Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Kamis, 27 April 2017

Chairil Anwar dan Politik


Chairil Anwar (lahir di Medan, 26 Juli 1922 dan meninggal di Jakarta, 28 April 1949), hidup di tengah revolusi bangsanya. Tumbuh dalam situasi krisis dan kritis sejarah bangsa Indonesia.
HB Jasin membaptisnya sebagai Penyair Pelopor Angkatan '45, meski periodesasi ini dikemudian hari dipersoalankan. Tapi apa yang tak dipersoalkan di negeri ini, ketika urusan bunga pun bisa membuat orang sibuk saling menilai?
Dalam suasana revolusioner itulah, di antara perang dan gagasan-gagasan besar dan bebas, Chairil memberontak atas segala yang mapan. Kehadiran dan karya-karya adalah simbol pemberontakan. Kata-katanya bak kuda liar, bertenaga.
Majalah Pembangoenan, Desember 1945, memuat esai Chairil Anwar, "Sekarang: Hoppla! Lompatan yang sejauh penuh kedara-remajaan bagi negara remaja ini. Sesudah masa mendurhaka pada Kata, kita lupa bahwa Kata adalah yang menjalar, mengurat, hidup dari masa ke masa, terisi padu dengan penghargaan, mimpi, pengharapan, cinta, dan dendam manusia. Kata ialah kebenaran!!!"
Ketika serbuan Tentara Sekutu Inggris dan NICA merangsek ke Jakarta, Nopember 1945, PM Sutan Syahrir memerintahkan TKR dan badan-badan perjuangan keluar dari Jakarta, untuk menghindari bentrok. Maka tentara Indonesia pun hijrah ke kawasan pinggiran seperti Cakung, Kranji, Pondok Gede, Bekasi, Tambun, Cikarang, Karawang dan Cikampek.
Kepindahan ini diikuti oleh pemerintahan dan masyarakat sipil, termasuk pedagang, wartawan, sastrawan, dan di antaranya Chairil Anwar dan keluarga. Dalam episode ini Chairil menjadi saksi pertempuran tentara Indonesia dengan Sekutu. Dari sinilah Chairil menulis puisi 'Krawang-Bekasi' yang sohor, setelah mengendapkan empat tahun kemudian.
Meski keponakan Perdana Menteri, Chairil bukan orang yang memanfaatkan hal itu. Walau justeru Syahrir sendiri sering memperkenalkan keponakannya itu kepada siapa saja. Dan Chairil memang banyak terlibat dengan kolega Syahrir ini, terutama para wartawan dan politikus. Ia pernah menjadi kurir penting bagi Sjahrir, pada awal Agustus 1945, ketika Jepang kalah dari Sekutu.
Tapi Chairil adalah manusia bebas yang biasa hidup seenaknya. Ia tak betah kerja kantoran, meski Bung Hatta pernah mempekerjakannya sebagai penerjemah di kantornya, karena bahasa Inggris dan Belanda Chairil yang bagus.
Chairil tampak dengan sengaja menghindar dari pertemuan-pertemuan politik dari sang paman dengan para pemuda. Pada November 1945, sebagaimana ditulis Syumanjaya dalam skenario 'Aku', Chairil tiba-tiba mengagetkan semua peserta rapat di rumah pamannya. Rapat politik yang penting itu berhenti sesaat, melihat Chairil nyelonong masuk. Semuanya menunggu, barangkali ada informasi penting.
Tapi apa kata Chairil? "Selamat pagi, Bapak Perdana Menteri. Ada yang sedang penting rupanya. Saya interupsi sebentar, cuma buat ini kok,..."
Chairil kemudian mencomot beberapa batang cerutu milik Syahrir. Kemudian bergegas meninggalkan ruangan itu. Begitu saja.. [sw]

Senin, 24 April 2017

Kisah Eva Christiane, Perempuan Jerman Perawat Wayang Kulit

25/04/2017, 14:59 WIB


Eva Christiane von Reumont saat tengah merawat sebuah wayang kulit.(Krisna Diantha)


BERN- Sebuah kabar gembira datang dari Swiss, khususnya dalam dunia wayang kulit.  Kini, Hanoman, Gatotkaca,  Arjuna hingga Petruk dan  Semar, bakal tidak "kesepian" lagi di Benua Biru itu. 

Adalah Eva Christiane von Reumont,  perempuan kelahiran Nordsee, Jerman Utara, yang bersedia menemani dan merawat ribuan wayang kulit yang terserak di puluhan museum di Eropa. 
"Wayang kulit itu sangat memesona,“ tuturnya ketika ditemui di salah satu kafe di Bern, Swiss belum lama ini. 
Eva bukan sekadar pemuja wayang kulit biasa, yang hanya mengumpulkan ribuan wayang kulit di rumahnya. 

Perempuan ini bahkan menulis wayang kulit secara ilmiah di Hochschule der Künste Bern, semacam sekolah tinggi seni, Swiss.   

Sebuah tesis berjudul Applying Western Conservation Restoration Ethics onto Javanese Wayang Kulit (Shadow Play) Puppet, mengantarkannya menjadi sahabat Hanoman, Gatotkaca, Arjuna, Petruk, Semar dan banyak lagi tokoh pewayangan. 

Dengan ijazah ini, Eva mampu merawat wayang kulit yang usianya mencapai ratusan tahun dan  tersebar di puluhan museum di ranah Eropa, secara profesional. Semua bermula di Berlin 2012, khususnya museum etnologi  di ibu kota Jerman itu. 
"Di situ saya menemukan figur wayang kulit Bali, Gadjahmina," kata Eva mengenang kali pertama ketertarikannya kepada wayang kulit memendar. 
"Saya memutuskan, jika menyelesaikan master saya, topiknya ya tentang wayang kulit,“ tambah dia. 
Janji itu menjadi kenyataan, pada akhirnya. Bukan di Berlin, tapi melalui Hochschule der Künste Bern, sekolah tinggi kesenian Bern. 

Di ibu kota Swiss inilah, Eva memulai konsentrasinya, khususnya bagaimana merestorasi Hanoman dan kawan kawannya kelak. 
Meskipun bermarkas di Bern, Eva memutuskan untuk mempelajari wayang kulit lainnya di seluruh Eropa. 

Dia, antara lain, mengunjungi berbagai museum Eropa yang memiliki koleksi wayang kulit.  Sebelas  museum di Jerman, antara lain di Bremen, Frankfurt, Dresden, Köln hingga Munich dikunjunginya. 

Demikian juga museum-museum di Paris, Antwerp, Vienna, Kopenhagen, Rotterdam, Amsterdam hingga Ceko juga disambanginya.  
"Usia wayang-wayang itu, antara puluhan hingga ratusan tahun," katanya. 
Ada yang hanya tersimpan di dalam kardus, peti besi, atau dipajang begitu saja. 
"Kalau penyimpanan seperti di Indonesia, dengan peti kayu, memang tak ada dilakukan di Eropa,“ papar Eva. 
Wayang-wayang itu memang tersimpan rapi, atau terpajang harmonis di mata orang awam Eropa. Namun, bagi Eva, penyimpanan itu tidak sesuai aturan dunia wayang kulit.

"Keine Ordnung, tak ada sistematikanya, asal disimpan begitu saja,“ katanya.

Sumber: Kompas.Com 

Sabtu, 01 April 2017

Leluhur Langsung Bangsa Indonesia dari Taiwan

Risa Herdahita Putri 
1 Apr 2017, 10:20

Kesamaan leluhur yang bertutur bahasa Austronesia adalah benang merah kebinekaan Indonesia.


Peta persebaran penutur Austronesia, salah satunya Indonesia. Foto: en.wikipedia.org.


Ribuan tahun lalu bangsa Indonesia pernah disatukan oleh akar tradisi yang sama: bahasa Austronesia.
“Kita semua memang berbeda, tetapi kita memiliki kesamaan yang dirangkai melalui Austronesia sebagai benang merahnya,” ujar Harry Truman Simanjuntak, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas).
Hingga kini, para ahli sepakat bahwa para penutur Austronesia yang datang dari Taiwan adalah leluhur langsung bangsa Indonesia. Dari segi fisik, penutur Austronesia tergolong ras Mongoloid Selatan. Dalam perkembangannya, penampilan fisik memang menjadi sangat beragam. Kemampuan beradaptasi penutur Austronesia terhadap lingkungan baru mendorong terciptanya keragaman etnis. Pengaruh lainnya datang dari interaksi bologis antarkelompok atau dengan pendatang lainnya yang menyebabkan terjadinya percampuran gen.
Secara bahasa, warisan Austronesia ditandai dengan kata-kata yang mirip dalam bunyi dan makna. Beberapa kata, seperti bilangan satu sampai sepuluh di berbagai kawasan persebaran Austronesia menunjukkan adanya kekerabatan itu.
Misalnya, dalam bahasa Jawa kuno, hitungan satu sampai sepuluh, yaitu: sa, rwa, telu, pat, lima, nem, pitu, wwalu, sanga, sapuluh. Dalam bahasa Minangkabau, hitungan satu sampai sepuluh, yaitu: ciek, duo, tigo, ampek, limo, anam, tujuah, salapan, sambilan, sapuluah. Dalam bahasa Bugis, hitungannya menjadi seddi, dua, tellu, eppa, lima, enneng, pitu, aruwa, asera, seppulo. Itu tak jauh berbeda dengan bahasa Tagalog yang kini menjadi bahasa resmi di Filipina, yaitu: isá, dalawa, tatló, ápat, lima, ánim, pitó, waló, siyám, sampû.
Penjelasannya, pada perkembangan awal, interaksi antarpulau masih terbatas. Ini menjadikan budaya lokal menonjol. Datangnya pengaruh dari luar memunculkan budaya yang berbeda sebagai bagian dari adaptasi. 
“Yang lebih dekat tentu dapat pengaruh yang lebih besar dibanding yang jauh. Ini yang kemudian menciptakan kebinekaan,” ujar Truman.
Di Asia Tenggara, menurut Robert Blust dalam The Austronesian Languages, budaya luar sudah mulai mempengaruhi para penutur Austronesia sejak 2.000 tahun lalu. Budaya India, Cina, Islam, dan Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris) datang memulai keragaman di tengah kebudayaan yang dibawa para penutur Austronesia.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Bukti arkeologis membuktikan kedatangan pengaruh luar itu. Seperti prasasti dari kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang menggunakan bahasa Sanskerta maupun Jawa kuno. Efeknya, kini bahasa yang ada di Nusantara pun semakin beragam.
Menurut Truman, bicara mengenai leluhur artinya berbicara mengenai diri sendiri, di sini, saat ini. Para ahli percaya nilai yang dimiliki oleh kehidupan para penutur Austronesia pantas diaktualisasikan di masa sekarang untuk kepentingan masa depan.
“Memaknai sejarah leluhur bangsa diperlukan untuk membangun peradaban berkepribadian, berlandaskan kebudayaan yang jauh berakar, menancap hingga ke masa lampau,” katanya.
I Made Geria, kepala Puslit Arkenas, pun melihat adanya peluang bagaimana nilai yang terkandung dalam akar budaya ini bisa memperkuat tali kebangsaan. Katanya, memaknai bahwa bangsa ini memiliki leluhur yang sama akan mampu memberikan harmoni meski Indonesia terdiri dari beragam ras, agama, etnis, dan budaya. Justru dengan memahami ini akan meningkatkan kesadaran identitas sebagai bangsa yang bineka.
“Artinya, kita semua di sini dengan nilai kearifan diberi kekuatan untuk menjaga. Ini mungkin yang disebut penguatan kebangsaan,” ucapnya.

Sumber: Historia.Id