan untuk digunakan dalam sebuah perdebatan publik. Bagi sebagian orang yang lain, kata-kata makian seperti itu wajar-wajar saja digunakan. Bagi saya, kedua pendapat itu sama-sama sah, dan saya sama sekali tidak ingin mempersoalkannya. 
Niat utama saya dalam pembahasan di atas adalah memilah dengan jelas antara persoalan kesopanan bahasa dengan pencemaran nama baik dan pelecehan seksual. Seperti yang sudah saja paparkan di atas, ketiga hal itu sama sekali tidak sama, tapi harus dibedakan satu sama lain. Gaya ungkap Saut Situmorang, Iwan Soekri dan sejumlah kawan mereka memang kasar, namun yang mereka lakukan tidak dapat disebut tindakan kriminal berupa “pencemaran nama baik” atau “pelecehan seksual verbal.”

Kamis, 06 November 2014

7 Kesenian Langka Dihidupkan Kembali

Wayang Topeng (Foto: Istimewa)

SLEMAN, suaramerdeka.com – Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Sleman terus melakukan revitalisasi kesenian langka di daerahnya. Sampai saat ini sudah ada tujuh jenis kesenian yang dihidupkan kembali.

Kabid Kesenian Dinas Budpar Sleman Edy Winarya menerangkan, tujuh kesenian itu antara lain dhadhungawuk dan wayang topeng pedalangan di Kecamatan Kalasan, serta jabur dan trengganon di Minggir. Lainnya adalah kesenian peksi mot dari Kecamatan Tempel, wayang beber dari Ngemplak, dan langentoyo dari Turi.

“Kesenian tersebut perlu digiatkan kembali karena selain unik, keberadaannya juga sangat langka. Hasil proses revitalisasinya juga sudah dipentaskan,” kata Edy, Selasa (4/11).
Dia menambahkan, revitalisasi itu dimaksudkan untuk meningkatkan peran dan fungsi unsur budaya lama yang masih hidup di masyarakat dalam konteks masa kini dengan tetap mempertahankan keaslian. “Intinya adalah mengangkat kembali kesenian yang hampir punah, minimal dengan cara dokumentasi secara tekstual maupun visual,” terangnya.

Kepala Disbudpar Sleman Ayu Laksmidewi menilai program revitalisasi perlu dipertahankan. Terlebih di tengah kondisi maraknya budaya dari luar yang berimbas mengikis kesenian lokal. Setelah berhasil, kesenian hasil revitalisasi juga harus terus dijaga bahkan dikembangkan. Salah satu upayanya melalui pementasan reguler.

“Sekarang ini banyak generasi muda yang tidak kenal kesenian sendiri bahkan mereka sering lupa identitasnya sebagai orang Indonesia,” kata Ayu.

Dia berharap kegiatan ini bisa memberikan edukasi sekaligus menyadarkan agar mau melestarikan potensi budaya lokal. Pihaknya juga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melaporkan ke dinas jika mendapati kesenian lokal yang layak untuk dilestarikan atau hampir punah. Hasil laporan itu akan dikaji oleh tim dinas.
(Amelia Hapsari/CN19/SMNetwork)

Sumber http://berita.suaramerdeka.com/7-kesenian-langka-dihidupkan-kembali/

Senin, 13 Oktober 2014

Bahasa Indonesia Didorong Menjadi Bahasa ASEAN

12 Oktober 2014 22:52 WIB

foto : ISTIMEWA

YOGYAKARTA. suaramerdeka.com – Pemerintah diharapkan bisa mempunyai kebijakan bahasa nasional yang praktis jelang berlakunya komunitas ASEAN tahun depan. Salah satunya, adalah mendorong bahasa Indonesia menjadi menjadi bahasa
kedua setelah bahasa Inggris.


“Sekarang ini kesepakatannya masih bahasa Inggris saja sebagai bahasa bisnis di ASEAN. Tetapi kalau melihat di Uni Eropa tidak begitu. Misalnya, kalau ke Belanda ya bahasa bisnisnya bahasa sana, ke negara lain, lain lagi,” ujar Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Dra Triwati Rahayu MHum. Dia menyampaikan hal itu, di sela seminar internasional dan Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI di @Hom Platinum Hotel, Sabtu (11/10).

Menurutnya, dengan tetap menjadikan Indonesia sebagai lingua franca di kawasan ASEAN akan lebih banyak keuntungan. Surat-surat perjanjian kerja kontrak akan lebih sempurna penafsirannya. Selain itu juga meningkatkan persaingan tenaga kerja dalam negeri dan dari luar negeri.

“Jika masih bahasa Inggris, persaingan tenaga kerja di dalam negeri akan sangat ketat. Kita bisa membayangkan bagaimana kira-kira kemampuan bahasa Inggris tenaga kerja kita dengan Filipina misalnya,” imbuhnya.

Triwati melanjutkan, bahwa Bahasa Indonesia mempunyai kelebihan dibanding bahasa lain. Bentuk, ragam, dan pengucapan bahasa Indonesia dinilai lebih sederhana sehingga mudah dipelajari. “Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang mudah dipelajari, sehingga orang asing pun akan cepat menguasai,” terangnya.

Karena itu lanjut Triwati pengembangan program bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA) harus dioptimalkan. Bukan hanya dari sisi silabus, tetapi juga buku ajar dan media pembelajarannya. Minat warga negara asing untuk mempelajari bahasa Indonesia pun semakin tinggi. Ini menjadi kesempatan untuk mengangkat citra bahasa Indonesia di dunia internasional.

“Mahasiswa asal Tiongkok yang kuliah di UAD dari tahun ke tahun semakin meningkat. Karena mereka tahu potensi bisnis di Indonesia,” jelas Triwati. Menurut Triwati melalui pertemuan yang dituanrumahi FKIP UAD ini diharapkan potensi bahasa dan sastra Indonesia bisa mendukung potensi ekonomi di kancah internasional.

Saat ini Indonesia menempati posisi 16 besar kekuatan ekonomi dan masuk ke dalam kelompok G20. Sementara pada 2030 Indonesia diprediksi akan menempati tujuh besar dunia. “Posisi ekonomi Indonesia yang strategis harus dibarengi peran sektor bahasa. Salah satu perannya adalah bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional yang diakui dunia,” pungkasnya.

(Sony Wibisono/ CN40/ SM Network)
Sumber http://berita.suaramerdeka.com/bahasa-indonesia-didorong-menjadi-bahasa-asean/

Jumat, 08 Agustus 2014

Perjuangan Rakyat 1926-1927 dalam Karya Sastra

Hasan Kurniawan


Jumat, 06 Juni 2014

Kritik Sastra dan Sastra Populer*


6 June 2014  -  Yovantra Arief


*Makalah ini pernah disampaikan dalam diskusi “Keruntuhan Kritik Sastra di Era Populer” di UIN Badung
“Akhir-akhir ini kita dipekakkan oleh perkataan krisis. Krisis ini dan krisis itu.
Juga kesusastraan, ada yang mengatakan krisis, […] saya heran, mengapa di samping krisis, tidak terlihat sesuatu yang tidak krisis, sesuatu yang bangun? Barangkali, apa boleh buat, perkataan krisis sudah menjadi mode, sesuatu yang bukan atau tidak krisis tidak masuk hitungan, didaulat saja, dimasukkan dalam lingkungan perkataan krisis atau dianggap sesuatu yang tidak wajar. Misalnya, kesusastraan yang tak krisis dianggap saja bukan kesusastraan. Semacam propaganda misalnya, seperti penamaan orang terhadap karangan penulis-penulis Lekra.”[1]
Keadaan yang digambarkan oleh A.S. Dharta ini kurang-lebih sama dengan apa yang terjadi hari ini. Kita masih kerap mendengar keluh kesah krisis dalam dunia sastra; entah krisis penulis, krisis kualitas, krisis kritikus, krisis orisinalitas, dst., dst. Omelan soal krisis ini biasanya ditemani oleh “kesadaran sejarah” yang tak lain adalah romantisisme belaka. “Dulu bagus, ada Pramoedya, ada H.B. Jassin, ada Jakob Sumarjo, ada ini, itu; sekarang yang ada Andrea Hirata dan Raditya Dika. Boro-boro ada kritikus, baca buku aja malas.” Barangkali banyak orang yang berpendapat bahwa produksi “sastra berbobot” kita sudah semakin jarang, dan dengan demikian kritikus—yang hanya seluruh kerjanya berkait kelindan dengan produksi sastra, juga ikut berkurang. Asumsinya, sastra populer—yang produksinya bejibun itu—bukanlah karya sastra.

Tak pelak lagi, sastra populer telah menjadi momok, biang keladi atas segala kebobrokan yang terdapat dalam dunia sastra. Ia dituduh telah mencemarkan nama baik sastra dengan hanya memberi hiburan ringan tanpa isi, membuat remaja berpikir kalau tidak ada hal lain di luar cinta, merusak bahasa sastra, dan sebagainya. Meskipun kita ramai bersepakat bahwa kritikus sudah sekarat, tapi kita bisa dengan mudah menemukan ulasan kritis—atau dalam kata lain, kritik sastra—yang begitu tajam menggorok leher berbagai judul sastra populer di berbagai medium. Setan macam apakah sastra populer itu?

Istilah “sastra populer” mulai lazim dipakai pada tahun 70-an lewat suksesnya novel Karmila (Marga T.) dan Cintaku di Kampus Biru (Ashadi Siregar). Hal ini ditandai dengan semakin besarnya jumlah pembaca sastra dengan latar belakang sekolah menengah dan perguruan tinggi. Pembaca sastra populer ini kebanyakan adalah perempuan remaja dan ibu rumah tangga.[2] Namun, kesusasteraan populer tidak lahir begitu saja di tahun itu. Menurut Jakob Sumardjo, kesusasteraan populer yang berkonotasi hiburan dan barang dagangan sudah sudah muncul sejak tahun 30-an, ketika Balai Pustaka sedang merajalela (Sumardjo, 1982: 37-39).

Sastra Populer dan Kritik Sastra dalam Sejarah

Sastra populer selalu hadir dalam oposisinya dengan “sastra serius”. Oposisi ini, tentu saja, adalah hal yang politis, dan apabila kita melihat sastra populer dalam oposisinya dengan sastra serius, maka sastra populer sudah dimulai jauh sebelum tahun 30-an. Pada akhir abad ke-19, industri percetakan mulai bisa diakses oleh kalangan Tionghoa. Mereka menerbitkan beberapa surat kabar dan cerita-cerita silat dalam bentuk novel.[3]
Selain cerita silat, terdapat pula saduran cerita-cerita Barat, seperti Robinson Crusoe, The Count of Monte Cristo, dan Sherlock Holmes. Yang menarik, cerita-cerita Barat ini kerap diadaptasi sedemikian rupa sehingga memiliki latar cerita di Jawa.[4] Pada masa-masa ini, industri percetakan hanya dipegang oleh “orang-orang partikelir” Tionghoa dan konsumsinya pun hanya terbatas dalam kalangan itu saja. Orang-orang pribumi baru ikut terjun dalam industri percetakan pada awal abad ke-20 dengan harian Medan Prijaji sebagai pelopor. Sejak saat itu dapat ditemukan novel yang dimuat secara bersambung dalam koran-koran pergerakan.

Pandangan tentang sastra populer yang banal, tidak mendidik, dan tidak punya selera seni muncul seiring dengan usaha kolonial untuk meredam geliat penerbitan pribumi dan Tionghoa ini. Pada tahun 1908, DA Rinkes mendirikan Komisi Bacaan Rakyat (berubah menjadi Balai Poestaka pada 1917) guna menyaingi “batjaan liar”. Istilah ini merujuk pada semua terbitan di luar penerbitan resmi kolonial. Pembentukan Balai Poestaka ini sekaligus juga memunculkan kelas dalam sastra. Pada satu sisi, terdapat “batjaan liar”, sastra kelas rendah, yang menggunakan bahasa Melayu Pasar, lingua franca yang hidup sebagai bahasa sehari-hari dalam perdagangan antar pulau di Indonesia, dan “dikonsumsi pribumi untuk mebodohi dirinya sendiri”. Di sisi lain, terdapat sastra keluaran Balai Poestaka, sastra serius, yang berbahasa Melayu Tinggi dan “diperuntukkan bagi pribumi berpendidikan”.

Kritik sastra formal memang baru dikenal pada 1932 lewat terbitnya majalah Pandji Poestaka, namun Balai Pustaka sebenarnya sudah menjalankan salah satu fungsi kritik, yakni penilaian suatu karya sebagai baik atau buruk berdasarkan standar-standar tertentu. Standar ini, disebut Nota over de Volkslektuur (nantinya lebih dikenal sebagai Nota Rinkes), adalah standar seleksi kelayakan suatu karya untuk diterbitkan.

Dalam praktiknya, Nota Rinkes memiliki otoritas yang lebih tinggi ketimbang “sekadar” pedoman kritik—ia punya nilai politis. Nota Rinkes pada dasarnya adalah sensor, dan dengan demikian tidak membuka diskusi rasional mengenai sebuah karya sebagaimana kritik pada umumnya.[5] Di luar itu, terdapat pula komentar-komentar Tirto Adhi Surjo atas cerita-cerita yang dimuat di Medan Prijaji (1907-1912) atau Putri Hindia (1908-1911),[6] atau kritik atas novel Marco Kartodikromo, Mata Gelap, yang dinilai merendahkan orang Tionghoa dengan digambarkan sebagai lintah darat.[7]

Pada pertengahan tahun 50-an hingga tahun 1965, sastra populer bisa dibagi dalam dua kategori: sastra propaganda dan sastra hiburan. Keduanya adalah populer dalam arti keduanya ditulis dengan bahasa semudah mungkin, tanpa banyak bunga kata, untuk bisa dikonsumsi oleh sebanyak mungkin pembaca. Sastra hiburan dirajai oleh cerita-cerita silat (tahun 50-an) dan cerita detektif, serial western, dan novel saduran (tahun 60-an), sementara sastra propaganda didominasi oleh sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional). Persaingan tiga kecenderungan sastra ini cukup sengit. Hal ini bisa dijelaskan, terutama, oleh konfigurasi politik yang dikenal dengan pertentangan realisme sosialis-humanisme universal yang terkenal itu.

Dalam dua kubu politik yang bertentangan, yakni realisme sosialis (RS) dan humanisme universal (HU), tradisi kritik berkembang besat. Makian umum terhadap HU adalah bahwa ia menujurus pada formalisme, pada pengutamaan bentuk yang indah, dan tidak memiliki aspirasi sosial-politik riil dalam melawan represi dst—dalam kata lain, sastrawan HU tidak “militan”.

Makian umum terhadap sastra RS adalah bahwa mereka tidak punya mutu estetis, menggunakan bahasa yang ‘lunak’ supaya bisa dimengerti sebanyak mungkin orang—dan dengan demikian tidak sastrawi—, dan sastra menjadi tunduk pada sesuatu yang lebih ‘profan’, yang ‘kotor’, yakni politik. Dengan dua pilihan yang memusingkan itu, apakah politik atau estetika, sastra hiburan menjadi jalan tengah yang mengasyikkan. Sastra hiburan ini didominasi oleh karya-karya saduran dari judul-judul asing serta roman percintaan yang ditulis pribumi. Tradisi sastra hiburan silat yang banyak ditulis sastrawan Tionghoa tampak punya dunia sendiri, hampir terisolasi dari kubu-kubu yang disebut di atas.

Begitu Orde Baru naik tahta, spesies sastra propaganda punah, menyisakan konfigurasi budaya rendah-budaya tinggi ala Sekolah Frankfurt. Tentu terdapat pengarang-pengarang populer yang punya karya-karya yang bermutu secara estetik. Putu Wijaya, N.H. Dini, Gerson Poyk, atau Yudhistira adalah sejumlah nama yang menulis sastra populer dan diakui mutunya.[8] Yang menarik adalah, hari ini, nama-nama tersebut dianggap—dan dengan demikian “naik pangkat” atau “diakui”—sebagai bagian dari sastra serius.

Kritik sastra berkembang dengan cukup pesat, namun semuanya terpusat pada pengulasan “sastra serius”. Sastra populer pertama kali dilirik oleh kritikus dalam Prisma keluaran tahun 1977. Perhatian yang lebih luas baru muncul pada dekade 80-an.[9] Namun ini bukan berarti bahwa sastra populer diakui sebagai sebuah karya seni dan pembahasan atasnya dilakukan dalam pendekatan estetik, kecuali atas nama-nama sastrawan populer yang “nyerius” di atas. Perhatian yang diberikan pada sastra—dan lebih umum, budaya—populer ini hampir selalu dalam konteks sosiologisnya, dan jarang memberi kajian yang mendalam pada unsur-unsur internal dalam karya spesifik.[10] Nilai yang dikandung oleh sastra populer, dalam benak kritikus sastra, hanyalah karena ia dibaca oleh banyak orang.

Karya sastra populer dibicarakan dalam multiplisitasnya, sebagai kumpulan karya-karya, untuk menemukan ciri-ciri umum yang definitif. Definisi ini pun selalu dalam relasinya dengan sastra serius dan dengan demikian kita tidak bisa memahami sastra populer tanpa adanya sastra serius—bahwa sastra serius lebih esensial ketimbang sastra populer.[11]

Terdapat gairah baru pada akhir 1990-an dan awal 2000-an terhadap sastra populer dengan munculnya kategori-kategori baru: chicklit, teenlit, “sastra wangi”, serta sastra pop-islami (istilah ini dipakai sekenanya untuk menyebut karya-karya yang diproduksi oleh Forum Lingkar Pena serta beberapa penulis yang memiliki gaya yang mirip). Kecuali terhadap sastra wangi yang justru “dibesarkan” kritikus[12], hanya sedikit minat kritikus terhadap penulis-penulis ini. Dari sedikit kritikus yang ada (dengan asumsi memang terjadi krisis kritikus), kerja kritik pun kebanyakan terpaku pada “sastra serius”. Setidaknya itu yang tampak dalam kritik-kritik koran.
Medium kritik pun menjadi hal menarik untuk dilihat. Sejak awal kemunculannya, sebagian besar kritik sastra dimuat dalam media massa.

Pada tahun 20-an, dengan munculnya Pandji Poestaka, kritik sastra mulai dimuat di majalah. Pada tahun 1953 berdiri majalah Kisah, majalah bulanan yang pertama kali secara khusus memuat konten sastra. Majalah tersebut mati pada 1957 dan posisinya digantikan oleh majalah Sastra pada 1961 (dengan jajaran direksi yang sama; Sudjati S.A., H.B. Jassin, dan M. Balfas).

Majalah Sastra, selain memuat karya, juga menampilkan esai dan kritik. Selain itu, terdapat pula Zenith, Mimbar Indonesia, Budaja, atau Siasat. Pada tahun 1966, majalah Horison terbit dan menjadi salah satu otoritas sastra Indonesia hingga tahun-tahun awal 2000-an. Terdapat pula jurnal Basis dan Prisma yang kerap memberi tinjauan terhadap karya sastra secara lebih akademis.

Memasuki milenium baru, majalah-majalah pelan-pelan redup dan akhirnya mati. Horison masih tersengal-sengal, namun semakin kehilangan wibawa.
Medium penyebaran kritik sastra pindah ke koran—harian Kompas yang memiliki “gengsi” paling tinggi di kalangan kritikus. Tentu muncul pula majalah-majalah khusus sastra yang mencoba menghidupkan kembali kejayaan di tahun 70 – 90-an seperti Jurnal Cerpen atau Jurnal Kritik, namun keduanya tidak memiliki persebaran yang luas dan tidak laku di pasaran.

Di luar medium konvensional cetak, internet menghadirkan cara distribusi baru. Pada tahun 90-an muncul laman Cybersastra yang cukup aktif menerbitkan karya maupun kritik. sayangnya laman ini sudah tidak aktif lagi. Posisi laman ini dilanjutkan oleh laman Mediasastra yang, sayangnya, tidak terlalu aktif dalam menerbitkan kritik. Banyak pula penulis pemula yang menulis ulasan, apresiasi, maupun kritik dalam blog pribadi.

Belakangan muncul pula grup-grup di sosial media yang khususkan dalam mendiskusikan sastra koran (di Facebook misalnya, ada grup sastra koran minggu yang mengumpulkan cerpen, puisi, dan esai yang dimuat dalam koran minggu). Medium internet sebenarnya menawarkan kemajuan dalam kritik sastra; ia lebih mudah diakses, tidak terbatas dalam panjang tulisan, memungkinkan lebih banyak kritikus yang muncul, serta memungkinkan diskusi yang lebih intens. Namun, pada nyatanya, tulisan di internet belum punya otoritas sebagaimana cetak.

Banyak kritik sastra dalam laman blog pribadi memiliki masalah dalam hal penulisan dan penyuntingan; dari susunan kalimat yang berantakan, kedodoran dalam hal rujukan, argumentasi yang tidak runtut, kurangnya perspektif kritis, atau bahkan tidak punya ide tulisan sama sekali. Kendala umum dalam laman yang dikelola secara kolektif (seperti Mediasastra dan IndoPROGRESS) adalah dalam hal basis produksi. Sebagian besar penggiatnya adalah relawan yang harus membagi antara kerja “profesional” dengan kerja “pro bono”. Akibatnya, media-media ini keteteran dalam hal menjaga ritme serta kualitas terbitan.

Dengan medium yang lebih luwes ini pun, tidak ada perkembangan yang berarti dalam kritik terhadap sastra populer. Tulisan-tulisan yang bisa kita temui mengenai sastra populer biasanya terbagi dalam dua kubu: mengecamnya sebagai budaya rendahan yang tidak berisi atau membelanya mati-matian dengan bertumpu pada argumen selera. Tentu ada beberapa kritikus yang mampu melihat sastra populer secara—katakanlah—lebih objektif. Katrin Bandel, misalnya, membuktikan bahwa Saman, alih-alih merupakan bagian dari perjuangan feminisme, malah jatuh dalam jebakan falosentrisme.[13] Ia juga pernah mengulas novel Clara Ng, Dimsum Terakhir dan Negeri Perempuan karangan Wisran Hadi dalam hubungannya dengan identitas etnis dalam masyarakat metropolitan.[14]

Kelas dan Kritik Sastra

Kritik yang biasa dilayangkan pada sastra—atau lebih umumnya, budaya—massa hari ini bisa kita lacak hingga kritik Adorno atas semangat Pencerahan.[15]

a.) industri budaya melayani kebutuhan pasar, sehingga nilai estetik dikalahkan oleh hasrat mencari untung,
b.) industri budaya adalah komodifikasi suara hati manusia; ia menghabisi pikiran otonom dan kritis, sehingga manusia jadi tunduk pada tatanan yang sudah mapan,
c.) industri budaya membuat standardisasi budaya dalam norma-norma tertentu sehingga tercipta “keragaman semu” dalam kebudayaan; yang banyak adalah pilihan, namun pilihan-pilihan tersebut pada dasarnya adalah sama, dan dengan demikian, mentalitas manusia juga ikut diseragamkan, dan
d.) manusia, dalam kapitalisme, direduksi menjadi nilai-tukar, ia bernilai sejauh laba bisa ditarik darinya, sehingga segala macam cita-cita Pencerahan bahwa manusia adalah unik menjadi kandas.

Kritik-kritik tersebut bertumpu pada determinasi struktur, yakni asumsi bahwa sistem menentukan segala, bahwa manusia tidak bisa keluar sama sekali dari sistem. Di balik asumsi ini, bersembunyi gagasan bahwa sistem demikian utuh, sempurna, mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia dan manusia tak punya pilihan selain menurutinya. Apabila kita mengamini asumsi ini, maka segala harapan akan adanya perubahan akan kandas. Apabila struktur sudah sempurna, maka tesis Francis Fukuyama tentang demokrasi liberal benar, bahwa demokrasi liberal adalah akhir dari sejarah. Apabila struktur sudah sempurna, maka untuk apa ada perubahan di dalamnya—dengan kata lain, mustahil ada perubahan sama sekali.

Kesimpulan semacam ini tidak bisa diterima—dan memang tidak diterima—dalam kesusastraan Indonesia. Masih ada kesusastraan yang tidak menghamba pada logika industri; masih ada kesusastraan yang “idealis”, yang menjunjung tinggi nilai-nilai estetik, yang tetap menjunjung tinggi kemanusiaan dan resisten terhadap status quo. Kita menyebutnya sebagai “sastra serius”.

Namun demikian, jawaban bagi problem yang dimunculkan oleh sastra populer ini justru menciptakan hierarki dalam sastra. Aspirasi Marxian untuk menghapuskan perbedaan kelas-kelas sosial justru ditampik dengan penciptakan kelas-kelas dalam sastra. Kelas-kelas dalam sastra tentu punya basis objektif dalam karya itu sendiri, yakni dalam hal struktur karya, diksi, kelihaian dalam menjaga ritme, tema serta pesan yang ingin disampaikan oleh karya itu sendiri. Karena sastra adalah produk sosial, maka pada hakikatnya kelas-kelas dalam sastra adalah cerminan dari kelas-kelas yang terdapat dalam masyarakat.

Bourdieu dalam Distiction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1979) mengajukan bahwa modal (capital) tidak hanya berbentuk penguasaan atas benda-benda material atau alat kerja untuk diakumulasikan. Modal juga mencakup ranah-ranah sosial yang tidak punya nilai tukar secara langsung seperti pendidikan, hubungan sosial, atau keahlian tertentu. Modal, oleh Bourdieu, bisa dirangkum dalam tiga kategori besar, yakni modal ekonomi, modal sosial, dan modal kultural. Akumulasi modal dalam satu ranah bisa membuka akses pada modal pada ranah lainnya.

Apabila seseorang punya cukup modal ekonomi, ia bisa punya akses pada pendidikan, pada pengakuan orang lain, pada karya seni yang lebih tinggi, dst. Seseorang pun bisa mengakumulasi modal kultural (dengan kuliah sastra, menulis karya sastra, dst) untuk bisa mengakumulasi modal kulturalnya dan dipertukarkan dengan modal ekonomi (dengan menjadi dosen sastra, menulis chicklit, dst).

Distingsi sastra populer-sastra serius pun mengandaikan adanya akumulasi modal kultural. Dalam memahami suatu karya, dibutuhkan akses terhadap pengetahuan. Paling sederhana, untuk memahami puisi-puisi Afrizal Malna, kita mesti bisa bahasa Indonesia, memahami tata bahasa Indonesia, dan sedikit mengenal bahasa Inggris—minimal punya kamusnya. Untuk memahami kebaruannya, kita mesti tahu sejarah persajakan Indonesia.

Untuk bisa memahami maknanya, kita mesti memahami konsep subjek, terutama subjek modern yang ia kritik—akan lebih baik lagi kalau kita pernah main genit-genitan dengan pascamodernisme. Segala macam “amunisi” ini tidak kita butuhkan kalau kita membaca—misalnya saja—Cintapuccino. Problemnya, tidak semua orang punya akses terhadap pengetahuan di atas. Dengan demikian, mencibir karya dan pembaca sastra populer adalah satu bentuk penindasan terhadap kelas-kelas yang aksesnya terhadap pengetahuan tidak dimungkinkan.

Tentu ada kebenaran dalam kritik-kritik yang dilayangkan terhadap sastra populer—namun itu hanya terbatas pada segi isi atau pesan yang ia utarakan. Bahwa banyak sastra populer yang hanya bicara soal cinta, dangkal, dan tidak punya kesadaran sosial-politik lebih daripada jargon-jargon moral, itu benar. Namun, ada kebenaran juga yang bisa diambil dari kekurangan-kekurangan sastra populer ini: bahwa sastra populer bicara tentang hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat kita, dan dengan demikian lebih mudah diterima dan punya pengaruh dalam praksis masyarakat.

Terdapat dua hal yang khas dalam tradisi kritik Marxian. Pertama, kritik harus dilancarkan secara internal, yakni dalam kategori-kategori yang ia kritik itu sendiri. Marx mengkritik kapitalisme mula-mula bukan dengan cara membuat teori-teori, dikotomi-dikotomi baru, melainkan dengan mendasarkan diri pada kategori-kategori pengetahuan tentang kapitalisme itu sendiri, menemukan kontradiksinya, lalu mencari kemungkinan-kemunngkinan perubahan dalam struktur itu sendiri. Kedua, kritik harus diradikalkan dalam bentuk praksis mengubah keadaan yang ia kritik.

Dengan demikian, tugas utama kritik—terutama kritik Marxian—bukanlah terlibat dalam menyuburkan sastra serius. Pena kritik mesti diarahkan pada sastra populer. Bukan sebagai musuh kritikus. Dan kritikus bukan sebagai begawan adiluhung yang mengajarkan seperti apa sastra seharusnya.

Kritikus justru dituntut untuk berbaur dengan sastrawan populer, menteorikan pengetahuan mereka tentang praksis, membantu mereka dalam mengidentifikasikan problem-problem sosial untuk kemudian diartikulasikan dalam bentuk sastra, serta menunjukkan arah-arah kemungkinan perkembangan estetika penulis sastra populer.

Dalam kata lain, menjadi kritikus Marxian adalah menjadi aktivis. Kerja kritik adalah kerja pengorganisasian pengetahuan dan pengorganisasian sosial. Seorang kritikus adalah mereka yang berhadapan dengan pekerja sastra dengan satu seruan: penulis chicklit se-Indonesia, bersatulah!

Daftar Pustaka
Ananta Tur, Pramudya. 1985. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra.
Bandel, Katrin. 2013. Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas. Jogjakarta: Pustaha Hariara.
Budiman, Hikmat. 2002. Lubang Hitam Kebudayaan. Jakarta: Kanisius.
Dharta, A.S., dan Budi Setiyono (penyunting). 2010. Kepada Seniman Universal, Kumpulan Esai Sastra A.S. Dharta. Ultimus: Bandung.
Foulcher, Keith, dan Tony Day (penyunting). 2002. Clearing A Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV Press.
Sastrowardoyo, Subagyo (penyunting), 2013. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Bandung: CV Angkasa
Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur Cahaya.
Sumardjo, Jakob. “Sastera Populer dan Pengajaran Sastera”, dalam Basis no. 5, Th. XXXI, Mei 1982.
Farid, Hilmar dan Razif. “Batjaan Liar in the Dutch East Indies: A Colonial Antipode”, dalam Postcolonial Studies, Vol. 11, No. 3, 2008
Adorno, Theodore, dan Max Horkheimer. “Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception”, dalam Dialectic of Enlightenment, 1944,
Arief, Yovantra. “Ideologi dan Kritik Sastra: Ketika Politik jadi Panglima, 1902-1965”, di laman https://indoprogress.com/2013/06/ideologi-dan-kritik-sastra-ketika-politik-jadi-panglima-1920-1965/#_edn10

[1] A.S. Dharta, “Ukuran Bagi Kritik Sastra Dewasa Ini”, pidato pada simposium Fakultas Sastra, Jakarta, Januari 1956. Dimuat dalam Budi Setiyono (editor), Kepada Seniman Universal, Kumpulan Esai Sastra A.S. Dharta, 2010, Ultimus: Bandung.
[2] Sumardjo, Jacob, “Sastera Populer dan Pengajaran Sastera”, dalam Basis no. 5, Th. XXXI, Mei 1982.
[3] Hilmar Farid dan Razif, “Batjaan Liar in the Dutch East Indies: A Colonial Antipode”, dalam Postcolonial Studies, Vol. 11, No. 3, 2008
[4] Doris Jedamski, “Popular Literature and Postcolonial Subjectivities: Robinson Crusoe, The Count of Monte Cristo and Sherlock Holmes in Colonial Indonesia”, dalam Clearing A Space: Postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature, Keith Foulcher dan Tony Day (eds), Leiden: KITLV Press, 2002, hal. 20-24.
[5] Lihat Yovantra Arief, “Ideologi dan Kritik Sastra: Ketika Politik jadi Panglima, 1902-1965”, di laman https://indoprogress.com/2013/06/ideologi-dan-kritik-sastra-ketika-politik-jadi-panglima-1920-1965/#_edn10
[6] Lihat artikel yang ditulis oleh Tirto Adhi Suryo berjudul “Kekejaman di Banten” yang mengulas novel Max Havelaar dalam Pramudya Ananta Tur, Sang Pemula, 1985, Jakarta:Hasta Mitra, hal. 223, atau ulasan singkat mengenai buku Babu Delima dalam artikel “Oleh-oleh dari Tempat Pembuangan”, dalam Sang Pemula, hal. 245.
[7] Termuat dalam surat kabar Tjhun Tjhiu 84, 1914, hal. 23, sebagaimana dikutip dalam Hilmar Farid, “Batjaan Liar in the Dutch East Indies: A Colonial Antipode”, Postcolonial Studies, Vol. 11, No. 3, 2008, Routledge, hal. 286.
[8] Lihat catatan kaki 4 dalam Farouk, “Novel Indonesia Mutakhir: Menuju Teori yang Relevan”, dalam Subagyo Sastrowardoyo (penyunting), Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan, 2013, Bandung : CV Angkasa, hal. 157
[9] Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, 2002, Jakarta: Kanisius
[10] Bandingkan dua edisi jurnal Prisma yang telah disebut di atas, dan Novel Populer Indonesia (Jakob Sumardjo, 1982, Yogyakarta: Nur Cahaya),
[11] Lihat misalnya Jakob Sumardjo, Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik, 1979, Yogyakarta: Nur Cahaya. Dalam buku tersebut, Sumardjo memberi perbandingan tentang sastra populer dengan sastra serius dalam hal plot, tema, isi, dan unsur inovasi. Kita digiring pada sebuah opini bahwa sastra populer hanya melayani nafsu menghibur diri semata tanpa isi yang lebih “bergizi” bagi kehidupan manusia; ia hanya membicarakan soal cinta, tidak memiliki ambisi untuk membaharui atau memperkaya khazanah sastra, penokohannya cenderung stereotipikal, penggarapan isunya cenderung cetek, dst. Analisa ini mendasarkan diri bahwa sastra yang baik harus berbobot, harus membicarakan hal-hal yang esensial dalam hidup manusia, harus punya penokohan yang di luar stereotipe, harus punya kebaruan, dst; ciri-ciri yang dilekatkan pada “sastra serius”.
[12] Novel Saman, ketika pertama terbit, mendapat publikasi yang luar biasa di media massa. Kritikus-kritikus ramai memuji novel tersebut. Kompas bahkan mempromosikan Saman tanpa catatan kritis sama sekali. Tentu masih ada yang bersikap kritis terhadap novel tersebut (Katrin Bandel dan Pramoedya Ananta Tur, misalnya), namun suara mereka minor. Segala macam pujian ini membuat kritik menjadi sekadar advertising, hanya bunga kata untuk mendongkrak penjualan Saman. Lihat Lubang Hitam, hal. 157
[13] Katrin Bandel, “Falosentrisme dalam Novel Ayu Utami”, dalam Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas, 2013, Jogjakarta: Pustaha Hariara, hal. 167-185
[14] Katrin Bandel, “Etnisitas dan Kota”, dalam Op.cit, hal. 63-79
[15] Lihat Theodore Adorno dan Max Horkheimer, “Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception”, dalam Dialectic of Enlightenment, 1944, http://www.marxists.org/reference/archive/adorno/1944/culture-industry.htm