Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Selasa, 23 Juli 2019

Wayang Sasak Tumbuh di Bawah Bayang Kecurigaan

Reporter: Abdul Latief Apriaman (Kontributor)
Editor: Ludhy Cahyana
Selasa, 23 Juli 2019 07:07 WIB

Wayang Sasak di Lombok. TEMPO/Supriyantho Khafid

TEMPO.CO, Jakarta - Tak seperti wayang jawa atau wayang bali yang memainkan epos Mahabarata dan Ramayana, wayang sasak memainkan lakon yang bersumber dari Serat Menak. Serat yang menjadi inti cerita dalam itu ditulis sekitar tahun 1717 Masehi, oleh Ki Carik Narawita atas perintah Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Sunan Paku Buwana I, Surakarta.

Serat itu ditulis dalam Bahasa Kawi, bahasa yang juga digunakan dalam pertunjukan Wayang Sasak. Sampai hari ini belum ada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan kapan Serat itu sampai ke Lombok untuk dijadikan babon atau sumber cerita Wayang Sasak.

Dalam buku Deskripsi Wayang Kulit Sasak, terbitan Kanwil Depdikbud NTB, 1993, yang di tulis Muhammad Yamin dan kawan-kawannya, terdapat beberapa versi datangnya Wayang Sasak ke Lombok. Mulai dari cerita seorang wali, di Lombok Tengah, Wali Nyatok, saat masih kanak-kanak sempat belajar mendalang ke Jawa bersama seorang kawannya dari Desa Rambitan. 

Pada suatu hari, konon Wali Nyatok berangkat ke Jawa setelah Isya dan balik ke Rambitan keesokan harinya sebelum matahari tenggelam. Setelah itu sang wali sudah menceritakan wayang kepada kawan-kawan sepermainannya.  

Cerita lainnya, tentang seorang wali, Pangeran Sangupati Urip, yang datang ke Lombok untuk mengobati masyarakat Lombok yang saat itu terkena wabah penyakit menular. Sang pangeran Sangupati kemudian mensyaratkan penduduk Sasak untuk melafalkan dua kalimat syahadat.

Dalam kisahnya kemudian, wabah penyakit berangur-angsur hilang, dan sebagai ungkapan rasa syukur digelarlah Gawe Mangenjangan. Di puncak acara gawe itu, digelar pertunjukan wayang dengan dalang Pangeran Sangupati.

Made Darundya, Salah seorang dalang Wayang Sasak beragama Hindu, mendalang di rumah seorang warga di Lingsar, Lombok Barat. Kendati merupakan media penyebaran Agama Islam, namun Wayang Sasak, juga dimainkan dalang beragama Hindu dan di tanggep oleh warga Lomok beragama Hindu.TEMPO/Ardhi

Riwayat lainnya, yang menyebut bahwa Wayang dibawa ke Lombok bersamaan dengan masuknya Islam yang dibawa oleh Sunan Prapen, putra Sunan Giri. 
“Awalnya Sunan Prapen membawa lakon Ramayana dan Mahabrata, tapi karena tidakditerima oleh masyarakat Lombok, lakon itu kemudian diganti dengan Serat Menak,” kata Sadarudin, seorang guru di Mataram yang juga aktif mendalang.
Kendati terdapat beragam versi sejarah datangnya wayang Sasak ke Lombok, akan tetapi seluruh sumber itu merujuk pada satu kesimpulan yang sama, bahwa wayang sasak bersumber dari pulau Jawa dan digunakan untuk menyebarkan agama Islam di Pulau Lombok.
“Alat-alat musik wayang sasak sangat sederhana, bisa dengan mudah dibawa ke mana-mana, sangat berbeda dengan wayang jawa dan wayang bali,” Sadarudin merinci musik wayang sasak hanya terdiri dari dua buah gendang, dan masing-masing satu buah gong, rincik, petuk, kenong dan suling.
Meski menjadi sarana syiar Islam di wilayah mayoritas berpenduduk muslim, wayang sasak tak langsung diterima dengan mudah di Lombok. Tidak semua masyarakat pulau seribu masjid, bisa menerima kehadiran wayang sasak. Terutama warga di Kelurahan Pancor, Kecamatan Selong, Lombok Timur misalnya.
“Seumur hidup saya, tidak pernah ada pertunjukan wayang di Pancor ini,” kata Haji Muhammad Azhar (80), Ketua pengurus Masjid At-Taqwa, Pancor.
Menurut Azhar, adalah para tuan guru, termasuk Tuan Guru Kiyai Haji Zainudin Abdul Majid, tokoh pendiri Nahdlatul Wathan (NW)—organisasi Islam terbesar di pulau Lombok—yang melarang pertunjukan wayang di Pancor.
“Kalau mau nonton wayang di Selong, di sini tidak ada wayang,” tutur Azhar.
Menurut dia, larangan pertunjukan wayang itu bukan lantaran anggapan bidah, tapi lebih karena kehawatiran timbulnya gesekan akibat pertunjukan wayang hingga larut malam. Setiap gawe hari besar seperti perayaan 17 Agustus, biasanya akan diselenggarakan pasar malam di Kota Selong, di situlah pertunjukan wayang digelar.

Kendati tak pernah ada pertunjukan wayang di Kelurahan Pancor, di wilayah Selong, wayang sasak masih bisa dipertontonkan. Dua kelurahan ini dulunya berbatas sawah sepanjang 2 km, namun kini kedua kelurahan itu tak berbatas lagi.

Sejumlah dalang yang dikonfirmasi, mengaku belum pernah mendalang ke Pancor. Muhammad Subeki (57), seorang dalang yang masih aktif mendalang di Lombok Timur, mengaku kerap menggelar pertunjukan di berbagai wilayah di Lombok Timur. Khusus untuk Pancor, dia sempat mendalang di perbatasan Kelurahan Pancor dan Selong.
“Saya pentas sekali di terminal, perbatasan Selong dan Pancor,” kata Subeki.
Pandangan sebagian masyarakat Lombok bahwa wayang sasak adalah kesenian yang hukumnya bidah, tidak ditampik oleh Tuan Guru Hasanain Juaini, pimpinan Pondok Pesantren Nurul Haramain, Narmada, sekaligus Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) NTB. Hasanain menganggap pandangan itu muncul karena ketidaktahuan, karena kecurigaan.
“Itu muncul karena satu sama lain tidak saling memahami, karena ketidaktahuan,” katanya.
Menurut Hasanain, mereka hanya mereka-reka saja pendapat itu, tidak berdasarkan kenyataannya.

Kondisi saling curiga itu, menurut Hasanain akan diperparah dengan munculnya hoax, kebohongan yang sengaja dibuat.

Minggu, 07 Juli 2019

Klana Dhusta


7 Juli 2019 - 12:05 PM

Topeng, seperti halnya wayang: hidup!

Bukan kah kehidupan dan kematian itu tidak hanya bergantung pada penggolongannya: benda-hidup atau benda-mati? Kehidupan dan kematian juga bergantung pada ‘siapa’ dan ‘apa’ yang menggerakkan atau membekukan benda-benda; ‘siapa’ dan ‘apa’ yang mengisi atau melenyapkan roh (anima) benda-benda. Barangkali termasuk Topeng Klana Sewandana ciptaan Sujiman dari Bobung Pathuk Gunungkidul di Balai Kota Surakarta pada malam itu (Sabtu, 6 Juli 2019) di acara tahunan International Mask Festival (IMF) yang mengusung konsep “pertunjukan seni topeng dan pameran kerajinan topeng”: tampak begitu hidup melakonkan karakter sang tokoh cerita; menggantikan wajah sang penari.

Kepada saya sesaat sebelum pementasan, Yestriyono, Sang Penata Tari, sekaligus pemeran Klana Sewandana malam itu, mengatakan bahwa Topeng Klana ciptaan Sujiman benar-benar hidup, benar-benar berkarakter. Ia, sebagai penari profesional, yang telah mengenal seni topeng dan tari topeng begitu dekat, tak bisa menahan decak-kagumnya.
 Ia tak sabar ingin segera membuktikannya. Memang, Sujiman menciptakan topeng itu bukan tanpa wewaton. Sebelum berkarya, ia mendasarinya terlebih dulu dengan laku-prihatin. Meskipun setelah saya bertanya kepada Pak Sujiman beliau pun tak benar-benar tahu: apakah kuatnya karakter Topeng Klana Sewandana ciptaannya itu sebagai buah dari laku-prihatinnya atau bukan. Ia hanya mencoba menceritakan apa-adanya.

Pak Sujiman adalah penanggung-jawab Sanggar Seni “Ngesti Budaya”
Tari-Wayang Topeng Bobung Pathuk Gunungkidul. Sujiman kapiji menjadi pengasuh Sanggar Seni Tari-Wayang Topeng Bobung terhitung dua tahun. Dulunya, Sanggar Seni Tari-Wayang Topeng Bobung diasuh oleh Mbah Adi Sugiman, yaitu satu-satunya leluhur Bobung pelaku dan pewaris seni ini. Tari-Wayang Topeng merupakan peninggalan-beliau yang beberapa waktu tidak dilestarikan. Sebelumnya, kegiatan Tari-Wayang Topeng Bobung tidak berjalan. Oleh Sujiman Tari-Wayang Topeng Bobung diramaikan kembali. Sekarang beberapa undangan pementasan hadir dan dapat berjalan. Termasuk pementasan malam itu, malam kedua International Mask Festival (IMF), Sujiman mendapat undangan pentas secara langsung dari panitia kegiatan tanpa melalui Dinas Kebudayaan Gunungkidul. Namun karena terbatas durasi pementasan (kurang lebih 30 menit) dan biaya produksi serta format penyajian penggalan-cerita padat (fragmen), maka Sujiman membawa tim produksi sejumlah 19 sudah termasuk penari (12) dan  penabuh (7).

Pak Sujiman: Penanggung Jawab Sanggar Seni Tari Wayang Topeng Bobung dan Marsilan: Sekretaris

Sujiman memilih fragmen berjudul: “Klana Dhusta”. Fragmen Klana Dhusta merupakan penggalan cerita Panji sebelum Raden Panji dan Dewi Sekartaji melaksanakan dhaup. Diawali dengan adegan di Bantarangin: Klana Sewandana dihadapkan oleh Sang Patih dan bala-tentara raksasa dalam sebuah pisowanan-agung. Dalam adegan ini Klana Sewandana gandrung-gandrung kepada salah satu bala-tentaranya, yang ia-kira Dewi Sekartaji. Begitu menginginkannya Klana Sewandana kepada Dewi Sekartaji, maka ia hendak nglurug ke Jenggala: berencana ndhusta Sekartaji dari tangan Panji, dari Jenggala.

Adegan selanjutnya: Dewi Sekartaji dan Panji Asmarabangun sedang andom-andum asmara di taman kraton. Ketika Panji lengah, Sekartaji coba kadhusta (dilarikan) oleh Klana. Mengetahui keadaan ini, Panji segera mencegah. Terjadilah dredah (peperangan) antara Panji dengan Klana Sewandana beserta bala-tentara raksasa. Kala Panji Asmarabangun sibuk berperang melawan bala-tentara raksasa, Klana Sewandana berhasil ndhusta Dewi Sekartaji pergi dari Jenggala.

Begitu lah sajian fragmen penggalan cerita Panji malam itu. Di acara-acara lain, Sanggar Seni “Ngesti Budaya” Tari-Wayang Topeng Bobung menyajikan cerita yang berbeda. Sujiman menerangkan bahwa cerita apa yang disajikan bergantung siapa yang nanggap. Ada kalanya si penanggap adalah orang luar Indonesia (misalnya Perancis dan Korea) yang menginginkan suatu cerita tertentu maka Sujiman akan mempersiapkan cerita itu. Paling sering, Sujiman menyodorkan naskah kepada calon penanggap: naskah-cerita yang diminati oleh para penanggap naskah-cerita yang mana. Ia memiliki naskah-cerita seperti: Gunungsari Kembar, Panji Krama, dan lain-lain. Khusus penyajian di Balai Kota Surakarta itu Sanggar Ngesti Budaya memang mendapatkan kebebasan untuk memilih dan menyajikan fragmen Panji yang mana.

Sebenarnya umur Ngesti Budaya sudah lama, sekitar tahun 2006, hanya saja beberapa waktu ini vakum, mungkin karena kurang promosi. Embrio seni sebelum Sanggar Ngesti Budaya lahir yaitu Seni Tari Wayang Topeng yang hidup dan tumbuh di Bobung sejak tahun 60-an: dulu ada penarinya dan ada topengnya. Topeng itu peninggalan leluhur Bobung (topeng-klasik) tapi sudah rusak dan akhirnya hilang. Sujiman masih ingat, ia belajar membuat topeng dari topeng-klasik yang diwariskan itu. Tahun 65-an masih ada tokoh tari topeng yang sugeng, yaitu pak Adi Sugiman, yaitu kakak Sujiman sendiri. Ilmu tari topeng dan ilmu membuat topeng diisep oleh Sujiman dan dikembangkan sampai sekarang. Tahun 73-an para warga Bobung mengembangkan kerajinan topeng, lantas memasarkannya. Topeng Bobung pun laku. Pada akhirnya Bobung dinobatkan sebagai Desa Wisata Kerajinan Topeng. Yang dibuat oleh Sujiman beserta para pengrajin bukan hanya topeng-klasik (untuk tari) namun juga topeng-modern fungsional.

Sujiman juga menerangkan bahwa ciri-ciri Tari Wayang Topeng Bobung amat klasik sekali. Namun di era sekarang, karena format pementasan yang beraneka warna, maka ditambahkan lah unsur garap baik di segi tata-tari maupun tata-iringannya. Karena, menurut Sujiman, jika sajian Tari Wayang Topeng Bobung benar-benar klasik maka susah dinikmati oleh kebanyakan penonton milenial. Yang ikut cawe-cawe untuk nggarap atau nyanggit Tari Wayang Topeng Bobung adalah Yestriyono Pilianto (Panggang). Alasannya: setelah Sujiman bertugas sebagai penanggung jawab sanggar, sementara penata-tari yang ia kenal adalah Yestri itu, dan penata-iringan adalah Muchlas, maka beliau mengajak mereka untuk menggarap Tari Wayang Topeng Bobung.

Meskipun demikian, Tari Wayang Topeng Bobung versi klasik masih ada.
Jika sewaktu-waktu diminta untuk dipentaskan maka Sujiman siap.
Permintaan para pandhemen dari luar negeri justru yang versi klasik.
Ditambah lagi penelitian-penelitian Tari Wayang Topeng Bobung (oleh ISI, UNY) tentu yang versi klasik, bukan garap. Pada akhirnya untuk urusan garap/sanggit di beberapa pementasan Sujiman memercayakannya kepada Yestri.

Menurut Yestri, penyajian Tari Wayang Topeng “Klana Dhusta” merupakan penggambaran bagaimana karakter kuat Klana Sewandana dalam aksi ‘mencuri-keindahan’ Dewi Sekartaji. Dari segi garap pementasan tari, sebenarnya penyajian malam itu adalah penggabungan antara para penari klasik di Bobung dengan para penari profesional yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Melihat tempat pentas yang berbentuk pendhapan dan saka-saka di Balai Kota Surakarta itu besar-besar, maka ragam lampah-ndhodhog dan lampah-ndhadhap tidak diterapkan olehnya seperti halnya ketika pentas di Bobung maupun di Yogya. Namun, meskipun demikian, bagian awal (jejer ke-1) tetap menggunakan trap wayang-orang Gaya Yogyakarta. Dapat dikatakan bahwa Tari Wayang Topeng Bobung pada malam itu merupakan gabungan dua golongan: yaitu golongan para penari profesional dan para penari rakyat tradisional. Pada dasarnya para penari rakyat tradisional Bobung itu para pengrajin topeng. Menurut Yestri: para pengrajin topeng Bobung menginginkan Topeng-Bobung ‘digerakkan’, diberi roh. Maka mereka tergugah untuk menggerakkan topeng-topeng. Lahir lah seni tari wayang topeng. Akhirnya, mereka mempunyai cerita topeng Panji dan tari wayang Panji.

Yestriono: Penggarap Tari Wayang Bobung asal Panggang

Tari Wayang Topeng Bobung memang tradisi turun-temurun. Pernah Yestri menemui dan menanyakan langsung kepada tokoh pewaris Adi Sugiman kala beliau masih sugeng: Siapa pelatihnya? Jawab-beliau: “Nenek, nenek!”, hanya seperti itu.
Mbah Sugi, begini Yestri menyebutnya, adalah tokoh Bobung yang amat sepuh tetapi masih kersa membimbing para pemuda untuk melestarikan Tari Wayang Topeng Bobung. Beberapa tahun ini, dalam rangka IMF, Yestri bersama Sanggar Seni Tari Wayang Topeng Bobung (mewakili Pak Sujiman) sudah melaksanakan pentas dua kali (tahun lalu di Mangkunegaran). Kala itu ia menggarap fragmen Klana dan abdinya, Bancak, atau Sembunglangu. Kegiatan awalnya memang bukan berupa pementasan tari topeng. Awalnya berupa pameran topeng Panji.

Termasuk pentas tahun lalu dan malam itu, yang utama adalah Tari Klasik Topeng Bobung bisa dipentaskan. Bagaimana caranya bisa merekrut teman-teman pemuda dan sesepuh di Bobung berbarengan dengan teman-teman penari profesional bisa melaksanakan pentas bersama. Tari topeng itu tari kerakyatan. Sepengetahuannya, tari topeng yang bersifat kerakyatan ‘diijinkan’ untuk dipentaskan di lingkungan kraton (seperti Tari Klana Topeng). Melihat sejarah topeng dan tari topeng di Bobung yang awalnya memang dari para pengrajin topeng kerakyatan, kemudian dari kreatifitas rakyat itu lahir sanggar tari-wayang topeng. Dituturkan ulang oleh Yestri: dulu Mbah Sugi pergi ke Yogya, tepatnya ke Pendhapa Tejakusuman untuk menyaksikan pertunjukan tari klana. Beliau, Mbah Sugi, hanya melihat pertunjukan Tari Klana dari kejauhan. Beliau tak belajar langsung di pendhapa (menurut ingatan saya ini mirip dengan pengalaman Rama Sas kala belajar tari di Pendhapa Pujakusuman). Kemungkinan besar, ujar Yesri, Beliau meniru ragam tari topeng di Pendhapa Teja itu kemudian menciptakan dan mengolahnya sendiri untuk menghidupkan tari-wayang topeng di Bobung.
“Jaman cilik biyen, biyen ki aku nek sinau nyang Tejakusuman,” begini Yestri menirukan cerita Mbah Sugi tatkala berkesempatan berwawancara ketika Beliau masih hidup. 
Tetapi Yestri memaklumi, banyak ragam-gerak Tari Wayang Topeng Bobung yang berbeda dengan tari topeng gaya Yogyakarta, khususnya penamaan ragam tari seperti: trisik, tanceb, sabetan, bapangan, kambengan, dan kinantangan yang berbeda dengan ‘ragam sesungguhnya’ ketika dilakukan. Barangkali karena memang ini lah ciri tari kerakyatan: dilakukan tetapi kurang sempurna, tak begitu abai terhadap ‘kebakuan-kebakuan’. Misalnya: ragam angkat-kaki yang biasanya kaki lurus baru ditekuk, di Bobung ragam ini dilakukan dengan kaki lurus sambil menginjak-injak lantai baru diangkat. Maka, untuk kemasan pentas malam itu, Yestri dan kawan-kawan sebagai anak muda yang dimintai tolong tidak membuang ragam-ragam yang sudah ada. Ragam itu telah menjadi ciri khas dan kekayaan Tari Wayang Topeng Bobung. Toh pada akhirnya ragam-gerak Tari Wayang Topeng ciptaan Mbah Sugi diwariskan turun-temurun hingga sekarang. Yestri cenderung ragu jika ada tokoh dari arah Timur Gunungkidul yang neneka di Bobung lantas mewariskan topeng dan tari-topeng.

Penyajian Sanggar Ngesti Budaya Bobung di International Mask Festival (IMF) Tahun 2019

Di segi lakon, Yestri mencoba nyanggit cerita dengan memfokuskan pada penculikan Sekartaji oleh Klana. Akhir dramatiknya, Dewi Sekartaji berhasil didhusta oleh Klana Sewandana. Sekartaji terpisah dengan Panji Asmarabangun. Klana, menang. Biasanya, alur cerita Panji takkan sampai muncul adegan “Klana merebut Sekartaji dari tangan Panji”. Kali ini sanggitnya berbeda. Sanggit cerita yang seperti ini berdasar masukan dari Pak Sujiman. Bahkan, sejak awal persiapan produksi, Pak Sujiman telah menentukan judulnya: “Klana Dhusta” itu. Setelah saya konfirmasi, Pak Sujiman mengatakan bahwa penokohan Klana sebagai pusat cerita itu karena Klana Sewandana sebenarnya memiliki dua karakter: pemarah, namun baik hati. Klana selalu ngayomi rakyatnya. Ia hendak mencuri Sekartaji karena memendam ‘dendam-negara’ antara Bantarangin dengan Jenggala. Bantarangin pernah diobrak-abrik oleh Jenggala (ayah Panji). Menurut Beliau, Klana adalah seorang pencuri namun baik hati.

Topeng Klana yang dikenakan Yestri memang berbeda. Itu topeng garapan Sujiman sendiri.
Proses nya tak seperti ketika Sujiman nggarap topeng-topeng yang lain. Topeng itu bukan topeng kerajinan yang prosesnya “asal menebang pohon kemudian membuat topeng” begitu saja. Sebenarnya beliau membuat 5 topeng. Yang pertama adalah topeng Klana itu, lantas ia-turunkan menjadi 4 topeng lain, di antaranya Panji dan Jayakartala. Sekarang 4 topeng lain sudah dikoleksi oleh “orang-orang yang ingin sekali mengoleksinya kala pertama kali melihatnya digantungkan di dinding rumahnya”. Sementara topeng Klana tidak ia jual. Ada yang menawar topeng Klana ciptaannya hingga 60 juta tak beliau-berikan.
“Itu topeng koleksi,” kilahnya.
Ada laku-laku tertentu sebelum ia menciptakan topeng. Tujuannya agar: Sujiman mendapatkan karakter topeng yang sesungguhnya. Setelah Topeng Klana selesai diciptakan oleh Sujiman, tak semua orang bersedia memakai topeng itu; tak semua (sembarang) orang dipilih oleh Sujiman mengenakan topeng itu. Pernah ada kejadian: Topeng Klana tiba-tiba hilang dari tempat penyimpanannya, kemudian pulang sendiri. Pernah juga ada kejadian, ketika suatu saat dalam Festival Tari Klana Topeng topeng itu dipakai oleh adik iparnya, sesampai di rumah sang adik disimpannya asal-asalan, tak selang berapa lama ia ditakut-takuti oleh “sesuatu”. Ada berbagai macam suara seperti orang menangis dan lain sebagainya dari arah kamar penyimpanan topeng.
Ada pula kejadian: sewaktu pengukuhan Geopark Gunungsewu Sujiman mengenakan Topeng Klana itu, kemudian ada seorang bule yang memfoto jeprat-jepret tetapi tak ada hasil gambarnya. Sujiman berkeyakinan: orang itu mempunyai niat tidak baik. Kejadian demi kejadian semakin meneguhkan bahwa Topeng Klana ciptaannya memang menyimpan sesuatu. Tak tahu mengapa dulu Sujiman memilih menciptakan Topeng Klana sebagai masterpiece, bukan Panji bukan Sekartaji. Seolah-olah ada orang yang menyuruh: “Klana saja yang kau ciptakan!” Kini, setiap ada penari yang menggunakan Topeng Klana ciptaannya (atas sepersetujuannya), merasa memiliki semangat penuh kala pentas. Menurut keterangan beberapa orang, jika dibutuhkan oleh seorang penari untuk memerankan Klana Topeng, cenderung memilih Topeng Klana ciptaannya itu karena ketika pentas amat ringan dipakai, tak ada kemalasan, kaki nyik-nyik amat enteng bergerak. Meskipun ia hanya menceritakan pengalaman beberapa penari; ia tak pernah memerankan topeng yang ia ciptakan sendiri dan mewakilkan dirinya sendiri.

Begitu halnya apa yang dirasakan Yestriyono ketika pentas mengenakan Topeng Klana ciptaan Sujiman itu. Ia merasakan ada semangat yang menggerakkan tubuhnya; ada greget menghidupkan dan melestarikan Tari Wayang Topeng Bobung.

Yestriyono Pilianto atau Yestriyono Reksa Mataya, khususnya mewakili dirinya sebagai Abdi Dalem Kraton berpangkat “Masjajar”, maka dari itu, mengharapkan kepada dinas-dinas terkait atau Pemerintah Daerah Gunungkidul untuk mendampingi Sanggar Seni Ngesti Budaya. Selama ini ia bekerja secara pribadi ikut cawe-cawe memberikan pelatihan. Ia, sesuai kepangkatannya itu, harus ikut serta mempertahankan kelangsungan hidup Seni Tari-Wayang Topeng Bobung. Jika demikian, yaitu spirit-penggerak aksinya adalah kerja sosial dan berbagi di bidang seni, Yestriyono meyakini bahwa suatu saat ia akan memetik buah berkeseniannya itu. Terlebih menurutnya, penelitian-penelitian dari golongan akademisi tentang Tari-Wayang Topeng Bobung terbatas hanya pada kebutuhan mereka sendiri tetapi tidak ada kelanjutan pemberian umpan-balik demi kemajuan Tari-Wayang Topeng Bobung.
“Para generasi muda pun hendaknya bersedia mempelajari topeng dan tari-topeng,” Yestri menambahkan pesan.
Topeng Klana Sewandana Ciptaan Sujiman, Bobung Pathuk Gunungkidul
Sujiman, Marsilan, Yestri, para penari, para penabuh, serta para pengrajin Topeng Bobung menurut saya berhasil menggerakkan dan menghidupkan topeng-topeng rakyat pinggiran (desa) di pusat kebudayaan (kota); topeng-topeng pramodern di antara topeng-topeng orang modern . Topeng-topeng Bobung sebagai aset kebudayaan Gunungkidul DIY yang dikenakan para penari serasa hidup, ibarat hidupnya ‘wayang-wayang’: penokohan di balik topeng-topeng itu berasal dari wilayah Pegunungan Sisi Selatan (Ardikidul, Redikidul) dimana wilayah Pegunungan Sisi Selatan terkesan kering dan tandus, ‘pemarah’, serta menakutkan (sifat raksasa-raja dan bala-tentaranya), khususnya oleh penokohan Raja Raksasa Klana Sewandana (Yestri) malam itu yang amat dominan sepanjang pementasan. Ya, topeng raksasa Klana Sewandana ciptaan Sujiman itu: hidup! Topeng Tari Wayang Klana: hidup! Ia mencuri perhatian; ia mencuri keindahan (Sekarjati-Sekartaji). Topeng dan Tari Wayang Topeng Bobung berhasil ndhusta (mencuri) perhatian jejel-riyel-nya penonton. Tepuk-tangan penonton menyesaki Pendhapa Balai Kota Surakarta yang megah dan agung itu. Mereka telah menghidupkan Tari-Wayang Topeng Bobung (bahkan di tanah kelahiran mereka sendiri) tak mati dalam bentuk pementasan-pementasan rutin skala lokal, nasional, maupun internasional; tak punah oleh gerak jaman.

Ke depan mereka harus berani menghidupkan karakter topeng-topeng: semoga bukan sebagai topeng-topeng bendawiah belaka yang tanpa roh (anima), bukan sebagai sentra kerajinan topeng di sisi barat Gunungkidul yang menuju ke kematian, namun juga agar topeng-topeng laku di pasaran, agar memiliki ketahanan menggerakkan arwah dan lakon kehidupan.
“Supados tari topeng boten pegat ing tengahing margi,” begini pembicaraan diakhiri oleh Marsilan, sang sekretaris sanggar, sebelum sesi foto saya-minta dilakukan.
[WG]