Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Senin, 30 April 2018

Sebab Hidup Tak Melulu Soal Pemilu

Potret Nakal “Tengsiang” dan Kelindan Pemilu

FESTIVAL TBRS: Penampilan SRMB pada Festival Pertunjukan Rakyat di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang(28/4). Drama "Jago Tengsiang" dimainkan dalam perform "sampakan" dan mendapat aplaus penonton [Foto: srmb]

Dalam catatan prolog pementasannya, diintrodusir peran “pengusaha multi-nasional” di bagian awal narasi “Jago Tengsiang”, sebagai hal menarik karena meskipun bicara dalam konteks demokrasi elektoral, lakon ini membidik latar belakang dan kait kelindan yang “bermain” (terminologi: menunggangi_Red) event pemilu; baik pilpres, pileg maupun pilkada lainnya di berbagai hierarki politik elektoral formil.  

Dengan kenakalannya, SRMB (Sekolah Rakyat MeluBae) membidik fenomena latar belakang ini pada lakon drama yang dimainkannya. Lakon yang mengandalkan Pekik Sasinilo, Pitra Suwita, Darmawan “Dalwan” Riadi, Daryono Cengkim; sebagai pemerannya ini cukup menggelitik. Pentas ini juga dikompilasi dengan tarian oleh Septian Sukmaningrum, Esti Kurniawati, Ari Setyowati, Vera dan Wiwied; yang menghangatkan ghirah panggungnya.

Sedangkan di sisi panggung lainnya ada pengiring Toro Mantara, Nurokhim, Dodi “Dodot” Suryohandaru, Sujatmiko, Bandiyo Sriyono dan Sutarjo yang kejibah mengawaki aspek koreografinya.

Untuk narasi lakon “Tengsiang” sendiri merupakan rangkum pemikiran kolektif para pegiatnya sejak beberapa tahun sebelumnya. Secara naratif telah mengalami setidaknya 3 kali restorasi pada waktu serta pementasan terpisah. SRMB sendiri berdiri sejak 13 januari 2013 lalu, pada awalnya tekun mengeksplorasi dunia sastra dengan mengolah pertunjukan musik puisi. Namun juga membuka kelas-kelas seni pernafasan, dasar teater dan olah spiritual berkesenian lainnya.  


Sedikit Tinjauan Kritis


Dalam konteks kepemiluan, ditinjau sampai pada derajad tertentu, telah diasumsikan sebagai cara rejim dalam mereduksi problem mendasar rakyat yang sesungguhnya; yang butuh jawaban konkret melalui kebijakan politik yang (akan) dihasilkannya. Bagi SRMB, ritual politik elektoral ini begitu menghipnotis harapan dan pelibatan banyak orang.

Namun sebagian diantara banyak orang itu menilai politik elektoral dengan pendekatan skeptis dan karenanya muncul fenomena golput yang makin menguat. Fenomena ini menggejala dan tumbuh seiring perilaku politis yang kian menjauh dari timbangan moral dan etika; termasuk di dalamnya praktik korupsi yang sistemik dan membudaya.

Disebut sistemik karena dalam konteks kepemiluan yang prosedural dan “mahal” (Baca: boros_Red) itu, banyak kepentingan menungganginya, tetapi semua dengan memunggungi tujuan sejati atas rejim politik bernama pemilu dan yang akan berekses pada hasil-hasilnya. Dalam narasi “Jago Tengsiang”, latar belakang ini justru dipresentasikan sejak awal pentasnya. Bahwa semua ini penting dipahami oleh masyarakat pemilih dalam konteks pemilu cerdas; itu satu problem konten pementasan.

Di sisi yang lain, bagaimana menjadi seorang kritis, baik sebagai pelaku maupun sebagai penonton pementasan; ini substansi. Seorang yang kritis itu artinya menjadi seorang yang peka berdasarkan nalar rasional. Sehingga dengan rasionalitasnya itu, maka terbangun keberanan untuk berkata yang buruk memang harus dibilang buruk; dan juga sebaliknya.

Pengabaian terhadap realitas sosial yang gagal dipahami rejim pilkada, selain hanya sebagai pemenuhan formal politik elektoral, telah dengan susah payah dirangkai menjadi narasi pentas. Dalam konteks ini, drama “Jago Tengsiang” tak berlaku menggurui penontonnya... [ap]

Minggu, 29 April 2018

Mempertanyakan Nasib Sastra Kita


(Refleksi Hari Puisi Nasional)

Abul Muamar
Jurnalis
29 Apr 2018

Google Images

Beberapa waktu silam, Sukmawati Soekarnoputri “berhasil” membuat Indonesia gaduh. Puisi berjudul ‘Ibu Indonesia’ yang dibacakannya dalam acara “29 Tahun Anne Avantie Berkarya” pada 29 Maret 2018 lalu, yang dalam lariknya membandingkan sari konde dengan cadar serta suara kidung dengan adzan, menuai respons luas dari masyarakat Indonesia.

Ada yang menilai puisi itu sebagai manuver politik jelang kontestasi Pilkada 2018 dan Pilpres 2019, ada yang menganggapnya sebagai puisi gagal dan tak perlu diperdebatkan panjang lebar, serta ada yang memaknainya sebagai bentuk penistaan terhadap agama.

Kita tahu, kelompok yang disebutkan terakhir ini paling dominan. Puncaknya, meski Sukmawati telah meminta maaf, sebagian yang termasuk kelompok ketiga ini, tetap melaporkannya ke polisi, yang mana saat ini kasusnya masih sedang ditangani oleh Bareskrim Polri.

Lepas dari kontroversi yang lahir akibat puisi Sukmawati itu, ada satu hal menarik yang patut kita perhatikan, yakni bagaimana orang-orang, rakyat Indonesia yang sebagian besar masih berjibaku untuk menjaga asap dapurnya tetap mengepul, mendadak ramai berpuisi. Rupa-rupanya, Tuhan punya cara “unik” untuk menghidupkan (kembali) sastra, khususnya puisi, di Indonesia.

Rupa-rupanya, kita tidak butuh sosok seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, W.S. Rendra, atau Wiji Thukul. Bukan pula Sapardi Joko Damono, Joko Pinurbo, atau Goenawan Mohamad. Apalagi cuma Rangga-Cinta, Fadli Zon, Jenderal Gatot, atau Denny JA. Melainkan, Ia mengutus Sukmawati untuk kita! Ya, Sukmawati-lah ternyata yang mampu membuat puisi seakan bangkit dari kubur.

Lihatlah, betapa sengatan yang dihasilkan oleh puisi Sukmawati itu, jauh melampaui gelora berpuisi yang pernah sempat terjadi di era AADC1 dan AADC2. Jauh sekali bahkan. Jika di era AADC hanya kawula muda yang berlagak jadi pujangga, sekarang, berkat putri Bung Karno itu, bahkan ibu rumah tangga dan rentenir pun, ikut menulis puisi. Mereka yang sebagian besar biasanya tak pernah berpuisi, malah akrab dengan bacaan sastra pun tidak, tiba-tiba jago berpuisi!

Syahdan, pertanyaan yang muncul adalah, apakah puisi (dan lebih jauh sastra Indonesia secara menyeluruh) akan terus digemari? Pertanyaan ini membuat kita harap-harap cemas.

Minat terhadap Sastra Cenderung Rendah

Sebelum pertanyaan itu kita jawab, mungkin kita bisa melihat terlebih dulu realitas minat rakyat Indonesia kepada sastra. Tanpa perlu mengacu pada data-data ilmiah, kita tetap bisa mendapatkan gambarannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar kita.

Di lingkungan keluarga, misalnya. Apakah saudara-saudara Anda, adik, kakak, orangtua, atau anak Anda, gemar dan rutin membaca karya
sastra, entah itu puisi atau prosa?

Lalu, di lingkungan sosial yang lebih luas, apakah teman-teman Anda, tetangga Anda, pacar Anda, bos Anda, anak buah Anda, teman sekantor Anda, mau membaca sastra? Sukakah mereka? Seberapa sering mereka membacanya?

Bahkan, jika melihat realitas yang ada saat ini, pertanyaan serupa juga bisa diterapkan di lingkungan akademik, baik sekolah maupun di perguruan tinggi. Apakah teman-teman sekelas Anda, teman organisasi Anda, mahasiswa Anda, atau dosen Anda, akrab dengan sastra? Berapa persen dari mereka yang akrab?

Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak ingin saya jawab sendiri. Saya serahkan kepada Anda masing-masing untuk menjawabnya.
Namun, jika saya harus menjawabnya berdasarkan lingkungan dan kehidupan saya, saya berani katakan, bahwa minat pada bacaan sastra masih sangat rendah. Dari sekian banyak indikator yang saya punya, saya hanya akan mengajukan satu saja: lima teman satu indekos saya (semuanya berstatus mahasiswa, dan salah satunya ada yang mahasiswa magister di salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta) mengernyitkan dahi dan bertanya-tanya ketika saya menyebut (sekadar) nama Pramoedya Ananta Toer dan Danarto yang baru-baru ini berpulang kepada Sang Pencipta. 

Saya lantas bertanya kepada mereka, “Tidak pernah baca sastra, ya?” Tidak pernah sama sekali, jawab mereka dengan mantap. Anda kira saya mengarang? Tidak. Anda saya persilakan datang ke indekos saya di Jalan Sumatera Nomor E106, Keluruhan Sinduadi, Kecamatan Mlati, Sleman, D.I.Y, untuk mengecek kebenaran cerita saya ini.

Dari lima teman tersebut, serta beberapa orang lainnya yang saya kenal dengan baik, saya mendapati bahwa sastra, baik itu sastra daerah, sastra Indonesia, maupun sastra asing, ternyata masih kerap dianggap sebagai sesuatu yang asing dan sulit dipahami. Celakanya, alih-alih berusaha mempelajarinya, kebanyakan mereka justru menjauhinya. Alasan mereka bermacam-macam, namun yang terkonyol menurut saya adalah: “Itu kan bukan jurusan saya”.

Semakin Dijauhi atau Semakin Disukai?

Kembali ke riuh rendah perpuisian yang disebabkan oleh Sukmawati. Apakah setelah insiden itu, jika merujuk pada kondisi rakyat kita saat ini, sastra akan semakin disukai, dan karena itu orang-orang akan berbondong-bondong mempelajarinya supaya bisa menghasilkan puisi (dan cerpen dan novel dan sebagainya) yang lebih bagus?
Atau, apakah justru sastra akan semakin dibenci dan dijauhi? Kemungkinan ini tidak tertutup jika melihat apa yang melatari mereka yang mendadak berpuisi itu, mereka-mereka yang berpuisi hanya sekadar untuk membalas puisi Sukmawati, dengan amarah yang menggebu-gebu.

Semoga saja tidak demikian. Semoga saja, amarah kepada Sukmawati tidak merembes pada sastra, kepada puisi, dan lainnya. Sebaliknya, semoga saja, dari momen itu, ke depannya rakyat kita akan bersuka cita menggelorakan sastra Indonesia, menjadikannya berjaya dan diakui di mata dunia.

Namun, tentunya, harapan itu tidak bisa semata-mata kita gantungkan pada rakyat “secara pasif”. Dengan kata lain, para pelaku/pegiat sastra, perlu menjadi stimulus agar sastra tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang aneh, tidak berguna, sulit dipahami, dan eksklusif. Sifat yang disebutkan terakhir ini menjadi tantangan tersendiri. Sebab, selama ini, ada kecenderungan dari para pelaku/pegiat sastra membuat sastra seolah eksklusif, sehingga menjadi berjarak dengan “masyarakat awam”.

Guru-guru di sekolah, serta dosen di kampus, juga sepatutnya mengajak murid-murid mereka agar mau dan membiasakan diri membaca sastra, di samping buku-buku dan bahan ajar yang mereka bagikan saban semester. Agar apa? Agar kelak, ketika mereka sudah tamat sekolah atau kuliah, mereka tidak kasip malas membaca sastra.

Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan, selamat merayakan Hari Puisi Nasional. []

Sumber: Qureta.Com 

Senin, 23 April 2018

Pelopor Seni Lukis Modern Indonesia

Darma Ismayanto | 23 April 2018


Menempuh pendidikan seni di Eropa dan melukis dengan dispilin ala Barat, Raden Saleh dikenal sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia.



Lukisan "Banjir di Jawa" (1865) karya Raden Saleh.

SUATU hari, beberapa pelukis muda Belanda, yang sedang belajar, melukis bunga dan memperlihatkannya kepada Raden Saleh. Beberapa kumbang dan kupu-kupu hinggap di atasnya. Mereka mencemooh Raden Saleh.
Panas dan terhina, diam-diam Raden Saleh menyingkir selama berhari-hari. Karena cemas, teman-temannya mendatangi rumahnya dan masuk dengan mendobrak pintu. Mereka menjerit. “Mayat Raden Saleh” terkapar di lantai berlumuran darah. Sebelum suasana bertambah panik, Raden Saleh muncul. “Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tapi gambar saya bisa menipu manusia,” ujarnya tersenyum.
Raden Saleh adalah seniman Indonesia pertama yang melukis dengan disiplin Barat. Kelak dia dinobatkan sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia. 
Raden Saleh Syarif Bustaman lahir di Terbaya, dekat Semarang, dari pasangan Sayid Husen bin Alwi bin Awal dan Raden Ayu Syarif Hoesen. Tahun lahirnya simpang-siur. Dalam sebuah lukisan potret diri, Raden Saleh menulis lahir Mei 1811. Tapi dalam sebuah surat dia pernah menyebutkan tahun 1814. 
“Bisa jadi karena dahulu di Jawa berlaku hitungan kalender Jawa (Saka) dan Islam sehingga Raden Saleh agak bingung ketika harus menyesuaikan dengan hitungan kalender Masehi,” kata Werner Kraus, kurator asal Jerman yang mendedikasikan seperempat abad  hidupnya untuk mempelajari karya Raden Saleh. Kraus lebih setuju tahun 1811 karena sesuai dengan data bahwa Raden Saleh belajar melukis pada 1819 ketika berusia delapan tahun.
Guru pertama Raden Saleh adalah AAJ Payen, seorang Belgia yang ditugaskan pemerintah kolonial untuk melukis alam dan pemandangan di Hindia Belanda. Karena bakatnya, dia mendapat kesempatan memperdalam ilmu di Belanda pada 1830. Di sana Raden Saleh belajar melukis potret pada Cornelis Krusemen dan lanskap pada Andreas Schelfhout.
Melukis potret dan pemandangan sebenarnya kurang menarik minatnya. Dia melakukannya demi uang. Kegalauannya terobati saat bertemu rombongan sirkus binatang pimpinan Henri Martin asal Paris yang berkunjung di Den Haag. “Saleh membuat sebuah lukisan potret diri Henri Martin. Ini sebuah siasat agar Henri mengizinkan Saleh datang kapan saja untuk melihat binatang sirkus miliknya,” ujar Kraus. 
Saleh membuat banyak sketsa singa dan harimau milik Martin. Itulah awal ketertarikannya melukis kehidupan binatang. Salah satu lukisannya adalah “Lion Head”, menggambarkan wajah seekor singa yang menatap tajam, penuh wibawa. Lukisan ini menjadi koleksi Museum Seni Rupa Kupferstichkabinnet, Berlin, Jerman.
Pada 1839, pemerintah Belanda memberinya kesempatan berkunjung ke negara-negara Eropa. Di Paris, Prancis, dia bertemu pelukis Horace Vernet yang mempengaruhi permainan warnanya. Tapi dalam hal menampilkan suasana objek lukisan dia terpengaruh pelukis besar aliran Romantisisme Prancis, Ferdinand Victor Eugène Delacroix. 
“Raden Saleh sendiri tidak pernah menyinggung nama Delacroix. Mungkin dia pernah melihat lukisan Delacroix di museum,” ujar Kraus.
Gaya Romantisisme antara lain terlihat pada karya “Singa dan Ular”. Uniknya, 23 tahun setelah lukisan ini dibuat Raden  Saleh, Eugene Delacriox melukis tema yang sama, berjudul “Macan dan Ular”.
Seniman Prancis yang juga cukup mempengaruhi Raden Saleh adalah Theodore Gericault. Lukisan “Banjir di Jawa" terlihat terpengaruh “the Raft of Medusa” karya Gericault. Keduanya menggambarkan suasana dramatis sekelompok orang yang berusaha menyelamatkan diri pada atap rumah (Raden Saleh) atau sebuah rakit (Gericault) dari bencana banjir besar (Raden Saleh) atau terpaan badai di lautan (Gericault).
Pada 1844 dia kembali ke Belanda. Raja Willem II berkenan menerimanya dan  menganugerahi Bintang Eikenkroon. Kelak Raja Willem III mengangkatnya sebagai pelukis istana.
Pada 1851, Raden  Saleh pulang ke Jawa, sesudah menikahi perempuan Eropa kaya, Nona Winkelman. Pernikahan itu tak bertahan lama. Raden Saleh bercerai dan menikah lagi dengan seorang perempuan Jawa. 
Di Jawa, Raden Saleh mendapat tugas sebagai konservator “Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni”. Raden Saleh sempat mengembara ke Jawa Tengah dan Jawa Barat untuk melukis pemandangan serta potret raja dan bangsawan. Namun salah satu karya fenomenalnya adalah lukisan “Penangkapan Diponegoro" (1857). 
Setelah berhasil mengatur penangkapan Pangeran Diponegoro, Hendrick Merkus de Kock pulang ke Belanda dan mendapat gelar pahlawan nasional. Untuk merayakan dan menandai kesuksesan itu, de Kock meminta Cornelis Kruseman –guru Raden Saleh– untuk membuatkan lukisan dirinya. 
“Raden Saleh ada di sana saat Kruseman menggambar De Kock. Bayangkan perasaan seorang pemuda asal Jawa menyaksikan bagaimana orang yang telah menangkap Diponegoro dengan bangga digambar di hadapannya,” ujar Kraus. 
Bukan hanya itu. De Kock meminta kepada Nicolaas Pieneman untuk membuat lukisan penangkapan Diponegoro untuk menandai keberhasilan karier militernya. Pieneman menggarap lukisan berjudul “Penaklukan Diponegoro”. Karena lukisan inilah Raden Saleh membuat “Penangkapan Diponegoro”, yang dia berikan kepada Raja Willem III.
“Pada masanya hal yang dilakukan Raden Saleh mungkin masih jauh bila dikaitkan dengan persoalan nasionalisme. Tapi saat itu dia telah menunjukkan antikolonialisme,” ujar Krauss.
Pada 1857, Saleh kembali berkunjung ke Eropa dan melawat ke Italia. Tahun 1878  dia kembali ke Jawa, dan mengembuskan napas terakhirnya pada 23 April 1880 di Bogor, Jawa Barat.
Sumber: Historia.Id 

Minggu, 22 April 2018

Membaca Kartini, Membaca Puisi

Candra Malik | Minggu, 22 April 2018 




Sisi puitis dari surat-surat Kartini jarang dicengkeramakan dalam obrolan kita, setidaknya setiap 21 April tiba. Padahal, lewat surat-suratnya yang dianggap menginspirasi emansipasi perempuan, isinya sangat puitis. Dari siapa ia belajar?

“Hidup itu rindu, bukanlah nyanyian keriangan hati,” R.A. Kartini, Surat kepada E.C. Abendanon, 15 Agustus 1902.

MUDAH ditebak bahwa judul buku dari kumpulan surat R.A. Kartini yang diterbitkan oleh Abendanon pada 1911, yaitu Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya) terinspirasi Q.S. Al-Baqarah: 257. Allah berfirman, ”Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.”

Pada 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran. Menyusul kemudian, pada 1938, sastrawan Armjn Pane menerbitkannya dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Boleh juga diduga, Al-Qur’an yang terdiri atas surat-surat menginspirasi Kartini untuk mengarungi dunia dalam percakapan antar-anak bangsa dengan surat-menyurat. Juga dengan syair, sebagaimana kitab suci ini memang sehimpunan syair nan indah dariNya.

Dalam surat-suratnya, Kartini tidak hanya membicarakan tentang dinding tebal dan tinggi bagi perempuan dalam mendapatkan kebebasan belajar dan kemerdekaan berekspresi, pernikahan dini yang disertai pingitan dan poligami, agama, serta bangsa dan budaya. Ia juga membahas cinta dan puisi.

Dalam suratnya kepada Nona Zeehandelaar tertanggal 15 Agustus 1902, putri R.M. Sosroningrat ini menulis:

Segala yang murni dan indah dalam kehidupan manusia ialah puisi. Cinta, kurban, setia, kepercayaan, seni, semuanya barang sesuatu yang meninggikan budi, menjadikannya murni, baik dan indah, ialah puisi.

Menurut Kartini, bila suatu bangsa memiliki perasaan terhadap puisi, yang merupakan sesuatu yang seindah-indahnya dan sejelita-jelitanya dalam kehidupan manusia, bangsa itu tiada mungkin rendah derajatnya dalam hal kesopanan rohani. “Semakin dalam aku menyelami ke dalam lautan jiwa bangsa kami, semakin tinggi derajatnya jiwa itu pada pemandanganku,” tulis Kartini pada Zeehandelaar, yang dipanggilnya dengan nama pena: Stella.

Masih pada tanggal yang sama, 15 Agustus 1902, Kartini menulis surat kepada E.C. Abendanon, dengan kalimat-kalimat yang puitik:

Surat ini hingga ini kutulis, sedang mendengarkan lagu-lagu nyanyian merindu dengan manisnya membujuk membelai-belai. Hari malam, jendela dan pintu terbuka, bunga cempaka di muka kamar kami sedang berkembang, angin sepoi-sepoi mendesau-desau melintasi daunnya; dengan angin sepoi-sepoi itu disampaikannya kepada kami napasnya yang harum itu, jadi salamnya. Alangkah indahnya! Bagaikan di dalam mimpi, terdengar suara lagu, suci, damai rata, nyaring, membawa kami melambung ke surga taman bahagia.

Sisi puitis dari surat-surat Kartini ini jarang dicengkeramakan dalam obrolan kita, setidaknya setiap 21 April tiba. Padahal, lewat surat-suratnya yang dianggap menginspirasi emansipasi perempuan, ia juga memperkenalkan dunia bangsanya kepada dunia yang lebih luas.

“Kami kini sedang mempelajari nyanyian; adakah pernah engkau dengar bangsa kami bernyanyi riang-riang? Gamelan itu tiada pernah beriang-riang, pada pesta yang seriang-riangnya, segembira-gembiranya sekalipun senantiasa ada kedengaran rasa rindu dalam nyanyian,” tulis anak kelima dari sebelas bersaudara itu, setahun sebelum dinikahkan dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.

Dalam surat bertanggal 17 Agustus 1902, juga kepada Abendanon, Kartini melukiskan penderitaannya dengan mengambil perumpamaan tanaman bunga yang membutuhkan hujan untuk tumbuh subur. Dia menceritakan, tanaman bunga mawar di kebunnya menghijau karena tunas baru muncul setelah dibasahi hujan deras. 

“Hari berganti hari.. bunga mawar kami itu penuh pula dengan daun dari bunga yang indah-indah. Hujan, hujanlah yang perlu baginya, supaya menjadi berkembang demikian indahnya itu,” tulis Kartini.

Sedangkan terhadap penderitaan hidupnya, setelah mengambil pelajaran dari hubungan romantik antara hujan dan bunga, Kartini menulis:

Hujan, hujanlah yang perlu bagi jiwa supaya tumbuh berkembang. Sekarang tahulah kami. Airmata kami yang titik sekarang ini perlunya supaya bertunas bibit itu, supaya daripadanya berkembanglah nafsu hidup yang baru dan murni kemudian hari.

Seperti berbicara pada dirinya sendiri, Kartini mengingatkan, jika datang hujan air mata, yakni dukacita dalam hidup, maka jangan dilawan, dikeluhkan, dan disumpahi. Sebab, mengalami dukacita adalah sebagian dari hak hidup dan sesuatu yang memang telah ditakdirkan olehNya bagi manusia. Biarkanlah dengan rela manusia dibentuk oleh dukacita itu, demikian petuah Kartini.

Didewasakan pula oleh penderitaan, ia pun berhenti berharap pada manusia. “Tetapi sekarang ini, kami tiada mencari pelipur lara pada manusia, kami berpegangan teguh-teguh pada tanganNya. Maka hari gelap-gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi,” tandasnya.

Luar biasa memang pertumbuhan jiwa perempuan kelahiran Jepara pada 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808 ini. Sejak berkenalan dengan Abendanon pada 8 Agustus 1900, spiritualitas Kartini semakin bertumbuh pesat. Meski usia Kartini tidak panjang, dan pendek pula usia pernikahannya, yaitu dari 8 November 1903 hingga 17 September 1904, karena wafat empat hari setelah melahirkan, adik poliglot R.M.P. Sosrokartono ini telah menanamkan bibit penting bagi para perempuan di Indonesia, yakni bibit keteguhan hati menghadapi kehidupan yang sering tidak berpihak kepada mereka.

Kartini, dalam suratnya kepada Abendanon itu, menunjukkan keteguhan hati yang kokoh menghadapi hidup:

Kami bersedia, bersedia berbuat apa juapun, bersedia memberikan diri kami sendiri — bersedia menerima: luka hati. Air mata, darah, akan mengalir banyak-banyak, tetapi tiadalah mengapa; semuanya itu akan membawa ke arah kemenangan. Manakah akan terang, bila tiada didahului gelap gulita? Hari fajar lahir dari pada hari malam.

Jauh sebelum sastrawan Sapardi Djoko Damono menulis puisi “Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana”, Kartini pada 1902 sudah lebih dulu menulis,” .. api yang membersihkan itu, api itu juga menghancurkan kayu menjadi abu..”

Meski berpikiran melampaui masa dan berpendirian kuat, jiwa Kartini halus dan ia tunjukkan pula kepribadian yang lembut dalam surat-suratnya. Kepada Abendanon, ia menulis pada 8 Agustus 1902, ”Kata-kata dengan lisan boleh jadi tergores dalam jiwa, tetapi tentulah engkau akui, bahwa banyaknya kata yang dilenyapkan oleh waktu.. tetapi surat-surat dapat menanggulangi segala kata dengan sebenarnya…”

Sumber: Geotimes.Co.Id 

Kamis, 12 April 2018

Mulut Kotor Dursasana

ACHIAR M PERMANA | 13 APRIL 2018




DARI 100 personel Kurawa, barisan antagonis dalam lakon pewayangan Mahabharata, boleh jadi Dursasana yang paling terkenal. Keterkenalan Dursasana nyaris sepadan dengan sang kakak, Duryudana, raja sekaligus patron para Kurawa.

Diakui atau tak, ksatria dari Banjarjunut itu terbilang putra Kuru yang paling menonjol, jauh melampaui adik-adiknya, macam Durmagati, Kartadendha, atau Kartamarma. Bahkan, Dewi Dursilawati--Kurawa dalam bentuk paling jelita--satu-satunya perempuan anak pasangan Destrarastra dan Dewi Gendari, juga kalah tenar dari Dursasana.

Sayang, seperti halnya para Kurawa lain, keterkenalan Dursasana bukan dalam hal kebajikan, melainkan sebaliknya, keburukan. Nama Dursasana, konon berasal dari kata 'dur' yang berarti 'buruk' dan 'sasana' berarti ‘tempat’. Singkatnya, Dursasana merupakan tempat keburukan bertakhta.
Pada diri Dursasana keburukan seperti hadir dalam jenis yang paling lengkap. Dia telengas, berangasan, sombong, suka bertindak sewenang-wenang. Pada saat yang sama, dia juga sembrono dan senang menggoda wanita. 
“Saya kok seperti melihat Sampean, Kang,” tiba-tiba terdengar bisikan Dawir dari belakang tengkuk, yang membuat saya ingin napuk mulutnya.
Dosa Dursasana yang paling fatal: mulutnya kotor. Mulut putra kedua Destrarastra-Gendari itu seperti gatal kalau tidak mencaci, kebas jika absen memaki. Mulutnya juga enteng dalam melontarkan hinaan kepada sesama. Dalam tindakan juga segendang sepenarian, Dursasana kerap berlaku lucah, melecehkan liyan, juga para perempuan.

Dursasana pernah mempermalukan Dewi Kunti, ibu para Pandawa, di depan pertemuan agung Astinapura. Dia menyebut Kunti, istri Prabu Pandu Dewanata, sebagai wanita yang suka berselingkuh. Atas hinaan itu, Kunti pun bersumpah tidak akan mati sebelum keset, membersihkan kaki, dengan kepala Dursasana.

Kisah Bale Sigala-gala, setelah Yudhistira kalah di meja judi, menjadi saksi lain kedurjanaan Dursasana. Ketika itu dia mencoba menelanjangi Dewi Drupadi, yang dipertaruhkan suaminya. Sembari tertawa-tawa, dia tarik kain penutup tubuh putri dari Kerajaan Pancala itu. Di depan orang-orang. Untunglah, dewata masih melindungi kesucian Drupadi sehingga kain penutup tubuhnya seperti tak habis-habis. Penghinaan itu yang kemudian membuat Drupadi bersumpah tidak akan menyanggul rambut sepanjang hidupnya, sebelum keramas dengan darah Dursasana.

Sapa nandur ngundhuh. Mulut kotor pula yang membawa Dursasana pada ajalnya, tepat pada hari ketujuhbelas Perang Baratayudha. Dengan kematian yang tragis dan nista.

Menjelang pengujung Baratayudha, Dursasana terlibat pertempuran dengan Werkudara, ksatria Pandawa paling sentosa. Di tengah-tengah perkelahian sengit, mulut kotor Dursasana melontarkan hinaan. Tidak tanggung-tanggung, dia menghina Prabu Pandu--ayah para Pandawa--sebagai seorang pecundang.

Hinaan itu membuat hati Werkudara terbakar. Dia, yang dikenal tidak pernah berbahasa halus kepada siapa pun, kecuali dengan Sang Hyang Wenang dan Dewa Ruci, pun membalas hinaan itu dengan hinaan. Werkudara balik menyebut Destrarastra, ayah Dursasana sebagai orang buta. Ya, Destrarastra memang terlahir buta sejak lahir.

Singkat cerita, kedua ksatria yang dibakar emosi itu pun saling serang. Kedua ksatria tunggal guru, sama-sama murid Begawan Drona di Padepokan Sokalima, itu beradu kesaktian. Sudah suratan cerita, Werkudara unggul. Di ujung pertempuran, Werkudara menjambak rambut Dursasana, menghajarnya dengan Gada Rujakpala, lantas memutus lengan dan kepalanya.

Lantas, Kunti segera melaksanakan sumpahnya, yaitu keset dengan kepala Dursasana, dan keramas menggunakan darahnya. Drupadi mengikuti langkah sang mertua, dengan keramas darah Dursasana, yang diperas dari janggut Werkudara.

Ya, begitulah, siapa menabur angin akan memanen badai. Siapa menanam penghinaan, akan beroleh penghinaan yang tidak kalah nista.
"Sik, sik, Kang. Kok di mata Sampean Dursasana seperti ora ana apike blas? Kaya cangkeme Sampean ora kaya ngono wae, Kang?" lagi-lagi bisikan Dawir menyentak dari balik tengkuk saya.
"Sakmursal-mursale Dursasana, apa Sampean pernah mendengar Dursasana menghina Begawan Drona? Menista Resi Bisma? Melecehkan Resi Widura," cecar Dawir.
Berarti, kalau ada yang berlaku lajak, kumawani, keladuk kurang duga, menganggap begawan sedungu kerbau, tidakkah mulutnya lebih kotor dari Dursasana? (*)

Menteri Supeno, 11 April 2018

Sumber: CatatanAchiarMP 

Selasa, 10 April 2018

Sastrawan Danarto tewas usai tertabrak di Ciputat

Selasa, 10 April 2018 23:11 | Reporter : Merdeka

Danarto. ©2018 Merdeka.com/Galeri Buku Jakarta

Sastrawan Danarto meninggal dunia di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Kabar duka itu disampaikan rekannya sesama sastrawan Uki Bayu yang menunggui almarhum di rumah sakit.

Danarto dalam kondisi koma ketika dibawa ke RS Fatmawati setelah mengalami kecelakaan di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.
"Wafat pukul 20.54 WIB tadi," kata Uki ketika dihubungi, Selasa (10/4) malam.
Menurut Uki, Danarto mendapat perawatan di UGD RS Fatmawati. Ia diduga mengalami luka dalam di kepala.
"Kondisinya koma, jadi tak bisa dilakukan pembedahan," pungkas Uki.
Pihak kepolisian sudah melakukan olah TKP terkait peristiwa tabrakan yang dialami Sastrawan Danarto di Ciputat. Kepala Satuan (Kasat) Lantas Polres Tangerang Selatan AKP Lalu Hedwin Hanggara mengatakan, dari hasil olah TKP dan keterangan saksi-saksi sementara menyebutkan peristiwa tabrakan siang tadi adalah murni kecelakaan. Saat itu korban hendak menyeberang dari arah Kampung Utan, Ciputat sekitar pukul 13.30 WIB.
"Sampai sejauh ini setelah olah TKP juga kita melihat ini kecelakaan murni. Belum ada unsur atau dugaan lain atau dugaan macam-macam. Murni kecelakaan," kata Lalu.
Lalu melanjutkan, pihaknya juga masih meminta keterangan pengendara Mio nomor polisi B 3002 TEE atas nama Surya Lesmana. 
"Iya masih kita mintai keterangan," ujar Lalu.
Reporter: Moch Harunsyah
Sumber: Liputan6.com [gil]

Sumber: Merdeka.Com 

Senin, 09 April 2018

Film “Melawan Arus” Menjadi Film Fiksi Pendek Pelajar Terbaik Di Mafifest 2018




KEBUMEN – Film “Melawan Arus” besutan Eka Saputri dari SMK Negeri 1 Kebumen berhasil menyabet Film Fiksi Pendek Pelajar Terbaik diajang Malang Film Festival (Mafifest) 2018.
Malam penganugerahan festival yang memasuki tahun ke-14 digelar pada Sabtu, 7 April 2018 di Hellypad Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Salah satu dewan juri, Lulu Ratna mengatakan, “Melawan Arus” dipilih karena mampu mengoptimalkan bahasa visual meski masih menyisakan pesan verbal.
“Konten film yang diangkat cukup berani dan menguji kepekaan setidaknya bagi pembuat film seusia pelajar,” terangnya.
Film berdurasi 10 menit ini bercerita tentang perjuangan petani Urut Sewu Kebumen. Perempuan petani bernama Siti yang percaya bahwa proses penangkapan suaminya, Yono, merupakan fitnah akibat konsekuensi rumit dari sengketa tanah antara petani dan TNI yang tak berkesudahan. Situasi tak menentu berujung pada keinginan pindah Yono yang ditolak Siti.
Menurut Eka Saputri, film tersebut terinspirasi kakak kelas yang tahun lalu menggarap dokumenter pendek petani Urut Sewu dan sempat menjuarai di Mafifest 2017 di kategori Dokumenter Pendek Pelajar.
“Ada kesempatan mewujudkan ide yang sama namun dalam film fiksi pendek yang semoga bisa kembali mengingatkan bahwa perjuangan petani Urut Sewu masih berlanjut, terutama dikuatkan peran perempuan yang turut melawan,” jelas dia.
Produksi film pendek “Melawan Arus” bersama dua film pendek lain terwujud lewat kerja kolektif dan kolaboratif program Sinema Kedung Meng Desa-Desa (SKMDD) dari Sinema Kedung pada 11 Agustus-5 November 2017 yang pada pelaksanaan tahun kedua tersebut menghadirkan lokakarya produksi difasilitasi CLC Purbalingga.
Program di bawah naungan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) yang didukung penuh bantuan untuk masyarakat film dari Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) serta Perpusda Kebumen, Roemah Martha Tilaar Gombong, dan Sangkanparan Cilacap.
Direktur Komunitas Sinema Kedung Kebumen Puput Juang mengatakan, film sebagai medium gambar dan suara bisa menjadi pilihan tepat menyuarakan keberpihakan terhadap posisi rakyat yang masih terpinggirkan.
“Seperti terjadi pada nasib para petani Urut Sewu yang masih menggantung karena pemagaran lahan pertanian mereka,” kata Puput Juang.
BANGKIT WISMO
Braling.Com 

Sabtu, 07 April 2018

Macan Kesepian

Aryono | 7 Apr 2017, 16:10

Raden Saleh melukis macan yang kalem. Koleksi Presiden Sukarno ini mencerminkan masa depannya: kesepian di tengah keramaian.


Lukisan "Tiger Drinking" karya Raden Saleh.

Beberapa waktu lalu, jagad media sosial dihebohkan oleh patung macan berwajah lucu di depan markas Komando Rayon Militer 1123 Cisewu, Garut, Jawa Barat. Patung tersebut dibuat pensiunan tentara yang berdinas terakhir di Koramil Cisewu. Dibongkarnya patung macan lucu itu seakan meneguhkan bahwa citra macan harus garang.
Namun, pelukis terkemuka Indonesia, Raden Saleh, pernah membuat lukisan macan kalem dan tenang berjudul “Tiger Drinking”. Dalam lukisan yang dibuat tahun 1863 itu, sosok macan Jawa muncul dari lebatnya hutan tropis yang kelam, dengan pohon-pohon besar menjulang. Ia tampak sedang mereguk air dari pinggir telaga yang tenang.
Mikke Susanto, kritikus seni rupa yang mengajar di ISI Yogyakarta, mengatakan bahwa karya Raden Saleh yang satu itu adalah pengecualian. Biasanya, dia selalu melukis hewan, baik banteng atau macan, dengan tampilan garang, enerjik, dan maskulin. Namun, pada lukisan yang dibuat 154 tahun lalu itu, dia menampilkan sosok macan kesepian yang muncul dari dalam rimba raya.
“Saya pikir Raden Saleh ingin membuat ide yang berbeda saja. Harimau digambarkan ayem, tenteram dan ia seperti makhluk mungil yang muncul dari rimba tropis Jawa yang sedemikian agung,” ujar Mikke kepada Historia.
Ada cerita menarik dari lukisan koleksi Sukarno ini. Sekali waktu, Sukarno bercanda dengan staf istana di depan lukisan yang digantung itu.
“Berapa jumlah macan dalam lukisan ini?” tanya Sukarno.
Beberapa staf di sekitarnya pun menyelidik.
“Wah, ya cuma satu ekor, Pak,” ujar mereka.
“Salah! Yang benar ada dua,” jawab Sukarno. Bung Besar pun menunjuk harimau di dalam lukisan. Satu sosok yang keluar dari rimba dan mereguk air, dan yang satunya, wajah harimau yang terpantul dari beningnya telaga, menjadi bayang-bayang dalam air.
“Tiger Drinking” salah satu lukisan yang disukai Bung Karno. Dalam pandangan Mikke, Sukarno menyenangi lukisan itu karena merupakan cermin dan masa depannya: kesepian di tengah keramaian.
Pada 2013, “Tiger Drinking” dan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” berhasil direstorasi oleh Susanne Erhads, ahli restorasi lukisan dari Jerman. Saat ini, lukisan tersebut tersimpan di museum istana kepresidenan di Bogor. Lukisan berbahan cat minyak di atas kanvas dengan dimensi 160x116 cm ini menampilkan gabungan tema panorama dan tema binatang.
Menurut Kukuh Pamuji tema panorama yang dihadirkan Raden Saleh tidak sekadar merekam suasana pemandangan alam, melainkan juga menghadirkan filosofi kesadaran sebagai makhluk kecil di hadapan semesta.
“Di sinilah unsur romantisme lukisan ini bisa digambarkan, yaitu sebuah getaran jiwa,” tulis Kukuh dalam “Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan” termuat di laman setkab.go.id.
Gaya romantisme Raden Saleh didapatkannya selama menetap di Eropa pada 1829-1851 dan 1875-1879. Saat ini, berdasarkan penilaian aset tahun 2011, nilai aset lukisan “Tiger Drinking” sebesar Rp2,9 miliar.
Sumber: Historia.Id 

Jumat, 06 April 2018

Hamka, Rendra, Puisi Sukmawati: Drama 'Patine Gustiallah'

Jumat 06 April 2018 05:07 WIB

Red: Muhammad Subarkah
WS Rendra baca puisi | Foto: commons.wikimedia.org
Umat Islam adalah kekuatan pembuat revolusi bangsa, maka harus diajak kerjasama.
Oleh: Muhammad Subarkah*
Apa sih definisi puisi bermutu itu? Ketika pertanyaan ditanyakan kepada sastrawan dan Guru Besar Filsafat Universitas Paramadina, Prof Abdul Hadi WM, dia hanya menjawab pendek. Katanya, 
"Puisi yang baik memiliki nilai estetis. Nilai inilah yang membuat sebuah puisi berharga. Dalam nilai estetis itu sudah terangkum nilai-nilai lain. Jadi bukan karena bikin heboh,'' ujarnya.
Dan ketika ditanya soal kualitas puisi Sukmawati ‘Ibu Indonesia’ yang di media sosial dikenal juga dengan ‘puisi konde’, Abdul Hadi menjawab singkat bahwa di kalangan kritikus sastra ada isitilah 'under critic'. Dalam kategori ini kritikus sastra enggan mengomentari karena tidak ada pencapaian estetik yang bermutu sehingga tak perlu juga dilakukan kritik atas karya tersebut.

photo
Seorang perempuan Jawa mengenakan kerudung atau tak berkonde dipotret seorang fotografer Belanda, Hugo Wilmar, di Solo pada Desember 1947. (Foto:gahetna.nl).
Pernyataan itu membuat tercenung, apalagi kemudian melihat tayangan debat di Youtube yang mengatakan sebuah karya puisi tak usah jadi masalah dan jangan dibuat sastra sebagai ancaman. Puisi harus dibalas puisi, bukan ancaman pidana atau malah vonis penjara. Dengan simpulan kata yang lebih sederhana sikap itu terkesan juga: jangan menjadikan karya sastra mengeruhkan keadaan.

Terkait pernyataan itu ingatan tentu harus balik kepada nasib yang menimpa sederet nama sastrawan kondang seperti Amir Hamzah, Buya Hamka, WS Rendra, Pramodeya Ananta Toer, atau hingga nasib Wiji Thukul. Atau di bidang seni yang lain, yakni musik, di sana ada kisah nasib terkait dengan Koes Plus, Rhoma Irama, Betharia Sonata, dan lainnya. Sosok itulah yang mengalami langsung ternyata ‘jargon’ seni untuk seni hanya sekedar omongan hampa belaka.

photo
Sarekat Dagang Islam. Berdiri di Solo tahun 1904. Berbagai pihak menyebut bahwa organisasi ini mendahului berdiri Budi utomo.
Di zaman perjuangan kemerdekaan dikenal lagu Indonesia Raya karya WS Supratman. Di kemudian hari diketahui ide kata Indonesia berasal dari pihak lain, yakni para pelajar yang kala itu menuntut ilmu di Belanda (Perhimpunan Pelajar Indonesia). Bahkan ‘frase’ kalimat ‘merdeka’ ada yang menyatakan itu terpengaruh dari tulisan dan keyakinan pejuang Tan Malaka yang sampai akhir hidupnya yang tragis itu diketahui memimpikan Indonesa merdeka yang total atau merdeka 100 persen. Tan Malaka banyak menulis, tentu saja karya sastra, yang memimpikan datangnya masa kemerdekaan itu.

Bahkan pula, Tan Malaka di tahun 1920-an, dengan gagah berani mengatakan jangan anggap remeh kekuatan Islam (termasuk Indonesia). Omongan ini dikatakan Tan Malaka bukan dalam forum 'ecek-ecek' atau panggung hiburan, namun dalam sebuah rapat tokoh partai komunis dunia yang digelar di Rusia. Tan Malaka datang ke sana dari Belanda khusus untuk memberikan pidato dari satu-satunya wakil dari benua Asia. Katanya, Islam adalah salah satu kekuatan untuk membuat revolusi!

Maka harus diajak kerja sama. Dengan kata lain' tak perlu dimusuhi'. Tan Malaka di situ ketemu bapak bangsa Vietnam, Ho Chi Minh. 'Paman Ho' kagum pada Tan Malaka dan dia sendiri rela hanya datang sebagai delegasi peninjau, alias tak memberikan pidato.

photo
Pengurus Sarekat Islam cabang Kaliwungi, Kendal, Jawa Tengah
Semua tahu apa yang saat itu telah terjadi. Kala itu, kekuatan Islam --baik politik dan agama-- telah tumbuh di kepulauan Nusantara seiring dengan hadirnya Sarikat Dagang Islam, Sarekat Islam, Muhammadiyah. Tokoh utamanya tentu saja HOS Tjokroaminoto, yang saat itu dijuluki 'Raja Jawa Tanpa Mahkota'.

Dengan suara pidatonya yang menggelegar Tjokro membangunkan kesadaran orang betapa sakitnya hidup dalam penjajahan dan betapa berharganya sebuah kemerdekaan. Ribuan orang datang dalam rapat umum untuk mendengarkan orasi Tjokro. Masa mengeluk-elukannya. Bahkan dalam forum pertemuan di berbagai tempat di Jawa orang spontan duduk bersila di tanah untuk menghormati kedatangannya.

photo
Haji Oemar Said Tjokroaminoto. (foto:commons.wikimedia.org)
Di samping Tjokro, tentu saja ada tokoh lain seperti 'si anak pintar' dari Sumatra Barat Agus Salim. Dan kemudian ada juga tokoh Sukarno yang merupakan anak asuhan Tjokro sendiri. Di samping itu juga kemudian muncul cucu sufi besar ranah Minangkabau, Mohammad Hatta. Dan juga ada sosok lain seperti Moh Yamin, Sutan Syahrir, M Natsir, dan lainnya.

photo
Tan Malaka yang selama zaman Jepang bersembunyi di Bayah, Banten, tertangkap kamera berjalan bersama Sukarno pada acara rapat raksasa di Lapangan Ikada (sekarang area Monas). Tan Malaka --sama dengan Panglima Besar Sudirman, sampai akhir hayatnya di inginkan Indonesia Merdeka 100 persen. Dia menolak atau enggan berunding dengan Belanda.

Mr Moh Roem dalam suatu acara. (Sumber foto: wikimedia). 

Umat Islam adalah kekuatan pembuat revolusi bangsa, maka harus diajak kerjasama.

***
                                                             
Jalinan itulah yang menguatkan pembentukan Indonesia. Melintasi batas dan tidak hanya soal urusan baju dan gaya rambut, dari yang berkonde seperti Jawa atau berkerudung di tanah Melayu. Ada Jong Ambon, Sumatra, Celebes, Kalimantan dan lainnya. Dan di masa itu para tokoh memang kadang berdeda pendapat, bahkan berselisih baik secara fiksi dan nyata.

Tapi akhirnya mereka tetap lapang dada memaafkan. Para bapak bangsa mencontohkan sekaligus sadar bisa 'menyingkapkan daun untuk mengambil buah'. Mereka nemukan arti persahabatan dan inti sari perjuangan sejati. Memisahkan nilai perjuangan dengan nafsu atau ego politik pribadi.


Buya Hamka.

Di tahun 1960-an memang ada polemik sangat keras antara Pramoedya Ananta Toer dan Buya Hamka. Tak kepalang tanggung Pramoedya berusaha mengakhiri karir bersastra Hamka dengan menuduh banyak karyanya sebagai hasil plagiat. Dengan 'kewenangan kekuasannya'  sebagai Redaktur Budaya Koran berafiliasi Partai Komunis Indonesia, Harian Rakjat, menuding segala hal mengenai Hamka dianggap buruk, bahkan jahat.

HB Jassin yang berusaha membela Hamka terkena imbasnya. Organisasi Manifes Kebudayaan yang didirkan Wiratmo Soekito (dan HB Jassin yang menjadi anggotanya) dibubarkan. Jassin dipecat sebagai dosen Universitas Indonesia. Manifes Kebudayaan oleh orang-orang ‘kiri’ diolok-olok secara pejoratif menjadi akronim: 'Manikebu'. Anggota lainnya seperti Taufiq Ismail dipecat sebagai dosen dan gagal belajar ke luar negeri.

Tapi apakah Buya Hamka dendam? Setelah rezim berganti seiring dengan jatuhnya Sukarno dari kursi presiden, ternyata Hamka terbukti tak menyimpan dendam. Padahal dia punya hak untuk itu, diperlakukan buruk oleh Pramoedya hingga dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan oleh pemerintahan Sukarno. Dia malah di awal 1970-an dengan keras menantang pelarangan buku karya Pramudya hingga dengan ringan hati menshalatkan jenasah Sukarno yang dulu memenjarakannya itu. Tak cuma itu dia pun membuka tangan menerima anak dan menantu Pramoedya yang meminta diajari mengaji kepadanya.


Pada keterangan foto yang diambil dari arsip Belanda dinyatakan: Letnan Vosveld melapor kepada Presiden Soekarno untuk membuat pernyataan bahwa dia harus menganggap dirinya sebagai orang yang diasingkan di istananya untuk sementara waktu. Kejadian ini pada awal agresi Belanda ke II di Istana Negara Jogjakarta, 19 Desember 1948. Foto ini adalah karya Fotografer Belanda, Heldoorn, W. / DLC. (Sumber foto:gahetna.nl).

Foto kejadian ini belum termuat dalam buku sejarah di sekolah Indonesia, termasuk tidak ada dalam album foto '50 Tahun Indonesia Merdeka'.

Tokoh lain juga begitu. Pencetus perjanjian Roem-Royen, Mr Moh Roem di tahun 1980-an dengan gagah berani menepis sinyalemen yang ada dalam tulisan Rosihan Anwar mengenai isi dokumen pada tahun 1930-an yang kala itu diterbitkan kembali di Belanda. Dalam arsip itu Sukarno dinyatakan pernah meminta ampun kepada Belanda untuk meringankan masa tahanan ketika meringkuk di penjara Sukamiskin Bandung.  Bukan hanya itu Rosihan dalam tulisannya menyatakan Sukarno pernah pula  menyerah dengan mengibarkan bendera putih ketika Yogyakarta di duduki Belanda pada Agresi Belanda II di tahun 1948. Maka, Mr Roem pun dengan berani membantah hal itu dengan menyatakan: Sukarno benar-benar pejuang sejati dan tak kenal menyerah! 
"Menurut MR Roem, benar ada bendera putih berkibar di Istana Yogyakarta saat agresi Belanda II. Itu yang menyerah bukan putusan pribadi Sukarno, tapi atas keputusan sidang kabinet. Wakil Presiden Moh Hatta di sidang itu menyarankan biar para tokoh ditangkap saja. Pilihan ini dengan mempertimbangkan dana dan kesediaan personil pasukan serta senjata untuk mengawal Presiden dan Wakil Presiden menyingkir ke pedalaman untuk memimpin perang gerilya,'' kata mantan staf Perdana Menteri M Natsir, Lukman Hakiem seraya mengatakan dengan ditangkap malah keselamatan para tokoh Republik bisa lebih terjamin.

Penginterniran atau penangkapan untuk diasingkan Wakil Presiden Moh Hatta (di tengah putih) dan beberapa otoritas Republik lainnya di rumah Hatta di Yogyakarta, 19 Desember 1948. Di dalam foto terkesan ada kaku dan tegang ketika seorang pasukan Belanda melakukannya, Karya Fotografer Belanda, Heldoorn, W. Foto ini juga belum pernah termuat dalam buku sejarah Indonesia. (Sumber foto:gahetna.nl)

Dan sikap Mr Roem ini sangat pula istimewa karena diketahui selaku petinggi Partai Masyumi pada tahun 1960-an dengan surat yang mengatasnamakan Jendral AH Nasution, dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses pengadilan. Tuduhannya tak jelas, namun kiranya penguasa rezim kala itu merasa MR Roem selaku petinggi Masyumi ikut dalam apa yang disebut pemberontakan PRRI/Permesta.

Di kemudian hari kemudian diketahui PRRI/Permesta sebenarnya bukan sebagai pemberontakan melainkan protes atas ketidakadilan otonomi daerah dan sikap protes anti komunis. Bahkan ada ahli sejarah yang mengatakan itu sebenarnya pemberontakan ‘setengah hati’.

Sjafruddin Prawiranegara (Foto: commons.wikimedia.org)

Sama dengan Mr Roem, Mr Sjafruddin Prawiranegara juga bersikap lapang hati dengan Sukarno. Pendiri Bank Indonnesia ini diakhir hidupnya memaafkan Sukarno meski dia pernah mengejar-ngejarnya dan menuduh sebagai terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta karena pergi melawan dengan menyingkir ke berbagai kawasan hutan di Sumatra Barat. Sama dengan Hamka, Mr Moh Roem, Sjafruddin juga cukup lama hidup dalaman penjara. 
’’Aku sudah maafkan dia. Sebab, setelah ditimbang-timbang jasa Sukarno pada bangsa ini masih jauh lebih banyak dibandingkan kesalahannya,’’ kata Sjafruddin seperti diceritakan salah seorang putrinya, 

Pembukaan Konggres Umat Islam Sumatra Utara di Medan, (1/4).
Foto:


Umat Islam adalah kekuatan pembuat revolusi bangsa, maka harus diajak kerjasama.
                                                           ****
Dan ketika dekade 70-an semua paham apa yang dilakukan WS Rendra dengan puisi dan teaternya. Pertunjukan dia di teater terbuka Taman Ismail Marzuki dibubarkan paksa dan dilempari cairan berbau busuk, amoniak. Beberapa waktu sesudah itu Rendra ditangkap dan menghuni penjara. Dia mengalami rasanya berendam di kolam penyiksaan yang berbau dan penuh lintah, hingga diberi makan seadanya yang disajikan dengan cara dilemparkan dalam piring kaleng.

Tapi, sampai akhir hayatnya Rendra tak peduli dengan memberikan  kredo kesaksian: Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Serupa dengan nasib Rendra, kemudian menimpa Wiji Thukul --nasib tragis juga menimpa penyair pelopor Pujangga Baru, Amir Hamzah, yang terbunuh dalam Revolusi Sosial (kerusuhan) di Sumatra Utara. Jasad Amir Hamzah ditemukan tak bernyawa, sedangkan penyair asal Solo, Wiji Thukul, sampai sekarang tak ketahuan di mana rimbanya. Puisi Thukul jelas melakukan perlawanan pada rezim Orde Baru dengan jargonnya yang terkenal: Ketika penguasa pidato dan kita malah pergi kencing diam-diam, maka hanya ada satu kata, lawan!”

Pada kurun yang hampir sama ada pula soal pencekalan terhadap Rhoma Irama. Dia tak leluasa, bahkan dicoba dihambat untuk berekpresi karena tidak pro rezim. Tampil di televisi kala itu adalah hal yang tak bisa dilakukannya. Betharia Sonata dalam hal yang lebih lunak juga sempat bernasib sama. Senandung Betharia pada lagu ciptaan Obbie Maesakh, 'Hati yang Luka, mengalami kendala karena oleh penguasa dianggap cengeng.

Nasib itu hampir sama dengan Koes Plus pada penghujung masa Orde Lama yang masuk bui karena dianggap kebarat-baratan karena banyak menyanyikan lagu grup musik kugiran Inggris: 'The Beatles'. Dan kala itu tentu saja lagu Koes Plus berlawanan dengan lagu Lilis Suryani, misalnya lagu ' Oentoek Paduka Jang Mulia (PJM) Soekarno' yang banyak memberikan sanjung puja kepada penguasa termasuk ideloginya yakni: Manipol Usdek. Hal ini juga diulang pada rezim berikutnya pada sebuah karya lagu Titik Puspa yang bertajuk ‘Soeharto Bapak Pembangunan’.

Jadi fakta sejarah itu menjelaskan soal bahwa ‘jargon seni hanya untuk seni atau kekebasan sastra’ hanya bualan atau kicauan kosong saja. Ternyata semua budayawan-sastrawan  harus bisa mengukur diri dengan kehidupan bersama, menyesuaikan dengan sistem politik, sosial, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Kalau tidak diindahkan kelak akan terjadi chaos sosial seperti pembunuhan para awak majalah kartun Charlie Hebdo di Prancis atau adanya fatwa hukuman mati Ayatollah Khomeini kepada penulis novel 'Ayat Ayat Setan' asal India yang tinggal di Inggris: Salman Rusdi.

Atau juga karena imbas kasus menghina adzan. Dalam soal ini maka harus ingat pada kisah awal yang menjadi penyebab meletusnya 'pemberontakan petani Banten'  pada tulisan karya Hamka yang puluhan tahun lalu terbit: buku 'Perbendaharaan Lama'. Kala itu ada orang Muslim tersinggung karena ada pejabat daerah berkebangsaan Belanda marah-marah mendengar Adzan di siang hari bolong yang menggangu kenyamanan waktu  'siesta' atau tidur siangnya. Dia meminta adzan dari sebah surau yang tak jauh dari kediamaan pejabat Belanda itu tak dilakukan karena menimbulan suara berisik.

Maka,mendengar kisah itu orang Islam di Banten tersulut marah. Perasaan benci akibat tertindas yang selama ini tertanam seolah  menemukan jalannya atau menyulut sumbu untuk meledak. Maka meletuslah kerusuhan sosial yang hebat. Ibarat api ini situasi tak lagi sekedar bara yang terpendam, tapi sudah ikut berkobar menjilati masalah dasar yang lain, yakni kesenjangan sosial, hukum, dan ekonomi. Banyak korban jatuh dalam pemberontakan yang berlangsung pada 9 Juli tahun 1888 itu. Baru padam setelah banyak orang ditangkap, tokoh pemicunya dihukum gantung yang vonisnya dilakukan di tengah alun alun, dan banyak orang Banten dihukum buang ke tanah pengasingan. Akibat omongan ternyata berdampak sangat serius berupa situasi kerugian besar sekali.

Bukti Perbendaharaan Lama karya Hamka. Salah satunya di buku menceritaan soal 'Pemberontakan Petani Banten'.
Dalam sastra memang ada kebebasan ‘lingua politika’ tapi itu hanya sebatas soal teknis dan diksi pilihan kata. Di luar itu ada ‘harimau yang harus dijaga yakni harmoni masyarakat dan kelangsungan negara. Fiksi ternyata sejatinya bukan fiksi sebab fiksi dan fakta kerapkali berbaur satu. Ini bisa dilihat dari mulai Babad Tanah Jawa, karya sastranya Buya Hamka dan Pramudya, novel 'Para Priyayi'-nya Umar Kayam, hingga cerpennya Seno Gumbira Ajidarma yang bercerita soal 'Penembak Misterius'. 


Sebuah pertunjukan ketoprak. (foto:commons.wikimedia.org)

Dalam lakon teater pun begitu. Dulu di tahun 1960-an, para seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di sekitar wilayah kaki gunung Merapi, Merbabu, dan Sindoro kerap menggelar pertunjukan ‘teater Jawa’ (Ketoprak) dengan judul ‘Patine Gustiallah hingga Gustiallah Mantu’.

Ceritanya sebenarnya tentang perjuangan kelas, misalnya ada seorang putri tuan tanah yang memaksa kawin dengan orang rakyat jelata. Tapi kemudian idenya dan alur cerita pemanggungan bisa berbelok ke mana saja hingga soal kisah 'landreform' (bagi-bagi tanah) hingga melecehan kekuasaan kerajaan Jawa. Mereka juga sibuk mengkritik 'bandit rakyat' yang dinamakan para 'Setan desa'.

Pada saat yang sama pihak Islam di Yogyakarta, melawannya dengan mendirikan Teater Muslim yang dipimpin Mohammad Diponegoro yang kemudian menjadi penyiar Radio Australia itu. Di sini juga ada keterlibatan sosok Arifin C Noer, Amoroso Katamsi, Chaerul Umam, Kuntowidjoyo, bahkan yang mengejutkan ada sosok Abu Bakar Ba’asyir.


Mohammad Diponegoro, pendiri Teater Muslim di Yogyarkarta.

Maka munculah sajian pertunjukan drama atau teater berjudul 'Tikungan Iblis ' , sebuah lakon tentang pengorbanan Nabi Ismail ketika hendak disembelih oleh bapaknya, Nabi Ibrahim AS. Di situ digambarkan berbagai upaya dan muslihat iblis yang berusaha menipu Nabi Ibrahim yang tetap kokoh melaksanakan perintah Allah dengan mengorbankan anaknya Ismail. Ibrahim pun marah kepada iblis dengan melemparinya dengan batu yang kini lestari dengan ritual melempar jumrah oleh ketika umat Islam menunaikan ibadah haji itu.

Suasana pemahaman, sekaligus sikap arif itulah yang hendaknya terjalin pada karya sastra sebagai wahana ekpresi terkait urusan pribadi, hubungan sosial, hingga soal politik. Sebagai ‘akhirul kalam’ maka sebaiknya merenungkan lagi potongan pidato pakar hukum tata negara dan tokoh politik Prof DR Yusril Ihza Mahendra dalam pidato di acara Konggres Umat Islam Sumtara Utara di Medan, beberapa hari lalu.

Kata Yusril, umat Islam harus sadar politik sebab kalau tidak politik akan diambil pihak lain.Politik itu bukan suatu hal yang najis. ”Ketika umat Islam berkuasa umat Muslim terbukti hirau akan (keberadaan) mereka, tapi ketika mereka berkuasa mereka tak hirau akan kita, Celaka memang. Ini membuktikan segudang kekuasaan tak berarti apa-apa dengan sekepal kekuasaan!”.

Maka melihat kontroversi dunia politik hingga soal 'puisi konde', maka ada pesan yang bijaksana dari Pramodeya Ananta Toer di masa akhir Orde Baru: Berbuat adilah sejak dari pikiran.’’ Ironisnya kata adil –seperti juga dikatakan WS Rendra— orang Jawa (yang suka disimbolkan dengan tusuk konde) tak punya padanan kata ‘adil’ yang itu yang jelas berasal dari kata Arab. Padahal padanan kata adil dalam bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis jelas-jelas ada.

Dalam suluk dalang di pentas pewayangan misalnya, kata adil malah ditaruh jenjangnya di bawah kata 'bijaksana'. Padahal bijaksana adalah cermin dari pada kata yang berbau ‘feodalistik’ bahwa semuanya berdasarkan kemauan serta sikap murah hati dari pihak penguasa (raja). Dan ini berbeda secara diametral dengan adil yang mensyaratkan kesetaraan manusia, yakni harus ada aturan hukum tertulis, adanya lembaga peradilan mandiri, dan berlaku untuk semua, tak peduli raja maupun jelata. Misalnya, siapapun yang mencuri tak peduli itu dilakukan priyayi (bahkan raja dan keluarganya) atau orang biasa, harus mendatkan hukuman setimpal.

Jadi bijaksana, kadang tak adil karena hanya ‘bijak di sana’ bukan 'bijak di sini’! Semoga pola kasus cerpen Ki Panjikusmin "langit Makin Mendung' pada tahun 1969 yang telah membuat HB Jassin divonis hukuman dua tahun percobaan tak terulang.

Sumber: Republika.Id