Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Jumat, 23 September 2016

Waria di Panggung Ludruk

oleh Fandy Hutari | 23 September 2016




Karya kesenian di tanah air kerap menuai benturan dengan “polisi moral”.
Sehari-harinya, bisa kita lihat bagaimana layar televisi maupun layar lebar harus terkena sensor—mulai dari payudara patung, bikini tokoh tupai di kartun Spongebob, dan sebagainya. Tampak jelas,ada tekanan yang kuat ihwal apa yang boleh dan tidak boleh ditampilkan.

Menariknya, itu bukan menjadi suatu hal yang baru. Kesenian ludruk, yang telah ada dari zaman baheula, adalah bukti nyata tarik-ulur antara kesenian dan moralitas menurut agama. Bentuk pertunjukan ludruk, yang berisikan pemain waria, tidak muncul begitu saja. Ada perjalanan menarik yang sesungguhnya relevan dengan masa sekarang.

Ludruk sendiri merupakan seni pertunjukan tradisional yang lahir dan berkembang di daerah Jawa Timur. Dialog atau monolog ludruk bersifat humor, dengan pilihan bahasa yang ceplas-ceplos. Ciri khas yang kental pada pertunjukan ludruk adalah unsur cerita dari kehidupan sehari-hari, biasanya dari kalangan masyarakat kelas bawah.

Seperti penontonnya yang kelas bawah, para anggota kelompok ludruk pun mayoritas dari kalangan masyarakat kelas bawah. Antropolog asal Amerika Serikat yang meneliti ludruk pada rentang 1962 hingga 1963, James L. Peacock, dalam Ritus Modernisasi, menyebutkan bahwa ludruk dijalankan oleh kelas bawah yang abangan. Clifford Geertz dalam Agama Jawa; Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa membagi golongan masyarakat di Jawa Timur menjadi tiga, yakni santri, abangan, dan priyayi. Lantas, kapan waria muncul di dalam pementasan ludruk?

Munculnya Waria

Waria dalam ludruk, menurut Ganisa Putri Rumpoko dalam makalahnya Eksistensi Transgender dalam Hiburan Masyarakat Pedesaan, muncul sebagai akibat peraturan agama Islam—yang mengakar di pesantren-pesantren Jawa Timur—yang melarang lelaki dan perempuan tak boleh ada sepanggung. Peraturan yang sifatnya tak tertulis itu muncul ketika eksistensi ludruk mengemuka. Kultur pesantren di Jawa Timur yang begitu kuat, ikut membawa pengaruh pada keberlangsungan ludruk.

Maka, setelah itu ludruk diisi oleh pria yang berdandan layaknya perempuan, untuk menggantikan peran perempuan asli. Namun, Ganisa tak menyebut secara pasti kapan tepatnya hal itu terjadi.

Peacock—mengutip makalah Ludruk dari Segi Sedjarah serta Perkembangannja karya L. Poerbokoesoemo—menyebutkan bahwa pertunjukan-pertunjukan yang disebut ludruk bandan dan ludruk lyrok ada sejak abad ke-13, tepatnya masa Kerajaan Majapahit. Akan tetapi, Peacock baru menemukan data soal saksi mata pertama yang menonton pertunjukan yang disebut ludruk itu pada 1822. Uniknya, dalam pertunjukan itu, digambarkan dua orang yang membintangi panggung, yakni seorang pemain dagelan dan seorang waria.

Jika dihubungkan dengan penelitian Peacock itu, artinya waria dalam ludruk sudah ada sejak ludruk masih berbentuk lyrok. Hal ini diperkuat dengan keterangan dari buku karya Mukhsin Ahmadi berjudul Aspek Kesastraan dalam Seni Ludruk di Jawa Timur.

Menurutnya, bentuk ludruk lyrok muncul pada abad ke-16 hingga ke-17. Ludruk lyrok dipelopori oleh Santik dari Jombang. Dalam pertunjukannya, Santik yang memakai ikat kepala, telanjang dada, celana panjang hitam, mengenakan selendang, dan mencoret-coret wajahnya itu menggunakan suara-suara dari mulutnya untuk iringan musik.

Setelah itu, muncul bentuk ludruk besut di awal abad ke-20. Peacock kemudian menyebut, pemain dagelan yang menari, bernyanyi, dan menceritakan dagelan bernama Besut. Sedangkan penarinya adalah seorang waria. Tampaknya, menampilkan waria di panggung ludruk terus dilanjutkan ke bentuk-bentuk ludruk selanjutnya.

Pada perkembangan selanjutnya, menurut Peacock, pada 1920-an, ludruk besut mengalami elaborasi beberapa kali.  Dua pemain memainkan tiga peran sekaligus. Dalam cerita, Besut memiliki seorang paman bernama Djamino, dan seorang istri bernama Asmunah—yang dimainkan seorang waria. Lantas ada tokoh keempat, yakni Djuragan Tjekep yang kaya di kampungnya dan merupakan saingan Besut. Setelah itu, pertunjukan ini dikenal sebagai ludruk besep.

Dari pola perkembangan bentuknya, ludruk semakin mendekati bentuk teater, seperti yang kita saksikan sekarang. Dan, penampil waria kerap berubah peran di panggung. Pada ludruk lyrok, waria memegang peran sebagai seorang pemain dagelan. Lalu, di ludruk besut, waria menjadi seorang penari. Terakhir, waria berperan sebagai salah seorang tokoh dalam cerita.

Perlu diketahui, ludruk yang saat ini kita bisa tonton, pola umum pertunjukannya, yaitu tari remo, dagelan, selingan, dan cerita. Total waktu dalam satu pementasan biasanya empat setengah jam. Setiap kelompok ludruk, tampaknya punya aturan tersendiri kapan waria dimunculkan. Ada yang memunculkannya saat selingan, untuk menari dan mengidung. Namun, ada pula kelompok ludruk yang menempatkan waria beraksi saat menari remo,dagelan, atau pemain.

Perkumpulan ludruk Irama Budaya di Surabaya yang sudah eksis sejak 1987 misalnya. Mereka memiliki jumlah personel 25 orang, terdiri dari 10 pria dan 15 waria. Para waria dalam kelompok ini muncul hampir di setiap bagian, yakni tari remo, selingan, dagelan, dan pemain.

Merusak atau Menghibur?

Dibandingkan waria yang menjadi pemain atau penari, peran pengidung waria ternyata menimbulkan hasrat seksual penonton pria yang lebih besar. Peacock mengatakan, penonton laki-laki bergairah terhadap para waria yang—dengan polesan pemerah pipi—menunjukkan payudara besar dan bergerak-gerak, tubuh yang menggairahkan, bokong yang menari-nari, suara yang halus, dan wajah yang cantik.

Setiap kali mereka turun dari panggung, para penonton yang sudah bernafsu banyak yang berteriak, “Dancuk!” sebagai ekspresi rasa bergairah yang sudah naik ke ubun-ubun. Siulan-siulan nakal pun muncul kala para pengidung itu tampil.

Di kampung-kampung, waria dianggap sebuah ancaman. Para istri takut suaminya tergoda waria ludruk. Geertz mencatat, kaum homoseksual menarik para suami dari istri-istrinya. Perilaku homoseksual juga sudah merupakan sebuah rahasia umum dalam lingkungan ludruk.

Fakta adanya praktik homoseksual dalam ludruk mempertegas argumen Kadir Hatib Abdul dalam bukunya Tangan Kuasa dalam Kelamin. Menurut Kadir, praktik homoseksual di Indonesia sudah ada sebelum paham Barat dan liberal masuk ke Indonesia. Praktik tadi hadir dalam bentuk tradisi dan kearifan lokal, yang oleh kekuasaan negara dan agama lalu disunat. Keberadaan homoseksual tak hanya bisa dijumpai di ludruk, tapi juga di reog, bissu, cebolang, dan seudati.

Tentu saja, perilaku ini ditentang oleh golongan santri. Mereka menganggap ludruk adalah bentuk hiburan yang haram. Para santri menyatakan, pemain waria di ludruk melanggar ketentuan agama—yang melarang unsur-unsur "laki-laki dan perempuan” di muka publik
“Jika ludruk itu benar-benar berorientasi kepada kemajuan, tentu wanitalah yang akan memainkan peran wanita. Ludruk menjadikan segala sesuatu sebagai main-main, padahal Islam itu berwatak sungguh-sungguh,” kata seorang santri kepada Peacock kala ia meneliti soal ludruk. Peacock pun sama sekali tak pernah melihat seorang santri yang menjadi penonton setia ludruk. Di dalam golongan santri berlaku sebuah peraturan tidak tertulis, jika mereka bermain ludruk mereka tak lagi dianggap sebagai santri.
Padahal sebelumnya, seperti yang sudah dijelaskan di atas, kemunculan waria tak lepas juga dari peran santri yang mengharamkan lelaki dan perempuan ada di satu panggung. Tampak sekali kebimbangan kaum agama di sini.

Menurut peneliti seni pertunjukan Indonesia dari University of London, Matthew Isaac Cohen, alasan adanya waria karena ludruk bersifat humor. Oleh karena itu, hanya bisa dimainkan dengan baik oleh waria, dibandingkan perempuan asli.

Namun, pernyataan Cohen bertentangan dengan Geertz. Geertz mengatakan, pelawak waria sebenarnya bukan objek yang lucu, karena “kebancian” bagi orang Jawa hanya lucu dalam pengertian yang “ganjil”, bukan “menggelikan.” Lebih lanjut, menurut Geertz, para penari dan pemain gamelan, semua mengaitkan sandiwara tadi dengan bentuk-bentuk kebudayaan yang dikenal, sehingga seorang petani yang sebenarnya hanya setengah mengerti alur cerita bisa tertawa terpingkal-pingkal karena lawakannya, terheran-heran menyaksikan para banci, dan menikmati tarian para penari.

Sementara itu, Cohen tak menampik soal perilaku homoseksual dalam aktivitas ludruk.
“Tentu saja, ada juga (penonton) yang menyukai waria, dan ini menjadi tempat bercampur baur antara orang homoseksual,” kata Cohen.
Cohen menuturkan, masalah tadi menjadi alasan kelompok Islam garis keras sering mencurigai ludruk. Proses kecurigaan tersebut sudah berlangsung sejak lama. Hal ini, kata Cohen, menjadi salah satu pemicu yang membuat ludruk semakin tersisih.

Bertahan dan Berubah

Lantas apa alasan pribadi dari mereka—lelaki yang bertingkah dan berdandan ala perempuan—manggung? Sebuah wawancara di video berjudul Ludruk, menampilkan kesaksian dua waria yang mengais rezeki di atas panggung. Salah seorang waria bernama Susi mengaku mencari nafkah di kelompok ludruk Irama Budaya, Surabaya, untuk membahagiakan keluarganya. Ia tetap memiliki pekerjaan sampingan sebagai penata rias di acara pernikahan.

Meski begitu, faktor ekonomi tentu tak bisa menjadi faktor utama. Sebab, penghasilan dari manggung ludruk terbilang sangat minim. Dalam sebuah wawancara kepada Kompas berjudul Sakia Sunaryo, Penjaga Setia Ludruk, pimpinan Irama Budaya, Sakia Sunaryo harus mencari pemasukan lain sebagai paranormal. Sakia, yang juga waria ini, mengaku tiket seharga Rp4 ribu mustahil untuk menutup biaya sewa tempat pentas sekaligus tempat tinggal para pemain.

Setiap tahun, ia harus merogoh kocek Rp8 juta untuk sewa tempat tadi. Dan, tiap kali akan jatuh tempo, Sakia mesti “mengemis” ke pemerintah Kota Surabaya untuk mendapatkan sumbangan. Alasan Sakia bertahan menjadi seniman ludruk sejak 1970-an, karena ia merasa kesenian rakyat ini harus tetap diteruskan dan dijalankan, meski dalam hal materi memusingkan.

Akhirnya, tak bisa dipungkiri, ada beberapa personel ludruk yang mangkal di pinggir jalan demi mencukupi kebutuhan materi. Misalnya saja pengakuan Yuri Firnanda, salah seorang personel kelompok ludruk di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Rappler edisi 25 Maret 2016 berjudul Di Balik Merahnya Gincu Bibir Waria menulis, jika tak sedang bermain ludruk, Yuri mangkal sebagai pekerja seks.

Terlepas dari itu, Peacock mencatat, sejumlah rombongan ludruk yang memakai waria sebagai pementas, sudah bergeser dari “pakem” mereka. Beberapa elemen alus dari perilaku waria di atas panggung—misalnya saat menyanyikan kidungan tentang cinta—diganti dengan elemen-elemen yang lebih maju—seperti syair-syair parikan. Sehingga muncul upaya yang mengatasnamakan “kemajuan” untuk menghapus citra seksual dari pemain waria. Kelompok ludruk yang paling maju bahkan melarang hubungan sesama jenis dalam rombongannya, dan pemain waria membatasi sisi femininnya hanya di atas panggung.

Bagaimana pun, keberadaan waria di panggung ludruk merupakan sebuah elemen yang sejak lama langgeng. Waria bisa menjadi bumbu dalam setiap pementasan ludruk. Ludruk tanpa waria bagai sayur tanpa garam. Hambar. Seperti kata Cohen, “Bagi saya, kalau ludruk tidak ada waria bukan ludruk lagi namanya. Tapi, itu masalah selera.



Daftar Referensi

Buku
Abdul, Kadir Hatib. 2007. Tangan Kuasa dalam Kelamin; Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks Bebas di Indonesia. Yogyakarta: Insist Press.
Ahmadi, Mukhsin, et al. 1987. Aspek Kesastraan dalam Seni Ludruk di Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Brandon, James R. 2003. Jejak-Jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara. Bandung: P4ST UPI.
Geertz, Clifford. 2013. Agama Jawa; Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu.
Peacock, James L. 2005. Ritus Modernisasi; Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia.Depok: Desantara.

Artikel
Astro, Masuki M. 2009. Sakia Sunaryo, Penjaga Setia Ludruk. Diakses darihttp://nasional.kompas.com/read/2009/09/15/18492777/sakia.sunaryo.penjaga.setia.ludruk
Pitaloka, Dyah Ayu. 2016. Di Balik Merahnya Gincu Bibir Waria. Diakses dari http://www.rappler.com/indonesia/126630-merahnya-gincu-bibir-waria-kota-malang.

Makalah
Rumpoko, Ganisa P. Eksistensi Transgender dalam Hiburan Masyarakat Pedesaan; Tinjauan Rekaman Pentas Ludruk yang Diunggah di Internet. Diakses darihttps://www.academia.edu/9466156/Eksistensi_Trangender_dalam_Hiburan_Masyarakat_Pedesaan_Tinjauan_Rekaman_Pentas_Ludruk_yang_Diunggah_di_Internet_oleh_Ganisa_P_Rumpoko

Video
Verges, Diego. 2012. Ludruk. Surabaya. 3,21 mins.

Wawancara
Wawancara dengan Matthew Isaac Cohen, pada 5 Agustus 2016 melalui surat elektronik.
______

Fandy Hutari. Editor Sejarah di Jurnal Ruang. Penulis, periset, dan pengarsip sejarah hiburan. Berminat pada kajian sejarah sandiwara dan film Indonesia.

Source: Jurnal Ruang 

Kamis, 22 September 2016

Harry Roesli, Diskusi Seni Kontroversi

oleh Harsya Wahono | 22 September 2016




Harry Roesli adalah sebuah nama yang abadi di dalam sejarah seni Indonesia modern. Ia lahir dengan nama lengkap Djauhar Zaharsjah Fachruddin Roesli di Bandung pada 10 September 1951. Semenjak ia meninggal pada 11 Desember 2004, ranah musik tanah air seakan kehilangan pahlawannya. 

Harry Roesli meninggalkan sebuah lubang yang masih menunggu untuk diisi oleh generasi mendatang. Kemahiran artistik dan intelektual yang disajikan dengan nuansa satir menjadi ujung tombak karirnya yang bergema selama berpuluh-puluh tahun. Sampai akhir hayatnya, Harry Roesli terus menebarkan faham bahwa musik dia adalah suatu karya seni yang inklusif—menyangkal pendapat umum bahwa karya-karyanya adalah seni yang ‘tinggi’ dan serba intelek. Audiens yang beragam dan pandangan yang berbeda-beda telah dijembatani oleh Harry Roesli dari tahun ke tahun dalam semangat keadilan sosial. 
 
KONTROVERSI merupakan sebuah kata yang kerap diasosiasikan dengan Harry Roesli. Di mata masyarakat, kata ini umum ditempatkan dalam konotasi negatif karena sering diartikan sebagai pertentangan, perlawanan dan perdebatan. Kalau dilihat lebih dalam, perdebatan itu tidak mesti negatif. Perdebatan itu memicu diskusi dan pertukaran pikiran. Beliau percaya bahwa, ruang dan keterbukaan untuk kritik itu mesti ada di dalam masyarakat. 

Semangat tersebut tampak dari salah satu karya nya yang paling ikonik, yakni ‘Malaria’ dari album The Gang of Harry Roesli (1972). Lagu ini masuk di peringkat nomor 44 majalah Rolling Stone Indonesia sebagai salah satu lagu Indonesia terbaik sepanjang masa. Melalui lagu ini, Harry Roesli memanggil masyarakat untuk sadar akan kekuatan yang ada di dalam diri kita masing-masing. Lirik di chorus dan ending nya, “Apakah kau hanya seekor monyet yang hanya dapat bergaya, kosong sudah hidup ini bila kau hanya bicara… lanjutkan saja hidup ini sebagai nyamuk malaria”  bisa dianggap sebagai sindiran kepada ketidakpedulian orang Indonesia tentang permasalahan yang ada di sekitar mereka. 

Kita tahu bahwa kata-kata keluhan seringkali keluar dari mulut masyarakat, tapi hanya sebagian yang berkeinginan dan berani melakukan sesuatu untuk merubahnya. Kang Harry, sebagaimana ia akrab dipanggil, bosan dengan itu. Ia lebih percaya bahwa tindakan menuju keadilan sosial mesti ditanam di semua orang, terutama generasi muda. Dalam lagu Malaria ia menyiratkan bahwa, walaupun tampak kecil, seekor nyamuk bisa menyebabkan penyakit yang mematikan. Begitulah metafor yang ia persembahkan untuk generasi muda Indonesia. Setelah kesadaran dan keberanian muncul di dalam diri, tentunya hal-hal hebat bisa dicapai. Contoh kecil ini adalah contoh bahwa bahkan di permulaan karirnya, Harry Roesli telah memegang kedudukan yang tegas terhadap kritik sosial. Tajam, pedas dan mendidik. 

Lirik yang tidak lazim, dan—menurut sebagian masyarakat—nakal, menjadi ciri khas yang ditetapkan oleh beliau semenjak album perdananya bersama The Gang of Harry Roesli, Philosophy Gang (1973). Melalui pendekatan yang kemudian menjadi ciri khasnya ini, ia berhasil mencerminkan situasi sosial—manis maupun pahit—di dalam karya-karyanya. Harry Roesli tidak pernah takut untuk menafsirkan dan menginterpretasi ulang suatu kisah dengan kacamatanya sendiri.

Terbukti, pada 1977, ia melakukannya pada opera Ken Arok. 
Kisah bersejarah penggulingan tahta ini dikemas dengan jamuan bahasa kontemporer dan aransemen musik yang memadukan alat musik tradisional dengan alat musik modern—suatu hal yang belum begitu dilakukan pada jaman itu. Pada 2005 ia juga tak segan untuk merombak lirik lagu nasional Garuda Pancasila—“Aku lelah mendukungmu. Sejak Proklamasi, aku selalu berkorban untukmu’. Keberanian ini pun telah beberapa kali mengundang perhatian pemerintah untuk membendung gejolak kreativitas beliau. Salah satu yang juga kena berangus adalah kolaborasinya bersama grup Teater Koma. 

Kejadian tersebut terjadi pada saat Teater Koma menggelar ulang Opera Kecoa pada 1990, banyak wartawan internasional berkunjung ke Gedung Kesenian Jakarta untuk menyaksikannya—juga dalam rangka pementasan lakon ini di beberapa kota di Jepang. Karena konten yang dianggap subversif, polisi akhirnya membarikade pintu masuk ke GKJ, melarang para penonton dan wartawan untuk masuk. Protes kepada DPR tidak diacuhkan dan pementasan tetap dilarang untuk diselenggarakan di Jepang. Semangat Kang Harry pun tetap gigih, ia berkata, “Tidak melakukan kegiatan teater, sama artinya dengan tidak mempedulikan ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang terus terjadi di depan mata. Daripada diam, lebih baik melakukan sesuatu, meskipun tidak ada yang mau melihat dan mendengar.” 

Terkadang, kontroversi memang dibutuhkan sebagai kunci pintu masuk kesadaran di masyarakat. Nama panggilan Si Bengal Bandung pun sampai diperolehnya. Walaupun bisa dihujat, dicerca, bahkan diasingkan, keutuhan ekspresi mesti dipelihara—tentunya tetap dengan menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Harry Roesli percaya bahwa keutuhan ekspresi—suatu hal yang mati-matian dibelanya—bisa membuahkan anak bangsa yang lebih berkualitas dalam pemikiran dan pembaktian kepada negara dan kepada sesama manusia.
 
SEBAGAIMANA seniman-seniman hebat dunia lainnya, ia telah membuahkan karya-karya yang ikonik, kuat, dan tentunya, konsisten. Dari Ken Arok (1977), LTO (1978), Titik Api (1976), hingga Musik Sikat Gigi (1982), gaya musikal yang bervariasi dan konsep yang kuat selalu konsisten Harry Roesli suguhkan. Dunia mungkin masih kurang memberikan ia penghargaan dan pengakuan atas prestasinya. Namun di tanah air, nama Harry Roesli amat harum sebagai seorang seniman legendaris.  

Pada bacaan tertentu, mungkin tingkat kreativitas dan artistik Harry Roesli bisa dianggap sejajar dengan tokoh-tokoh, seperti Peter Gabriel, Iannis Xennakis dan Frank Zappa—salah satu artis favorit beliau. Suatu ciri yang bisa ditemukan diantara mereka adalah ‘keusilan’ dan eksperimentasi berkarya untuk menghasilkan sesuatu yang relevan dan uncomprimising. Totalitas dan kebulatan tekad Kang Harry perlu menjadi teladan bagi generasi muda Indonesia. Ia menggugah dan mendobrak pemikiran para pendengarnya tanpa lupa bahwa musik itu pada umumnya tetap berfungsi sebagai hiburan. Harry Roesli telah membuat audiensnya tertawa, tersentuh, tercengang, dan bahkan menangis. Seni untuk rakyat, tak hanya semata seni untuk seni. 



Daftar Referensi
Riantiarno, Norbertus. 2005. Harry Roesli Tidak Mati. Diakses darihttp://www.teaterkoma.org/index.php/catatan-nr-58/74-harry-roesli-tidak-mati.  
Gunawan, Iwan. 2008. Harry Roesli. Diakses darihttps://onesgamelan.wordpress.com/2008/12/17/128/.  
Junaidi, A. 2008. Remy Sylado: Bringing Social Issues on Stage. Diakses darihttp://www.thejakartapost.com/news/2008/03/27/remy-sylado-bringing-social-issues-stage.html.   
Rolling Stone Indonesia. 2013. Mengenang Si Biang Bengal Bandung, Harry Roesli. Diakses darihttp://www.rollingstone.co.id/article/read/2013/09/10/2354950/1294/mengenang-si-biang-bengal-bandung-harry-roesli.  
Simatupang, Jemie. 2015. Harry Roesli, Ken Arok, dan Oposisi. Diakses dari http://www.kompasiana.com/jemiesimatupang/harry-roesli-ken-arok-dan-oposisi_54ffcf26a33311766850fa23.  
Uyoh. Harry Roesli Sosok Yang Sangat Menginspirasi. Diakses dari http://infobandung.co.id/harry-roesli-sosok-pengajarmusisi-sekaligus-seniman-yang-sangat-menginspirasi/.  
Sakrie, Denny. 2004. Harry Roesli, Musik Kontemporer Indonesia. Diakses dari http://pandoe.rumahseni2.net/biografi/harry-roesli-musik-kontemporer-indonesia/   
Setiyardi. 2009. Harry Roesli: “Rakyat Cuma Dikibulin Elite Politik”. Diakses dari https://setiyardi.wordpress.com/2009/04/07/harry-roesli-rakyat-cuma-dikibulin-elite-politik/  
News Musik. 2014. Workshop Informal Siapa Sih Harry Roesli. Diakses darihttp://www.newsmusik.co/exclusive/exclusive-story/item/282-workshop-informal-siapa-sih-harry-roesli   

Source: Jurnal Ruang 

Sabtu, 10 September 2016

Vonis Saut, Kekalahan Dunia Sastra

Sabtu, 10 September 2016

Saut Situmorang saat menyampaikan orasi di depan
Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 8 September 2016. Foto:
Erniyanti/Solidaritas.net (CC-BY-SA-3.0)

Jakarta- Sastrawan Saut Situmorang divonis hukuman percobaan lima bulan penjara, dia dituduh melanggar pasal 27 UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) karena melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik kepada Fatin Hamama melalui media social Facebook.

Vonis yang dijatuhkan hakim hari ini , memaksa sastrawan Saut Situmorang tidak diperbolehkan mengulangi perbuatannya selama masa hukumannya.

Kuasa hukumnya Saut Asri Vidya Dewi mengatakan vonis tersebut itu bukanlah sebuah kekalahan. Dalam siaran persnya Asri menyebut Saut menang dengan melawan sejak awal.

“ Dunia sastralah yang kalah ketika kritik sastra dijerumuskan dalam arena hukum. Itulah krimibalisasi sastra, yang pertama kali terjadi di Indonesia, sebuah preseden buruk bagi dunia sastra,” tulis Asri.

Bagi Asri, ini adalah perkara besar, perkara yang menohok dunia sastra dan demokrasi, dan Saut Situmorang tidak tinggal diam, tidak tergiur untuk kompromi berdamai atas ancaman pemidanaan yang dihadapi, seperti yang diucapkannya "Tidak Ada Damai Dengan Bajingan".

Keputusan terhadap Saut yang ditetapkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, hari ini Kamis (8/9) disambut protes oleh massa yang mengikuti proses sidang dengan melakukan aksi di depan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

“Saya divonis penjara lima bulan karena kata ‘bajingan’,” teriak Saut dalam orasinya.

Ini adalah buntut dari kontroversi diterbitkannya buku "33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh di Indonesia" yang memasukkan nama pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, sebagai salah satu tokohnya.

Saut menganggap ada upaya manipulasi sejarah sastra Indonesia dengan menampilkan Denny JA sebagai penyandang dana buku tersebut. Hingga akhirnya Saut berdebat dengan penyair perempuan, Fatin Hamama di media sosial, terutama di Facebook dan berakhir dengan pengaduan Fatin Hamama ke Polres Jakarta Timur.

Perdebatan antara Saut dan Fatin terjadi pada pada 2014 lalu. Fatin melaporkan sastrawan asal Yogyakarta ini, atas komentar 'bajingan' pada postingan Iwan Soekri di dinding grup Facebook 'Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh'.  Saut disangka melakukan penghinaan terhadap lawan polemiknya Fatin Hamama dalam perkara terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh di Indonesia.

Sastrawan kerakyatan menolak nama Denny JA masuk sebagai salah satu tokoh dari 33 tokoh sastra paling berpengaruh karena Denny JA dinilai lebih patut disebut sebagai politisi tukang survei dibanding sastrawan.

http://www.solidaritas.net/2016/09/vonis-saut-kekalahan-dunia-sastra-indonesia.html

 

Jumat, 09 September 2016

Pameran Tunggal [Solo Exhibition]

Penulis: Misbach Tamrin


 
Seniman dengan karya seninya memerlukan apresiasi masyarakat. Jika seniman penganut paham “seni untuk seni” (l’art pour l’art), tak peduli atas orang lain di luar diri dan seninya. Bisa jadi, seperti Robinson Croesu yang ingin hidup bersendiri di sebuah pulau, tanpa mahluk lain. Apakah mungkin?

Namun, itu hanya sebuah legenda. Mana bisa mungkin, seniman berkarya seni hanya untuk dinikmatinya sendiri, tanpa perhatian orang lain. Begitulah, pelukis dengan karya lukisannya memerlukan apresiasi masyarakat. Misalkan antara lain lewat pameran bersama
.
Bagi perupa atau pelukis dengan karya lukisannya yang tampil melalui pameran bersama. Sebagai bukti ia memerlukan kawan atau mitra pelukis-pelukis lainnya di bawah naungan kebersamaan suatu komunitas senirupa. Dari sana ia telah menggelar karya seninya. Buat menampilkan figur jati diri (identitas) kesenimanannya. Di tengah karya-karya perupa lainnya dalam ajang perhelatan suatu pameran.


Tapi, pameran sebagai kepanitiaan atau lembaga, yang diikuti sang pelukis, punya prosedur dan perangkatnya sendiri. Dalam arti jalur aturan tehnisnya, gampang-gampang susah. Gampangnya, jika pelukis telah mencipta karya yang diyakininya bagus relatif bisa masuk pameran. Susahnya, harus melalui proses penyeleksian oleh peran seorang kurator atau tim kurator pameran. Tapi kuncinya jika diyakini karyanya memang bagus, dibuat dengan sebaik dan setekun mungkin, diperkirakan bisa lolos.

Dalam apresiasi masyarakat. Disamping karya sipelukis tak lepas dari lirikan penonton yang berkeliling diseputar ruang pameran. Tentu, ia juga mengharapkan penilaian publik terhadap karyanya yang terpajang. Ia sudah cukup bangga karyanya tercantum dalam catalog. Tapi lebih senang lagi, jika di antara pengamat senirupa yang ternama menuliskan respons pendapatnya yang minimal bagus terhadap karyanya. Apalagi jika ada kolektor yang tertarik untuk membeli sebagai koleksinya.

Nah, jika lewat pameran bersama, dalam tingkat pencapaian secara nasional, sudah terbiasa dengan mudah diikut sertakan. Sesuatu pameran senirupa selanjutnya,dalam rentang waktu yang mungkin dinantikan relatif panjang. Sebagai tujuan utama yang paling ideal bagi sang perupa untuk mencapai tingkat puncak penampilan. Adalah berupaya sedapat mungkin muncul lewat pameran tunggal (solo exhibition). 

Sebab, manfaat melalui pameran tunggal, siperupa dapat mengevaluasi perkembangan kinerja senirupa personalnya secara khusus dan otonom. Baik dalam retrospeksi kegiatan berkaryanya selama kurun waktu tertentu. Maupun untuk memperoleh standar penilaian apresiasi masyarakat terhadap hasil karyanya.

Di sini, sang perupa mulai menghadapi tantangan yang cukup problematik. Jauh berbeda ketimbang untuk hanya mengikuti pameran bersama. Tantangannya cukup bersegi banyak. Mulai soal biaya penyelenggaraan yang cukup memakan dana cukup besar. Proses antrean giliran pendaftaran menggunakan tempat pameran. Biasanya melalui sileksi yang cukup ketat. Sehingga memerlukan waktu penantian yang cukup lama. Jikapun pakai sponsor, tak gampang pula risiko dan konsekwensinya.

Hingga, yang paling berat dan krusial. Terutama soal persiapan mengumpulkan karya-karya senirupa yang bakal ditampilkan. Di sinilah, kita akan banyak menghadapi berbagai kendala dan lika-liku rintangan yang sangat menantang. Hal ini berdasarkan pengalaman pribadi saya selaku pelukis anggota Sanggar Bumi Tarung yang berdiri sejak tahun 1961 di Yogyakarta. 

Di sekitar tahun 60-an, saat kami masih kuliah di ASRI sambil hidup bersanggar Bumi Tarung. Kami hanya mengenal pameran bersama. Selalu tampil demi apresiasi. Sangat berbeda dengan sekarang,, pameran sekaligus untuk cari duit. Kolektor saat itu belum seberapa banyak. Mereka hanya berada disekitar para pelukis senior terkenal seperti Affandi, Sudjojono, Hendra, Sudarso, Trubus dan lain-lain.

Apalagi, terhadap karya-karya kami para pelukis SBT yang dianggap mereka ekstrem bertema politik, tak begitu dilirik.


Nah, setelah kami bebas dari tahanan rezim Orba, kembali ketengah masyarakat. Pada awalnya, belum berarti kami bisa otomatis berkarya secara normal. Sekian lama kami masih terbius rasa trauma. Tak tahu apa yang harus di perbuat, Apa yang bisa dilukis untuk hidup. Ketika sebelumnya terbiasa melukis tema politik yang kini tak mungkin diteruskan, jika tak ingin kembali kepenjara lagi.

Ternyata Amrus Natalsya dan Djoko Pekik yang duluan bebas dari saya, dengan cepat mengadaptasikan kariernya kembali ketengah pasar senirupa masyarakat Orba. Jika Amrus, kami kenal dengan intelektualitas dan kegigihan vitalitas kerjanya, wajar saja ia mampu tampil tanpa masalah. Dalam tempo singkat ia muncul dengan sukses lewat beberapa kali pameran tunggal patung dan lukisan kayunya.

Tapi, yang sangat luar biasa adalah penampilan Djoko Pekik. Ia, tadinya kami kenal lugu dan blo’on, tak suka baca buku, asal keturunan suku Samin dari desa Purwodadi ini, sering kami lecehkan seperti anak petani melukis, di sanggar. Ternyata, tahu-tahu melejit namanya, melambung tinggi diangkasa bagaikan bintang, hanya karena muncul lewat sebuah pameran tunggal yang memajang 3 buah lukisan. Memang peristiwa pameran KIAS dan peran Astri Wright bersama Joseph Fischer telah menunjang namanya terorbit.

Lain lagi penampilan saya, yang setelah bebas tahun 1978, direkrut Pemda Kalsel dan Kalteng membantu dalam tugas keindahan tata kota. Membuat monumen, patung, relief, mural, ornamen dan pertamanan. Baru, kemudian aktif lagi kembali kehabitat karier melukis di sekitar tahun 2000. Setelah malang melintang bergelut di kegiatan senirupa lebih dari satu decade. Dengan banyak mengikuti event-event pameran bersama. Maka pada tahun 2015, pameran tunggal perdana saya, baru terselenggara di Galeri Nasional Indonesia (Galnas) Jakarta, dalam usia 74 tahun. 

Bayangkan! Saya teringat dengan pelukis senior almarhum Sudarso, hampir mencapai usia 90 tahun, baru beliau bisa pameran tunggal. Apa sebabnya? Karena, kata beliau, sulit dan tidak gampang mengumpulkan karya-karya lukisan pribadi untuk mempersiapkan pameran tunggal. Di samping,atas dasar keperluan tampilan motivasi apa yang harus dipikirkan, tanpa mendesak, hingga tertunda-tunda. Juga setiap kita habis selesai melukis, lantas lukisan yang telah jadi itu dibawa pulang kolektor. Kenapa dilepaskan, tidak ditahan untuk dikumpulkan? “Karena saya memang perlu duit” kata pak Darso menyudahi.

Begitulah, seperti pengalaman pelukis senior Sudarso tersebut di atas, terulang pula kepada nasib saya selaku pelukis 2 angkatan di bawah beliau. Ternyata, pameran tunggal cukup berat untuk senasib kami. Tentu, tidak semua pelukis bernasib demikian. Malah, tidak sedikit perupa muda, yang sukses pasar di era senirupa kontemporer globasi sekarang, yang telah berjibun kali menampilkan pameran tunggalnya, hingga keluar negeri di manca negara. Terkadang, di balik rasa syukur, terselubung : “untung tak bisa diraih, dan sialpun tak terelak”, begitulah mungkin bunyi pribasa yang menggelayuti nasib seseorang seperti kami

***

https://www.facebook.com/permalink.php?story_fbid=1586885331614879&id=100008802812263

Minggu, 04 September 2016

Mengenang Sejarah Pelacuran Sastra

Oleh: Kajitow Elkayeni

Saut Situmorang membacakan puisi pada acara Panggung Parade Seni dan Sastra bertajuk “Denny JA Bajingan! Stop Penipuan Sejarah Sastra”, di Bundaran UGM, Jogjakarta. [Foto: dipanugraha.org]

Dalam dunia sastra, atau yang lebih umum seni dan kebudayaan, seringkali ada friksi, pertentangan, perselisihan, konflik. Di sana, caci maki, kritik pedas, cemooh, adalah hal lumrah. Tapi sepanas dan sejauh apapun konflik, belum pernah ada yang membawanya ke ranah hukum. Kerja sastra adalah proses melampaui bahasa. Makian hanya sebagian dari berbagai instrumen yang digunakan di dalamnya. Ia bagian dari ekspresi bahasa. Sedangkan sastrawan telah melampaui batasan formal dari bahasa. Perselisihan antar sastrawan paling jauh diselesaikan dalam sebuah mediasi. Atau konflik itu tetap dipelihara sebagai bagian dari kritik. Tidak ada urusan pribadi di sini.

Tapi tradisi dalam dunia sastra itu dipatahkan oleh sebuah tragedi kebudayaan. Penyair bernama Saut Situmorang diseret ke meja hijau dengan tuntutan pencemaran nama baik oleh Fatin Hamama. Ironisnya, Fatin Hamama ini mengaku sudah jadi penyair 40 tahun lamanya. Ia mencatatkan diri dalam sejarah dengan lelucon konyol, seorang penyair menuntut penyair lain akibat kritik yang dilakukan terhadapnya.

Kasus kusut ini bermula dari sebuah distorsi sejarah sastra. Pada tanggal 3 Januari 2014, sekelompok orang bernama Tim 8 meluncurkan sebuah buku bernama 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, di PDS HB Jassin. Tim 8 itu terdiri dari Jamal D. Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah. Buku itu terkandung cacat taksonomi di dalamnya, karena menyertakan tokoh politik bernama Denny JA sebagai bagian dari tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia. Ia sejajar dengan ikon penyair besar sekelas Chairil, Rendra, Widji Thukul. Klaim sepihak ini membelokkan sejarah kesusasteraan. Orang yang tak paham sastra justru ditokohkan sebagai begawan.

Denny JA ditokohkan oleh Tim 8 karena dianggap berjasa dengan memulai genre sastra baru bernama Puisi-esai. Banyak sastrawan konon jadi pengikutnya. Beberapa sastrawan senior bahkan memberikan dukungan berupa testimoni yang menggugah. Tapi fakta yang terkuak di belakangnya ternyata berkata lain. 

Bagi orang umum, barangkali ini hanya persoalan titip nama. Tapi ini adalah persoalan serius karena menyangkut sejarah dan disiplin ilmu pengetahuan. Lebih jauh, kasus titip nama ini adalah penghinaan bagi dunia sastra. Orang-orang kritis mulai bersuara. Mereka mencurigai Denny JA adalah dalang dari tragedi kebudayaan itu. Orang-orang kritis itu kemudian membentuk kelompok, mereka menyebut diri sebagai Aliansi Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Gelombang protes kian besar. Blokade terhadap protes itu juga tidak main-main. Aparat mulai diturunkan. Uang dan kuasa mulai bicara.

Pada tanggal 23 Januari 2014, Pelukis Hanafi menyatakan bahwa ilustrasi sampul buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” adalah lukisannya yang dipergunakan tanpa izin oleh Tim 8. Buku itu selain cacat taksonominya juga telah menggunakan lukisan orang lain sebagai sampul. Tim 8 menolak bertanggung-jawab. Beberapa ajang pertemuan ilmiah yang digagas Aliansi Anti Pembodohan di beberapa universitas sebagai upaya mediasi juga tidak digubris.

Besarnya gelombang protes itu mulai menghantam Denny JA. Ia terlihat kewalahan. Hal itu tercermin dari komentarnya yang berisi kecaman dan ancaman di media. Ia menyamakan para pemrotes itu fasis, bahkan diserupakan FPI (Front Pembela Islam). 
Tapi fakta-fakta baru terkuak. Banyak orang yang ternyata dibayar untuk membuat puisi pesanan bernama Puisi-esai itu. Beberapa orang membuat pengakuan dan menyesali perbuatannya. Pada 5 Februari 2014, 4 dari 23 orang yang terlibat dalam proyek penulisan dan penerbitan buku-buku Puisi-esai, yaitu Ahmadun Yosi Herfanda, Sihar Ramses Simatupang, Kurnia Effendi, dan Chavcay Saifullah menyatakan keberatan dan merasa diperalat Denny JA. Mereka meminta naskah mereka ditarik dari penerbitan. 

Ahmadun Yosi Herfanda bahkan mengakui telah “melacurkan diri” kepada Denny JA, demi uang 10 juta rupiah. Dia pun akhirnya mengembalikan uang itu. Ia sadar, karyanya hanya akan dijadikan alat legitimasi pengaruh Denny JA, setelah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh menjadi polemik.

Tak lama berselang, tanggal 6 Februari 2014, Maman S Mahayana menyatakan Denny JA adalah sponsor penyusunan buku tebal yang memasukkan nama konsultan politik itu ke dalam jajaran 33 sastrawan besar Indonesia. Maman juga menyatakan mundur dari Tim 8, serta meminta Jamal D Rahman sebagai ketua Tim 8 mencabut 5 esai yang sudah ditulisnya. Maman menyatakan akan segera mengembalikan honorarium yang ia terima sebesar 25 juta rupiah.

Dari fakta yang terkuak itulah, nama Fatin Hamama muncul ke permukaan.
Awalnya Fatin mengelak disebut sebagai makelar sastranya Denny JA. Sama seperti pengelakan PDS HB Jassin yang menyatakan tidak tahu-menahu soal buku itu. Tapi pengakuan-pengakuan sastrawan di atas tadi tak mampu ditepis. Fatin adalah penghubung antara para sastrawan itu dengan Denny JA. Fatin juga berperan besar dalam perwujudan buku pencoreng sejarah sastra, yang kemudian diketahui mendapatkan dana dari Denny JA itu. Dari sini konflik personal itu dimulai dan dibelokkan. Kemunafikan Fatin ini membuat kelompok Aliansi Anti Pembodohan berang. Fatin dengan enteng mengeluarkan ancaman hukum. 
Ia akan memenjarakan anggota Aliansi Anti Pembodohan atas aksi protesnya. 
Kemunafikan dan ancaman ini yang membuat Saut Situmorang muntab.

Saut adalah salah satu dari anggota Aliansi Anti Pembodohan yang paling kritis. Ia juga salah satu dari penyair Indonesia yang dikenal idealis. Penolakannya terhadap aliran uang asing yang menghidupi para komprador dalam dunia kebudayaan, sudah dikenal sejak lama. Dalam aksi protes buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling berpengaruh itu, Saut adalah ujung tombak. Denny JA dan dosa sejarahnya tak mungkin kuat membendung arus protes yang terus membesar. Maka untuk itulah, caci-maki yang terjadi di media sosial dinaikkan statusnya sebagai pencemaran nama baik. Sasarannya jelas, ujung tombak para pemrotes, yaitu Saut Situmorang.

Kritik terhadap buku itu mengalami distorsi. Fatin dijadikan penangkis serangan kritik. Ia membelokkan persoalan kebudayaan ini menjadi kasus kriminal umum secara personal. Dengan diseretnya Saut ke meja hijau, suara protes terhadap buku itu lenyap. Denny JA yang semula sudah kewalahan menghadapi protes menjadi bebas tak tersentuh. Fatin memainkan play victimnya. Ia mempersoalkan makian sebagai kasus gender. Ia merengek-rengek pada Komnas Perempuan. Dan celakanya, Komnas Perempuan menganggap bahasa memiliki kelamin. Jika laki-laki menggunakan metafora dan metonimi kasar terhadap perempuan dianggap seksis. Sementara perbuatan sebaliknya tidak. Bahasa menjadi berpihak dan tidak menguntungkan satu gender. 

Orang-orang umum tidak memahami esensi dari persoalan kebudayaan ini. Fatin mendapatkan simpati karena ia perempuan. Makian Saut akibat ancaman dan kemunafikan Fatin dianggap lebih keji dari dusta sejarah yang dilakukan oleh Fatin Hamama dan Denny JA. Kebenaran sudah tidak diperdulikan lagi. Di hadapan uang dan kekuasaan, kebenaran hanyalah sekumpulan daun kering. Ia bahkan begitu mudah diterbangkan oleh satu pasal UU ITE dengan persoalan nama baik, dari orang yang justru perlu dipertanyakan nama baiknya.

Tragedi kebudayaan ini telah dijadikan ajang kriminalisasi sastrawan. Padahal di luar sana, sastrawan besar saling memaki adalah persoalan yang sangat biasa. Dengan minat baca sangat rendah, di negeri ini sastrawan yang mestinya jadi corong kebenaran justru rentan dikriminalisasikan. Orang-orang hanya melihat secara hitam-putih. Rendra telah mengalami politisasi dan kekerasan di masa Orde Baru. Widji Thukul bahkan lenyap di telan bumi. Dan kali ini, Saut Situmorang juga menghadapi “politik sastra” yang sebenarnya, di masa yang katanya sudah demokratis ini. Orde dan penguasa boleh berganti, tapi ketidakadilan barangkali akan abadi. Panjang umur perlawanan!

*****

*) keterangan diambil dari berbagai sumber.
Kajitow Elkayeni

https://www.facebook.com/kajitow/posts/10205319075536124