Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Selasa, 28 Februari 2017

Warisan Gerson Poyk

Reportase: Dea Anugrah | 28 Februari, 2017

Apakah Anda membaca karya-karya Gerson Poyk? Menurut Anda, 
apa warisan terpentingnya sebagai penulis?




tirto.id - Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati menyisakan karpet bulu, pengarang mati menitipkan pelbagai dunia dalam kepala para pembacanya. Karya-karya pengarang Argentina Jorge Luis Borges, misalnya, tetap dibicarakan banyak orang, dengan pokok bahasan yang terus berkembang, meski ia telah wafat berpuluh-puluh tahun lalu.

Novelis dan doktor matematika Guillermo Martinez, dalam bukunya Borges y la matemática (2003), membahas konsep-konsep matematis modern yang ia temukan dalam karangan Borges. Cerita pendek "The Library of Babel" (1941), menurutnya, menunjukkan gagasan geometri yang kompleks (Perpustakaan Babel terdiri dari ruangan-ruangan segi enam yang “kelilingnya tak terpermanai” dan “setiap ruangan bisa dianggap sebagai pusatnya”). Cerita itu, tulis Martinez, juga membicarakan ketidakterbatasan matematis sebagaimana “The Book of Sand” (1975) dan beberapa esai serta cerita pendek lain karangan Borges.

Pengarang Indonesia pada umumnya tentu bernasib lain dari Borges, yang para pembacanya bukan hanya lebih banyak dan serius, tetapi juga mempunyai latar keilmuan yang beragam. Sudah jadi pengetahuan umum bahwa sebagian besar pembaca karya-karya sastra Indonesia ialah orang-orang yang sehari-hari mengembik dan memamah biak di lapangan sastra Indonesia itu sendiri: mahasiswa, pengarang, kritikus, dan lain-lain.

Namun, Gerson Poyk, pengarang Indonesia asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, yang meninggal dunia pada Jumat, 24 Februari lalu, mempunyai kasus yang agak unik: beberapa karyanya dibicarakan oleh orang-orang dari luar pagar.

Pakar Asia Tenggara David T. Hill dari Murdoch University, Australia, menulis tentang cerpen Gerson, “Matias Akankari”, dalam Journal of the South Pacific Association for Commonwealth Literature and Language Studies jilid 34-35 (1992-93). Kemudian, pada 2014, Stephen Rankin dalam “Crossing into the Cultural Other: A Dialogic Reading Strategy” yang diterbitkan jurnal Ariel: a Review of International English Literature edisi 45 membicarakan cerpen Gerson, “Kuta, di sini Cintaku Kerlip Kemerlap.”

“Matias Akankari” adalah cerita pendek pertama tentang Papua yang terbit di Indonesia, yaitu pada 1972. Di dalamnya, Gerson mengisahkan bagaimana seorang pria dari suatu rimba di Papua kebingungan dan tersingkir di Jakarta. Cerita yang penuh adegan jenaka itu (misal: Matias, tokoh utamanya, terkenang bagaimana ia diusir dari gereja karena mencopot kotekanya yang telah ia modifikasi jadi seruling dan memainkannya buat menambah kesyahduan ibadah) meledek rezim Soeharto yang secara semena-mena hendak menyeragamkan masyarakat Indonesia dalam ukuran-ukuran Jawa.

Pada 1970, pemerintah Indonesia mengadakan “Operasi Koteka” yang memaksa orang-orang Papua menggantikan pakaian tradisional mereka dengan “pakaian Indonesia.” “Stasiun televisi milik negara, TVRI, bahkan menyiarkan adegan rekaan orang-orang Papua membuang koteka dan menyambut pantalon keluaran pemerintah,” tulis Hill.

Dan tiga tahun sebelum penerbitan “Matias Akankari”, kita tahu, pemerintah Indonesia menggelar referendum abal-abal di Papua. Seturut proposal PBB, semestinya setiap orang Papua punya hak pilih untuk menentukan nasib Papua: bergabung dengan Indonesia atau merdeka, tetapi kenyataannya, dari 800 ribuan rakyat Papua pada waktu itu, hanya 1.025 “utusan” yang dilibatkan, itu pun di bawah pengawasan ketat oleh tentara Indonesia.

“'Matias Akankari,'” tulis Hill, "mungkin tidak ditulis untuk orang Papua dan tidak menggunakan cara pandang mereka. Namun, ia menawarkan kemungkinan yang menarik buat menyelipkan Papua dalam sastra Indonesia.

Dalam cerpen “Kuta, di sini Cintaku Kelip Kemerlap”, Gerson menyajikan pembacaan yang menarik dan unik, setidaknya dari perspektif Barat, atas konsekuensi turisme yang kompleks. Narator sekaligus tokoh utama cerpen itu melacur, tetapi menganggap diri martir bagi keluarganya sekaligus kekasih bagi turis perempuan yang ia layani.

“Sekalipun berlatar Bali, cerita itu menawarkan naratif yang dapat mewakili pengalaman Indonesia dan rakyatnya sebagai subjek eksploitasi ekonomi Barat,” tulis Rankin.

Dalam wawancaranya dengan Agustinus Tetiro dari Flores Sastra pada 12 Oktober 2016, Gerson bicara banyak soal tugas penulis buat menyampaikan kebenaran. Ia bilang, tujuannya menulis karya sastra adalah “merangsang pertumbuhan pribadi manusia”, seperti guru dan rohaniwan, dan agaknya ia menganggap diri telah berhasil.

Dalam konteks itu, Gerson mengaku “lebih kuat” ketimbang Ernest Hemingway dan “selalu bisa menulis lebih bagus daripada The Old Man and The Sea.”

Namun, karya sastra tentu tak hanya bisa dan perlu dibaca sebagai dokumen sosial. Seperti dua sisi pada satu koin, “pesan” dan “mutu sastrawi” karya sastra sama penting. Dan berbeda dari urgensi pesan yang relatif dan bergantung pada konteks, ada ukuran-ukuran baku buat menilai mutu sastrawi.

Menurut kritikus sastra Indonesia Zen Hae, Gerson Poyk kerap kelimpungan mengurusi pemilahan suara. “Hampir tidak ada beda antara pengarang, narator, dan tokoh cerita,” ujarnya kepada Tirto. “Pengarang mendesak hingga ke depan sehingga pengetahuan dan nalar tokoh atau narator cerita ialah pengetahuan si pengarang.”

Dalam cerita pendek Gerson “Jaket Kenangan” yang diterbitkan Kompas pada 24 April 2016, ada senandika atau monolog interior berikut: “Bagiku menolong orang bukan didorong oleh semacam rasa superior atas orang lain. Atau untuk dipuji dan dihormati. Bukan. Di dalam jiwaku ada semacam imperatif kategoris, semacam perintah dari dalam diri untuk berbuat baik kepada orang lain.”

“Imperatif kategoris” adalah konsep pokok dalam filsafat moral Immanuel Kant. Menurut Kant, manusia menempati kedudukan khusus dalam penciptaan, dan karenanya manusia dilengkapi “panggilan yang tak dapat ditolak” untuk menjalankan kewajiban-kewajiban moral.

Di Indonesia, “imperatif kategoris” merupakan istilah yang asing, kecuali bagi para peminat filsafat, dan istilah itu tidak menyumbangkan apa-apa buat karakterisasi dalam “Jaket Kenangan.” Mengapa Gerson menggunakannya? Dalam wawancaranya dengan Agustinus, Gerson mengatakan: “Saya kagum pada Immanuel Kant dalam pembahasan tentang libido kekuasaan dan moral. Tolong kenalkan imperatif kategoris: diperintahkan supaya kamu bermoral. Tuhan yang beri sendiri itu.”

Kasus serupa juga terjadi pada karya-karya lain Gerson. Narator dan tokoh dalam cerpen “Sorghum”, misalnya, lempang saja mengucapkan “reservoir”, “black magic”, “radar”, “Don Juan”, dan “semesta kenangan berdebu”, seakan-akan tak ada pilihan kata lain yang lebih sesuai untuk mereka, seorang petani tua di Nusa Tenggara Timur dan keponakannya yang baru kembali.

Namun, di sisi lain, Gerson terampil menjaga minat pembaca untuk membaca cerita-ceritanya sampai rampung dan membikin kejutan lewat pemelintiran plot. Kemampuan itu tampak pada, misalnya, cerpen “Surat-surat Cinta Aleksander Rajagukguk.” Kecil kemungkinan pembaca menduga tokoh utama cerita itu, yang berutang budi kepada seekor anjing, ternyata malah bergembira saat anjing itu ditembak mati. Alasannya, malam itu ia jadi bisa makan daging bersama kawan-kawannya.

Contoh lainnya ialah “Mutiara di tengah Sawah.” Setelah menyeret pembaca ke sana-kemari dalam arus pikiran narator yang pelik, cerita itu, lewat percakapan yang tidak terkesan diada-adakan, menyingkapkan rahasia bahwa segala keruwetan itu sebenarnya cuma buah kesalahpahaman plus niat baik yang naif.

26 Februari lalu, AS Laksana menuliskan kenangannya atas Gerson Poyk dalam kolom tetapnya di Jawa Pos. Ia mengaku menyenangi “kelincahan bertutur Gerson dan kemampuannya menggarap cerita tentang kemiskinan dalam cara yang gagah dan lucu.”

“Sebagian besar tokoh cerita Gerson adalah orang-orang miskin, sama seperti beberapa pengarang Indonesia. Bedanya, ia selalu bisa melihat sisi jenaka orang-orang melarat itu dan sepertinya tidak berminat menjadikan mereka bahan penguras air mata,” tulis AS Laksana.
Apakah Anda membaca karya-karya Gerson Poyk? Menurut Anda, apa warisan terpentingnya sebagai penulis? 
https://tirto.id/warisan-gerson-poyk-cjQ9

Selasa, 07 Februari 2017

Belajar Menghadapi Malam Pertama Bersama Gowok

Reporter: Petrik Matanasi | 07 Februari, 2017

Ilustrasi perempuan Jawa tempo dulu. FOTO/KITLV
tirto - Ketika baru pertama kali datang ke Indonesia, Indonesianis sohor Ben Anderson berkenalan dengan banyak mahasiswa yang kuliah di Jakarta. Salah satu dari mereka adalah pemuda asal Bagelen, salah satu daerah di Purworejo, Jawa Tengah. Soal pemuda ini, Ben berhasil mengorek bahwa keluarganya adalah pendukung PKI sejak 1926. 

“Ya, bapak saya selalu pilih PKI dan kakek saya PKI tulen, ditangkap waktu pemberontakan tahun 1926-27. Buat gua, PKI adalah garis leluhur,” kata si mahasiswa asal Bagelen ini kepada Ben. 

Karena di mata Ben pemuda Bagelen terpelajar ini cukup nakal—suka minum bir dan menggoda gadis-gadis—maka di hari lain, Ben iseng bertanya soal seks.

“Pengalaman pertama dengan cewek bagaimana?” tanya Ben. 

Ternyata, ada ada adat yang rada unik di desa si pemuda Bagelen ini. Tanpa ragu, si pemuda ini bercerita: di desanya ada seorang perempuan berusia sekitar 40 tahun, tak pernah kawin, hidup tanpa famili, dan sangat dihormati tokoh-tokoh desa. Tugas wanita itu adalah mengajarkan seks bagi anak-anak muda. Saat pemuda Bagelen ini berumur 15 tahun, ia dibawa ke rumah perempuan itu. Ia disuruh tidur di sana selama satu malam dengan si perempuan. 

“Sukses,” kata si pemuda Bagelen ini, walau awalnya gugup. 

Saat bercerita, Ben lupa menyebutkan bahwa perempuan yang mengajari soal seksualitas pada si pemuda itu punya sebutan. Mereka biasanya disebut gowok.  

Kisah sang pemuda Bagelen itu mirip dengan cerita dalam novel berlatar tahun 1950an: Nyai Gowok (2014) karya Budi Sardjono. Dalam karya fiksinya ini, Budi bercerita tentang Bagus Sasongko yang dititipkan pada Nyai Lindri, seorang gowok yang aslinya bernama Goo Hwang Lin. 

Goo Hwang Lin ini adalah keturunan dari Goo Wok Niang, yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho ke Jawa. Goo Wok Niang digambarkannya sebagai pembawa tradisi gowok asal Tiongkok ke Jawa. Menurut Budi dalam novelnya, kata gowok dipakai untuk mengenang Goo Wok Niang. 

Setidaknya, sudah ratusan tahun tradisi nan tabu ini hadir di Jawa. Jauh sebelum Budi Sardjono, menurut catatan buku Sastera Melayu dan Tradisi Kosmopolitan (1987), “Pada tahun 1936, Liem Khing Hoo menulis sebuah novel etnografis lagi yang berjudul Gowok dan yang cukup menghebohkan.” 

Terlepas dari rekonstruksi imajiner Budi Sardjono dan Liem Khing Hoo, Ahmad Tohari dalam novel legendarisnya juga menyinggung dunia gowok, tak jauh beda dengan yang digambarkan Budi Sardjono. Menurut Ahmad Tohari, Gowok digambarkan sebagai perempuan yang disewa oleh untuk mengajarkan banyak hal tentang kehidupan bagi seorang bujangan yang hendak menikah.

“Gowok adalah seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa. Dan menjelang kawin.....Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada anak laki-laki itu banyak hal perikehidupan berumah-tangga. Dari keperluan dapur sampai bagaimana memperlakukan seorang istri secara baik. Misalnya bagaimana mengajak istri kondangan dan sebagainya. Selama menjadi gowok dia tinggal hanya berdua dengan anak laki-laki tersebut dengan dapur terpisah,” kata Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk (1982). 

“Masa pergowokan biasanya berlangsung hanya beberapa hari, paling lama satu minggu. Satu hal yang tidak perlu diterangkan tetapi harus diketahui oleh semua orang adalah hal yang menyangkut tugas inti seorang gowok. Yaitu mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru,” tulis Tohari. 

Novel Ronggeng Dukuh Paruk berlatar di daerah Banyumas. Kabupaten ini tak terlalu jauh dari daerah Bagelen (Purworejo) dan Temanggung, tempat asal kawan Ben dan kampung Bagus Sasongko. 

Iman Budhi Santosa, penulis lain, punya definisi dan gambaran yang mirip dengan Tohari dan Sardjono. Dalam bukunya Kisah Polah Tingkah: Potret Gaya Hidup Transformatif (2001), Iman menyebut bahwa gowok punya peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat di masa lalu.

“Begitu lamaran dari calon pengantin pria diterima dan hari pernikahn ditentukan, kedua keluarga harus bersepakat memilih gowok untuk calon pengantin pria tersebut... Setelah persetujuan tercapai, keluarga calon pengantin pria menghubungi gowok yang bersangkutan... Selanjutnya calon pengantin pria diserahkan kepada gowok (tinggal di rumah gowok) untuk mendapatkan pelajaran teori maupun praktik perihal seluk-beluk hubungan suami-istri. Diharapkan apa yang diperoleh dan dipraktikkan gowok tersebut dapat dikuasai dengan baik (mahir) supaya nantinya dapat mengajari istrinya.”

Dulu, menurut Iman, memang terdapat profesi gowok di Banyumas. Gowok berperan sebagai pemberi pelajaran dan praktik hubungan seks kepada calon pengantin pria. Mereka biasanya adalah wanita dewasa yang berusia 23-30 tahun.
Sebelum perkawinan yang dianggap sakral, wajib hukumnya seorang laki-laki untuk belajar bagaimana menafkahi batin istri. Bekerja banting tulang untuk kebutuhan materi belum dianggap cukup sebagai persiapan berumah-tangga. 

Penekanan soal ini juga ada di bagian-bagian akhir novel Nyai Gowok. Misalnya saat Nyai Lindri berpesan kepada Bagus Sasongko: “Saya akan senang jika kelak mendengar Mas Bagus bisa membahagiakan istrimu lahir batin...” 

(tirto.id - pet/msh)
https://tirto.id/belajar-menghadapi-malam-pertama-bersama-gowok-cit7

Kamis, 02 Februari 2017

Mencari Umbu, Mencari Suaka Waktu

Riki Dhamparan Putra | February 2, 2017 


Umbu Landu Paranggi, seniman kharismatik yang banyak membina para seniman seperti Emha Ainun Nadjib, Raudal Tanjung Banua, Riki Dhamparan Putra, Wayan Sunarta, dan banyak lainnya | Jengki

Guru, waktu, Umbu (penyair Umbu Wulang Landu Paranggi) telah menjadi tiga topik yang menyertai perjalanan hidup saya. Mungkin karena guru dan waktu sepertinya ditakdirkan untuk seiring sejalan sebagai makhluk Tuhan. Waktu yang kita sangka diam, sebenarnya berbicara lewat guru. Yakni melalui bimbingan dan pengajaran. Sedangkan kebenaran perkataan dan tindakan seorang guru, dibuktikan oleh waktu.
Memang ilmu pengetahuan bertebar di mana-mana. Tapi ilmu pengetahuan itu, sebagaimana kata Imam Ghazali, masih sesuatu yang hilang dari diri kita. Siapa yang tidak mencari, tidak akan mendapatkannya. Dan sebaik-baik pencarian itu dengan berguru. Maka dikatakan dalam pepatah, tiap-tiap ilmu yang dituntut tanpa bimbingan guru, cenderung tersesat. Itulah sebabnya dalam wawasan kearifan tradisional kita, guru tidak dibantah kecuali dengan ilmunya.
Hal ini pun berlaku dalam proses jalannya peradaban manusia. Tatkala pengawalan negara dan politik melemah, gurulah yang memelihara keberlanjutan ilmu dan proses peradaban. Tatkala politik dan kekuasaan sejak dari zaman Pasai sampai Mataram Islam saling baku tikam, para guru justru saling memperkuat tali silsilah keilmuannya satu sama lain dan menerangkan dunia dengannya. Oleh karena itu, tak salah jika dikatakan, seorang guru hakikatnya adalah tali penyambung peradaban. Memuliakan guru, pada dasarnya merupakan sebentuk harapan untuk terus memuliakan ilmu dan peradaban.

Suaka
Tahun 1996, sebuah suaka budaya berdiri di sudut kota Denpasar. Umbu menyebutnya Intens Beh (Inspirasi Tendangan Sudut Jalan Bedahulu) karena memang berada di bagian paling ujung jalan Bedahulu, Denpasar Barat. Lebih tepatnya nama itu adalah sebuah kode yang selalu menyertai tanda tangan Umbu Landu Paranggi pada kardus-kardus bekas kertas koran yang selalu ia bawa dari kantornya di Bali Post ke rumah Bedahulu. Kardus-kardus itu sebagai pengganti kasur buat tidurnya dan buat para ‘santri’ yang tinggal di rumah tersebut.
Baru belakangan nama Intens Beh mulai dipergunakan sebagian teman untuk mengidentifikasi aktifitas di Bedahulu yang dimulai berbarengan dengan munculnya krismi, krismon, kripik (kisis ekonomi, krisis moneter, krisis politik) melanda Republik Indonesia pada tahun 1997. Dalam perjalanan waktu, tempat sederhana itu menjadi suaka yang masyhur di kalangan publik sastra di Bali. Menjadi sebuah habitus tanpa struktur kekuasaan, tempat berlindung, menggembleng dan mengembangkan diri bagi ‘serangga-serangga kecil’ korban arus besar pembangunanisme dan urbanisme yang sedang gencar menghantam Denpasar.
Patut dipertimbangkan, ketika suaka Bedahulu muncul, masyarakat Bali tengah memasuki fase transisi budayanya yang paling dramatis – dari struktur agraris ke masyarakat megapolitan yang wujudnya baru dirasakan orang belakangan ini. Sikap pemerintah daerah Bali (1988-1998) yang sangat kooperatif terhadap investor telah mempercepat proses transisi itu.
Ada sejumlah penanda penting yang mengiringi fase itu. Antaranya, satu, trend massal menonton serial silat Cina (Pendekar Rajawali) di salah satu tipi swasta. Kedua, mulainya era pembebasan tanah besar-besaran untuk perumahan mewah di pinggir Denpasar. Ini kelanjutan dari proses pembebasan lahan untuk kawasan pariwisata yang telah mulai sejak 1990 dan berlangsung sejalan dengan terjadinya krisis air bersih di Bali sebagaimana dinyatakan dalam laporan penelitian BLH pada 1996.
Ketiga, di bidang pendidikan formal, pada tahun 1996 berdiri program kajian budaya pasca sarjana Universitas Udayana untuk menyambut arus wacana kritisisme pembangunan pariwisata Bali yang telah gencar disuarakan di forum-forum aktivis dan kalangan lsm. Glokalisasi kapitalisme mulai dikritisi, dan golkarisasi politik mulai digugat.
Keempat, berkembangnya prasangka antar etnis dan agama serta meningkatnya skala kekerasan berbasis adat sebagai reaksi atas kepanikan ekonomi dan efek dari pewacanaan fundamentalisme agama yang berlangsung secara internasional melalui media massa. Sekalipun akumulasi budaya prasangka itu baru mengental pada tahun 2002 ke atas, wacana publik telah diramaikan oleh bias atas lokalitas itu. Fenomena itu dipermarak dengan munculnya wacana larangan terbang di atas langit Nyepi dan munculnya polisi adat di Sanur sejak tahun 1996. Di sektor ekonomi non formal, terjadi konflik-konflik perebutan hak kelola aset wisata antara pihak militer dan sipil – adat, serta terganggunya komunikasi antara pendatang dan penduduk asli.
Semua penanda itu seakan menjadi miniatur dari fenomena yang sama di daerah-daerah lainnya. Yang pada level nasional kemudian menjelma menjadi sebuah ledakan sosial budaya yang mendapat momentum pada kejatuhan Soeharto pada tahun 1998. Di Bali pasca reformasi, kita tau Bali berturut-turut mengalami musibah dengan cap internasional seperti bom Paddys dan SC – sebagai satu hantaman kepada simbol kapitalisme. Apakah dalam proses itu kapitalisme runtuh? Jawabnya tidak. Keruntuhan satu simbol kapitalisme, berarti kebangkitan baru bagi kuasa kapitalisme yang lebih besar.
Ditinjau dengan kacamata politik konspirasi global, penanda-penanda kerisis yang wujud antara akhir tahun 1990-2000-an di Bali itu, merupakan bagian dari proses transformasi global menuju satu dunia, satu tujuan. Sebuah visi penguasaan dunia untuk menciptakan dunia yang konspiratif, seragam, materialis. Tak heran, kalau sasaran utama yang jadi mainan projek transformasi global itu adalah simbol-simbol keadaban masyarakat, sumber-sumber hidup yang pokok, dan nilai-nilai yang dipanuti.
Idealnya, sastra dapat menjadi suaka agar keadaban itu tidak lenyap dari memori dan hidup masyarakat. Tapi kenyataan toh berkata lain. Sastra pun tak luput, malahan turut menjadi bagian dari percepatan projek transformasi global itu. Sama seperti tanah dan pekarangan-pekarangan Bali yang menghilang ke kancah ‘internasional’ melalui alih fungsi kepemilikan, sastra pun kehilangan tuahnya melalui proses pengglobalan yang sama. Budaya gradag-grudug sastra melemah, digantikan oleh event-event profesional dengan spanduk internasional. Apa yang hilang dalam proses semacam itu adalah kesederhanaan, kemandirian, dan kemampuan Bahasa Indonesia (sastra) untuk mentransendensi gejala-gejala. Tuah yang seharusnya tidak boleh lenyap dalam sastra.
Pada latar belakang seperti itulah, suaka Intens Beh perlu diberi nilai. Habitus kecil itu, yang digerakkan dengan semangat swadaya dan sikap ngotot pengasuhnya pada kesederhanaan, kemandirian dan kesunyian yang transenden itu, merupakan sebuah inspirasi, yang menantang realitas yang ada.
Ada keriangan hidup yang tidak bisa kita temukan di tempat lain, saat para santri dan simpatisan yang berasal dari beragam profesi berkumpul secara rutin di jalan Bedahulu itu. Keriangan yang kontemplatif tentu saja. Yang membawa orang kembali kepada alam kanak-kanaknya, yang notabene adalah permulaan diri sosialnya.
Umbu tampaknya, termasuk orang yang yakin bahwa seluruh kerisis kemanusiaan dapat dipulihkan dari diri yang menjadi sumber kerisis itu. Karena itu jalan untuk mengatasi kerisis adalah dengan mengenali diri. Hanya di dalam diri yang mengetahui sangkan paran itu lah, waktu dapat didiamkan. Inilah makna semboyan run deep run silent yang rutin dibubuhkan Umbu pada sela-sela kosong di halaman Apresiasi koran BPM yang diasuhnya. Kiranya, diri itu pula yang dilewatkan dalam model pengajaran di sekolah formal kita, dan secara umum juga dialpakan dalam dinamika kontemporer kita. Tak heran, kalau SDM yang diproduk dari dunia pendidikan kita kebanyakan adalah SDM yang hanya terlalu pintar, tapi tidak tau akan dirinya. Dalam beberapa kasus, malahan tidak tau diri.
Sulit dipikirkan, Umbu yang bukan nguru ngaji, bukan pendeta,dan bukan apa-apa itu mendidik orang dalam prinsip yang sama dengan anjuran hadis, man arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu (bagi siapa yang mengenal dirinya, ia menemukan Rabbnya). Rabb itu, tiada lain Ia lah Suaka yang sebenarnya. Diri Sunyi yang akan membawa manusia keluar dari kerisis kontemporer yang telah membuat waktu terilusi sedemikian rupa.
Riki Dhamparan Putra, Penyair dan musafir yang lahir di Padang, besar di Bali, dan sekarang di Jakarta. Buku puisinya adalah Percakapan Lilin (2004) dan Mencari Kubur Baridin (2014)