Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Sabtu, 24 Februari 2018

Esai: Kebebasan menulis

Written By: MAGGIE TIOJAKIN

Orhan Pamuk
(diterjemahkan oleh Maureen Freely)
Pada bulan Maret tahun 1985 Arthur Miller* dan Harold Pinter** sama-sama mengunjungi Istanbul. Di masa itu, mereka adalah dua nama terbesar di dunia teater, namun sayangnya, kunjungan mereka ke Istanbul tidak ada sangkut-pautnya dengan drama teater ataupun acara kesusastraan, melainkan keterbatasan yang tanpa ampun terhadap kebebasan berekspresi di Turki. Banyak sekali penulis yang dijebloskan ke penjara karena tulisan mereka waktu itu.
Peristiwa kudeta yang terjadi di Turki pada tahun 1980 menyebabkan ratusan ribu orang dijebloskan ke penjara; dan, seperti biasa, penulis jadi sasaran paling empuk. Setiap kali saya menilik artikel-artikel lawas dari berbagai surat kabar, serta kalender dari masa itu, saya seolah mengingatkan diri sendiri tentang apa yang terjadi saat itu—dan bayangan yang terlintas di kepala saya, lumrahnya, adalah suatu adegan yang menjadi ciri utama era tersebut: para lelaki duduk berjajar di ruang pengadilan, dikapit para gendarme (polisi), dengan kepala plontos dan dahi berkerut sementara kasus mereka terus diproses… Di antara kumpulan lelaki itu ada banyak sekali penulis, dan tujuan kunjungan Arthur dan Harold adalah untuk menemui mereka serta keluarga mereka, juga untuk menawarkan bantuan. Lebih dari itu, arti kunjungan mereka adalah untuk mengangkat kasus ketidakadilan yang dialami para penulis Turki agar semua orang di dunia tahu.
Perjalanan kedua penulis tersohor tersebut diatur dan didanai oleh dua institusi besar yang mendukung kebebasan berekspresi di seluruh dunia: PEN dan Helsinki Watch Committee***. Saya berangkat ke bandara untuk menemui mereka, karena seorang teman saya dan saya telah ditunjuk untuk jadi pemandu mereka.
Penunjukkan saya sebagai pemandu para penulis tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan kiprah saya di dunia politik saat itu, melainkan karena saya adalah seorang novelis yang mahir berbahasa Inggris; dan saya dengan senang hati menerima penugasan tersebut. Pertama, saya bisa membantu teman-teman sesama penulis yang sedang berkesusahan; kedua, saya bisa menghabiskan waktu selama beberapa hari bersama dua penulis hebat.
Akhirnya, kami berempat pergi mengunjungi beberapa rumah penerbitan yang berskala kecil dan masih berjuang untuk bertahan; ruang-ruang redaksi surat kabar yang berantakan; serta kantor-kantor majalah lokal yang berdebu, gelap dan nampaknya berada di ambang kebangkrutan. Kami juga berkunjung dari satu rumah penduduk ke rumah penduduk lainnya; selain itu, kami pun menghampiri beberapa restoran—semua ini guna menemui para penulis yang tengah ditargetkan pemerintah Turki beserta keluarga mereka.
Sebelumnya, sudah cukup bagi saya untuk berdiri di pinggiran lingkar politik, menolak untuk masuk kecuali dipaksa; tapi sekarang, setelah saya mendengar sendiri kisah-kisah pilu tentang penindasan, kekejaman dan kejahatan yang dilakukan aparat negara terhadap para penulis Turki, saya merasa tertarik ke dalam lingkaran yang sama karena rasa bersalah yang tak terbendung. Selain rasa bersalah, saya juga merasakan efek solidaritas, meski pada saat bersamaan, saya merasakan hasrat yang sama besarnya untuk melindungi diri saya sendiri dari semua ini. Keinginan utama saya hanyalah untuk menulis novel-novel indah seumur hidup saya.
Kami mengajak Arthur dan Harold naik taksi dari satu kunjungan ke kunjungan berikutnya, melewati lalu-lintas kota Istanbul, dan saya ingat bagaimana kami membahas perihal para pedagang asongan di tengah kota. Kami juga membahas soal kereta kuda, poster bioskop, dan para wanita Turki yang tak bercadar serta tak berjilbab dan selalu membuat para wisatawan dari negara-negara Barat tercengang takjub. Namun ada satu adegan yang sangat jelas dalam ingatan saya: di ujung sebuah koridor panjang di hotel Istanbul Hilton, teman saya dan saya tengah berbisik seru, sementara di ujung lain koridor yang sama, Arthur dan Harold tengah berbisik juga di antara bayang-bayang gelap, dengan keseruan yang sama. Adegan ini terus terukir dalam pikiran saya—mungkin karena ia mewakili jarak yang sangat jauh antara sejarah negara kami yang begitu kompleks, dan sejarah negara mereka yang tak kalah rumit. Tetapi keberadaan kami di koridor yang sama menunjukkan bahwa bentuk solidaritas antar penulis adalah hal yang mungkin dan cukup efektif untuk menumbuhkan secercah harapan bagi para penulis yang tengah menunggu eksekusi.
Saya merasakan beban kebanggaan dan rasa malu yang sama di setiap pertemuan—tiap-tiap ruangan yang kami masuki selalu sarat akan pria-pria bermasalah dan asap rokok yang tak ada habisnya. Saya mengetahui hal ini karena sesekali masalah itu dibuka di depan umum; namun selebihnya saya bisa melihat kegelisahan yang hebat dari gerak-gerik dan ekspresi mereka. Para penulis, pemikir, dan jurnalis yang kami temui di masa itu sebagian besar mendefinisikan diri mereka sendiri sebagai orang-orang beraliran kiri; maka bisa dikatakan bahwa masalah mereka terkait langsung dengan kebebasan yang diagung-agungkan oleh paham demokrasi liberal dari Barat. Dua puluh tahun kemudian, saat saya menemui separuh dari orang-orang yang saya temui saat itu—atau sekitar itu, saya tidak ingat jumlah pastinya—mereka justru berbalik arah dan membela paham nasionalisme yang berseberangan dengan Pembaratan dan demokrasi. Tentunya, hal ini membuat saya sedih.
Pengalaman saya sebagai pemandu, dan seperti pengalaman lain dalam hidup, mengajarkan saya sesuatu yang sudah kita ketahui dengan baik, tetapi ingin saya tekankan dalam esai ini. Apapun negaramu, kebebasan berpikir dan berekspresi adalah hak asasi manusia. Kebebasan ini, yang diinginkan oleh masyarakat modern sama seperti mereka merindukan roti dan air, tidak seharusnya dibatasi oleh sentimen nasionalis, moralisme, atau—lebih parahnya—kepentingan bisnis dan militer. Bila ada banyak negara di luar wilayah Barat terpaksa menanggung malu karena tingkat kemiskinan yang terus meningkat, itu tidak disebabkan oleh kebebasan bereskpresi, melainkan karena mereka tidak punya kebebasan berekspresi. Sementara mereka yang beremigrasi dari negara-negara miskin tersebut ke negara-negara Barat, atau Utara, demi meninggalkan kesulitan ekonomi dan bentuk penindasan keji—seperti yang kita ketahui, terkadang mereka justru mendapati diri mereka lebih ditindas oleh paham rasisme di negara-negara kaya. Ya, kita juga harus waswas terhadap orang-orang yang merendahkan para imigran dan kaum minoritas dengan alasan agama, akar budaya, atau dengan alasan kejahatan yang telah dilakukan pemerintah negara asal para imigran terhadap orang-orang dari negara-negara kaya tersebut.
Akan tetapi, menghormati kemanusiaan dan paham keagamaan kaum minoritas bukan berarti kita harus membatasi kebebasan berpikir orang yang berseberangan dengan kita, meski pikiran mereka tergolong rasis ataupun tak lazim.
Benar, kita memang harus menghargai hak-hak asasi kaum minoritas, tapi itu bukan artinya kita bisa seenaknya membungkam orang-orang yang tidak setuju dengan cara pikir kita. Sebagai penulis, kita seharusnya tidak meragukan ini. Tak peduli seberapa provokatif pesan yang disampaikan siapapun, kita tidak boleh membungkam orang seenaknya.
Sebagian dari kita memang lebih paham tentang norma-norma Barat, sementara sebagian lain lebih condong terhadap norma-norma Timur; dan masih ada sebagian kecil penulis, seperti saya, yang lebih senang membuka diri dan berada di garis tengah kedua paham tersebut. Namun keterkaitan kita dan hasrat kita untuk mengerti mereka yang berbeda dari kita tidak seharusnya jadi alasan bagi kita untuk membatasi rasa hormat kita terhadap hak-hak asasi manusia.
Saya selalu kesulitan mengekspresikan pandangan saya terhadap dunia politik dengan jelas, kuat dan penuh empati—saya selalu merasa pretensius, seolah apa-apa yang saya ucapkan tidak ada artinya, atau tidak benar. Ini disebabkan oleh kesadaran bahwa saya tidak mungkin mengerucutkan pemikiran saya tentang hidup ke dalam satu corong suara, atau satu sudut pandang—karena toh saya ini seorang novelis, jenis penulis yang selalu dituntut untuk bisa mewujudkan pemikiran tiap-tiap tokohnya, terutama tokoh-tokoh antagonis.
Hidup dalam dunia fiksi, di mana, dalam waktu singkat, seorang korban tirani dan penindasan bisa tiba-tiba berubah jadi seorang tiran dan diktator, saya juga sadar bahwa kepercayaan absolut terhadap proses dan manusia adalah hal yang tidak gampang. Saya juga percaya bahwa sebagian besar dari kita senang memikirkan hal-hal yang kontradiktif secara bersamaan, meski tidak dengan tujuan buruk.
Kesenangan saya untuk menulis novel pada dasarnya datang dari keingintahuan saya terhadap kondisi masyarakat modern yang cenderung senang mengontradiksi buah pikiran mereka sendiri. Justru karena cara pikir kita yang modern ini terlalu mudah bergeser maka kita butuh sekali kebebasan berekspresi: supaya kita paham tentang diri kita sendiri, paham tentang pemikiran kita yang terkadang kontradiktif dan mencurigakan, serta paham tentang rasa bangga dan rasa malu yang kerap hadir melebur jadi satu, yang tadi saya sebut.
Izinkan saya untuk menyampaikan cerita lain yang mungkin bisa menjelaskan konsep rasa bangga dan rasa malu yang saya rasakan dua puluh tahun lalu di saat saya sedang mengajak Arthur dan Harold berkeliling Istanbul. Sepuluh tahun setelah kunjungan mereka, serangkaian kebetulan yang digerakkan oleh itikad baik, amarah, rasa bersalah, dan dendam pribadi menggiring saya untuk menyampaikan serentetan pernyataan kepada publik tentang kebebasan berekspresi yang tak ada hubungannya dengan novel-novel saya. Dalam waktu singkat, peran saya di kancah politik jadi membesar tak terkendali, jauh lebih besar dari yang saya bayangkan sebelumnya. Di saat yang sama, penulis asal India yang menyusun laporan tentang kebebasan berekspresi di Turki untuk keperluan data PBB—seorang pria yang sudah cukup berumur—datang ke Istanbul mencari saya. Anehnya, kami juga berjumpa di Hotel Hilton. Belum lagi kami sempat duduk di meja makan, pria asal India itu melontarkan pertanyaan yang masih terngiang di telinga saya hingga saat ini: “Mr. Pamuk, hal apa saja yang terjadi di negaramu yang ingin kau sampaikan dalam buku-bukumu, namun terpaksa kau undurkan, karena takut dipersekusi?”
Pertanyaan itu disusul oleh kebungkaman yang cukup lama. Tak siap dengan jawaban, saya sibuk berpikir dan berpikir dan berpikir. Akhirnya, saya masuk ke dalam proses tanya-jawab dengan diri sendiri ala-ala Dostoevski. Sudah jelas bahwa apa yang ditanyakan oleh pria dari PBB adalah: “Mengingat segala tabu, larangan hukum dan aturan yang opresif di Turki, apa yang masih belum terucapkan?” Tapi karena dia bertanya kepada seorang penulis muda yang duduk di hadapannya dan—entah kenapa, mungkin karena tidak enak—meminta penulis muda itu untuk menjawab sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang novelis; saya yang belum banyak pengalaman menjawab pertanyaan macam ini pun akhirnya menerima pertanyaannya mentah-mentah. Turki yang saya kenal sepuluh tahun lalu memang sangat ketat terhadap apa-apa yang tidak boleh dibahas di khalayak umum, dan larangan ini dilindungi oleh hukum negara yang sangat opresif. Namun selagi saya menyebut satu-satu bentuk larangan yang dipaksakan kepada para penulis, pemikir dan jurnalis di masa itu, saya sadar bahwa tak ada satu pun yang ingin saya angkat “dalam bentuk novel”. Tapi saya juga sadar bahwa bila saya mengucapkan, “Tak ada yang ingin saya sampaikan dalam bentuk novel yang tak bisa saya bicarakan secara terbuka,” saya pasti memberikan kesan yang salah. Karena saya sudah sering mengangkat isu-isu berbahaya ini di luar novel-novel saya. Lebih dari itu, bukankah saya sudah sering mengangkat dan berfantasi tentang isu-isu ini dalam novel-novel saya justru karena itu dilarang? Selagi saya memikirkan semua itu, saya jadi malu terhadap kebungkaman saya dan mengonfirmasi dalam hati saya bahwa kebebasan berekspresi berakar pada kebanggaan dan karenanya, pada intinya, merupakan bagian besar dari cara kita mengekspresikan harga diri kita.
Saya kenal baik dengan banyak penulis yang sengaja mengangkat topik-topik terlarang justru karena mereka dilarang. Saya juga tak jauh beda dengan mereka. Sebab bila ada seorang penulis yang kebebasannya dikekang dan suaranya dibungkam, di mana pun dia berada, maka itu artinya tak ada penulis yang benar-benar bebas. Inilah semangat yang menguatkan tingkat solidaritas yang dirasakan oleh institusi besar seperti PEN, yang dirasakan semua penulis di dunia.
Sesekali ada saja teman yang akan menasihati saya seperti ini: “Seharusnya jangan menulis seperti itu, tulis saja seperti ini, supaya tidak menyinggung perasaan orang, supaya jauh dari masalah.” Tapi yang tidak mereka mengerti adalah bahwa bila saya mengubah kata-kata dan membungkusnya dengan cara berbeda, yang lebih bisa diterima oleh semua orang dalam kultur penindasan, dan melakukannya dengan baik, maka saya tidak ada bedanya dengan seorang kriminal yang terbiasa menyelundupkan barang-barang berharga tanpa sepengetahuan petugas bea dan cukai—dan hal itu tak hanya akan mengundang malu, tapi juga merendahkan.
Tema festival PEN tahun ini adalah akal budi dan kepercayaan. Saya mengangkat cerita-cerita tadi dalam esai ini untuk mengilustrasikan satu kebenaran—bahwa kenikmatan untuk mengutarakan apa saja yang ingin kita sampaikan sangat erat kaitannya dengan harga diri manusia. Maka mari kita bertanya pada diri sendiri seberapa “masuk akalnya” bagi kita untuk merendahkan budaya dan agama orang lain, atau lebih tepatnya, menghancurkan negara-negara orang, atas nama demokrasi dan kebebasan berpikir. Bagian dunia tempat tinggal saya tidak lantas berubah jadi lebih demokratis setelah semua pembunuhan itu terjadi. Dalam perang melawan Irak, serta segala macam bentuk penindasan dan pembunuhan berdarah dingin terhadap lebih dari seratus ribu orang—tidak satu pun dari pengorbanan itu yang membawa kedamaian, ataupun demokrasi. Justru sebaliknya, semua peristiwa tersebut telah memicu semangat nasionalis dan amarah anti-Barat. Segala hal yang bersangkutan dengan kaum minoritas dan mereka-mereka yang berupaya menegakkan demokrasi serta memperjuangkan paham sekuler di Timur Tengah jadi jauh lebih sulit. Perang keji dan tak beradab ini adalah malu yang harus ditanggung oleh pihak Amerika dan negara-negara Barat sekutunya. Organisasi seperti PEN dan penulis seperti Harold Pinter dan Arthur Miller adalah sumber kebanggaan. FL 
Sumber: FiksiLotus.Com
2018 © Hak cipta Fiksi Lotus dan Orhan Pamuk. Tidak untuk ditukar, digandakan, ataupun dijual.

#KETERANGAN:
* Arthur Miller adalah dramawan, penulis naskah dan esai asal Amerika Serikat yang telah mendapatkan penghargaan Pulitzer di tahun 1949. Salah dua pertunjukkan teater ternama yang pernah ia tulis berjudul Death of a Salesman dan The Crucibles.
** Harold Pinter adalah seorang dramawan asal Inggris yang telah memenangkan penghargaan Nobel di tahun 2005. Sebagai salah satu penulis Inggris yang paling berpengaruh, ia juga menyandang gelar kehormatan CBE karena kontribusinya di bidang seni.
*** PEN adalah organisasi internasional yang didirikan pada tahun 1921 dan merupakan asosiasi penulis terbesar di dunia. Misi utama organisasi ini adalah untuk mempromosikan kerjasama intelektual dan persahabatan antar penulis di seluruh pelosok dunia.
*** Helsinki Watch adalah organisasi nirlaba asal Amerika Serikat yang didirikan pada tahun 1978 dan berdedikasi memonitor implementasi Perjanjian Helsinki di seluruh blok Uni Soviet. Sepuluh tahun kemudian, di tahun 1988, organisasi ini mengganti namanya jadi Human Rights Watch.

#CATATAN:
> Karya ini berjudul Freedom to Write karya ORHAN PAMUK, terjemahan Maureen Freely, yang terbit di kompilasi esai Burn This Book (HarperCollins, 2009) berisi esai-esai karya penulis di bawah naungan PEN International.
>> ORHAN PAMUK adalah penulis esai, novel, naskah dan pemikir asal Turki yang telah dianugerahi hadiah Nobel pada tahun 2006. Di antara karya-karyanya yang telah mendunia adalah The White Castle, My Name Is Red dan The Museum of Innocence. Saat ini ia mengajar mata kuliah sastra di Universitas Columbia.
>>> MAUREEN FREELY adalah jurnalis, novelis, penerjemah dan dosen asal Amerika Serikat yang sering menjadi kontributor di surat kabar The Guardian dan The Independent. Saat ini, ia menjabat sebagai presiden English Pen, pusat pendirian PEN International.

Angkatan Puisi Esai Pra-Bayar Denny JA

Oleh: Saut Situmorang

Di mana keunggulan puisi esai dibandingkan dengan jenis puisi atau genre yang sudah ada? Seorang entrepreneur sejati, tentu saya tak sekadar bergenit-genit membuat sesuatu sekadar baru, asal beda. Hanya sekadar beda, ia tak akan survive.
Keunggulan pertama, puisi esai yang panjang, yang merupakan historical fiction, potensial diangkat ke layar lebar. Semua sastrawan yang kaya-raya di dunia, itu karena novelnya menjadi film laris. Ini hanya terjadi pada novel, bukan puisi.
Puisi esai adalah novel pendek yang dipuisikan. Semua plot cerita, karakter, dan drama yang ada pada novel juga ada pada puisi esai. Dibanding semua jenis puisi yang ada, puisi esai paling potensial dibuat menjadi film layar lebar. Dibanding semua jenis penulis puisi yang ada, penulis puisi esai paling potensial menjadi kaya-raya karena puisinya.”
Membaca ketiga paragraf pembuka esei Denny JA berjudul “Puisi Esai: Apa, Mengapa, dan Keunggulannya” (Koran Tempo, 11-12 Fabruari 2018) di atas saya segera paham bahwa saya sebenarnya sedang membaca, dan mengomentari, sebuah tulisan yang ditulis oleh seseorang yang sama sekali buta, sama sekali awam, atas apa itu Sastra. Apalagi memang si penulisnya yang bernama Denny JA itu belum apa-apa sudah bela diri dengan menyatakan bahwa dirinya seorang “entrepreneur” yaitu seseorang yang menurut kamus bahasa Inggris Oxford English Dictionary “A person who sets up a business or businesses, taking on financial risks in the hope of profit” dan “A promoter in the entertainment industry”.
Bagaimana mungkin bisa mengharapkan sebuah esei yang penuh dengan kesadaran sejarah dan teori Sastra dari seseorang yang cuma tertarik dengan dunia bisnis demi mengeruk keuntungan finansial! Bagaimana mungkin bisa mengharapkan seseorang yang cuma promotor industri hiburan untuk paham apa itu Seni, apa itu Sastra!
Ketiga paragraf pembuka ini adalah isi utama dari esei yang berpretensi tentang Seni Sastra ini. Dan kita lihat betapa konsep “bisnis” alias duit sangat dominan mewarnai ketiga paragraf tersebut. Perhatikan saja repetisi yang dilakukan penulisnya atas kata “kaya-raya”!
Tingkat keawaman yang begitu parah tentang Sastra dipamerkan Denny JA dengan menyatakan bahwa “puisi esai” merupakan “historical fiction”, bahwa “puisi esai” adalah “novel pendek yang dipuisikan”. Hanya seorang yang sama sekali buta Sastra akan membuat pernyataan-pernyataan yang sangat menggelikan di atas.
Bagi mereka yang mengerti Sastra maka secara umum Sastra biasanya dibagi atas 3 genre yaitu Puisi, Prosa, dan Drama. Fiksi (novel dan cerpen) dan Esei biasanya dimasukkan dalam kategori Prosa, walau tentu saja selalu ada tumpah-tindih atau gabungan dari genre di antara ketiga genre utama Sastra tersebut.
Puisi biasanya dibedakan dari Prosa dalam hal berikut ini: Puisi biasanya ditulis dalam sebuah sistem persajakan sementara Prosa tidak; Prosa ditulis dalam kalimat sedangkan Puisi dalam Baris; dan sintaks dalam Prosa dipengaruhi oleh Artinya sementara dalam Puisi oleh Persajakan dan aspek Visualnya.
Esei adalah satu jenis tulisan analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik yang biasanya ditulis dari perspektif pribadi penulisnya untuk mengekspresikan pendapat pribadinya. Bentuk esei biasanya terdiri dari pembukaan dan kesimpulan. Dan terdapat beberapa paragraf sebagai isi esei antara pembukaan dan kesimpulan tersebut.
Walaupun begitu tidak semua esei berbentuk tulisan. Ada bentuk-bentuk lain dari esei yang fungsinya mirip dengan fungsi tulisan yang disebut esei di atas yaitu Foto Esei dan Film Esei.
Istilah "puisi-esei" adalah kombinasi dari dua genre Sastra yang berbeda yaitu Puisi dan Prosa dalam hal ini subgenre Esei.
Kalau kita bicara tentang "puisi esei" maka kita akan bicara tentang satu genre tulisan yang merupakan gabungan dari dua genre Sastra. Suatu tulisan yang SEKALIGUS Puisi dan Esei. Biasanya puisi adalah Bentuknya dan Esei adalah isinya.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah tulisan yang disebut "puisi-esai" [sic] oleh Denny JA itu memang Puisi-Esei? Apakah sudah ada yang membuktikan bahwa Puisi memang sudah berhasil dituliskan dalam "puisi-esai" dan isinya memang merupakan Esei analitis, interpretatif dan kritis tentang suatu topik?
Bukankah yang justru ditemukan dalam apa yang disebut Denny JA sebagai 'puisi-esai" [sic] itu tak lebih dari Cerita Naratif biasa (memiliki Plot, Tokoh dan Dialog seperti dalam Cerpen) yang disusun Tipografinya seperti tipografi Puisi, seolah-olah Puisi! Bukan cerita naratif yang harusnya jadi Isi "puisi-esai" mereka itu tapi Esei! Dan seperti yang sudah saya sebutkan di atas, Esei adalah subgenre dari Prosa, BUKAN bagian dari Fiksi seperti Novel dan Cerpen.
Denny JA sendiri di pembuka eseinya tersebut sudah menegaskan bahwa yang dia maksud sebagai “puisi esai” itu adalah “fiksi sejarah” (walau pembacanya tidak dijelaskannya apa yang dia maksud dengan istilah ini) dan “novel pendek yang dipuisikan” (cuma dia yang tahu di mana bisa ditemukan Novel tersebut dalam puisi esai).
Kalau puisi esai itu adalah “fiksi sejarah” dan “novel pendek yang dipuisikan”, kenapa terus menerus ngotot minta diterima sebagai Puisi, bahkan diklaim sebagai “genre baru” Puisi?!
Mungkin karena begitu awam tentang Sastra maka Denny JA tidak pernah tahu bahwa apa yang disebut sebagai “historical fiction” alias fiksi sejarah itu dalam Teori Sastra adalah fiksi yang setting ceritanya suatu masa/periode dalam sejarah yang sudah lalu dan yang berusaha sesetia dan serealistik mungkin menggambarkan kondisi sosial, semangat zaman dan adat istiadat periode sejarah tersebut sesuai dengan fakta sejarah.
Biasanya setting waktu tersebut sekitar 50 tahun atau lebih sebelum saat fiksi tersebut ditulis atau ditulis oleh seseorang yang belum lahir pada saat cerita terjadi makanya penulisannya dilakukan berdasarkan riset penulisnya dan bukan dikarang-karang.
Satu ciri-khas lain dari fiksi sejarah adalah tokoh cerita yang biasanya adalah figur-figur sejarah yang terkenal dan keterlibatan mereka dalam peristiwa-peristiwa sejarah penting.
Dalam Sastra Indonesia, Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer adalah contoh karya sastra yang disebut sebagai “historical fiction” alias fiksi atau novel sejarah itu.
Apakah ciri-ciri yang saya tuliskan di atas bisa kita temukan dalam “historical fiction” alias puisi esai Denny JA? Seperti yang sudah kita harapkan, Denny JA pasti akan berkilah lagi bahwa “historical fiction”nya adalah genre baru juga – seperti puisi esainya adalah genre puisi baru -- dan berbeda dari “historical fiction” para Teoritikus Sastra dengan mindset lama di atas.
Bagi “entrepreneur puisi esai” seperti Denny JA tentu saja sangat sulit untuk mengerti kenapa kami para Sastrawan Indonesia dengan mindset zaman lama ini menolak mentah-mentah hoax yang disebarkannya dengan jaringannya tentang puisi esai baik sebagai sebuah genre baru dalam puisi maupun sebagai sebuah angkatan baru dalam sejarah Sastra kami Sastra Indonesia. Denny JA pasti juga tidak akan mungkin mampu memahami kenapa sastrawan besar Prancis Jean-Paul Sartre menolak Hadiah Nobel Sastranya di tahun 1964 yang tentu saja termasuk hadiah duit sangat besar yang akan membuat Sartre kaya raya itu. Begitu juga dengan penolakan penyair Sitor Situmorang atas Penghargaan Achmad Bakrie 2010 yang bernilai ratusan juta rupiah itu, penyair Angkatan 45 yang namanya tidak dimasukkan ke dalam buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang didanai Denny JA itu agar nama “Denny JA” masuk di dalamnya.
Karena Denny JA tidak mengerti apa yang dimaksud dengan Seni dan Seniman. Dia tidak mengerti bahwa ada produk budaya yang dibuat bukan dengan tujuan utama untuk dijual, untuk dikomersilkan. Dia tidak akan pernah mengerti bahwa ada sekelompok profesional yang menghasilkan produk budaya yang bernilai tinggi dan mahal harganya kalau dijual tapi menghasilkan produk mereka tersebut bukan semata-mata untuk dijual dan dikomersilkan. Denny JA tidak akan pernah mampu mengerti kerja-kerja idealis kaum idealis ini karena dia cuma tahu bahwa semua produk budaya adalah produk untuk dijual, produk entrepreneur, produk bisnis yang bisa membuat pembuat-cum-penjualnya kaya raya materi.
Inilah yang membedakan Denny JA dari kaum Seniman, dari para Sastrawan yang disebutnya sebagai memiliki “mindset zaman lama” itu, walau kembali dia tidak mampu menjelaskan “zaman lama” mana yang dia maksud dan apa kapitalisme yang dia paksakan untuk masuk ke dalam dunia Sastra Indonesia dalam bentuk “puisi esai” itu memang produk zaman baru di mana dia hidup saat ini.
Denny JA selalu mengutip pendapat dari seseorang yang dia klaim sebagai “ahli genre” yaitu David Fishelov untuk “membuktikan” bahwa dirinya memang telah menemukan sebuah “genre baru puisi” dan bahwa memang benar telah “lahir sebuah angkatan baru dalam Sastra Indonesia”.
Bagi kita yang ingin benar tahu apa yang sebenarnya dinyatakan “ahli genre” David Fishelov tentang “keabsahan sebuah genre” dan mengharapkan Denny JA untuk mengelaborasinya pasti akan kembali kecewa berat. Seperti kebiasaan klisenya dalam “menjelaskan” klaim-klaim asersif besar yang sangat gemar dibuatnya, kembali kita cuma disodori informasi bahwa ada “dua syarat yang [David Fishelov] formulakan bagi keabsahan sebuah genre. Syarat pertama, the moment of birth; dan syarat kedua, the second form of generic production.” Sudah, itu saja. Saya misalnya berusaha mencari elaborasi penjelasan atas kedua syarat bagi “keabsahan sebuah genre” itu di seluruh tubuh eseinya tersebut tapi gagal menemukannya. Saya pikir mungkin ada di Catatan Kaki karena bukankah Catatan Kaki merupakan ciri utama semua (puisi) esai yang Denny JA tulis. Tapi kembali gagal. Ternyata Denny JA lupa untuk membubuhkan Catatan Kaki di (puisi) esainya yang konon justru hendak membuktikan “Apa, Mengapa, dan Keunggulan” dari puisi esai tersebut!
Denny JA mungkin mengira bahwa kegemarannya melakukan name dropping dalam tulisan-tulisannya yang rata-rata buruk mutunya itu akan otomatis secara ajaib simsalabim abrakadabra mengubah mutu tulisannya jadi wow menakjubkan! Name-dropping adalah praktek penyebutan nama orang-orang penting terkenal dalam tulisan atau percakapan dengan maksud, tentu saja, untuk membuat pembaca atau pendengar terpukau terpesona wow agar tercipta ilusi seolah-olah si pelaku name-dropping tersebut kenal dan dekat dengan nama-nama tersebut. Dalam kasus Denny JA, agar para pembacanya mengira bahwa dia memang sudah membaca karya nama-nama tersebut makanya akrab dan memahaminya luar kepala. Tapi dari apa yang kita alami dalam peristiwa pembacaan semua tulisannya tentang puisi esai termasuk tulisannya yang terakhir di atas di mana dia menggertak terlebih dulu para pembacanya dengan name-dropping dua nama Barat yaitu David Fishelov dan Thomas Kuhn, terlihat betapa baik name-dropping maupun “pengutipan” yang seolah-lah dilakukannya atas karya nama-nama yang disebutnya itu ternyata cuma manipulasi belaka!
Manipulasi ini sangat nyata dalam klaim Denny JA bahwa menurut teori “lahirnya sebuah genre” oleh David Fishelov:
“Syarat kelahiran sebuah genre dalam dunia sastra Indonesia sudah terpenuhi, yaitu perbedaan “corak baru” yang diperkenalkan puisi esai dibanding puisi Indonesia sebelumnya dan kedua, kelahiran sebuah genre baru ditandai oleh bentuk-bentuk sekunder produktivitas generik (terjemahan, adaptasi, parodi, dan sebagainya), kemunculan puisi esai juga melahirkan pro dan kontra. Kritikus, komentator, dan analis datang untuk memberikan ulasan, baik yang mendukung maupun menentang.”
Apa yang sebenarnya dinyatakan oleh David Fishelov dalam artikelnya “The Birth of a Genre” (European Journal of English Studies 1999,Vol. 3, No. 1, pp. 51-63) adalah:
“The birth of a genre is marked by secondary forms of generic productivity (translations, adaptations, parodies), followed by primary, dialectical forms.”
Dia memberi contoh kelahiran genre baru bernama Soneta. Soneta adalah bentuk puisi baru Itali ciptaan penyair Petrarch. Soneta kemudian diadopsi oleh banyak penerjemah dan peniru yang menirunya sedekat mungkin hingga akhirnya membuat soneta Petrarch tersebut menjadi tren penulisan dominan di seluruh Eropa di abad 15 dan 16.
Masuknya soneta ke negeri Inggris juga melalui proses “secondary forms of generic productivity” yang sama seperti di atas, dengan sedikit perubahan, terutama oleh penyair Wyaat dan Surrey. Baru kemudian setelah soneta menjadi genre yang diakui di Inggris, maka “primary forms of generic productivity” mulai muncul dalam karya penyair Sidney, Spenser dan terutama Shakespeare yang memperkenalkan konsep baru yaitu cinta ke “generic framework” ini.
Pertanyaannya sekarang di mana David Fishelov menyatakan bahwa “corak baru” dan “pro dan kontra serta kritikus, komentator, dan analis datang untuk memberikan ulasan, baik yang mendukung maupun menentang” merupakan “kriteria” dari “lahirnya sebuah genre baru” itu?!
Contoh berikutnya adalah manipulasi atas teori Thomas Kuhn. Thomas Kuhn adalah seorang ahli Fisika Amerika dan filsuf sains yang terkenal dengan konsep “perubahan paradigma (paradigm shift)” yang dijabarkannya dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions. Kuhn bicara dalam konteks “scientific revolutions” yaitu perubahan radikal dalam dunia ilmu Fisika tapi kita lihat betapa Denny JA dengan seenak kepentingannya doang memanipulasi konsep Kuhn tersebut keluar dari konteks sejarahnya dan seolah-olah bicara tentang puisi esai Denny JA! Bahkan “kutipan” yang konon dari Teori Kuhn itu pun tidak mampu dia elaborasikan. Denny JA, seperti biasanya, cuma membuat klaim nonsens belaka:
“Bahkan saya tambahkan variabel ketiga dari Thomas Kuhn. Thomas Kuhn menyatakan: sebuah paradigma hadir bukan hanya ia punya sisi beda. Namun ada komunitas yang hidup dalam paradigma itu. Puisi esai punya komunitasnya.”
Thomas Kuhn sendiri, saya sangat yakin, pasti akan terbengong-bengong goblok kalau membaca “kutipan” yang katanya dari dia di atas!
Dan tentang “komunitas” yang Denny JA klaim puisi esai juga punya itu, mana komunitas tersebut?! Apakah “hadirnya 34 buku puisi esai di 34 provinsi” itu sudah otomatis berarti adanya “komunitas puisi esai” di Indonesia?! Bukankah kembali Denny JA memanipulasi fakta sejarah di sini seperti dia memanipulasi begitu banyak fakta seperti yang saya buktikan di atas tadi!
Pertama, apa sebenarnya yang dimaksud dengan “komunitas” itu? Komunitas biasanya dibedakan atas dua ciri penanda yaitu pertama, berdasarkan tempat tinggal yang sama (lokasi) dan kedua, berdasarkan identitas, gaya hidup atau kepentingan yang sama (community of interest). Komunitas Penulis biasanya dimasukkan dalam kategori kedua di mana lokasi tempat tinggal anggotanya tidak harus berada dalam satu wilayah yang sama tapi para anggotanya memiliki kepentingan yang sama sebagai raison d'etre pembentukan komunitas yaitu dalam dunia kepenulisan.
Apakah “34 buku puisi esai di 34 provinsi” itu memang dihasilkan oleh sebuah komunitas penulis nasional yang memiliki ketertarikan yang sama atas “puisi esai”? Sebuah komunitas penulis yang secara sukarela tanpa paksaan atau iming-iming tertentu yang tidak ada kaitannya dengan dunia kepenulisan memang mencintai “puisi esai” dan sama-sama mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan penulisannya baik secara tema maupun estetika?
Bukankah sudah jadi rahasia umum bahwa apa yang disebut Denny JA sebagai “komunitas puisi esai” di atas atau “angkatan baru dalam Sastra Indonesia” itu adalah sekelompok penulis yang bersedia menulis puisi esai karena ditawarinya duit Rp 5 juta per puisi! Bahkan Denny JA sendiri mengakui:
“Lalu muncul kritik. Gerakan puisi esai ini tidak alami. Ia muncul karena “dipimpin”, direkayasa, ada honor besar di sana. Ada tim marketing. Ada organisasi di baliknya. Jawab saya: Aha! Itu justru sisi barunya. Justru di sana pula letak inovasi dari puisi esai sebagai sebuah gerakan.”
Oiya hampir lupa! Ada sebelas orang anggota “komunitas”nya itu dari berbagai provinsi di Indonesia mengundurkan diri dengan resmi dan pakai meterai segala lagi serta mengembalikan duit yang telah mereka terima baik persekot maupun penuh. Tapi apa yang terjadi? Duit yang telah mereka kembalikan via transfer bank itu DIKEMBALIKAN lagi ke mereka dan walau duit tersebut mereka transfer balik kembali tapi TETAP DIKEMBALIKAN! Bahkan mereka diancam akan diperkarakan secara hukum karena mereka tidak mengizinkan “puisi esai” mereka diikutkan dalam seri buku puisi esai “34 buku puisi esai di 34 provinsi” tersebut!
Apa alasan utama pengunduran diri massal ini? Rata-rata tidak tahu apa itu “puisi esai” dan skandal sastra yang disebabkannya terkait dengan nama “Denny JA”. Mereka yang rata-rata penulis muda dan pemula ini baru tahu setelah terjadinya kembali ribut-ribut tentang “Denny JA dan puisi esainya” di media sosial yang mencapai klimaksnya dengan pembuatan Petisi Anti Puisi Esai yang saat ini sudah ditandatangani oleh lebih dari 3000 orang.
Begitulah macamnya “komunitas puisi esai” yang berusaha dikait-kaitkan Denny JA dengan komunitas saintis (scientific community) dalam teori perubahan paradigma Thomas Kuhn!
Kita tentu saja berhak berandai-andai…. Seandainya tidak ada tawaran duit pra-bayar Rp 5 juta itu, apakah “angkatan baru” ini akan (bersedia) menulis puisi esai?! Akankah Proyek Manipulasi Sejarah Sastra Indonesia lewat “inovasi marketing” berbentuk “34 buku puisi esai di 34 provinsi” oleh seorang “entrepreneur” yang menganggap “marketing sama pentingnya dengan estetika” itu terwujud?
Inilah satu-satunya “angkatan” di sastra manapun di dunia ini yang “lahir” karena para anggotanya dibayari untuk menulis dalam satu gaya seragam bahkan sebelum tulisan mereka tersebut mulai ditulis. Saya usulkan nama yang tepat untuk angkatan baru ini adalah Angkatan Puisi Esai Pra-Bayar Denny JA. 

***
Makalah disampaikan saat Acara 'Debat' di Goentoer, 16 Februari 2018.

Jumat, 23 Februari 2018

Tiga Mitos Sastra Yang Harus Dihancurkan

Ais Nurbiyah al-Jum'ah | 23 Februari 2018


DULU dan mungkin hingga hari ini kita masih sering mendengar istilah sastra rendah dan sastra tinggi, sastra serius dan sastra tidak serius. Apakah pengistilahan semacam itu masih relevan atau cocok dipertahankan hingga hari ini?

Suatu waktu Seno Gumira Ajidarma (SGA) ditanyai perihal sastra serius dan sastra tidak serius tersebut. Bagi SGA, istilah itu seharusya sudah tidak digunakan lagi apalagi jika terus dijunjung tinggi hingga hari ini.

Selama ada penggunaan istilah sastra rendah dan sastra tinggi, maka pembaca akan selalu dan terus berjarak dengan sastra. Sastra sepatutnya menjadi gambaran realitas manusia, tidak lagi dianggap sebagai bacaan yang hanya bisa dimengerti dan boleh dibaca oleh yang dianggap mengerti sastra saja.

Bahwa permasalahan yang terjadi dalam masyarakat pembaca ketika disodorkan oleh bacaan sastra memang masih ada. Setidaknya untuk mengungkap itu, saya menarik paham Seno bahwa ada tiga mitos sastra yang harus dihancurleburkan.

Pertama, karya (anggaplah) sastra yang merupakan hasil curhatan. Karya sastra tidak lagi klise, karya sastra berangkat dari lapisan-lapisan makna untuk menjadi tematik baru yang perlu dibedah dan dianalisis menjadi karya baru lagi. Tidak bisa dipungkiri, buku demikian yang keberadaannya kerap kali menganggu ketika berkunjung ke toko buku dan “mereka” berada di rak buku best seller.

Kedua, tulisan yang mendayu-dayu dan penuh keambiguan metafora. Saya sering menjumpai paling tidak setiap kita minimal sekali pasti pernah menemukan tulisan-tulisan yang penuh dengan ungkapan perasaan (mendayu-dayu) tetapi dimanipulasi dengan penggunaan metafora agar terlihat sastrawi. Sepertinya karya semacam itu terus eksis, menemui banyak pembaca, dan keuntungan bagi penerbit.

Ketiga, tulisan berisi pedoman hidup. Teks yang diklaim sebagai bacaan “sastra” yang berisi kata-kata mutiara dan motivasi. Tulisan penuh dengan pengguruan, entah dari bangsa dan zaman apapun, kita pastinya tidak suka jika digurui.
“Kalau saya jadi juri dan menemukan ada karya yang diawali dengan doa dan puji syukur itu akan saya buang lebih awal tanpa membaca isinya,” ungkap SGA.
Tiga mitos sastra tersebutlah yang harus dihancurleburkan. Dimana keberadaannya justru diminati banyak orang. Apakah negara kita tidak hanya rendah dari segi kuantitas tapi juga kualitas bacaan? Sepertinya kita masih terhenti pada pembacaan teks bahasa di permukaan.

Bagi saya, karya yang baik adalah karya yang bisa melahirkan karya yang baru, terus mengalami eksistensi. Begitupun dengan karya asing yang diterjemahkan oleh beberapa penerbit patut diapresiasi sebagai perjalanan panjang kesusastraan Indonesia.

Bahwa karya sastra yang baik ibarat sebuah bunyi yang memiliki gema ketika dilantunkan. Karya sastra menurut pakar dan kritikus sastra Melanie Budianta sastra memiliki fungsi yang signifikan. Ia dapat berfungsi sebagai pembangunan kesadaran satu kelompok, dari yang paling kecil hingga regional dan global. Ia dapat menyuarakan aspirasi masyarakatnya untuk menggugat atau mengubah posisi dalam hubungan kekuasaan antara yang lokal-nasional-regional maupun global.

Sastra berpotensi baik untuk menunjukkan adanya masalah dalam hubungan antarkelompok – dari prasangka yang dimunculkan melalui stereotip dan penggambaran konflik yang ada- maupun untuk membukaan pemahaman lintas budaya dengan penekanan pada solidaritas, empati dan kebersamaan.

Karya sastra juga berperan untuk menawarkan perspektif alternatif dengan memandang persoalan dari sudut yang tidak lazim atau dengan memecahkan kebekuan antarkelompok melalui konsep hibriditas dan kemajemukan.

Dalam semua perannya itu, sebuah karya sastra tidak muncul begitu saja dalam keadaan vakum. Ia lahir dari suatu masyarakat yang menciptakan ruang gerak tertentu bagi kesusteraan melalui kebijakan budaya, politik, bahasa, dan birokrasi kesenian.

Sastra bisa didukung atau dihambat oleh kekuatan negara-negara dan mendapatkan daya hidupnya dari aktivitas para pengarang berikut komunitas-komunitas sastra yang hidup pada zamannya. Dinamika yang pesat dalam hubungan lokal-nasional-regional dan global dalam era globalisasi menuntut semua pihak yang berkepentingan dalam kesusasteraan untuk senantiasa mengkaji ulang kebijakan budaya yang selama ini dianutnya.

Perkembangan lintas-budaya di abad ke-21 menuntut ruang gerak yang luas untuk menghargai keragaman sambil tetap meneguhkan kebersamaan untuk hidup di dunia yang semakin sempit dan semakin ramai.

                                                     ***
Budaya membaca bangsa Indonesia memang sangat rendah, setidaknya beberapa penelitian mengungkapkan hal itu. Tapi bukan berarti mengalami kemunduran. Belakangan, proyek atau gerakan berliterasi semakin berkembang dan berekspansi melalui kebijakan pemerintah juga. Tidak hanya melulu melalui komunitas atau klub buku yang digagas anak muda.

Maka kita bisa melihat hal itu sebagai ikhtiar untuk meningkatkan budaya membaca kita. Katakanlah dibentuknya Pustaka Bergerak yang hampir seluruh tempat di Indonesia telah memilikinya. Bahkan sampai di tempat terpencil Indonesia. Hal itu didukung oleh program pemerintah: Program mengirim buku gratis.

Kini membaca tidak hanya soal kebutuhan, kebiasaan, tapi juga tren atau gaya hidup. Kita melihat sangat banyak klub buku bermunculan, kafe baca, diskusi buku hingga menulis.

Dari seluruh pembaca di Indonesia, lima persennya adalah pembaca sastra. Artinya dari 100 pembaca buku hanya ada 4-6 orang yang membaca buku sastra. Sastra yang terbacapun seperti yang saya bahas sebelumnya berkutat di tiga mitos sastra itu. Sangat menyedihkan memang tapi kita masih tetap bisa memilih entah seburuk apapun respondnya.

Source: Locita.Co 

Jumat, 16 Februari 2018

Debat Angkatan Puisi Esai | Pro-Kontra




Kritikus: Kontroversi Puisi Esai Paling Heboh Sejak Kemerdekaan


Jumat, 16 Februari 2018 19:27 WIB




Banyak angkatan puisi Indonesia sudah lahir. Tapi lahirnyanya angkatan puisi esai di tahun 2018 adalah yang paling heboh sejak era kemerdekaan.

Demikian dinyatakan kritikus sastra Narudin Pituin dalam debat pro dan kontra puisi esai, Jumat (16/2/2018).

Selain Narudin, dalam debat tersebut juga hadir mereka yang tidak setuju dengan puisi esai, seperti Saut Situmorang, Eko Tunas, dan penulis puisi esai: Krt Agus Nagoro.

Ini debat pertama dari serial enam kali debat. Penyelenggaranya: Yayasan Budaya Guntur yang dipimpin Isti Nugroho.

Dalam keterangan tertulis yang diterima, Narudin berpendapat syarat lahirnya angkatan puisi esai terpenuhi.

Sudah ada 40 buku dan segera menjadi lebih 70 buku puisi esai yang ditulis.

Sudah hadir 250 penulis puisi esai di seluruh provinsi, dari Aceh hingga Papua. Ini jumlah yang sangat meyakinkan bagi lahirnya sebuah angkatan.

Terbukti pula puisi esai berbeda dari puisi sebelumnya karena hadirnya catatan kaki. Ini jenis puisi yang menyatukan fakta dan fiksi.

Dengan menggunakan kerangka ahli genre David Fishelov, puisi esai sahih bisa diklaim sebagai genre puisi baru. Sah pula genre baru puisi ini digagas penyair yang juga konsultan politik: Denny JA.

Menurut Narudin puisi esai pun bisa diklaim kontroversi terheboh sejak era kemerdekaan.

Penyebabnya, kontroversi ini terjadi di era social media. Para ahli hingga orang awam sekalipun bisa terlibat kontroversi. Media sosial membuat mereka cepat dan masif menyebarkan argumennya.

Fasilitas medsos ini tak dimiliki oleh kontroversi sastra sebelumnya, baik sastra kontekstual, lekra versus manikebu, hingga polemik kebudayaan.

Yang kini diperlukan, ujar Narudin, adalah argumen yang lebih bernas berdasarkan riset, dan dituliskan dalam bentuk makalah. Ini penting agar kontroversi tidak terjatuh menjadi like and dislike personal, tapi debat yang memperkaya sastra.

Klaim Narudin ini diamini oleh Krt Agus Nagoro. Agus juga menceritakan proses kreatifnya. Awalnya ia menentang puisi esai.
Namun kegelisahannya atas isu kerusakan sosial akibat pabrik semen, di Jawa Tengah, sebagai penulis ia mencari cara mengekspresikannya.

Agus menemukan format pusi esai cocok untuk ekspresinya. Ada catatan kaki yang membuat data kisah nyata itu bisa masuk dalam puisi. Drama dan puisi yang panjang membuatnya bisa mengeksplor sisi batin peristiwa.

Eko Tunas membantah puisi esai sebagai genre baru. Menurut Eko, sejenis puisi esai sudah ditulis oleh banyak penyair, sejak tahun 1970an.
Saut Situmorang membantah pula keabsahan puisi esai baik sebagai genre baru ataupun angkatan baru. Saut juga membantah keabsahan Denny JA sebagai penggagas.

Denny JA sendiri tak hadir dalam debat pro dan kontra itu. Menurut Denny, itu agar pihak yang pro dan kontra lebih bebas ungkapkan gagasannya.

Ditanya soal heboh puisi esai, Denny menjawab, "Ketika menulis puisi esai, saya tak mengira jika efeknya seheboh ini. Ternyata kontroversi dunia puisi sama hebohnya dengan pilpres," ujar Denny.

Editor: Malvyandie Haryadi
Sumber: Tribunes.Com 

Kamis, 15 Februari 2018

Patung Ismail Marzuki Kembali Dekat Gerbang TIM

15 Feb 2018 | 10:28 WIB


Patung Ismail Marzuki, telah kembali ke tempat semula, dekat pintu gerbang TIM. Foto diabadikan 14 Februari 2018, pukul 16.30 WIB. (Foto: ysh/kabare.id)

Rencananya akan diresmikan kembali bersama bangunan Masjid Amir Hamzah.

JAKARTA - Sejak pukul 15.30 WIB, hari Rabu, tanggal 14 Februari 2018,  patung dada Pahlawan Nasional Ismail Marzuki telah kembali ke tempatnya semula. Berada di taman depan Planetarium, dekat pintu gerbang Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki (PKJ- TIM) yang beralamat di Jl. Cikini Raya 73 Jakarta Pusat.

Pematung Arsono (bertopi) dan Jose Rizal Manua, pada detik-detik pemasangan kembali patung Ismail Marzuki di tempatnya semula. (Foto: dok JRM).

Setelah patung dada itu -- landmark PKJ TIM berada di situ sejak 1985 --  dipindah paksa  ke depan Teater Besar yang populer disebut Teater Jakarta tanggal 7 Oktober 2017, detik-detik akhir masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat.  Sekaligus bagian dari penataan Plaza Ismail Marzuki yang ditangani oleh arsitek Baskoro Tedjo dari Bandung, yang hingga kini belum tuntas.

Pemindahan kembali patung Ismail Marzuki ke tempat asalnya ini merupakan keputusan Gubernur Anies Baswedan, setelah turun langsung ke TIM 12 Januari lalu, dan dialog langsung dengan pematung Arsono, yang membuat patung itu, bersama seniman-seniman senior lainnya.  

Ditempat terpisah DR. Inda C Nurhadi, pakar hukum karya seni patung publik, menyatakan bahwa pemindahan patung itu  selain menyalahi prosedur juga melanggar hak moral seniman (dalam hal ini pematung yang bersangkutan).


Prof. Sardono W. Kusumo mantan Rektor IKJ (kanan) bersama koreografer Tom Ibnur (mantan pengelola TIM) dan penulis. (Foto: dok ysh/kabare.id)

Sebagai tindak lanjutnya, Gubernur menugasi Kepala Dinas  Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Tinia Budiati dan Kepala UPT TIM Imam Hadi untuk berkoordinasi dengan Arsono dan putri almarhum Ismail Marzuki, Ny Rachmi Aziah. 

"Syukur alhamdulillah, " tutur pematung Arsono saat ditemui Kabare.id, di Toko Buku Jose Rizal Manua - TIM, usai menyaksikan dari dekat detik-detik pemasangan patung dada itu ditempatnya semula, di bawah cuaca Jakarta yang mendung. 

Arsono menjelaskan, semula pihaknya mendapat kabar dari Pemprov bahwa patung itu akan diresmikan kembali tanggal 16 Februari 2018, bersama peresmian Masjid Amir Hamzah TIM oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno.  Namun ditunda, karena Wakil Gubernur sedang bertugas ke luar negeri.
"Saya belum tahu pasti kapannya," ujar Arsono yang membuat patung ini tahun 1984 atas pesanan Bang Ali Sadikin waktu itu.


Masjid Amir Hamzah TIM yang baru. Difoto 14 Februari 2018 sore. (Foto: ysh/kabare.id)

Pengamatan kabare,id di TIM, sampai Rabu sore, baik masjid maupun pemasangan kembali patung Ismail Marzuki masih dalam proses penyelesaian. Khusus bangunan Masjid Amir Hamzah, yang dulu berada di dekat kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), atau di belakang Graha Bhakti Budaya, kini lokasinya pindah ke depan -- bekas Cafe Venesia dan resto lain--  tak jauh dari pintu gerbang dan Planetarium.

Beberapa seniman yang ditemui mengaku kurang srek dengan rancangan bangunannya dan terutama pilihan lokasinya yang tidak patuh pada master plan TIM yang sudah ada sebelumnya.

Yusuf Susilo Hartono
Sumber: Kabre.Id