Senin, 16 Desember 2019

Menyimak proses teater kampus


·           Catatan workshop ke 14 Teater Gerak

WORKSHOP: 10 peserta workshop Teater Gerak angkatan ke-14, usai memanggungkan hasilnya, Minggu (15/12) di auditorium kampus IAINU Kebumen. - Foto: K.04

Meski tak mudah merintis upaya berkesenian dan menjadikannya sebagai tradisi kolektif yang tak putus, namun bagi kelompok Teater Gerak yang usai menggelar workshop tahunannya ke-14; tradisi pembelajaran itu pun telah dilampauinya.

Kelompok teater kampus ini, yang boleh jadi, dimudahkan oleh resources internal dari kalangan mahasiswa yang slalu bersalin rupa seiring angkatan tahun akademiknya. Tetapi menumbuhkan animo 2 kelompok dari 10 peserta hingga usai melewati 3 hari pembelajaran, untuk kemudian membangun keberanian menggarap suatu pertunjukan; sungguh bukan perkara mudah.

Fase ini pun terlampaui dalam 3 hari sejak Jumat (13/12). Dan pada Minggu (15/12) menjadi momentum kedua kelompok mempertunjukkan hasil dari proses kolektifnya di auditorium IAINU. Ada 2 repertoar pendek yang disajikan dalam rupa drama konvensional.

Pendekatan teori yang memuat 3 aspek: penyutradaraan (pemateri Putut AS), keaktoran (Syahid Elkobar) dan artistik (perupa Supriyanto) menjadi bahasan refleksi kecil seusai pentas malam itu.



Spiritualitas dan keberlanjutan      

Tradisi workshop teater Gerak barangkali memang diproyeksikan untuk menjawab problem kaderisasi berkesenian teater di lingkup kampus. Namun ada filosofi mendasar dikemukakan pendirinya yang malam itu berada di penghujung pelatihan.

Mustolih Brs mensitir bahwa apa yang mendasar, dan pertama-tama, dilampaui para peserta adalah keberanian untuk “mengelupas realitas” dari kemelekatannya di dalam pikiran manusia. Memerdekakan pikiran dari kungkung masa lampau, realitas kekinian dan ketakmenentuan esok; adalah “investasi” terpenting dalam berkarya.

Itu sebabnya bermain seni peran menjadi penting dan memungkinkan talent memahami, dan bahkan mereaktualisasi, keberadaan orang lain yang seringkali dianggap liyan; berikut situasi yang membentuknya. Dalam disiplin humaniora, nilai dan syarat ini yang mendasari prinsip-prinsip toleransi.

Bicara harmonisasi kehidupan tak bisa lepas konteks dari ini semua. Dan realitas yang “dikelupas” dari kemelekatannya di dalam pikiran, menjadi narasi panggung dan mengalirkan pesan-pesannya.

Malam itu pun menjadi perekat apresiasi menarik, terlebih karena muncul pula tantangan dari pemateri bagi panitia workshop buat menyajikan repertoar yang dikemas singkat dengan perspektif berbeda; meskipun yang muncul adalah drama dengan model yang sama. [ap]    

1 komentar: