Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Senin, 12 Oktober 2009

Rivai Apin Menguak Teeuw


Senin, 12 Oktober 2009
Oleh: Asep Sambodja


Kritikus sastra A. Teeuw (1978, 1989) menghajar penyair Rivai Apin berkali-kali dalam bukunya Sastra Baru Indonesia 1 dan Sastra Indonesia Modern II. Teeuw tidak sekadar mengkritik, tapi juga terkesan “mematikan” salah satu penyair Angkatan ’45 yang telah menghasilkan buku kumpulan puisi Tiga Menguak Takdir bersama Asrul Sani dan Chairil Anwar (1950) dan Dari Dunia yang Belum Sudah (ed. Harry Aveling, 1972). Berikut saya kutip pernyataan Teeuw tersebut.
“Rivai Apin ternyata ahli esai yang tidak begitu besar bakatnya seperti Asrul Sani, dan dia tidak juga penting sebagai penyair. Dari apa yang saya ketahui tentang sajak-sajaknya, maka karya-karya itu tidak lebih dari gejala pancaroba yang menarik minat sambil lalu saja” (Teeuw, 1978).
“Dalam sajak-sajak Rivai, emosi merupakan objek dan bukan pendorong, dan oleh karena itu, bahayanya ialah bahwa sajak-sajak itu merosot menjadi seruan. Sudah tentu seruan-seruan ini kadang-kadang menggelikan hati, dan kadang-kadang seruan itu sesungguhnya meninggalkan kesan yang menggemparkan dan dari segi lahir menimbulkan persamaan dengan puisi sebenarnya. Selain itu jangan dilupakan bahwa pada tahun-tahun permulaan sastra Indonesia modern, sajak-sajak ini sesungguhnya menggemparkan, dan sudah pasti merupakan suatu pembaruan. Tetapi menurut pandangan saya, 20 tahun kemudian jaranglah ataupun tidak ada sama sekali sajak Rivai yang masih hidup, dan sesungguhnya malah di Indonesia sajak-sajaknya mungkin telah dilupakan” (Teeuw, 1978).
“Terhadap Rivai Apin barangkali bisa dikemukakan alasan bahwa sejak semula ia memang tidak pernah tampil sebagai pengarang penting. Oleh karena itu, tidak terlalu aneh jika ia tidak pernah menghasilkan karya kreatif sebuah pun selama memainkan peranan yang penting di dalam Lekra” (Teeuw, 1989).
“Kekuasaan PKI tamat pada akhir yang berdarah dan penuh kekerasan, dan bersama dengan itu juga Lekra lenyap. Di antara ratusan ribu orang yang terbunuh atau ditahan ketika itu termasuk banyak pimpinan Lekra dan organisasi-organisasi sekutunya, misalnya Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Bakri Siregar, dan Buyung Saleh” (Teeuw, 1989).
Benarkah puisi-puisi Rivai Apin sudah dilupakan di Indonesia? Kalau kita membaca Laut Biru Langit Biru dan Puisi Indonesia Modern yang dihimpun dan ditulis oleh Ajip Rosidi (1977, 1987), karya-karya Rivai Apin memang terlupakan atau dilupakan; salah satunya karena alasan politis. Bahwa Rivai Apin adalah sastrawan Lekra. Tapi, “ramalan” Teeuw bahwa “20 tahun kemudian jaranglah ataupun tidak ada sama sekali sajak Rivai yang masih hidup” tidak benar sama sekali. Pada 2002, Taufiq Ismail dan kawan-kawan menerbitkan Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi dan memberi ruang pada puisi-puisi Rivai Apin untuk tetap hidup dan dibaca masyarakat Indonesia. Begitu pula pada 2008, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan menerbitkan Gugur Merah: Sehimpunan Puisi Lekra Harian Rakjat 1950-1965 yang mau tidak mau memunculkan nama Rivai Apin kembali.

Dalam Taufiq Ismail (2002) ada tiga puisi Rivai Apin yang tidak dilupakan, yakni “Elegi”, “Dari Dunia Belum Sudah”, dan “Kebebasan”. Sementara dalam Yuliantri (2008), sebuah puisi Rivai Apin, “Sebagian Telah Didapat” masih terselamatkan. Saya katakan “masih terselamatkan” karena karya-karya sastrawan Lekra diberangus Rezim Orde Baru. Saya masih terheran-heran, kenapa Teeuw menganggap Rivai Apin sebagai penyair yang “tidak penting”? Ini mengingatkan saya pada petinggi Balai Pustaka di zaman kolonial Belanda seperti D.A. Rinkes, G.W.J. Drewes, dan K.A. Hidding yang menganggap karya Mas Marco Kartodikromo dan Semaun sebagai “bacaan liar” karena menggunakan “bahasa Melayu pasar” dan bukan “bahasa Melayu tinggi”. Persoalannya, penting untuk siapa dan tidak penting bagi siapa?

Saya ingin menginterpretasi sebuah puisi Rivai Apin yang—baik penyair maupun karyanya—saya anggap “penting”. Saya kutip puisi “Dari Dunia Belum Sudah” seutuhnya.

Dari Dunia Belum Sudah

Pagi itu aku dengar beritanya,
Aku ke jalan
Orang-orang jualan dan hendak pergi kerja menepi-nepi
Oto-oto kencang, berat dengan serdadu-serdadu dan tank-tank
tak dapat digolakkan

Ada yang meronda, berdua-dua dan bersenjata
Di antaranya ruang lapan-lapan, tapi ada isi!
Semuanya beku padu:
manusia benda dan udara, tapi memperlihatkan harga.

Aku pergi ke teman-teman berbicara, isi mengendap ke kelam
Berita: Yogya sudah jatuh, Maguwo… Karno tertangkap
Hatta, Syahrir…
Kami terus berbicara, atau ke teman, ke teman dan ke teman…
Kami berbicara, menimbang dan melihat kemungkinan
Semua dari satu kata dan untuk satu kata.

Senja itu aku pulang, sarat dengan berita dan kemungkinan,
Di rumahku aku disambut oleh keakuanku yang belum sudah:
Buku yang terbuka, yang belum dibaca dan buku yang harus
aku sudahkan.
Tapi untuk ini aku sudah tinggalkan Bapa dan Abang
Dan baru pula teringat ini hari baru satu kali makan.
—yang periuknya selalu terbuka—Dan aku sudahkan keakuanku
di dalam ruang kuburan yang digalikan oleh nyala pelita
di dalam kegelapan

Tapi malam itu menghentam, sepatu lars pada dinding
kegelapan yang tebal.
Dan ketika mereka telah pergi terdengar ratap perempuan,
bininya atau ibunya.
Padaku tak usah lagi diceritakan, bahwa ada yang dibawa
Aku hanya bisa menekankan kepala pada papan meja,
Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi tapi telah mengejar pula
ke dalam dunia yang belum sudah.


Puisi di atas dikutip dari buku Tiga Menguak Takdir yang terbit pada 1950. Pesan yang ingin disampaikan Rivai Apin adalah adanya penangkapan-penangkapan yang dilakukan Belanda terhadap pemimpin dan orang-orang republik. Penyair merasa gelisah karena Proklamasi Kemerdekaan yang telah didengungkan pada 17 Agustus 1945 mengalami ganjalan karena Belanda melakukan agresi militernya yang kedua pada 1948. Yogyakarta yang saat itu menjadi pusat pemerintahan diduduki Belanda dan para pemimpin Republik Indonesia seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Sjahrir, dan H. Agus Salim ditangkap. Kata “merdeka” yang menjadi impian bangsa Indonesia saat itu seperti tertutup kabut hitam. Dalam suasana yang tidak menentu itu Rivai Apin mengatakan dalam puisinya, “Buncah oleh itu kata yang belum punya bumi, tapi telah mengejar pula ke dalam dunia yang belum sudah.” Dunia yang belum sempurna.

Teeuw mungkin tidak menganggap penting puisi itu. Tapi, bagi bangsa yang setengah terjajah atau 50% merdeka—istilah Heri Latief—peristiwa yang mencekam semacam itu penting dalam sejarah perjuangan. Belanda yang ingin menguasai kembali Indonesia telah membuat perasaan bangsa Indonesia buncah, kacau, kalut, dan gelisah, sehingga untuk berbicara dengan teman-teman sekalipun harus berbisik-bisik. Kegelisahan seorang “inlander” inilah yang ditangkap Rivai Apin dan diekspresikan dalam puisinya. Teeuw tampaknya alergi dengan puisi-puisi realisme sosialis. Dan karenanya ia menganggap puisi semacam itu tidak penting. Karena sejatinya puisi itu menusuk ke ulu hati penguasa Belanda saat itu.

Tertangkapnya trio founding father kita, Soekarno-Hatta-Syahrir dalam peristiwa pendudukan Yogyakarta adalah masa-masa yang mencemaskan bagi bangsa Indonesia. Kemerdekaan yang telah didapat bagaikan bangunan istana dari pasir di tepi pantai yang sewaktu-waktu bisa hancur digerus ombak. Jadi, bagi kami, Rivai Apin adalah penyair yang penting dan patut diperhitungkan.
“Saya menilai tinggi Rivai Apin, karena ia pun mengalami revolusi batin, sehingga berhasil membebaskan diri dari liberalisme. Sebagai seorang bekas tokoh ‘Gelanggang’ dan humanisme universal, ia pun tidak akan segan-segan mengakui kekeliruan-kekeliruannya di masa lalu. Thing and rethink, shape and reshape, dan lahirlah Rivai Apin yang baru,” tulis Pramoedya Ananta Toer di Bintang Timur, 17 November 1963.
Citayam, 12 Oktober 2009


Sabtu, 10 Oktober 2009

Kenapa H.B. Jassin Membela Kipandjikusmin?


Sabtu, 10 Oktober 2009
oleh Asep Sambodja


Ketika kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin mencuat pada 1968, sastrawan-sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sudah dipenjarakan oleh Rezim Soeharto. Dengan demikian, polemik yang ada berkaitan dengan cerpen itu murni persoalan internal sastrawan-sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sastrawan Lekra tidak bisa bicara, karena memang benar-benar dibungkam.

Bermula dari pemuatan cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin di majalah Sastra pada Agustus 1968. Cerpen itu menuai protes dari masyarakat, terutama dari kalangan yang beragama Islam. Karena, dalam cerpen itu ada personifikasi Tuhan dan ada gambaran mengenai Nabi Muhammad dan malaikat Jibril yang dinilai sangat menghina umat Islam. Pada 12 Oktober 1968, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menyita majalah Sastra. Sepuluh hari kemudian, 22 Oktober 1968, Kipandjikusmin menyatakan mencabut cerpennya itu. Akhirnya, pada 24 Oktober 1968, karena kemarahan para alim ulama dan umat Islam, Kipandjikusmin meminta maaf secara terbuka kepada umat Islam. Hal itu diucapkannya di Kantor Departemen Penerangan pada pukul 10.30 WIB (Pradopo, 2002).

Tapi, nasi telah menjadi bubur. Ada yang harus bertanggung jawab atas pemuatan cerpen tersebut. H.B. Jassin yang sudah meminta maaf kepada Budiardjo, Menteri Penerangan saat itu, tetap diajukan ke pengadilan. Sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Sastra, mau tak mau H.B. Jassin harus mempertanggungjawabkannya. Hingga vonis hakim dijatuhkan, H.B. Jassin tidak mau menyebutkan siapa pengarang yang menggunakan nama samaran Kipandjikusmin itu.

Dalam buku Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin (Dahlan, 2004), disebutkan ada dua kemungkinan mengenai hal itu. Pertama, Kipandjikusmin adalah H.B. Jassin sendiri. Kedua, Kipandjikusmin adalah seorang penulis pemula yang tinggal di Yogyakarta dan tengah kuliah di sebuah universitas Islam. Dan, menurut catatan editor buku Pleidoi Sastra, kemungkinan yang kedualah yang mendekati kebenaran.

Kalau kita baca cerpen itu secara utuh, tidak sepenggal-sepenggal, maka pesan kuat yang hendak disampaikan Kipandjikusmin adalah kritiknya terhadap Presiden Soekarno, Soebandrio, dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Soekarno. Dalam pembacaan saya, Kipandjikusmin tidak menjelekkan agama Islam. Yang dijelekkannya adalah Rezim Soekarno, yang saat itu telah dilengserkan dan ditahan Rezim Soeharto (Sambodja, 2006).

Namun, bumbu-bumbu yang digunakan oleh Kipandjikusmin itulah yang dipersoalkan. Cerpen itu tetap dianggap sebagai menghina agama Islam. H.B. Jassin terpojok, namun sastrawan-sastrawan Manikebu membelanya, tapi tidak membela Kipandjikusmin. Taufiq Ismail, misalnya, mengatakan cerpen itu tidak bermaksud menghina Tuhan ataupun agama Islam. “Kipandjikusmin melakukan kekeliruan besar dalam akidah mungkin karena ketidaktahuannya saja. Cerpen ‘Langit Makin Mendung’ itu sendiri tidak bermutu sastra, cerpen yang buruk,” kata Taufiq Ismail (lihat Pradopo, 2002).

Menurut Bur Rasuanto, cerpen “Langit Makin Mendung” merupakan versi lain dari cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. “Hanya saja, A.A. Navis berhasil mengangkat persoalan ke dalam karya sastra bermutu tinggi, sedangkan Kipandjikusmin tidak. Cerpen Kipandjikusmin tidak bermutu sastra, tetapi tidak menghina Tuhan dan Islam,” ujar Bur Rasuanto (Pradopo, 2002).

Ali Audah (dalam Damono, 1987) menilai cerpen “Langit Makin Mendung” tidak menghina agama, karena agama terlalu agung dan luhur untuk dapat dihinakan oleh cerpen semacam itu. “Saya berpendapat nilai sastranya rendah.”

Buya Hamka yang menjadi saksi ahli dalam persidangan H.B. Jassin juga melakukan pembelaan terhadap Jassin, tapi tidak untuk Kipandjikusmin. Bahkan, dalam persidangan itu Hamka meminta agar H.B. Jassin dibebaskan. Hamka menilai Kipandjikusmin sebagai seorang pengecut, karena berlindung di balik nama samaran dan tidak memperlihatkan jati dirinya. Dari segi isi cerita, kalau Kipandjikusmin mengkritik konsep Nasakomnya Soekarno saat Nasakom sudah habis, menurut Hamka, sama saja dengan orang yang menantang berkelahi bangkai yang telah mati. Sikap kesatria itu adalah yang diperlihatkan H.B. Jassin dan kawan-kawan ketika mereka mengeluarkan Pernyataan Manifes Kebudayaan di saat Partai Komunis Indonesia (PKI) masih di puncak dan Nasakom masih berkuasa (Dahlan, 2004).

Ketika hakim menanyakan kepada Hamka sebagai Pemimpin Redaksi Panji Masyarakat, apakah cerpen itu akan memuat cerpen “Langit Makin Mendung” jika dikirimkan ke majalahnya, Hamka menjawab, “Murtad saya dari Islam kalau karangan seperti itu saya muat.” (Dahlan, 2004).

Kalau membaca komentar sastrawan-sastrawan Manikebu—dan Islam—di atas, tampak jelas bahwa mereka menilai karya Kipandjikusmin itu rendah mutu sastranya. Kalau karya itu dinilai rendah, kenapa dimuat di majalah Sastra? Kenapa H.B. Jassin memuat karya itu di majalah sastra yang bergengsi itu? Dalam persidangan, Jassin tetap bersikukuh bahwa dilihat dari segi kritik sastra, cerpen itu bermutu tinggi (Damono, 1987).

Kriteria apakah yang membuat suatu karya sastra bermutu tinggi dan bermutu rendah? Bagi pengamat sastra yang berprinsip karya sastra sebagai karya yang otonom, maka ukurannya adalah kepiawaian pengarang dalam mengolah unsur-unsur karya sastra itu. Bagi pengamat sastra yang berpendirian bahwa karya sastra tidak bisa dilepaskan dari konteksnya, maka yang menjadi ukuran adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya.

Tapi, kalau dilihat dari segi yang lain. Kontroversi semacam ini akan menjadi catatan sejarah yang penting. Katakanlah cerpen “Langit Makin Mendung” bermutu rendah. Namun, sampai sekarang karya itu masih terus dibicarakan, sementara karya sastra “yang bermutu tinggi” yang terbit bersamanya luput dibicarakan. Ini sekaligus memperlihatkan bahwa sebuah karya itu bertarung sendiri dengan waktu.

Pembelaan H.B. Jassin terhadap Kipandjikusmin dan cerpen “Langit Makin Mendung” adalah semata-mata didasarkan pada pentingnya kebebasan berekspresi. Bisa dibayangkan kalau hanya gara-gara diprotes masyarakat mayoritas dan kalangan sastrawan diam dan takluk begitu saja, maka tamatlah riwayat sastra. Dari sini terlihat bahwa lembaga sensor bukan hanya dari penguasa (negara) saja, melainkan dari masyarakat juga. Dan sastrawan memang sejatinya tidak menyerah begitu saja. Menulis karya sastra terkadang harus pula siap menghadapi segala risiko.

Dalam kasus ini saya melihat kebesaran seorang H.B. Jassin yang berani menghadapi segala risiko. Ia tidak hanya membela seorang penulis baru seperti Kipandjikusmin, tapi juga membela penulis besar seperti Chairil Anwar dan Hamka yang dituduh sebagai plagiator. Tidak salah kalau A. Teeuw menjuluki H.B. Jassin sebagai Wali Penjaga Sastra Indonesia.

Citayam, 10 Oktober 2009


Jumat, 09 Oktober 2009

Sejarah Sastra Indonesia Modern Versi Bakri Siregar


Jumat, 9 Oktober 2009 - oleh Asep Sambodja



Buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 karya Bakri Siregar (1964) memperlihatkan bahwa subjektivitas penulis sejarah—termasuk sejarah sastra Indonesia—senantiasa tampak dalam buku yang dihasilkannya. Bakri Siregar merupakan pimpinan pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang juga menjabat sebagai Ketua Akademi Sastra dan Bahasa “Multatuli” Jakarta dan Guru Besar Sastra Indonesia Modern di Universitas Peking. Pascaperistiwa G30S 1965, Bakri Siregar termasuk sastrawan Lekra yang ditahan tanpa diadili dan baru dibebaskan pada 1977.
Menyusul penahanannya adalah dilarangnya buku sejarah yang ditulisnya itu. Hingga kini, tidak akan ada buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 2 dari sang penulis, karena Bakri Siregar telah meninggal pada 19 Juni 1994.

Buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 ini berisi masa awal sastra Indonesia, masa Balai Pustaka, hingga masa Pujangga Baru (1930-an). Sebenarnya topik pembicaraan belum masuk periode 1960-an, namun dalam pengantarnya Bakri Siregar telah menyinggung konsep kesenian Lekra dan sastrawan Manifes Kebudayaan (Manikebu). Maklum, buku ini ditulis pada 1964, sehingga semangat zaman pada waktu itu terekam dalam buku ini. Bisa jadi juga karena Bakri Siregar adalah pimpinan pusat Lekra yang saat itu mengganyang sastrawan-sastrawan Manikebu, sehingga secara sadar maupun tak sadar terungkapkan dalam buku tersebut.

Mengenai cakupan khazanah sastra Indonesia, saya sangat sependapat dengan Bakri Siregar. Bahwa pengertian sastra Indonesia itu mencakup naskah-naskah Melayu di Indonesia hingga akhir abad ke-19. Perlu saya tambahkan bahwa selain naskah-naskah Melayu juga naskah-naskah Jawa Kuno. Selain itu, karya sastra yang menggunakan bahasa daerah di Indonesia juga termasuk di dalamnya. Dalam bahasa A. Teeuw, karya sastra semacam ini dinamakan “sastra di Indonesia”. Bakri Siregar juga memasukkan karya sastra yang berbahasa Melayu Tionghoa ke dalam khazanah sastra Indonesia. Hanya saja, saat ia menulis buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1, ia merasa kesulitan mendapatkan bahan-bahan itu. Kini, penerbit besar Gramedia telah membukukan karya sastra Melayu Tionghoa hingga 10 jilid—dari 25 jilid yang direncanakan. Tentu saja karya sastra Indonesia yang lahir sejak awal abad ke-20 semuanya masuk dalam khazanah sastra Indonesia.

Zuber Usman (dalam Siregar, 1964), mengatakan bahwa Abdullah bin Abdulkadir Munsji yang hidup di abad ke-19 merupakan penutup zaman lama dan Abdullah dapat diumpamakan sebagai cahaya fajar zaman baru yang mulai menyingsingkan sinarnya di ufuk zaman itu. Tampaknya Bakri Siregar enggan memasukkan Abdullah sebagai tokoh awal sastra Indonesia modern karena setelah membaca memoarnya, Hikayat Abdullah, Bakri Siregar menilai sikap Abdullah yang dalam batas tertentu mempunyai segi positif dalam mengkritik kaum bangsawan Melayu dan praktik onar para raja, tapi di sisi lain Abdullah terlalu memuji dan kagum pada penjajah Inggris dengan menamakan mereka tokoh-tokoh kemanusiaan yang ikhlas dan bijaksana. Sikap seperti itu, menurut Bakri Siregar, sebagai kompleks rasa rendah diri yang terlalu besar pada diri Abdullah dalam menghadapi orang kulit putih, hingga praktis merendahkan bangsanya dan bangsa-bangsa lain di Asia.

Menurut Bakri Siregar ada tiga sastrawan yang menjadi tokoh awal sastra Indonesia modern. Mereka adalah Mas Marco Kartodikromo, Semaun, dan Rustam Effendi. Karya-karya Mas Marco Kartodikromo, baik dalam bahasa Jawa maupun dalam bahasa Indonesia secara tegas pertama kali melemparkan kritik terhadap pemerintah jajahan serta kalangan feodal. Dua karya Mas Marco yang menonjol adalah Student Hidjo (1919) dan Rasa Merdeka (1924). Karena isinya berupa kritik terhadap imperialisme Belanda dan antifeodalisme, karya-karya Mas Marco dilarang pemerintah kolonial Belanda. Sebagai sastrawan dan juga wartawan yang revolusioner, Mas Marco sering keluar masuk penjara, dan meninggal di tanah pembuangan Digul.

Semaun menghasilkan novel Hikayat Kadirun pada 1924. Dalam novel tersebut, Semaun membayangkan kehidupan dalam masyarakat masa depan yang lebih baik dari keadaannya saat itu. Masyarakat masa itu yang digambarkan adalah masyarakat yang berada dalam belenggu penjajahan. Dengan demikian, apa yang dianggap baik di hari depan oleh penulis, dianggap musuh oleh penjajah. Pada 1932, Semaun menyumbangkan artikel dalam Ensiklopedi Kesusastraan yang terbit di Moskow. Semaun antara lain menulis, 
“Hikayat Kadirun didasarkan untuk melawan rezim penjajah Belanda. Roman ini disita dan setelah pemberontakan tahun 1926/1927 dipandang sebagai buah ciptaan kesusastraan di bawah tanah. Oplah sastra revolusioner sangat terbatas, tidak lebih dari 1.500-2.000 buah. Buku-buku itu dicetak di percetakan Partai Komunis dan serikat buruh.” (Siregar, 1964).
Rustam Effendi menulis lakon Bebasari pada 1926. Lakon ini berisi sindiran terhadap penjajah dan menggelorakan semangat pemuda dan rakyat. Simbol-simbol wayang digunakan Rustam Effendi untuk mengkritik penguasa. Rahwana, misalnya, melambangkan sifat bengis kaum penjajah. Sementara Bebasari melambangkan cita-cita kemerdekaan. Bebasari mengatakan di akhir lakon, “Asmara sayap usaha yang tinggi/ Asmara kepada bangsa sendiri.”

Ketiga tokoh awal mula sastra Indonesia versi Bakri Siregar itu mendapat kendala di zaman Belanda. Karya-karya ketiga sastrawan revolusioner itu dilarang oleh Belanda. Bahkan Kepala Balai Pustaka A. Rinkes menyebut karya mereka sebagai bacaan liar. Tentu saja, karena isinya memang menyuarakan antiimperialisme. Sayangnya, di zaman Orde Baru yang dipimpin Soeharto, karya Mas Marco Kartodikromo dan Semaun juga dilarang hanya lantaran mereka komunis. Jadi, karya mereka tidak saja dilarang Belanda, tapi juga dilarang Soeharto.

Dalam buku Sejarah Sastra Indonesia Modern Jilid 1 itu, Bakri Siregar juga menjelaskan adanya beberapa pengaruh dari luar terhadap perkembangan sastra Indonesia modern. 


Pertama, pengaruh Hindu dan Islam, yang mempengaruhi awal-awal perkembangan sastra Indonesia. Dalam artikel “Dua Kiblat dalam Sastra Indonesia” (Sambodja, 2005), saya telah menjelaskan bahwa pengaruh Hindu memusat di Jawa dan pengaruh Islam memusat di Sumatera. Hal ini terlihat dari naskah-naskah berbahasa Melayu dan naskah-naskah berbahasa Jawa Kuno. 

Kedua, sikap revolusioner yang muncul dalam karya-karya sastra Indonesia awal itu merupakan pengaruh dari Uni Soviet dan Tiongkok; antara lain melalui karya Maxim Gorki, tokoh realisme sosialis, dan Lu Hsun, pelopor sastra Tiongkok modern.

Ketiga, pengaruh dari Barat, terutama Belanda, yakni komunitas De Tachtigers yang menginspirasi sastrawan-sastrawan Pujangga Baru. Sastrawan Eduard du Perron dan Hendrik Marsman sangat mempengaruhi perkembangan kepenyairan Chairil Anwar. Multatuli alias Eduard Douwes Dekker (1860) yang menulis buku Max Havelaar juga mempengaruhi sastrawan revolusioner Indonesia.   
“Kalau bukuku diperhatikan dengan baik, dan disambut dengan baik, maka tiap sambutan baik akan menjadi kawanku menentang pemerintah,” tulis Multatuli.
Bagaimana dengan Manikebu? Bakri Siregar mengatakan, 
“Dalam meniadakan dan membendung semangat revolusi, mereka mengemukakan konsepsi humanisme universal, sejalan dengan usaha neokolonialisme dalam mempertahankan kepentingan di Indonesia, menganjurkan eksistensialisme (‘filsafat iseng’ dan ‘filsafat takut’), serta memupuk individualisme dan pesimisme, menjadikan sastrawan dan seniman kosmopolit dan antipatriotik, tanpa menyatukan diri dengan perjuangan bangsanya.” (Siregar, 1964: 13-14).
Citayam, 9 Oktober 2009


Minggu, 04 Oktober 2009

Basuki Resobowo, Chairil Anwar, dan Lukisan Perempuan Telanjang


Minggu, 4 Oktober 2009 - Oleh: Asep Sambodja


Saya mengenal nama Basuki Resobowo dari puisi Chairil Anwar yang berjudul “Sorga”. Puisi ini berkisah tentang keinginan aku-lirik untuk masuk surga, sebagaimana nenek-moyangnya menginginkan surga, karena menurut Masyumi dan Muhammadiyah, di surga itu ada sungai susu dan penuh bidadari. Namun, sang aku-lirik merasa ragu: apakah benar di surga ada bidadari? Dan, kalaupun ada, apakah “suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?”

Saya tidak tahu latar belakang penciptaan puisi itu. Begitu juga kaitannya puisi dengan pelukis Basuki Resobowo. Namun, setelah membaca Bercermin di Muka Kaca: Seniman, Seni, dan Masyarakat karya Basuki Resobowo (2005), barulah saya tahu latar belakang penciptaan puisi “Sorga”. Sebelum menjelaskan latar belakang itu, ada perlunya kita membaca puisi Chairil Anwar ini secara utuh.

Sorga
buat Basuki Resobowo

Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu
dan bertabur bidari beribu

Tapi ada suara menimbang dalam diriku
nekat mencemooh: Bisakah kiranya
berkering dari kuyup laut biru
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidari
suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Jati?

Malang, 25 Februari 1947
Pada 1947, Basuki Resobowo mengadakan pameran lukisan di Jakarta. Basuki merasa bangga karena dia adalah pelukis pertama Indonesia yang memamerkan lukisan perempuan telanjang. Kebetulan Chairil Anwar mengunjungi pameran lukisan itu. Kemudian ketika Chairil Anwar dating ke Yogyakarta, ia menemui Basuki Resobowo dan berkata, “Bas, aku berhenti berdiri ada 10 menit di muka lukisan telanjang.”

Lalu Basuki Resobowo menceritakan bagaimana hubungannya dengan model itu. Chairil langsung memeluk Basuki dan berteriak, “Hebat kau Bas, semua yang kau ceritakan ada dalam lukisan itu.”

Dalam buku esai yang bergaya sastra ini Basuki Resobowo memang berbicara tentang banyak hal, termasuk model perempuan telanjang dalam lukisannya. Itu adalah kisah nyata. Perempuan itu adalah salah satu dari mbok-mbok bakul sayur dari desa yang berjualan di Pasar Beringharjo Yogyakarta. Mbok-mbok bakul itu, termasuk Irah, sering beristirahat di sanggar pelukis Yogya di Alun-alun Lor. Irah ini berbeda dengan mbok-mbok bakul lainnya. Ia terlihat lebih genit. Hingga suatu malam, Basuki Resobowo menidurinya dan ia pasrah lega lila seperti Pariyem dalam novel Pengakuan Pariyem Linus Suryadi AG.
Ketika Basuki Resobowo memintanya untuk menjadi model telanjang dalam lukisannya, Irah menjawab, “Ah, malu ditonton.”

Setelah dibujuk bahwa ia akan mendapat uang khusus untuk digambar telanjang, akhirnya ia mau menjadi model telanjang pelukis Basuki Resobowo. Saat Irah menjawab, “Iya boleh, saya mau.” Seketika itu pula Basuki Resobowo langsung mencium bibirnya.
Basuki menulis:
“Keesokan hari Irah dilukis telanjang di ruang dalam, tempat buat tidur. Di sini lebih aman karena bisa ditutup rapat, sehingga tidak ada orang yang bisa mengintip. Cahaya diambil dari atas dengan menggeser beberapa atap genteng.
Irah berdiri bulat di muka kita. Rasa malu masih ada, oleh karena itu berdirinya tidak tegap dan melongoskan mukanya ke kanan sambil memandang ke bawah tanpa arah tujuan. Untuk menghilangkan kekikukan dipilih sikap yang enak dan bebas. Dia berdiri bersandar pada satu kaki, sedang satu kakinya dilepas dari jejak berdiri. Kedua lengannya bebas terkulai melekat di badan menurut garis gemulai dari tubuh wanita dengan pinggang yang tertarik sedikit ke atas karena tersanggah oleh kaki yang menjadi sandaran berdiri.
Dari sudut penglihatan, adegannya mengingatkan adegan wanita dari relief-relief di Candi Borobudur. Sikap berdiri bersandar atas satu kaki dengan muka miring dan pandangan jauh tunduk ke bawah, adalah pola adegan ketimuran, bukan pola Yunani yang menjadi standar seni Barat.
Ketika dalam melukis sampai waktunya harus dengan cermat mengamat-amati tubuh model, perasaan saya tercengang oleh kulit dari wajah Irah yang penuh dengan rautan yang memperjelas rintihan hidup. Buah dada yang menggantung lelah, perut kembung yang melongsor ke bawah karena kehabisan urat-urat daya tahan, menjadi kesaksian getir hidup. Hanya kerlingan mata Irah yang masih mengajak kita mengubur rasa haru dan lari dalam ramah semalam.” (Resobowo, 2005).

Ah, Basuki Resobowo bisa saja! Peristiwa itu sudah lama berlangsung, saat Basuki Resobowo masih berusia muda. Dan ia menulis esai-esainya itu saat usianya 73 tahun. Betapa Basuki Resobowo masih mengingatnya dengan detail. Gara-gara lukisan perempuan telanjang itulah Basuki Resobowo dihadiahi puisi oleh Chairil Anwar. Puisi yang berjudul “Sorga”.

Cerita tentang lukisan perempuan telanjang—yang sekarang sudah hilang—itu hanyalah sebagian peristiwa yang diingat oleh Basuki Resobowo, yang mengakhiri masa tuanya di Amsterdam, Belanda. Ia menulis buku Bercermin di Muka Kaca ini karena ia mendapat surat dari istrinya yang menyebutkan bahwa sahabatnya, S. Soedjojono mengatakan 
 “Melukis dan politik adalah dua hal yang berlainan. Kalau mau melukis di mana saja bisa, tidak usah dikatakan kalau tidak berada di Indonesia sukar melukis.”
Basuki Resobowo yang masih konsisten dengan sikap kesenimanannya menolak pendapat Soedjojono itu. Baginya, berkesenian tidak bisa dipisahkan dari politik, karena seni tidak boleh lepas dari alam kehidupan di masyarakat. 
 “Tanpa komitmen sosial tidak akan lahir seni lukis Indonesia modern dalam arti meninggalkan yang kolot (konservatif dan formalistis) serta melangkah ke pandangan baru yang sesuai dengan jiwa kehidupan yang menghendaki kebebasan dan kemartabatan manusia.” (Resobowo, 2005).
Masa tua Basuki Resobowo adalah hari-hari terakhir seorang bohemian yang hidup “menggelandang”. Ia bisa menerima dan membiarkan istri dan anaknya hidup “berjarak” dengannya, karena keluarga yang berhubungan dengan seniman Lekra atau PKI akan mengalami kesulitan hidup di Zaman Soeharto (1966-1998). Basuki bahkan tidak dikehendaki pulang ke Indonesia oleh istrinya, meskipun ia sangat ingin menginjakkan kakinya di Indonesia.

Ia meninggal di negeri asing dalam usia 82 tahun. Meminjam kata-kata Chalik Hamid, kematian seorang eksil atau emigran politik tidak ada yang menangisi.

Citayam, 2 Oktober 2009