Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Selasa, 24 Desember 2019

Menantikan Panggung KVO Berikutnya


KVO: Resital Kebumen Violin Orchestra (KVO) digelar di Panggung "Ojo Dumeh" Anjungan Jawa Tengah di kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada Sabtu (21/12) - Foto: Arp

Sebanyak 40 violis anak-anak seusia SD-SMP yang tergabung dalam Kebumen Violin Orchestra (KVO) sukses menggelar resital violin di panggung “Aja Dumeh” Anjungan Jawa Tengah, kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.

Sabtu (21/12) pagi itu menandai sukses kelompok orkestra anak-anak memainkan 4 komposisi yang disiapkan dua bulan sebelumnya. Keempat komposisi itu masing-masing Simponi Yang Indah, Entah Apa, Kebyar-Kebyar dan Kebumen Beriman. Komposisi yang disebut terakhir adalah lagu yang diaransir dari gending yang jadi icon dan lagu daerah.

Kesuksesan gelar resital ini, sebagaimana diakui manajer KVO Agus Sulaiman karena ketekunan dan kesukaan anak-anak berlatih musik dengan instrumen biola sebagai pilihan bermainnya. Tentu juga berkat bimbingan pelatih Taufik Ismail yang sekaligus berperan sebagai dirigent dan komposer musiknya.
“Anak-anak memang suka bermusik dan kami para orangtua mendukung sepenuhnya”, terang Agus.

Hal senada disampaikan Taufik Ismail yang mengakui besarnya dorongan para orangtua dari anak-anak yang bergabung dalam orkestra binaanya. Aransemen resital yang dipanggungkan di TMII kali ini juga dibantu oleh Band Gundul, Nurokhim, Dayat, Lintang, Khasbun, Farhan. Sedangkan untuk vokal dipercayakan kepada dua talent Kartika Veronica, Eldri dan pembaca puisi Ainun. 

Dukungan juga diberikan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen yang mengiring keberangkatan kontingen seni ke Jakarta.
Dalam sambutannya, Ketua DKD Pekik Sat Siswonirmolo, M.Pd, berharap eksistensi seni daerahnya tetap terjaga dan memiliki kelayakan pentas di panggung nasional.

Pementasan di TMII Jakarta ini juga didukung oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kebumen juga ikut serta mengawal pementasan.   

Kolaborasi Terjeda

 DRAMATARI: Penggalan adegan dramatari Panji-Sekartaji garapan koreografer BE Susilohadi dipanggungkan di Kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Sabtu (21/12) - Foto: Arp

Gelar resital KVO ini semula direncanakan merupakan pentas kolaborasi dengan Gamelan Jawa, Seni Ebleg dan Topeng Cepetan. Namun karena kendala teknis akhirnya dikemas terpisah jadi sebuah dramatari Topeng Panji-Sekartaji yang dimainkan di panggung yang sama pada jeda pentas berikutnya.

Narasi pentas Dramatari Topeng-Ebleg Kebumen ini diadaptasi dari fragmen tari Panji-Sekartaji yang bersumber dari kisah jaman Kerajaan Kediri pada abad XI-XII. Kisah dramatik yang tak lekang digerus jaman ini memang memuat perseteruan besar Panji Inukertapati dan Klana Sewandana yang tak habis-habisnya dielaborasi dalam berbagai versi.   

Koreografi digarap BE Susilohadi dan dibantu asisten Suwignyo, masih cukup kental aura ketoprak dalam komposisi dramatarinya. Sedang untuk seni tradisi ebleg (kudalumping) dan topeng (cepet) melibatkan kelompok “Turonggo Langgeng Budhoyo” Karanggedang Sruweng dan kelompok “Jati Asmoro Bangun Budoyo” dari Kajoran Karanggayam.

Kemeriahan dua pementasan di panggung TMII jadi bertambah semarak karena event ini sekaligus jadi ajang “reuni” silaturahmi warga asal daerah Kebumen yang berada di perantauan, khususnya yang tinggal maupun bekerja di Jakarta.

KLANA: Klana Sewandana menaiki titian Singabarong untuk misi merebut Dewi Sekartaji dari tangan suaminya Panji Inukertapati - Foto: Arp

Panggung KVO

Dihubungi terpisah seusai pentas lawatannya ke luar kota, Taufik Ismail mengaku bangga pada anak-anak asuhannya yang meskipun masih belia namun telah memiliki setidaknya kemampuan dasar untuk memainkan komposisi populer dengan kompak dan tanpa nervous.
“Tak semua anak mampu bermain musik secara kelompok”, kisahnya. “Tetapi semua bisa belajar dan berlatih”, sambungnya. Apalagi bila ingat bahwa KVO belum sepenuhnya berusia setahun.
Pendirian orkes musik kamar ini dilaunching pertama pada 24 Februari 2019 silam di Hotel Maxolie Kebumen. Sejak awal, KVO didominasi oleh violis anak-anak yang berasal dari berbagai daerah seperti Kuwarasan, Gombong, Karanganyar, Sruweng, Adimulyo dan kota Kebumen sendiri.
“Beruntung, karena para orangtua antusias mendukung”, pungkasnya sembari berharap akan terus menapaki panggung berikutnya. 
GAMELAN: Musik gamelan pengiring Dramatari Ebleg-Topeng Sekartaji "in action" di lokasi pagelaran - Foto: Arp

Senin, 16 Desember 2019

Menyimak proses teater kampus


·           Catatan workshop ke 14 Teater Gerak

WORKSHOP: 10 peserta workshop Teater Gerak angkatan ke-14, usai memanggungkan hasilnya, Minggu (15/12) di auditorium kampus IAINU Kebumen. - Foto: K.04

Meski tak mudah merintis upaya berkesenian dan menjadikannya sebagai tradisi kolektif yang tak putus, namun bagi kelompok Teater Gerak yang usai menggelar workshop tahunannya ke-14; tradisi pembelajaran itu pun telah dilampauinya.

Kelompok teater kampus ini, yang boleh jadi, dimudahkan oleh resources internal dari kalangan mahasiswa yang slalu bersalin rupa seiring angkatan tahun akademiknya. Tetapi menumbuhkan animo 2 kelompok dari 10 peserta hingga usai melewati 3 hari pembelajaran, untuk kemudian membangun keberanian menggarap suatu pertunjukan; sungguh bukan perkara mudah.

Fase ini pun terlampaui dalam 3 hari sejak Jumat (13/12). Dan pada Minggu (15/12) menjadi momentum kedua kelompok mempertunjukkan hasil dari proses kolektifnya di auditorium IAINU. Ada 2 repertoar pendek yang disajikan dalam rupa drama konvensional.

Pendekatan teori yang memuat 3 aspek: penyutradaraan (pemateri Putut AS), keaktoran (Syahid Elkobar) dan artistik (perupa Supriyanto) menjadi bahasan refleksi kecil seusai pentas malam itu.



Spiritualitas dan keberlanjutan      

Tradisi workshop teater Gerak barangkali memang diproyeksikan untuk menjawab problem kaderisasi berkesenian teater di lingkup kampus. Namun ada filosofi mendasar dikemukakan pendirinya yang malam itu berada di penghujung pelatihan.

Mustolih Brs mensitir bahwa apa yang mendasar, dan pertama-tama, dilampaui para peserta adalah keberanian untuk “mengelupas realitas” dari kemelekatannya di dalam pikiran manusia. Memerdekakan pikiran dari kungkung masa lampau, realitas kekinian dan ketakmenentuan esok; adalah “investasi” terpenting dalam berkarya.

Itu sebabnya bermain seni peran menjadi penting dan memungkinkan talent memahami, dan bahkan mereaktualisasi, keberadaan orang lain yang seringkali dianggap liyan; berikut situasi yang membentuknya. Dalam disiplin humaniora, nilai dan syarat ini yang mendasari prinsip-prinsip toleransi.

Bicara harmonisasi kehidupan tak bisa lepas konteks dari ini semua. Dan realitas yang “dikelupas” dari kemelekatannya di dalam pikiran, menjadi narasi panggung dan mengalirkan pesan-pesannya.

Malam itu pun menjadi perekat apresiasi menarik, terlebih karena muncul pula tantangan dari pemateri bagi panitia workshop buat menyajikan repertoar yang dikemas singkat dengan perspektif berbeda; meskipun yang muncul adalah drama dengan model yang sama. [ap]    

Selasa, 10 Desember 2019

'Kucumbu Tubuh Indahku' dan Piala Citra: Rianto bawa tari lengger lanang ke pentas dunia


Famega Syavira Putri - 10 Desember 2019

Rianto adalah penari lengger lanang yang sudah membawakan tariannya di puluhan negara. Kisah hidupnya diangkat oleh sutradara Garin Nugroho dalam film Kucumbu Tubuh Indahku, yang baru saja meraih delapan piala Citra, dan menjadi wakil Indonesia untuk dinominasikan di Piala Oscar 2020.


Sebagai penari dan koreografer, Rianto sangat terinspirasi dengan tema ketubuhan, yang terinspirasi dari lengger lanang, tari khas Banyumas, Jawa Tengah. Lengger lanang adalah tarian dengan gerak perempuan yang ditarikan oleh lelaki.
"Saya mengangkat tema tubuh karena dari kecil saya sudah mengalami pengalaman luar biasa sebagai seniman tari. Itu yang selalu mendorong saya berkreativitas. Tubuh adalah perpustakaan memori, ingatan-ingatan dari kita lahir sampai sekarang, itu yang terus saya gunakan," kata Rianto saat ditemui di Banyumas, Jawa Tengah.
Saat itu Rianto sedang menari bersama anggota sanggar tari di Baturaden, Jawa Tengah. Di sanggar tersebut kami menyaksikan mereka menari jaranan dengan gaya maskulin, dan sebentar kemudian berubah menjadi tari lengger lanang dengan gaya yang sangat feminin.

Rianto, 38 tahun, mulai menari sejak kecil, sebelum dia belajar tentang tarian. Kesukaannya berlenggak-lenggok membuatnya dijuluki sebagai 'Anto banci'.
"Ketika kecil, saya sering sekali mendapat perlakuan menyakitkan dari teman-teman karena mereka melihat saya suka menari, lenggak lenggok dan sangat berbeda dengan mereka," kata Rianto kepada BBC News Indonesia di desa Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah.

Dia terlahir dari keluarga sederhana, bapaknya petani sekaligus tukang becak, dan ibunya mengurus rumah tangga.
"Sejak kecil dia kemayu, suka main sama cewek, suka mencuri-curi dandan. Tidak pernah saya larang, ya gimana, karena sudah jalannya," kata ibu Rianto, Rusti sambil tersenyum melihat ke arah anaknya.
"Dari kecil ada banyak tantangan dalam hidup saya. Memori ini membekas, tubuh saya merekam perjalanan itu," kata Rianto.
Meski demikian dia mengaku merasa sangat bersyukur karena dalam kesulitan itu, kedua orang tuanya sangat mendukung pilihan hidupnya sebagai penari. Di SMK, dia satu-satunya murid lelaki yang belajar menari.
Rusti mengenang pertama kali dia melihat anak laki-lakinya berdandan seperti perempuan ketika remaja. "Dia dandan di rumah tetangga, saya lihat, pangling, cantik sekali," kata Rusti dalam bahasa Jawa.
Rianto kemudian melanjutkan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta meskipun orang tuanya tak sanggup memberi biaya.
Dia dibantu guru SMK-nya yang yakin bahwa bakat menari Rianto bisa membuatnya membayar sendiri kuliahnya kelak. Dan benar, pada tahun kedua, Rianto dapat membiayai sendiri kuliahnya dari uang hasil menari.

Selepas kuliah, Rianto menikah dengan perempuan Jepang dan menetap di Tokyo. Dari Jepang, Rianto membawa tari lengger lanang ke berbagai negara di dunia.
"Sebagai penari internasional saya selalu mengangkat ketubuhan saya, apa yang ada dalam tubuh saya, filosofinya antara maskulin dan feminin. Basic saya dari lengger dan ini selalu saya garap untuk daya kreatifitas saya dalam bentuk tari kontemporer," kata Rianto.
Dia yakin, tubuhnya adalah tubuh lengger. Ketika wawancara, kami bicara dengan Rianto yang tak menggunakan riasan, kemudian dia berdandan dan menari dengan riasan dan pakaian perempuan.
"Saya tidak bisa definisikan ini laki-laki atau perempuan, ini bagian alam, yang luar biasa. Saya tidak bisa temukan definisi. Ketika saya membuat nama, ini jadinya membatasi kembali, padahal yang kita miliki adalah tubuh tanpa batas," kata Rianto menjelaskan transformasinya.
Rianto (tengah depan) menari bersama para penari dari Sanggar Tari Kidang Kencana.

Kini dia telah pentas di puluhan negara, di lima benua di dunia. Karya pementasan pertamanya yang berjudul Medium, juga telah dipentaskan di berbagai festival mancanegara, dari Australia, Eropa hingga Afrika.
"Banyak kurator festival di dunia sangat tertarik dengan konsep ini, dan saya udah punya. Beberapa kali saya presentasikan ketubuhan yang dasarnya dari Lengger," kata Rianto.
Rianto meyakini bahwa tari lengger sudah ada dalam kebudayaan Banyumas sejak ratusan tahun lalu dan sejak awal memang ditarikan oleh penari laki-laki. Tarian ini disebut dalam buku Serat Centhini pada abad ke-17.
"Lengger lanang adalah sebuah bentuk kesenian rakyat dari desa, mereka merayakan panen, atau upacara bersih desa jauh sebelum itu. Ini tradisi turun temurun dari nenek moyang," kata dia.
Ada pula yang menyakini bahwa kata lengger berasal dari "leng" yang artinya lubang, dan "ngger" yang artinya "jengger". Artinya, seperti perempuan tetapi laki-laki.
"Komitmen lengger adalah benar-benar mencoba melakukan perjalanan tubuh untuk meleburkan maskulin dan feminim dalam bentuk kesenian," kata Rianto.
 Pada akhirnya, menurutnya, lengger adalah proses penyatuan tubuh masyarakat dengan sang penciptanya.

Penampilan maskulin penari Sanggar Tari Kidang Kencana sebelum berganti pakaian.

Menjadi penari lengger baginya bukan untuk tujuan ekonomi, tapi untuk spiritual.
"Penari lengger menari bukan untuk event-event saja tapi menari untuk kehidupan. Saya merasa saya penari lengger lanang karena sejak kecil saya banyak dibully oleh teman-teman, 'oh tubuh kamu megal megol seperti perempuan'. Itu adalah proses perjalanan kehidupan," kata dia, mengenang masa kanak-kanak.
Cita-citanya, adalah menjadi seperti idolanya, almarhum Dariah, yang disebut Rianto sebagai seorang maestro lengger.
"Saya ingin seperti tubuh Dariah, yang mencapai peleburan yang sangat sempurna. Saya tidak melihat lagi identitas gender pada tubuh itu, dia menyatu kepada alam dan tidak ada nafsu egois mencapai level-level ke atas, tapi kembali lagi ke dasar dan menjadi lingkaran kehidupan," kata Rianto.
Dia menjelaskan bahwa fokusnya sebagai seniman adalah peleburan antara maskulinitas dan feminimitas.
"Kalau saya beranggapan bahwa saya laki-laki saja, saya merasa kurang dan itu tidak adil terhadap tubuh saya. Sebenarnya sisi maskulin dan feminin selalu ada dalam tubuh manusia," kata dia.
Sementara karyanya mendunia, di Indonesia, Rianto merasa bahwa lengger masih terpinggirkan.
 "Ada yang mendukung, ada yang berpikiran tertutup dengan mengatakan bahwa lengger lanang adalah kaum banci yang seharusnya tidak ada di sini," kata dia.
"Saya kesalnya sebagai penari lengger lanang, kenapa lengger belum bisa diterima dan dipahami oleh banyak orang. Kita warga Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dan punya moral yang sangat tinggi, tetapi pikiran masih banyak yang tertutup," kata dia.
Rianto menari diiringi musik calung.

Kendati begitu, dia tetap yakin bahwa lengger adalah jalan hidupnya, dan "tubuh saya yang akan membawaku ke mana-mana untuk memperkenalkannya".

Dia berharap pemerintah lebih aktif mempertahankan kesenian dengan cara mengarsipkan dan menelitinya.
"Penting agar pemerintah mengarchivekan kesenian yang ada di Indonesia untuk benar-benar harus dipertahankan filosofi dan sejarahnya, karena dari situ Indonesia akan lebih memiliki kekuatan untuk menghargai perbedaan," kata dia.
Kini, Rianto tengah menyiapkan karya pementasan selanjutnya yang diberi judul "Hijra", kelanjutan karya yang berjudul "Medium". Dia tetap fokus dengan tema ketubuhan. 
"Tubuh selalu berkesinambungan, ketika tubuh bayi, remaja, dewasa, tua, meninggal, transformasi dari tanah, tumbuhan dan dimakan manusia lagi, menjadi lingkaran kehidupan," kata dia.
Rianto telah melakukan riset sejak 2018, dan karya ini diharapkannya dapat mulai ditarikan pada 2021.

Sementara itu, dia juga mengelola studio tari miliknya di Tokyo, Jepang, Dewandaru Dance Company. Di sana, setiap Sabtu dan Minggu dia rutin mengajarkan tarian Jawa kepada para perempuan Jepang.

Dianggap mempromosikan LGBT

Berseberangan dengan kesuksesannya, film ini disebut mengangkat budaya LGBT, dan dilarang diputar di beberapa kota di Indonesia. Rianto membantah jika film yang diangkat dari kisah hidupnya, Kucumbu Tubuh Indahku, dianggap mempromosikan LGBT.

Persiapan para penari lengger sebelum pentas.

Sejak ditayangkan mulai 18 April 2019, pemerintah di beberapa kota melarang penanyangan film ini. Seperti yang terjadi di Depok, Bekasi, Garut, Palembang, Pontianak, Kubu Raya, Pekanbaru dan Padang.
"Kenapa ada pandangan ini promosi LGBT? Itu karena mereka tertutup sekali pandangannya. Karena belum melihat secara jelas dan detail film ini," kata Rianto. Menurutnya pelarangan itu adalah penghakiman tanpa dasar.
"Dilihat isi dari awal sampai akhir film ini, tidak ada yang namanya promosi LGBT. Ini soal budaya indonesia, keragaman yang harus diangkat, karena memang kurang ada perhatian untuk kesenian lengger, tarian laki-laki menarikan gaya perempuan," kata dia.
Dia menjelaskan bahwa film ini terinspirasi dari proses ketubuhannya, yang memiliki sifat maskulin dan feminim dalam satu tubuh.

Rianto berharap film ini dapat membantu penontonnya untuk melihat ke sejarah masa lampau, soal kesenian, politik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
"Film ini tentang Rianto-Rianto yang ada di Indonesia. Rianto bukan sebagai manusia, tapi dimaknai sebagai bentuk kesenian, bentuk kesenian yang dimaknai sebagai sikap keseharian," kata dia.
Indonesia, kata Rianto, mengalami banyak peristiwa yang membuat dunia kesenian mengalami trauma-trauma yang luar biasa. Trauma itulah yang digambarkan dengan menggunakan gambaran kehidupan para penari lengger, para warok, dan bissu.
"Kadang kita lupa dengan hal-hal sederhana, keseharian yang kita lewati karena kita banyak terkontaminasi dengan budaya luar, yang menyebabkan budaya kita tertutup dan tergilas," kata dia.
"Kita harus mencintai dan bukan menghakimi. Belajar lebih memahami, daripada banyak berbicara" Rianto
Dia menyebutkan bahwa kesamaan cerita hidupnya dengan gambaran pada film Kucumbu Tubuh Indahku adalah antara 30-70 persen.
"Karena tubuh saya hanya perwakilan. Film ini berusaha mengangkat semuanya, meskipun belum semuanya, tapi setidaknya ada beberapa perwakilan untuk mendiskusikan kembali, bahwa kita harus mencintai dan bukan menghakimi. Belajar lebih memahami, daripada banyak berbicara," kata dia.
Film ini memenangkan delapan penghargaan Piala Citra 2019, termasuk pada kategori film terbaik. Karya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul Memories of My Body ini dipilih menjadi wakil Indonesia untuk dicalonkan menjadi nominasi film berbahasa asing di Academy Award 2020.
"Saya senang sekali, semoga bisa membuka pandangan masyarakat bahwa ini sangat penting sekali kita pelajari, bahwa perbedaanlah yang membuat film ini jadi kaya dengan keragaman budaya, keragaman tubuh maskulin-feminim," kata dia.

Melestarikan tari lengger lanang

Kelestarian lengger lanang menjadi perhatian para pelaku kesenian seperti Rianto, yang mengaku sering merasa kehilangan lengger. Para maestro lengger pun beranjak tua.
"Saat kembali ke Banyumas dan menemui para penari senior, saya prihatin karena mereka tidak ada tempat bersuara," kata Rianto.
Untuk itu Rianto menggelar festival tahunan untuk memberi kesempatan para penari tua untuk menari lagi.
"Sayangnya banyak dari mereka yang tidak diizinkan keluarganya untuk menari lagi, karena stigma negatif penari lengger," kata Rianto. Kendalisada Art Festival digelarnya setiap tahun di desa kelahirannya, Kaliori.
Selain itu, Rianto pun berusaha mendorong munculnya penari-penari muda.
 "Saya berusaha meregenerasi maestro Dariah dan memunculkan penari-penari lengger lanang dan mengajari mereka kembali tarian lengger," kata Rianto. Tujuannya, menurut dia adalah untuk "mencoba mengembalikan kembali kehidupan lengger sebagai kehidupan banyumas yang sebenarnya".
Salah satu sanggar tari lengger lanang yang muncul dari inisiatif ini adalah Sanggar Tari Kidang Kencana di Desa Muntang, Karang Tengah, Baturaden. Sanggar yang berdiri tahun 2013 ini kini beranggotakan sekitar 7 penari.  
"Ini berawal dari kecintaan kami, dan ada beberapa teman yang ingin mengembangkan dan membesarkan lengger," kata Tora, pempimpin Sanggar Tari Kidang.
Tora mengakui bahwa menjadi penari lengger lanang bukan profesi yang dapat menghasikan secara ekonomi. Setiap anggota sanggarnya punya profesi lain, seperti pelajar, guru, dan Tora sendiri adalah perancang pernikahan.

Menurut Tora, selain karena panggilan jiwa, dirinya juga punya modal tubuh untuk menjadi penari.
"Saya terlahir dengan modal tubuh yang bisa dimanfaatkan untuk jadi penari lengger lanang, dalam arti saya seorang laki-laki yang maskulin tapi saya juga punya sisi feminim yang menjadi modal tubuh yang dibawa sejak lahir, seperti kelentikan jari dan kelenturan tubuh," kata dia.
Sukendar Hadi Sumarto, Pemimpin Grup Calung Langen Budaya yang sudah berdiri sejak 1982 menjelaskan bahwa tari lengger lanang sempat mengalami pasang surut. Pria kelahiran 1950 itu ingat, lengger yang semula ditarikan lelaki, justru banyak ditarikan oleh perempuan sekitar tahun 1980-an hingga awal 2000-an.

Ryan Nurgia Nova, 19 tahun, yang yakin bahwa lengger lanang adalah panggilan jiwanya.
Setelah itu lengger lanang kembali bangkit, hingga puncaknya saat ini. "Sekarang perkembangan lengger lanang bagus sekali, anak-anak muda mulai tertarik. Dan memang orang justru ingin lenggernya lanang," kata Sukendar yang mengiringi tarian lengger bersama grup calungnya.
Salah satu anak muda yang tertarik pada lengger adalah Ryan Nurgia Nova, 19 tahun, yang yakin bahwa lengger lanang adalah panggilan jiwanya.
"Saya ingin nguri-uri (melestarikan) budaya Banyumas bersama sanggar lengger lanang," kata Ryan yang baru lulus SMK tahun ini. Dia pun bergabung dengan Sanggar Tari Kidang pimpinan Tora.
Awalnya, Ryan mengaku sulit meyakinkan orang tuanya yang tidak setuju anaknya berdandan seperti perempuan ketika menari lengger. Namun, dia terus menyakinkan orang tuanya, dan mengundang mereka untuk datang menyaksikan pentas tarinya.
"Saat orang tua saya pertama kali menyaksikan saya berdandan cewek, tatap muka, jujur masih ada rasa rikuh pekewuh, nggak enak. Tapi inilah tuntutan seni yang harus kita jaga dan lestarikan," kata Ryan.
Latihan para penari lengger.

Siang itu kami menyaksikan Tora dan Ryan menari lengger lanang dalam acara Dies Natalis Fisip Universitas Jenderal Soedirman. Ratusan penonton tergelak, antara takjub dan geli, ketika para penari berganti penampilan dari lelaki menjadi perempuan. 
"Di Banyumas banyak yang pro, dan memang banyak yang masih kontra, tapi mungkin itu karena mereka tidak tahu sejarah dan kurang wawasannya," kata Tora. Menurutnya, selama ini reaksi penonton sebagian besar positif dan mendukung.
"Tapi ada juga yang ketika kami berdandan mereka mencibir bahwa cowok dandan perempuan itu banci, silakan, yang penting kami tidak seperti itu," kata Ryan. "Tidak apa-apa yang penting mereka tidak menyakiti kami."
Tora yakin bahwa lengger lanang akan lestari. 
 "Saya beberapa kali dikontak sekolah untuk belajar dan mendalami lengger lanang, belajar sebagai tugas sekolah. Saya yakin suatu saat lengger akan masuk dalam kurikulum," kata dia.
Produksi visual oleh Anindita Pradana