Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Senin, 19 November 2018

Film Karya Pelajar Kebumen “Melawan Arus” Masuk Nominasi FFI 2018

19 November 2018

Proses produksi film “Melawan Arus” besutan sutradara Eka Saputri dari SMK Negeri 1 Kebumen. (Dok. Sinema Kedung)

Purwokertokita.com – Film “Melawan Arus” besutan sutradara Eka Saputri dari SMK Negeri 1 Kebumen masuk sebagai nominator Festival Film Indonesia (FFI) 2018. Ajang bergengsi bagi insan film di Tanah Air ini bakal mengumumkan 22 kategori penghargaan di Jakarta, 10 Desember mendatang.

Pada kategori film cerita pendek terbaik, “Melawan Arus” akan bersaing dengan enam nominator lainnya, yaitu “Elegi Melodi” (Jason Iskandar), “Har” (Luhki Herwanayogi), “Joko” (Suryo Wiyogo), “Kado” (Aditya Ahmad), “Siko” (Manuel Alberto Maia) dan “Topo Pendem” (Imam Syafi’i).

Sutradara film “Melawan Arus”, Eka Saputri mengaku sangat senang film garapan anak asuhnya mampu menembus kompetisi film paling bergengsi yang menganugerahkan Piala Citra kepada pelaku perfilman terbaik. Meski harus bersaing dengan film garapan sineas yang lebih senior.
“Memang sangat berat saingannya. Tapi kami tetap bangga bisa masuk dalam nominasi,” ujarnya, Minggu (18/11).
Eka menuturkan, film yang disutradarainya ini terinspirasi dari film dokumenter pendek petani Urut Sewu. Ide tersebut diwujudkan dalam film fiksi pendek untuk mengingatkan masyarakat bahwa perjuangan petani Urut Sewu masih berlanjut.

Adapun film berdurasi 10 menit ini bercerita tentang perjuangan petani Urut Sewu Kebumen. Perempuan petani bernama Siti yang percaya bahwa proses penangkapan suaminya, Yono, merupakan fitnah akibat konsekuensi rumit dari sengketa tanah antara petani dan TNI yang tak berkesudahan. Situasi tak menentu berujung pada keinginan pindah Yono yang ditolak Siti.

Film ini sempat meraih penghargaan Fiksi Pendek Pelajar Terbaik pada ajang Malang Film Festival (Mafifest) 2018. Lalu menjadi Film Fiksi Pelajar Terbaik pada Festival Film Purbalingga (FFP) 2018.

Sementara itu, Direktur Komunitas Sinema Kedung Kebumen, Puput Juang mengatakan, film ini menjadi medium gambar dan suara untuk menyuarakan keberpihakan terhadap posisi rakyat yang masih terpinggirkan.
“Seperti terjadi pada nasib para petani Urut Sewu yang masih menggantung karena pemagaran lahan pertanian mereka,” tegasnya.
Produksi film pendek “Melawan Arus” terwujud berkat kerja kolektif dan kolaboratif program Sinema Kedung Meng Desa-Desa (SKMDD) dari Sinema Kedung pada 11 Agustus-5 November 2017 yang pada pelaksanaan tahun kedua tersebut menghadirkan lokakarya produksi difasilitasi CLC Purbalingga.


Program dibawah naungan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) yang didukung penuh bantuan untuk masyarakat film dari Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) serta Perpusda Kebumen, Roemah Martha Tilaar Gombong, dan Sangkanparan Cilacap. (NS)

Sumber: PurwokertoKita 

Sabtu, 17 November 2018

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad'

Sabtu, 17 Nov 2018 17:21 WIB  ·   Tia Agnes

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Jakarta - Menonton untuk ketiga kalinya pementasan 'Bunga Penutup Abad' tak akan membuat penonton mati kebosanan. Akhir pekan ini, Titimangsa Foundation kembali menggelar pertunjukan 'Bunga Penutup Abad' yang diadaptasi dari novel Pramoedya Ananta Toer.

Durasi sepanjang 3 jam lamanya menghadirkan alur maju-mundur dari tiga karakter rekaan dalam novel Tetralogi Pulau Buru. Ada Nyai Ontosoroh (Marsha Timothy) yang dicap sebagai gundik namun memiliki pemikiran terbuka tentang kekuasaan dan isu perempuan.

Ada Minke (Reza Rahadian) sosok pribumi yang cerdas dan jatuh cinta pada perempuan Jawa-Belanda bernama Annelies Mellema (Chelsea Islan). Di kehidupan mereka, ada Jean Marais (Lukman Sardi), sahabat Minke yang memiliki seorang putri tunggal May Marais (Sabia Arifin).

Surat demi surat berdatangan ke rumah Nyai Ontosoroh di Surabaya sejak kepergiaan Annelies ke Belanda. Panji Darma yang rajin menuliskannya, Minke dan Nyai pun mendengarkan cerita perjalanan orang terkasihnya tersebut meski dalam hati keduanya merasa sedih atas ketidakadilan ini.

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics
"Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya," ujar Nyai Ontosoroh kepada Minke usai membacakan sepucuk surat. 
Satu minggu berlalu sejak kepergian Annelies, rumah besar Nyai tampak sepi dan redup. 

 "Seminggu sudah jadi tahanan rumah. Pergilah jalan-jalan, nak. Mencari angin, terlalu lama tersekap membuat kau tampak muram," ucap Nyai pada Minke. 
Cerita pun mundur pada pertemuaan awal Minke di rumah Annelies. Setiap hari Minke kerap memandangi potret dari Ratu Belanda yang cantik. Tapi seorang sahabatnya mengatakan, ada dewi yang kecantikannya mengalahkan perempuan manapun di Hindia Belanda.

Awal perjumpaan yang berbekas membuat Minke bekerja di perusahaan milik Tuan Mellema yang dipimpin oleh Nyai Ontosoroh. Satu per satu rahasia keluarga Mellema dan kebobrokan Eropa terkuak. Selama ini pula Minke selalu membela Eropa, mengagung-agungkannya, dan kerap menulis dalam Bahasa Belanda. 



Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Keahlian menulis Minke dipuji oleh Nyai Ontosoroh. Di salah satu adegan, Nyai Ontosoroh mengaku menyayangi Minke bukan sebagai menantunya saja tapi anaknya sendiri. 
"Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari," ujar Nyai Ontosoroh. 
Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Di tengah kepergian Annelies yang membuat Minke sedih, Jean Marais melukis sebuah potret tentang sosok pujaan Minke. Kisah hidup Nyai Ontosoroh dan Annelies membuka fakta menyedihkan tentang ketidakadilan.

Dalam setiap surat, kalimat, dan kata-kata yang memuat perjalanan Annelies dan Panji Darma, Minke dan Nyai Ontosoroh selalu mempertanyakan di mana letak keadilan.
 "Kekuatan yang kita miliki mungkinlah tidak sebanding dengan ketidakadilan yang ada, tapi satu hal yang pasti: Tuhan tahu bahwa kita telah berusaha melawannya."
Energi Baru Nyai Ontosoroh
Hadirnya Marsha Timothy menjadi sosok Nyai Ontosoroh menggantikan Happy Salma sukses memberikan warna dan energi baru. Nyai Ontosoroh tak lagi dimiliki Happy Salma maupun Sita Nursanti semata. Namun Marsha membawakannya secara totalitas. Tanpa jeda satu kesalahan sekalipun, tanpa salah dialog, maupun penghayatan yang terasa hambar. 



Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Proses latihan Marsha selama 4 bulan lamanya berbuah manis. Penonton dapat merasakan getirnya hidup Nyai Ontosoroh dalam kata-kata yang diucapkan Marsha, tentang keadilan yang tak bisa diraihnya, kasih sayang kepada Annelies yang tak pernah memandang sebelah mata terhadap pribumi maupun lingkungan di Pulau Jawa, Hindia Belanda.

Nyai Ontosoroh bertransformasi dalam setiap gerak-gerik Marsha di atas panggung. Pengunjung tak lagi memandang Marsha sebagai seorang Ida Nasution (Perempuan Perempuan Chairil) dan Marlina (Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak).

Perpaduan Marsha bersama Reza Rahadian pun ibarat kopi hitam yang dicampur dengan gula, pas rasanya. Tak manis, tak juga terlalu pahit. Lukman Sardi memainkan Jean Marais pun bak seorang seorang pria yang sudah tinggal lama di Prancis.

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Di antara 'tanpa cela' tersebut, ada beberapa penggambaran akting Chelsea Islan yang terlihat terlalu berlebihan sebagai Annelies. Dari bangku penonton, terdengar celetukan dan tawa ketika Annelies bersikap 'terlalu manja'. Meski begitu, di akhir kehadiran Annelies penonton terenyuh dengan kesedihan yang dialami.

Dengan setting sederhana dan empat ruang yang dibagi, 'Bunga Penutup Abad' menjadi salah satu pertunjukan teater yang menghibur di penghujung tahun. Dipenuhi unsur multimedia, masih ada salah teknis dan perpindahan adegan yang terkesan 'kasar' tapi hal tersebut bisa tertutup serta diampuni sementara waktu.

Dipentaskannya 'Bunga Penutup Abad' membuka kembali kenangan akan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Seperti kata produser Happy Salma,   
"Mengadaptasi karya sastra ke atas panggung teater butuh usaha dan jerih payah yang tak henti."

Jumat, 16 November 2018

Tragedi 1965 dan Kebencian LGBT Meminggirkan Lengger Lanang


Dariah (85 tahun) yang merupakan seorang penari tradisional laki-laki dari Banyumas bersama Didik Nini Thowok (kanak) saat mendokumentasikan kisah penari lengger lanang tersebut yang masih tersisa, (16/11). Aris Andrianto/Tempo

Seni Tari Lengger Lanang terancam punah. Meningkatnya sentimen negatif terhadap kelompok LGBT meresahkan penari warisan Banyumas ini untuk tampil secara bebas dan terbuka.

Agus Widodo was-was. Penari lengger lanang ini berhati-berhati bila menerima tawaran untuk manggung di saat meningkatnya ajakan menolak dan mengharamkan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
 
"Saya rajin bertanya ke pengundang aman atau tidak sebelum mau pentas lengger. Takut digrebek," ucap Agus yang bernama panggung Agnes. 
Penari pria Dariah (kiri) saat ikut menari saat Penari pria Didik Nini Thowok ingin mendokumentasikan kisah penari lengger lanang tersebut yang tersisa, (16/11). Aris Andrianto/Tempo

Lengger lanang merupakan tari lintas gender yang banyak dipentaskan laki-laki. Tari rakyat Banyumas ini berkembang secara turun temurun sebagai bagian dari ritus kesuburan. Budayawan Banyumas Yusmanto memperkirakan, tari rakyat ini sudah ada sejak masa Kerajaan Majapahit. 

Penari lengger adalah laki-laki yang berdandan seperti perempuan. Dalam Bahasa Banyumas, lengger berasal dari dua kata yakni leng yang berarti lubang sebagai simbol jenis kelamin perempuan dan ger berasal dari kata jengger yang artinya mahkota ayam jago sebagai simbol laki-laki. 

Agus dikenal sebagai satu diantara lengger lanang muda yang sedang moncer di Banyumas dan sekitarnya. Ia pernah diundang menari di Festival and Celebrating The 40th Anniversary of Korea-Indonesia Diplomatic di Korea Selatan pada Desember 2013.

Menari sejak usia 7 tahun membawa Agus akhirnya memutuskan menjadi penari lengger. Dia mulai menampilkan tarian lengger sejak 2004 di Banyumas dan sekitarnya. Pilihannya menjadi penari lengger mendapat tentangan sejumlah orang. Beberapa di antaranya menganggap Agnes yang berjenis kelamin laki-laki tidak pantas mengenakan pakaian perempuan ketika menari. 

Di luar panggung, Agus mengenakan pakaian laki-laki. Berbeda ketika di atas panggung. Dia mengenakan pakaian lengger lengkap dengan riasan sanggul berkonde, sampur, kemben, jarit dan riasan wajah seperti penari perempuan. 
"Saya total menjadi lengger saat di panggung," katanya. 
Menurut Agus, diskriminasi terhadap lengger lanang kerap terjadi. Cibiran dan cacian menjadi hal biasa ketika memilih menjadi penari lengger.
"Mereka menyebut saya banci dan memandang penari lengger sebelah mata," katanya.
Ketika pentas, perlakuan buruk juga kerap mereka terima. Penonton yang mabuk mengolok-olok mereka dengan sebutan bencong sembari meraba-raba bagian tubuh mereka. “Saya takut dan trauma,” kata Fizay Nurhamid ketika menceritakan pengalamannya tampil di Kebumen, Jawa Tengah, pada 2017 lalu.

Fizay yang bernama panggung Fifi mulai menari lengger sejak 2011. Laki-laki dari Cilacap ini dulu dikenal sebagai penari kesenian jaran kepang di komunitas seni kuda kepang Mekar Budaya Kencana. Dia kemudian mengikuti jejak kakeknya yang menari lengger. 

Sepekan sejak kejadian di Kebumen, Fizay kembali menerima tawaran. Tetapi, dia menampik tawaran itu karena masih trauma.

Otniel Tasman, koreografer yang menciptakan tari kontemporer dari tradisi lengger Banyumasan juga memiliki pengalaman buruk saat hijrah ke Solo, Jawa Tengah. Suatu hari dosennya di kampus ISI Surakarta bahkan menertawakannya ketika menari lengger. 

Otniel kemudian dilarang menari lengger di pendopo padahal waktu itu dia sudah siap mau pentas. Waktu itu Otniel dan kelompok penari dari Banyumas hendak pentas lengger untuk menyambut seorang menteri yang datang ke ISI Surakarta. Mereka sudah berlatih menari lengger jauh hari hingga hari H acara. 

Tapi, dosen itu melarang dengan alasan lengger penarinya adalah perempuan, bukan laki-laki.
"Lengger dianggap hanya sebatas hiburan saja apalagi ketika laki-laki yang menarikannya," ujarnya.
Penampilan lengger lanang di Festival Kendalisada, Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah (TEMPO/Shinta Maharani)

Banyak yang risih menonton tarian lengger. Danang salah satunya. Penonton Festival Lengger yang berlangsung September lalu itu mengaku enggan menonton tarian tersebut. Namun, malam itu, Danang terpaksa datang menonton karena harus mengantarkan tamu ke Desa Kaliori, tempat berlangsungnya acara. 
"Saya agak takut, risih, dan tidak nyaman," katanya.
Meski mendapat cap jelek, Agus dan Fizay masih berusaha menunjukkan dirinya mampu menjadi penari lengger yang baik. Mereka ingin mempertahankan kesenian tradisional yang hampir hilang karena masyarakat lebih memilih pertunjukkan organ tunggal. 

Maestro tari lintas gender Didik Nini Thowok mengakui jumlah penari lengger kini semakin menipis akibat diskriminasi. Sebagian dari mereka tidak diterima, dikucilkan dan diskriminasi. 
“Tidak gampang bertahan sebagai lengger lanang. Buat yang tidak kuat dan takut akan sulit bertahan,” katanya.

Foto Presiden Sukarno bersetelan jas masih terpajang di ruang tamu rumah keluarga Dariah. Potret itu mengingatkan kejayaan Dariah sebagai penari lengger lanang di masa akhir Orde Lama hingga Orde Baru. Rezim Orde Baru memberangus semua kesenian rakyat termasuk lengger lanang karena dianggap dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang dianggap bagian dari Partai Komunis Indonesia.

Hanya segelintir laki-laki yang bisa menarikan tarian ini. Salah satunya Dariah. Dariah mengawali karir sebagai penari lengger dari satu kampung ke kampung lainnya. Bersama sekelompok musik sederhana seperti calung, kendang, gong kecil dan gambang, Dariah mbarang (mengamen) di wilayah Banyumas.

Karir Dariah menanjak pada periode 1930 hingga 1960-an. Pria yang bernama asli Sadam ini menjadi idola pada waktu itu di Banyumas. Tariannya yang lemah gemulai layaknya seorang perempuan selalu menjadi magnet bagi warga Banyumas. 

Sejak diberangus, Dariah menghabiskan hidupnya di Desa Plana, Kecamatan Somogede, Banyumas, Jawa Tengah, bersama keponakannya, Misti. Mereka tinggal di rumah berdinding bata dengan cat yang mengelupas di sana sini. Dariah menghabiskan hidupnya sebagai perempuan. Dia memakai baju perempuan dalam aktivitas sehari-hari di rumah dan beralih menjadi penata rias pengantin di desa-desa Banyumas dan Purbalingga demi menyambung hidup. 

Pada 12 Februari 2018 lalu, Dariah meninggal pada usia 97 tahun. Keluarga mengenang Dariah hidup dalam ketakutan akibat peristiwa 1965. 
"Semua hartanya habis karena peristiwa 1965," kata Nur Kholifah, anak Misti kepada Tempo di awal November lalu. 
Pada 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Dariah gelar Maestro Seniman Tradisional. Untuk menghormati Dariah, Pemerintah Desa Kaliori, Banyumas dan komunitas seni desa menggelar Festival Kendalisada pada 14-16 September lalu.

Teks: Shinta Maharani
Editor: Edy Can
Tulisan ini adalah produk dari program fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Ardhanary Institute

Sumber: Tempo.Co 

Sabtu, 03 November 2018

Wayang Golek Menak Kebumenan


April 2012
Sekilas Kisah Menak

Jayengrono / Amir Hamzah

Kisah Menak bersumber dari kesusastraan Persia berjudul Qissa'i Emr Hamza yang muncul pada zaman pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid (766-809)M. Cerita ini masuk ke Melayu dengan nama Hikayat Amir Hamzah dan kemudian disasur ke dalam bahasa Jawa dengan nama Serat Menak.

Intisari Cerita Menak mengisahkan perjalanan kepahlawanan Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad SAW, dalam memerangi orang-orang kafir sewaktu menyebarkan agama Islam. Kisah ini mengalami berbagai pengkayaan dengan sumber-sumber cerita di daeah penyebaran. Cerita kepahlawanan Amir Hamzah muncul dalam kesusastraan Melayu sebelum tahun 1511 M dan dikenal luas pada saat kerajaan Malaka mencapai kejayaan. Hikayat tersebut masuk ke Indonesia sejalan dengan penyebaran agama Islam dan kemudian disadur menjadi kisah Menak.

Tidak diketahui secara pasti kapan dilakukan penyaduran cerita dari Melayu ke dakam bahasa Jawa. Hanya saja, Serat Menak tertua yang pernah ditemukan ditulis oleh Carik Narawita pada tahun 1639 J atau 1715 M atas perintah Kanjeng Ratu Mas Blitar, Permaisuri Pakubuwana I. Akan tetapi tulisan tersebut konon bukan teks asli, melainkan salinan dari teks yang lebih tua.

Di Jawa, kisah Menak yang pasti diperkirakan lahir pada zaman Pemerintahan Sultan Agung Mataram sekitar tahun 1613-1645 M. Sedangkan dari sumber Melayu, penulisan cerita Menak diperkirakan terjadi pada abad ke-15 dan 16.

Penggunaan kata Menak sebagai sebutan untuk Amir Hamzah, dapat dibandingkan dengan sebutan Menak Jingga pada serat Damarwulan. Dalam sastra Jawa pertengahan yaitu sastra Kidung, kata Menak pun sudah muncul yang berarti berbudi luhur, mulia, dan tampan. Serat Menak juga dipengaruhi Serat Panji yang populer pada masa itu.

Dalam cerita Menak, nama-nama tokohnya disesuaikan dengan nama Jawa seperti Omar bin Omayya menjadi Umar Maya, Qobat Shehriar menjadi Kobat Sarehas, Badi'ul Zaman menjadi Imam Suwangsa, Mihrningar menjadi Dewi Muninggar, Qoraishi menjadi Dewi Kuraishin, Unekir menjadi Dewi Adaninggar, dan lain-lain.



Garis Besar Kisah Menak

Kisah Menak menceritakan permusuhan Amir Ambyah atau Wong Agung Jayengrana yang berasal dari Mekah dengan Raja Nursewan yang juga mertuanya dari Medayin. Raja Nursewan yang kafir tidak mau tunduk. Ia selalu berusaha mencari bantuan dan perlindungan dari raja-raja lain yang mau memusuhi Amir Ambyah sehingga terjadilah perang yang berkepanjangan.

Setelah tak ada lagi kerajaan yang perlu ditaklukkan, Amir Ambyah kembali ke Medinah dan bertemu Nabi Muhammad. Ketika Madinah diserang pasukan Medayin yang bersekutu dengan Raja Lakat dan Raja Jenggi, Amir Ambyah maju ke medan perang dangugur sebagai prajurit Allah.



Marmoyo & Jiweng

Dalang Wayang Golek Menak Kebumen

Ki Shindu Djotarjono (seorang Dalang Wayang Golek Kebumen) adalah sejarah kejayaan Wayang Golek didaerah Kebumen pada tahun 1950 hingga 1980-an. Cerita yang dipentaskan diambil dari kisah Menak, maka terkenal dengan nama Wayang Golek Menak khas Kebumen. Beliau belajar mendalang secara otodidak turun temurun dari orang tuanya, dengan melihat mendengar dan belajar sendiri tanpa ada pendidikan khusus. Beliau adalah keturunan dari dalang-dalang terdahulu.
  
Ki Shindu Djotardjono







Pementasan Wayang Golek Menak di Museum Wayang Jakarta

Ki Kuswanto Shindu adalah dalang wayang golek menak Kebumen, putra dari Ki Shindu Djotardjono.

Beliau seorang dalang sekaligus pembuat wayang golek. Sekitar tahun 80an beliau mengawali karirnya menjadi dalang, hingga sekarang ini beliau masih menekuni profesi tersebut, namun disamping itu beliau juga sebagai pembuat Wayang Golek Menak, Wayang Wahyu, Wayang Golek Jawa, dan yang baru-baru ini beliau menciptakan kreasi baru yaitu Wayang Golek Purwa.


Wayang Golek Purwo

Sumber: ChendyRock