Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Sabtu, 18 November 2017

Bachtiar Siagian dan warisan sang sutradara kiri

Oleh : Fandy Hutari 
| 

Ilustrasi: Bachtiar Siagiaan
© Salni Setiadi /Beritagar.id
Pada 1956, anak muda Batak berusia 33 tahun, Bachtiar Siagian, senang bukan main. Akhirnya, ia berhasil mewujudkan cita-citanya: membuat film pertama.
Film pertamanya itu berjudul Tjorak Dunia, produksi Garuda FilmsMeski demikian, Bachtiar sesungguhnya sudah menelurkan film yang lebih dahulu dari Tjorak Dunia, yakni Kabut Desember. Namun, film tersebut tak dinikmati penonton Indonesia, lantaran langsung diterbangkan ke Cekoslowakia, Polandia, dan Tiongkok (Terang Bulan, Agustus 1956).
Pada 1950, Bachtiar pernah melakukan eksperimen membuat film berjudul Musim Badai, di kantor kecilnya di Grand Hotel, Medan. Akan tetapi, film itu gagal total karena terbentur masalah keuangan.
Bachtiar adalah sosok sutradara besar yang pernah dimiliki negeri ini. Tapi, namanya "terhapus", dan karyanya dimusnahkan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Bahctiar memang berada di organisasi yang kurang menguntungkan, sebelum terjadi huru-hara politik 1965. Ia merupakan Ketua Lembaga Film Indonesia Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), yang dituding berafiliasi dengan PKI.
Hanya ada satu filmnya yang selamat: Violetta.
Film itu, menurut anak Bachtiar, Bunga Siagian, awalnya merupakan koleksi pengusaha bioskop di Bogor. Pada 2000an, film tersebut diserahkan ke Sinematek, Jakarta.

Apresiasi

Pada 1955, Bachtiar membuat film Daerah Hilang. Hebatnya, film yang berkisah tentang sebuah daerah yang bakal lenyap oleh perumahan elite di Kebayoran Baru, Jakarta itu, ditaksir pemerintah Cekoslowakia.
Selain Daerah Hilang, pemerintah Cekoslowakia juga membeli karya Bahctiar lainnya, Turang (1957).
Di dalam bukunya Kuasa dalam Sinema (2009), Krisna Sen menyebut Daerah Hilang mengalami gunting sensor habis-habisan. Sensor itu dimaksudkan untuk menghindari penggambaran kenyataan sosial yang jujur.
Sebagai catatan, di daerah tersebut, sejak dimulai proyek pengembangan kota pada 1948, sudah muncul protes dari para petani buah dan pedagang kecil di sana.
Sedangkan Turang merupakan film epos gerilyawan Indonesia yang berjuang di sebuah desa, kaki Gunung Sinabung, Tanah Karo. Film tentang perjuangan Rusly (Omar Bach) dan Tipi (Nyzmah) (Varia, 21 Mei 1958).
Pada 20 Agustus 1958, film ini mendapat undangan dalam rangkaian festival film internasional yang berlangsung di Taskent, Uzbekistan. Pada 1960, Turang juga mendapat penghargaan Festival Film Indonesia (FFI).
Sebelum pemerintah Cekoslowakia memboyong dua film Bahctiar itu, mereka sudah menonton 12 film dari berbagai perusahaan film Indonesia yang diputar di negaranya. Namun, akhirnya yang terpilih hanya empat film Indonesia. Dua film lainnya, karya Bapak Film Nasional Usmar Ismail, yakni Harimau Tjampa dan 6 Djam di Djokja (Varia, 30 Juli 1958).
Usmar merupakan sutradara yang menonjol di era 1950-an hingga 1960-an. Usmar pernah mengaku, Bachtiar adalah lawan terberatnya urusan artistik dalam membuat sebuah film.

Warisan Bachtiar

Bunga Siagian bertutur bahwa sulit sekali memeriksa metode artistik Bachtiar, karena film-filmnya, kecuali Violetta, sudah tak ada. Namun, anak sang sutradara mengatakan, seperti Usmar dan sineas lainnya di era itu, Bahctiar pun menggunakan metode Hollywood klasik.
Film Turang cukup banyak meraih apresiasi. Sebab, penggambarannya sejalan dengan cita-cita revolusioner bangsa yang baru saja merdeka, dan kemampuan Bachtiar menyerap pengaruh neorealisme ke film-filmnya.
Bachtiar mendapatkan pengaruh neorealisme kala ia berkunjung ke Italia pada 1953 (Terang Bulan, Agustus 1956). Neorealisme sendiri merupakan istilah yang diberikan para kritikus film Italia pada 1940an, untuk menyebut karya para sineas muda dalam melawan kecenderungan film-film di masa diktator Benito Mussolini.
Pembuat film neorealisme mencipta karya bertumpu pada kehidupan nyata, dengan keaslian visual, pengerjaan kamera yang normal, pengambilan gambar di lokasi langsung, tanpa make up, serta hampir tak memakai efek khusus.
Mungkin saja, karena saya pun tak bisa memeriksanya lebih jauh, neorealisme itu diterapkan Bachtiar di film Turang dan Daerah Hilang.
Selain itu, Bachtiar disebut-sebut sebagai sineas pelopor yang melakukan penyutradaraan secara kolektif. Tulisan AM. Chandra di Bintang Timur, 12 Juni 1960, mengungkapkannya.
Chandra menulis, di film Badja Membara (1961), Bachtiar mendidik seorang pemain film bernama Zainal Abidin untuk menjadi asisten sutradara. Bachtiar ingin mendidik Zainal agar di masa depan ia menjadi seorang sutradara.
Kerja kolektif lah, menurut Chandra, yang membedakan Bachtiar dengan sutradara-sutradara lainnya di masa itu. Ia selalu mendengarkan pendapat orang-orang yang bekerja dalam produksi filmnya.
Hal lainnya yang membedakan Bachtiar dengan sutradara di zamannya adalah, resep jitu "pil kina Bandung."
Menurut Bunga sendiri, pil kina Bandung adalah sebuah fakta bahwa ayahnya membuat film komersial yang dibiayai produser, maka tetap harus mencari keuntungan---serta bisa memberikan gambaran bagaimana Bachtiar berusaha sangat keras sekali untuk membuat film yang sesuai dengan garis ideologinya sekaligus laku di pasaran. Dalam konteks ini, saat itu sedang banjir film Amerika dan India.
Mungkin saja, resep pil kina Bandung itu teraplikasi di dalam film Violetta (1962). Violettadibintangi Fifi Young (Indarningsih), Rima Melati (Violetta), dan Bambang Hermanto (Herman). Film ini mengisahkan seorang gadis, Violetta, yang hidupnya terkekang. Kemudian, ia jatuh cinta kepada seorang Kopral bernama Herman. Namun, cintanya dihalang-halangi Indarningsih.
Selama rentang 1955 hingga 1964, Bahctiar menghasilkan 13 film cerita. Tragedi 30 September 1965 mengubah alur hidupnya. Ia lantas dibuang ke Pulau Buru hingga 1977.
Bahctiar wafat pada 19 Maret 2002. Empat belas tahun kemudian, ia diganjar Anugerah Kebudayaan untuk Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Ia mewariskan sejumlah ilmu sinematografi kepada sineas-sineas selanjutnya. Meski hanya satu film yang bisa kita nikmati sekarang: Violetta.
Fandy Hutari, penulis, periset, dan pengarsip sejarah. Berminat pada kajian sejarah film dan sandiwara Indonesia.

Sumber: Beritagar

Jumat, 10 November 2017

Polemik Budaya: Seni Parsipatoris Dan Dilema Peradaban

Oleh: Yos Suprapto*


Kredit foto: Lukisan Yos Suprapto, “Selamat Pagi Bung”, 
uk 175×145 cm, akrilik diatas kanvas, 2017

Seni adalah produk budaya manusia hasil interaksinya dengan alam sebagai usaha memproses untuk menciptakan peradabannya melalui kreativitas estetika. Sedangkan estetika adalah disiplin ilmu pengetahuan falsafah seni  yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan.
Oleh karena itu, berkesenian merupakan bagian dari sebuah proses kehidupan yang dilakukan oleh manusia di dalam menciptakan nilai-nilai subjektif maupun objektif. Berawal dari pengamatan terhadap alam sekitarnya itulah muncul gagasan yang melahirkan inspirasi sebagai konsep kerja yang kemudian dieksekusi melalui ketrampilan khusus (genetic fate) untuk menjadi karya kongkret yang inspiratif dan fungsional.
Dalam konteks peradaban secara umum, seni adalah bagian dari dialektika kehidupan yang memiliki peran penting dalam perubahan sosial di dalamnya. Karena seni memiliki peran penting dalam perubahan sosial di dalam sebuah peradaban, maka sebagai anggota masyarakat, seniman yang melahirkan gagasan dan karya konkret adalah subjek kesenian pendorong terciptanya interaksi sosial melalui karya-karyanya.
Sementara kemajuan teknologi yang berkembang dari masa ke masa dalam setiap peradaban selalu membawa perubahan bentuk kreativitas karya maupun nilai berkesenian. Hal ini bisa dilihat dari banyak contoh yang diambil dalam perjalanan sejarah kesenian itu sendiri. Kemajuan teknologi telah mampu mereproduksi kualitas dan kuantitas benda-benda seni dalam skala yang tidak pernah terjadinya sebelumnya. Bahkan kecanggihan teknologi komunikasi juga mampu mengubah segala keberkaitan dalam kehidupan berbudaya dan kesenian sebagai keniscayaan.
Fenomena ini mendorong munculnya consensus di  antara pengamat, kritikus, akademiwan kesenian yang mempercayai pergeseran nilai objek seni dan subjek seni  sudah sampai pada titik di mana relevansi sublimitas seorang seniman sebagai sang pencipta (‘creator’)  karya seni harus dipertanyakan. Pendapat semacam ini muncul ketika kemajuan teknologi dianggap telah mendorong adanya kesadaran baru yang mampu menerjemahkan karya seni sebagai sesuatu yang tidak bisa lagi diartikan sebagai benda seni menurut kriteria konsensus kalangan publik seni (seniman, kurator, galeri, dan kolektor), tapi juga perwujudan dari himpunan hubungan sosial (masyarakat) yang mensituasikan” benda tersebut untuk bisa disebut sebaga karya seni.
Seiring dengan terjadinya pergeseran tersebut, satu seniman sebagai pencipta bukan saja dipertanyakan tapi juga ikut tergeser. Muncul pandangan yang meyakini bahwa yang menciptakan karya seni itu bukan hanya seniman (pencipta karya seni), melainkan adalah masyarakat umum atau anggota masyarakat secara berbarengan. Seniman lepas dari posisinya sebagai penggagas dan inspirator, ia hanya menghasilkan benda atau bentuk-bentuk praktek kesenian (tari, teater, dll) sementara masyarakat atau publiklah yang mensituasikan benda yang dihasilkan tadi sebagai karya seni.
Menurut Martin Suryajaya pergeseran ini terjadi karena “dimungkinkan oleh meningkatnya kesadaran tentang akar sosial dari setiap karya seni…. (yang) dipandang sebagai produk pengakuan sosial tertentu, (sehingga) status seniman sebagai pencipta tergusur” (Martin Suryajaya, Dorongan ke arah Estetika Partisipatori, Yogyakarta 2015, hal 49). Lebih lanjut Martin menulis tentang pergeseran ini suka menimbulkan “suatu demokratisasi atas proses produksi artistik. Penciptaan karya seni bukan lagi hak privilese seniman, melainkan setiap anggota masyarakat. Dari sinilah timbul kesadaran bahwa setiap orang adalah seniman.” (Martin Suryajaya, op cit, hal. 49).
Tetapi ada pertanyaan yang kemudian muncul kalau setiap orang adalah seniman, lalu fungsi apa yang tersisa bagi seniman. Tetapi nyatanya Martin menjawab peran seniman hanya sebagai “organizer”. Mungkin, di dalam seni tari, teater, atau beberapa jenis seni rupa semisal seni rupa mural atau graffiti bisa jadi setiap pelaku yang dimaksud adalah semua seniman. Tetapi bagaimana jika dalam hal ini berkaitan dengan pelukis yang termediakan karvas dan cat atau pematung individu? Apakah tukang pembuat bingkai lukisan juga bisa dikatakan seniman? Apakah si penjual peralatan lukis atau pahat juga ikut melahirkan gagasan untuk mewujudkan karya konkret yang dikerjakan oleh seniman?
Di sini letak dilema yang dihadapi oleh para akademik seni  kontemporer dalam menguji kemampuannya membuat standar umum tentang pergeseran arti dan nilai seni yang diperdebatkan. Memang tidak bisa dinafikan bahwa perkembangan budaya yang ditunjang oleh kemampuan teknologi telah mengubah pola berpikir dan berkarya para seniman. Namun adalah naif apabila dengan adanya seni perlawanan terhadap kemapanan kapitalisme yang memunculkan teori “estetika partisipatoris”, semua fakta-fakta obyektif tentang subjek dan objek kesenian yang melibatkan individu sebagai anggota masyarakat dianggap tidak lagi memiliki relevansi nilai estetika. Demikian pula dengan anggapan bahwa yang lebih memiliki nilai standar hanya karya seni yang dibentuk oleh paradigma estetika relasional, dimana praktek kesenian itu ada serta berproses dalam ruang sosial dan setiap orang adalah agen-agen perubahan sosial. Sementara seniman professional hanya merupakan agen penghubung dalam melakukan proses penciptaan sebagai bentuk realitas sosial baru.
Menurut paradigma estetika semacam itu, ada atau tidaknya karya seni bukan lagi menjadi tujuan berkarya. Praktek kesenian semacam ini berpendapat bahwa seni pada dasarnya adalah fenomena hubungan sosial yang mana hakekatnya karya seni tidak bisa direduksi dalam bentuk benda seni. Sehingga yang terjadi adalah bahwa “karya-karya seni” hasil penciptaan kerja konkret yang dipamerkan lebih sering hanyalah merupakan dokumentasi dari proses kolektif dan itu disebut sebagai “karya-karya partisipatoris”.
Praktek berkesenian semacam itu memang bisa merupakan alat untuk membangun partisipasi aktif masyarakat dalam membangun peradaban gotong royong dan egalitarian. Namun dalam prosesnya, teori estetika ini tidak bisa menafikan begitu saja fakta objektif bahwa objek seni adalah muncul dari gagasan individu sebagai hasil pengamatannya terhadap alam lingkungan untuk kemudian dimusyawarahkan melalui berbagai cara. Hal yang juga tidak pernah dibicarakan oleh konsep pemikiran paradigma estetika ini adalah peran materi pendukung fakta objektif dalam konteks interaksi sosial dengan faktor ekonomi dalam merealisasikan kerja-kerja konkret yang disebut sebagai perwujudan agenda-agenda kolektif masyarakat dalam melakukan perubahan sosial.
Sehingga konsep ini berlawanan terhadap kemapanan melalui agenda kolektif antikapitalisme yang bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial tersebut bukannya menciptakan pergeseran arti dan nilai, tetapi malah mendorong terjadinya benturan budaya yang bisa menghambat terjadinya penyerapan keharmonisan budaya yang dibutuhkan dalam membangun peradaban. Sebab dari perspektif objektif, bagaimanapun juga eksklusivitas dalam proses penciptaan gagasan atau karya konkret itu masih sangat dibutuhkan untuk menjaga terjadinya kevakuman budaya inspiratif.
Usaha menstandardisasikan estetika partisipatoris dalam kehidupan berkesenian merupakan dorongan menuju totalitarian yang bisa membahayakan peradaban itu sendiri. Ketika dalam sebuah masyarakat homogeny paradigm  estetika parsipatoris yang tidak pernah “steril” dari kepentingan politik dan ekonomi tertentu itu distandarisasikandi tengah masyarakat yang nirkecerdesan politik secara holistik, maka yang terjadi adalah munculnya keseragaman berpikir dan bertindak. Pada akhirnya peradaban terbukti tidak bisa dibangun di atas kesegaraman yang totaliter.
___
*Yos Supraptopelukis Indonesia, baru-baru ini, tepatnya 14 September-3 Oktober 2017, menyelenggarakan pameran tunggal bertema “Arus Balik Cakrawala 2017”, di Galeri Nasional Indonesia.

Sumber: Berdikari 

Minggu, 22 Oktober 2017

Golek Menak dalam Belantara Modernitas


Birul Sinari-Adi - October 22, 2017

Salah satu adegan Pementasan Semuan Joged Mataram “Pastha Anglari Pasthi” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (19/10/2017). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Munculnya berbagai genre seni pertunjukan di Jawa, tercatat, tidak terlepas dari adanya pengaruh proses interaksi sosial dan budaya setempat dengan kebudayaan lain.

Hal itu diungkap saat acara Sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas” dan Pentas Tari “Pastha Anglari Pasthi”, Kamis (19/10/2017) di Bentara Budaya, Jakarta, Jalan Palmerah Selatan 17, Jakarta.
  
Sarasehan menghadirkan Bambang Pudjasworo, Dosen Seni Tari ISI Yogyakarta, dan Nungki Kusumastuti, Pegiat Seni, sebagai pembicara, serta Adi Wicaksono sebagai moderator.

Menurut Bambang, salah satu genre pertunjukan itu adalah Wayang Golek Menak. Jenis pertunjukan wayang dan juga dramatari Jawa ini menggunakan materi dramatiknya dari cerita Menak. Sementara cerita Menak adalah karya fiksi yang bersumber pada karya sastra dari kebudayaan lain. Yang berkembang dan  menyebar di kawasan Asia Tenggara.

Para pembicara sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas”, di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (19/10/2017). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Ada tulisan dari salah seorang peneliti Belanda, van Rinkel, itu mengatakan bahwa yang menyebar itu adalah versi Amir Hamzah, yang dari Persia. Yaitu yang kemudian dikenal atau yang tertulis dalam kitab Qissa I Emr Hamza itu,” kata Bambang.
Kitab yang ditulis pada masa Sultan Harun Ar Rasyid (766-809 M) tersebut sampai di kawasan Asia Tenggara dibawa oleh para pedagang muslim Persia. Dan mempengaruhi khasanah sastra Melayu, dengan munculnya wiracarita Hikayat Amir Hamzah. Hikayat ini merupakan cerita Menak versi Melayu, yang lantas tersebar ke Jawa, Bali, Lombok, hingga Makasar.

Menariknya, persebaran itu diikuti oleh proses enkulturasi. Hikayat yang berasal dari Persia kemudian terinternalisasi ke dalam lingkungan budayanya yang baru dan bahkan dianggap telah menjadi milik dari lingkungan budaya itu.

Lebih jauh, terjadi tafsir ulang dan penyesuaian dengan lingkungan budaya, pandangan hidup, dan kepercayaan masyarakat setempat. Karena itu, tidak mengherankan, ada banyak versi mengenai cerita Menak. Seperti yang berkembang di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Lombok, dan Bugis.
“Itu juga yang terjadi di Jawa. Setelah sekitar tahun 1715 itu (Hikayat Amir Hamzah) ditransliterasi ke dalam Serat Menak oleh Carik Narawangsa (Narawita). Dan kemudian oleh Yasadipura, kemudian digubah dalam bentuk tembang, lalu diterbitkan Balai Pustaka. Maka kebudayaan mengenai Menak ini menjadi semakin luas,” ungkap Bambang.
Bambang Pudjasworo sebagai pembicara sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas” tengah memberi contoh gerakan tari Menak. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Serat Menak versi Yogyakarta digubah oleh Raden Ayu Purbaningrum yang ditulis sepanjang 148 jilid. Lebih lengkap daripada versi Yasadipura. Memuat  kisah mulai dari Menak Lare sampai Pedhang Kangkam Pamor Kencana (kisah anak keturunan Iman Suwangsa).

Proses enkulturasi dan transliterasi membuat kisah atau Hikayat Amir Hamzah mengalami penyesuaian dengan budaya Jawa. Hal ini terlihat dalam penyebutan nama para tokoh dan latar tempat terjadinya cerita.

Nama Amir Hamzah menjadi Amir Ambyah atau Wong Agung Menak Jayengrana. Ammar ibn Omayya menjadi Umarmaya. Buzurch Mihr menjadi Betal Jemur. Adi Ma’dikarab menjadi Jemblung Umar Madi. Dan, Mihr-Nigar menjadi Dewi Muninggar, Unekir menjadi Dewi Adaninggar.

Sementara, nama tempat seperti Mekah menjadi Puser Bumi. Akko menjadi Parang Akik, dan Medain menjadi Medayin. Sekadar untuk menyebut beberapa contoh.

Karakter tokoh juga mengalami penyesuaian dan disamakan dengan karakter tokoh pewayangan Jawa. Misal, Amir Ambyah atau Jayengrana disamakan dengan Arjuna atau Panji. Dewi Muninggar disamakan dengan Dewi Sumbadra atau Dewi Sekartaji.

Sebagai sastra lisan, cerita Menak sebenarnya telah dikenal oleh masyarakat Jawa jauh sebelum tahun 1715.  Atau sebelum proses transliterasi oleh Carik Narawita di masa Paku Buwana I di Kartasura.

Di dalam makalahnya yang berjudul “Tari Golek Menak Dalam Dialektika Perkembangan Tari Gaya Yogyakarta”, Bambang mengungkapkan bahwa di dalam Serat Sastramiruda disebutkan wayang golek Menak sebagai hasil kreasi Sunan Kudus pada tahun 1506 untuk kebutuhan syiar agama.
“Pengertiannya adalah bahwa ternyata Menak mungkin sudah berkembang sebagai sastra lisan pada waktu itu,” kata Bambang yang juga biasa dipanggil dengan nama Bambing.
Dengan kata lain, Sunan Kudus memanfaatkan cerita Menak yang sudah dikenal oleh masyarakat Jawa dalam bentuk sastra lisan dengan cara menciptakan wayang golek Menak  untuk kebutuhan syiar agama Islam di Jawa.

Menurut Bambang, semenjak proses transliterasi itu wayang golek Menak menjadi semakin popular di kalangan masyarakat Jawa, baik sebagai seni pertunjukan istana (keraton) maupun sebagai seni pertunjukan rakyat yang berkembang di desa-desa.

Pada awalnya wayang golek Menak berkembang di daerah pesisir Utara Pulau Jawa, lantas menyebar ke daerah Tegal, Cirebon, dan Banyumas. Pertunjukan wayang golek Menak menggunakan boneka wayang dari kayu, dan dimainkan tanpa kelir. Seperangkat gamelan Jawa berlaras slendro dan pelog menjadi pengiringnya.

Ketika kekuasaan Majapahit beralih kepada penguasa Islam pada abad XVI, dan kesusastraan Hindu Jawa semakin merosot, maka cerita Menak semakin popular di kalangan masyarakat Jawa. Dan, menginspirasi lahirnya beberapa genre seni pertunjukan Jawa, seperti wayang golek Menak, Jabur, Panjidur, Srandhul, wayang wong Menak, Srimpi dan Bedhaya dengan lakon Menak.

Sebelum wayang wong Menak diciptakan, di Keraton Yogyakarta cerita Menak memang sudah digunakan sebagai sumber materi dramatik tari Bedhaya dan Srimpi. Misal, tari Bedhaya Sinom karya HB VIII, yang mengisahkan pertempuran antara Dewi Adaninggar dan Dewi Kelaswara.
“Nampaknya internalisasi dari ajaran-ajaran Menak memang sudah merasuk di dalam alam pikiran Jawa masa itu. Dan kemudian terekspresikan dalam bentuk-bentuk seni pertunjukan,” ujar Bambang yang selama sarasehan juga memberi contoh gerakan tari Menak.
Wayang wong Menak adalah dramatari istana Jawa yang  merupakan ciptaan (yasan nDalem) Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1941.
“Tampaknya cerita Menak ini berkembang dan kemudian mempengaruhi atau menjadi sumber inspirasi untuk munculnya wayang golek Menak dalam pengertian wayang golek kayu itu. Ini menjadi sesuatu hal yang sangat menarik dan kemudian menginspirasi Sri Sultan HB IX untuk menciptakan sebuah drama tari yang berbeda dengan drama tari yang pernah diciptakan oleh ayahnya atau kakeknya,” tutur Bambang.
Suasana di ruangan sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas”, di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (19/10/2017). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Mengawali proses penciptaannya, Sultan HB IX mengundang Ki Widiprayitno. Seorang dalang wayang golek Menak dari Sentolo, Kulon Progo. Saat itu Ki Widiprayitno lantas mendalang wayang golek Menak di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta, disaksikan Sultan HB IX dan para guru tari.

Setelah itu berhasil diciptakan satu dramatari baru di Keraton Yogyakarta. Yaitu Wayang Wong Menak. Namun Sultan HB IX belum puas. Setelah 45 tahun kemudian, HB IX meminta agar gerak tari, gendhing, kostum, dan karakterisasi peran Wayang Wong Menak disempurnakan.
“Maka kemudian dikumpulkanlah para budayawan, akademisi, para seniman dari berbagai cabang seni untuk membicarakan masalah golek Menak itu. Dan itu adalah suatu kerja yang besar. Yang kemudian Sultan sebagai raja turun sendiri untuk menangani proses kreatif dalam penciptaan golek Menak,” cerita Bambang yang menjadi bagian dari tim yang memproses penyempurnaan wayang wong Menak pada tahun 1989.
Proses penyempurnaan wayang wong Menak (tari Golek Menak) berlangsung selama dua tahun lebih. Dan diwujudkan pada tahun 1989 dalam satu pergelaran wayang wong Menak dengan lakon “Kelaswara Palakrama”, di Bangsal Kepatihan Yogyakarta.

Di dalam penyempurnaan wayang wong Menak tahun 1989, dimasukkan gerak pencak dari Minang, dan tendangan Sunda. Jadi tidak hanya menggunakan tendangan Jawa.
“Kemudian ditetapkan satu karakterisasi di dalam golek Menak yang mengacu karakterisasi wayang wong,” kata Bambang yang di dalam makalah sarasehan juga mengungkapkan nilai ajaran dan asketisme dalam cerita Menak.
Menurut Bambang, HB IX menciptakan wayang wong Menak sebagai suatu culture identity, yang menjadi penanda masa pemerintahannya. Penyempurnaan garap dan masa keemasan wayang wong terjadi pada era HB VIII. Maka identitas budaya yang menjadi penanda HB IX adalah Wayang Wong Menak (wayang wong golek Menak).

Sementara Nungki Kusumastuti, pembicara lain, melihat perubahan gerak dan ide koreografi pada wayang golek Menak sebagai luar biasa. Meski tetap ada pakem-pakem yang dipegang dalam tari Jawa Yogyakarta, ia menganggapnya sebagai karya tari baru yang berangkat dari tari lama.

Sarasehan merupakan kerjasama Bentara Budaya Jakarta dengan Sanggar Tari Surya Kirana, Jakarta. Setelah sarasehan dilanjutkan dengan Pementasan Semuan Joged Mataram “Pastha Anglari Pasthi”, dengan penata tari Tatik Kartini Mustikahari.

*

Kamis, 19 Oktober 2017

5 Kesenian Rakyat Yang Menyuarakan Perlawanan

CatatanMahesa Danu




Kesenian bukan sekedar menghidangkan hibuaran. Lebih penting dari itu, kesenian harus menjadi “penyambung lidah” bagi berbagai persoalan sosial di sekitarnya.

Persis seperti diingatkan oleh WS Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong:
“apakah artinya berkesenian bila terpisah dari derita lingkungan?” 
Kesenian tidak bisa berdiri netral di tengah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang menindas rakyat-banyak.

Dalam lini waktu perjalanan bangsa ini, tidak sedikit kesenian yang hadir di tengah-tengah perjuangan rakyat tertindas. Dia menjadi senjata efektif untuk memecah kesunyian dan kebisuaan. Dan terbukti, kesenian juga efektif untuk menyadarkan dan menggerakkan rakyat banyak.
Berikut ini lima kesenian rakyat yang kerap menjadi penyambung lidah kaum tertindas:


Ludruk

Ludruk lahir dari rahim berkesenian rakyat Indonesia. Tentang asal-usul Ludruk ini, ada beberapa versi penjelasan. Ada yang bilang ludruk lahir di Jombang. Namun, ada pula yang bilang ludruk dilahirkan di Surabaya. Yang jelas, ludruk lahir di Jawa Timur.

Ada versi yang menyebutkan, ludruk sudah muncul tahun 1890. Penggagasnya bernama Gangsar, seorang tokoh yang berasal dari desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan.

Versi lain menyebutkan, ludruk dipelopori oleh orang bernama Santik, petani dari Desa Ceweng, Kecamatan Goda, Kabupaten Jombang, pada 1907. Waktu itu, Santik bersama dua kawannya, Pono dan Amir, mengamen dari desa ke desa.

Ludruk kemudian berkembang senafas dengan perjuangan rakyat. Tahun 1920an, tokoh-tokoh pergerakan mulai melirik ludruk sebagai sarana penyadaran dan pengorganisasian massa rakyat. Sebut saja: Dr Sutomo dan Bung Karno.

Pada tahun 1933, Cak Durasim mendirikan  Ludruk Organizatie (LO). Kelompok ini aktif menentang fasisme Jepang. Anggotanya sekitar 60-an orang. Setiap pertunjukan mereka diawali dengan kidung jula-juli: bekupon omahe doro, melok Nipon soyo sengsoro (bekupon rumah burung dara, ikut Jepang makin sengsara). Cak Durasim ditangkap dan disiksa oleh Jepang.

Contoh lainnya: Bintang Merah. Kelompok ini berdiri semasa berkobarnya Revolusi Agustus 1945. Pimpinannya adalah Matekram. Ia gugur saat mempertahankan Bojonegoro dari serbuan Belanda. Bintang Merah membangkitkan perlawanan rakyat melalui pementasan di kampung-kampung, pabrik-pabrik, pegunungan, dan lain-lain.

Tak lama kemudian, Bintang Merah berganti nama menjadi “Suluh Massa”. Filosofinya: hiburan adalah obor massa untuk mendekatkan massa dengan revolusi. Dalam membangkitkan semangat revolusioner rakyat, kelompok Suluh Massa mengangkat cerita-cerita rakyat: Pak Sakerah, Sawunggaling, Bontotan Surabaya, dan lain-lain.

Di tahun 1950-an, ludruk makin berkembang pesat. Lahir kelompok-kelompok Ludruk seperti Irama Massa (Banyuwangi), Madju Trisno, Sinar Baru, Suluh Massa (Bojonegoro), dan Marhaen (Surabaya). Ini kelompok ludruk yang berdiri di barisan revolusi.

Namun, pasca peristiwa G.30 S, ludruk agak surut. Banyak pemain ludruk yang dicap PKI. Di bawah Orba, ludruk dipakai penguasa untuk kepentingan mereka.

Dengan bahasa yang sederhana, lugas, dan egaliter, Ludruk bisa menjangkau rakyat banyak. Drama yang diangkat oleh Ludruk terkadang satire dan berbau protes sosial.


Ketoprak

Ketoprak juga lahir dari rahim berkesenian rakyat jelata. Kesenian ini lahir di awal abad ke-20, tepatnya 1922, di era Mangkunegaran. Peralatannya sederhana: lesung, alu, kendang dan suling.

Awalnya, ketoprak berkisah tentang kehidupan rakyat jelata. Juga sarana untuk mengeritik penguasa kerajaan. Namun, gara-gara pernah mentas di Istana, ketoprak sempat diculik sebagai hiburan para bangsawan.

Di masa perjuangan anti-kolonial, ketoprak jadi senjata perlawanan. Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang tokoh pergerakan di awal abad ke-20, menjadi ketoprak sebagai senjata perlawanan, baik untuk menghantam para peodal maupun penguasa kolonial Belanda. Saat itu Dokter Tjipto mengangkat lakon “Ki Agen Mangir” untuk mengeritik penguasa feodal.

Tahun 1933, karena kerap menyuarakan perlawanan rakyat, penguasa kolonial melarang pementasan ketoprak. Penguasa kolonial berdalih, ketoprak bisa memicu kejahatan, pelacuran dan kriminalitas.
Tahun 1937, seniman ketoprak mengorganisasikan diri dalam badan perjuangan, yaitu Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia (Bakoksi). Bakosi terang-terangan mendukung perjuangan kemerdekaan lewat jalan kesenian.

Tahun 1950-an, ketoprak makin populer dan meluas. Banyak seniman ketoprak yang berhimpun di bawah Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra).

Bakosi sendiri sangat dekat dengan organisasi kesenian berhaluan kiri itu.
Karena itu, pasca peristiwa G 30 S 1965, banyak seniman ketoprak yang turut ditangkap, disiksa dan dipenjara. Mereka dicap membawa ketoprak menjadi kesenian komunis.


Reog

Bicara reog, orang akan ingat Ponorogo. Reog memang identik dengan Ponorogo. Dari banyak kisah, kesenian reog memang lahir, tumbuh dan berkembang pesat di Ponorogo.

Konon ceritanya, kesenian reog lahir sebagai bentuk protes alegoris terhadap Raja Majapahit, Brawijaya V. Raja terakhir Majapahit ini menikahi seorang putri dari kerajaan Campa. Masalahnya, Raja Brawijaya V sangat tunduk pada istrinya itu. Itulah yang membuat banyak pengikutnya kecewa.

Salah satunya Ki Ageng Kutu Suryongalam. Namun, untuk melawan Majapahit, kekuatan Ki Ageng Kutu sangat kecil. Karena itu, dia kemudian menggunakan model protes alegoris: singa (Barongan) dikangkangi merak (Dhadhak Merak).

Di masa kolonial Belanda, reog juga hadir sebagai senjata perlawanan. Karena sengitnya perlawanan reog ini, penguasa Belanda mencoba melakukan adu-domba. Tidak hanya itu, Belanda juga mendorong isian pementasan reog lebih ke mistis dan takhyul–terpisah dari kehidupan nyata.

Di zaman Jepang, reog juga ditindas habis, karena dianggap berpotensi mengumpulkan massa. Baru setelah proklamasi kemerdekaan 1945, seniman reog juga menemukan kemerdekaan berkesenian. Reog pun menjadi bagian dari revolusi kemerdekaan.

Di tahun 1950an, jelang pemilu 1955, reog makin populer. Terutama setelah partai politik, terutama PKI, menyadari kemampuan reog dalam memobilisasi massa dalam jumlah besar. Juga untuk menyemerakkan karnaval politik jalanan.

PKI sendiri mengorganisasikan seniman reog ke dalam wadah Barisan Reog Ponorogo (BRP). BRP berkontribusi besar dalam menyemarakkan kampanye-kampanye PKI. Di Ponorogo, PKI menang pemilu.
Namun, lagi-lagi peristiwa G 30 S 1965 menjadi pukulan balik bagi kesenian reog. Banyak yang dicap-PKI. Mereka dikejar-kejar, ditangkap, disiksa dan dibunuh.

Usai 1965, reog bangkit lagi melalui Nahdatul Ulama (NU) dengan nuansa Islami. Kali ini sudah dijinakkan, tak punya roh perlawanan lagi. Belakangan, Golkar juga memanfaatkan kesenian reog untuk mendulam suara di pemilu.

Makin lama reog makin surut dan nyaris tidak mendapat perhatian pemerintah. Hingga, pada tahun 2007, reog diklaim sebagai kebudayaan Malaysia. Baru di situlah kita marah dan sadar kita punya kebudayaan rakyat bernama reog.


Wayang

Wayang juga lahir dari rahim kesenian rakyat Indonesia. Sejarah wayang terbilang panjang. Ada yang menyebut wayang sudah ada sejak 1500 SM. ada juga yang bilang Wayang muncul di zaman raja Airlangga yang memerintah Kahuripan pada 1009-1042 M. Ada juga yang mengaitkannya dengan raja Jayabaya di Kediri.

Awalnya, wayang adalah hiburan rakyat. Namun, sempat dicaplok menjadi budaya feodal. Lantaran itu, wayang dibumbuhi banyak kisah mistis, takhyul dan kisah-kisah heroik para bangsawan.

Namun, pada saat revolusi Agustus 1945, wayang kembali jadi alat perlawanan. Pada 10 Maret 1947, dalam pertemuan Badang Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) di Madiun, Jawa Timur, disepakati wayang sebagai sarana propapanda kemerdekaan.

Inilah yang melahirkan kesenian wayang yang disebut “wayang suluh” atau “wayang merdeka”. Suluh berarti penerangan, pencerahan, atau pembebasan pemikiran rakyat.

Wayang suluh dibuat dari kulit, tetapi sosoknya mengambil tokoh-tokoh pergerakan, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifuddin, Diponegoro, dan lain-lain. Tema yang diangkat oleh wayang ini adalah tema-tema perjuangan.

Di tahun 1950-an hingga pertengahan 1960-an, wayang berkembang cukup progressif. Lekra, salah satu organisasi seniman kiri zaman itu, berusaha merevolusionerkan wayang dengan menghilangkan unsur-unsur mistisnya.

Wayang kemudian didorong bercerita kehidupan nyata rakyat jelata. Kalaupun ada cerita Ramayana dan Mahabharata, itu sudah didekonstrusi. Ramayana diubah menjadi kisah pertentangan kelas, yakni antara yang tertindas (Rama dan rakyat kera) melawan Rahwana (penindas).

Tahun 2003, wayang dinobatkan oleh UNESCO sebagai maha-karya dunia yang tidak ternilai dalam seni bertutur. Wayang menjadi sumbangsih kebudayaan Indonesia untuk memperkaya kebudayaan dunia.


Lenong

Lenong adalah seni teater rakyat yang lahir di Betawi di sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Ada yang bilang, lenong hanyalah hasil teaterisasi dan pengembangan musik Gambang Kromong. Gambang Kromong adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat musik Tionghoa, seperti Sukong, Tehyan, dan Kongahyan.

Versi lainnya berpendapat, lenong berasal dari pengembangan wayang Abdul Muluk. Kesenian itu sudah dikenal di Sumatera sejak 1886, yang dipengaruhi oleh komedi parsi dan wayang Tiongkok. Wayang Abdul Muluk masuk Jakarta sekitar 1910-an. Nama Lenong sendiri muncul pada tahun 1920-an. Pada saat itu, musik pengiringnya adalah gambang kromong.

Menurut sejarahwan Betawi, Alwi Shahab, kelahiran Lenong tidak bisa dipisahkan dipisahkan dari perlawanan diam-diam terhadap sistem tanam-paksa (cultuurstelsel) Belanda. Kita tahu, tanam paksa melahirkan perlawanan, termasuk di Betawi. Ada tokoh seperti Si Pitung, Si Jampang dan Entong Gendut.

Lenon sendiri ada dua jenis: lenong dines/denes dan lenong preman. Lenong dines mengangkat kisah raja-raja atau bangsawan.

Kalau mentas,  pemainnya menggunakan kostum resmi. Bahasa yang digunakan pun bahasa resmi atau melayu tinggi. Sebaliknya, lenong preman justru mengangkat kehidupan rakyat sehari-hari. Cerita yang diangkat pun adalah cerita-cerita perlawanan rakyat. Kostumnya mengikuti rakyat kebanyakan.

Letak kekuatan Lenon ada di dialognya yang humoris dan kadang satire. Kritik sosial bisa dilontarkan melealui banyolan para pemainnya. Kadangkala Lenong juga mengangkat cerita-cerita pahlawan rakyat, seperti Si Pitung, Si Jampang, Ayub Jago Betawi, Nyai Dasima, dan lain-lain.

Mahesa Danu,

Sabtu, 30 September 2017

Ahmad Tohari dan Anton Chekhov

 | 


Di dunia kesusastraan Indonesia, nama Ahmad Tohari tidak asing lagi. Namanya membumbung tinggi berkat novelnya: Ronggeng Dukuh Paruk (RDP).
Mengetengahkan tema kemanusiaan di tengah dan setelah prahara politik 1965-1966, RDP dinilai orisinil, berani, dan tepat.
Lebih dari itu, Ahmad Tohari mendapat pujian sebagai orang yang membuka pintu kebudayaan, karena dia membawa lilin dalam ruang gelap, menyentuh tema sensitif, menyuarakan yang diam, dan memecahkan kebekuan.
Selain mengetengahkan kemanusiaan dan perspektif politik dan pelaku kesenian tradisi, Tohari juga mengangkat kemanusiaan dalam karya-karya lainnya dari sisi ekonomi.
Dia mengisahkan dengan detil kemiskinan di kampung-kampung yang mengkuruskeringkan tubuh anak manusia, merusak alamnya, mematikan tradisinya, dan menjegal cita-citanya.
Sebaliknya, Tohari juga menunjukkan kebengisan lintah darat, ketengikan penguasa, hingga ketuliaan para punggawa agama. Kisah-kisah sarat nilai-nilai kemanusiaan muncul di sana sini, utamanya cerita pendek.
Tak berhenti menulis, Ahmad Tohari mewujudkan pembelaannya pada kaum papa dengan menegakkan lembaga-lembaga keuangan yang tidak menghisap, dengan harapan memutus mata rantai ketidakadilan hubungan antara lintah darat dengan kaum papa.
Sampai di sini, Ahmad Tohari dapat disejajarkan denga raja cerita pendek tingkat dunia bernama Anton Chekhov. Chekhov yang tidak cuma menulis di atas, tapi turun tangan meringankan rakyat yang sengsara.
Chekov mengumpulkan dana bagi pembangunan sanitarium guru dan pelajar. Sebagai dokter, Chekov juga bekerja secara sekarela mengobati rakyat yang menderita karena penyakit. Dengan kondisi yang berbeda, Ahmad Tohari telah melakukan hal yang sama dengan Anton Chekov. Chekov lahir pada 29 Januari 1860 di Taganrog, Rusia dan wafan di Jerman dan wafat di 15 Juli 1904, Badenweiler, Jerman.
Dalam banyak kesempatan, Tohari memang sering mengemukakan bahwa karya-karya sastra didedikasikan untuk mengangkat manusia-manusia yang disepelekan, untuk menegakkan nilai-nilai yang dihancurkan, untuk mengabarkan peristiwa-peristiwa yang telah dimanupulasi.
Ia tidak main-main dalam menulis sastra. Ia memang mendapat royalti dan nama besar karena sastra, bahkan pergi ke banyak Negara, mengisi ceramah-ceramah di tempat berwibawa, dihormati oleh banyak generasi, berkenalan dengan orang hebat di dunia, sekali lagi karena ia menulis novel. Tapi niatnya menulis bukan untuk itu semua.
Dalam banyak kesempatan, Ahmad Tohari –bulan Juni tahun depan berumur 70 tahun—sering menegaskan, ”Saya memang membela dengan sastra.”
KeteranganArtikel ini diadaptasi dari pengantar naskah pidato kebudayaan, NU Online, 28 Maret 2014.
Alif.Id 

Membela Dengan Sastra

 | 
Pihak aparat keamanan memandang sikap saya ini sebagai bukti kedekatan saya dengan kaum Komunis sehingga saya diinterograsi selama lima hari di Jakarta. Lima hari yang berat. Untung pada hari kelima ada interogrator yang bertanya kepada saya,
“Adakah orang yang bisa menjamin bahwa saya bukan simpatisan Komunis?”

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Hadirin yang saya hormati…

SEJAK Indonesia merdeka pada tahun 1945 telah muncul tiga dokumen yang berisi konsep kebudayaan Indonesia. Ketiga dokumen kebudayaan itu adalah Surat Kepercayaan Gelanggang (1951); Mukaddimah Lembaga Kesesenian Rakyat (LEKRA,1956); dan Manifest Kebudayaan (1963).

Konsep kebudayaan yang dicitakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang mengacu ke arah kebudayaan Barat yang bersifat sekuler, antroposenstris serta elitis. Agaknya para pemikir kebudayaan saat itu masih sangat terpesona oleh kemajuan Barat sehingga mereka mencitakan kebudayaan Indonesia berkiblat ke Barat.

Situasi perang dingin yang mulai menghangat menjelang tahun 1960-an menyeret Indonesia ke dalam tarik-menarik antara pengaruh blok Barat dan blok Timur, juga di bidang pemikiran kebudayaan. Maka sebagai tandingan atas lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang yang mengarah ke Barat, lahirlah Mukaddimah Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang mengarah ke blok sosialis di Timur, sama-sama sekuler, antroposentris, tapi punya kecenderungan populis. Meskipun begitu, polemik kebudayaan pun berkecamuk sengit di antara pendudukung kedua kubu tersebut.

Di tengah sengitnya polemik antara pengikut “kebudayaan Barat” dan pengikut “kebudayaan Timur” yang sama-sama sekuler itu muncullah pada tahun 1963 Manifest Kebudayaan yang seolah-olah hadir sebagai konsep alternatif kebudayaan Indonesia.

Tetapi ternyata Manifest Kebudayaan, yang pada kalimat terakhirnya berbunyi “Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami”, disanggah dan dicerca habis-habisan oleh para pengikut Mukadimah Lekra.

Bagi para budayawan Lekra, baik SKG maupun MK mereka anggap sebagai konsep kebudayaan yang sama-sama borjuis. Dan pembantaian kebudayaan ini baru berakhir pada tahun 1965 setelah PKI dibubarkan, dan Lekra pun gulung tikar.

Hadirin yang saya muliakan..

Saya mulai berkarya sastra pada tahun 1971. Sebagai pribadi yang dekat dengan orang-orang Lesbumi saya memilih dengan sadar konsep kebudayaan yang berfalsafah Pancasila sebagai yang tercantum dalam Manifest Kebudayaan. Karena mengakui Pancasila sebagai falsafah kebudayaan Indonesia maka dalam berkarya saya punya niatan yang lebih tinggi daripada sekadar kepentingan pribadi maupun kepentingan kesusastraan semata.

Demikianlah, maka selalu ada pertanyaan yang mendasar yang muncul ketika saya akan memulai menulis sebuah karya. Pertanyaan itu:
Pertama, “Mengapa Kamu menulis karya sastra?”
Kedua, “Apa niatmu melakukan hal itu?”

Mengapa seorang sastrawan, dalam hal ini saya menulis karya sastra, jawabnya sederhana. Yakni, karena saya punya kegelisahan jiwa dan ingin melahirkan kegelisahan itu. Setelah kegelisahan itu lahir sebagai karya sastra, maka terserah kepada masyarakat; mau membaca, lalu menangkap kandungan nilai yang terkandung dalam karya sastra itu, atau membiarkan karya saya tersimpan di rak-rak buku. Dalam hal ini saya sebagai penulis sudah menyelesaikan bagian saya.

Tentang niat menulis karya sastra jawabannya banyak. Adalah sah apabila karya sastra ditulis dengan niat mengaktualisasikan diri. Siapa saja boleh membangun eksistensi dirinya dengan jalan menulis karya sastra. Bahkan boleh saja sebuah karya sastra ditulis dengan niat mendapatkan uang, dan mengarahkan karya itu agar laris di pasaran. Ada lagi jawaban yang sering terdengar bahwa sastra ditulis demi kesusastraan itu sendiri.

Sebagai orang biasa dalam dunia kesusastraan Indonesia, saya merasa semua penjelasan itu ada benarnya. Tetapi buat saya semua itu tidak menjadi jawaban yang tuntas. Memang karena menulis karya sastra maka saya mendapat uang, dan nama saya dikenal di tengah masyarakat. Namun masih ada yang belum terwakili melalui penjelasan itu. Uang dan nama bukan segalanya. Atau, apakah saya bersastra untuk kesusastraan semata? Tidak cukup juga. Penjelasan ini seperti membawa saya ke arah jalan buntu.

Hadirin yang saya hormati;

Setiap karya sastra lahir dari seorang yang berada dalam keadaan sadar. Dengan demikian karya sastra lahir dengan sebuah motivasi atau maksud. Dan bila maksud itu bukan hanya untuk pemenuhan kepentingan sempit (cari uang, cari nama, atau sastra untuk sastra) maka adakah sesuatu yang lebih mendasar?

Saya termasuk orang yang percaya bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Maka niat harus ditata dan dibangun dengan baik agar setiap karya sastra yang saya tulis bisa dipertanggungjawabkan. Jadi apa niat saya bersastra?
Seluruh karya sastra saya ditulis dengan niat menjalankan perintah, “Hai orang-orang beriman jadilah kalian pembela-pembela Tuhan”.
Apakah Tuhan butuh pembelaan?

Tuhan Mahaperkasa, Mahamandiri Mahakuasa, jadi Tuhan sama sekali tidak butuh pembelaan. Meyakini pribadi Tuhan butuh pembelaan adalah kekonyolan yang nyata. Maka kewajiban menjadi pembela Tuhan sesungguhnya adalah kewajiban membela amanat dan “alamat”-Nya.

Amanat Tuhan kepada manusia tidak lain adalah keadaban kehidupan, yang dibangun melalui penegakan nilai-nilai keadaban seperti keadilan, kebenaran, kasih sayang, martabat kemanusiaan, pranata sosial yang baik, dan seterusnya.

Jelasnya, amanat Tuhan kepada manusia adalah penyebaran kasih sayang kepada seluruh isi alam. Melalui karya sastra yang semuanya menyangkut kehidupan orang-orang terpinggirkan saya bermaksud memberikan kasih sayang kepada mereka. Tentu, pembelaan secara sastrawi melalui persaksian dan pewartaan tidak akan serta merta mengubah keadaan orang-orang teraniaya itu. Sastra hanya punya tugas mengetuk nurani masyarakat bila terjadi gejala yang menandai adanya pelanggaran terhadap nilai keadaban.

Maka apakah pembelaan terhadap nilai-nilai keadaban melalui karya sastra bisa berhasil?

Sastra hanya menyampaikan nilai-niai yang terkandung dalam suatu narasi cerita kepada pembaca. Sastra hanya menyapa jiwa. Maka pembaca sendiri yang, kalau mau, mengolah penghayatan nilai-nilai itu menjadi kesadaran dalam jiwanya. Dan bila perkembangannya berlanjut maka kesadaran itu akan bergerak menjadi perilaku nyata.

Para hadirin yang baik..

Pemberdayaan sastra sebagai “pembelaan” terhadan Tuhan juga bisa diarahkan kepada (alamat-alamat) Tuhan. Tuhan Yang Mahabijaksana tentu Mahatahu bahwa kita adalah ciptaan yang begitu lemah dan nisbi. Oleh karena kita tidak akan mampu mencapai Dirinya Yang Mahakuat dan Mutlak. Maka dengan kasih-sayang-Nya, Tuhan ‘menuliskan alamat-alamant-Nya’ di bumi yang bisa dan mudah kita capai. Demikian, maka orangtua kita, kaum miskin, anak yatim, mereka yang tertindas adalah orang-orang yang pantas kita yakini menjadi “alamat-alamat” Tuhan.

(Kita juga percaya tentang  adanya percakapan antara seorang penghuni neraka yang bertanya. “Ya Tuhan, mengapa aku Engkau masukkan ke dalam neraka ini?” dan Tuhan menjawab, “Karena kamu tidak menjenguk ketika Aku sakit.” Si penghuni neraka bertanya lagi, “Bagaimana Engkau Yang Mahakuasa sakit?” Tuhan menjawab, “Tetanggamu yang sakit, dan kau tidak menjenguknya.”)

Istilah ‘tetangga yang sakit” tentu bisa ditafsir secara lebih luas menjadi orang-orang di sekeliling kita yang menderita, baik secara badani, batini, maupun sosial. Mereka bisa berwujud sebagai kaum gelandangan, anak-anak yang tak sempat bersekolah, mereka yang dihukum secara zalim dan sebagainya.

Dan sastra yang bertanggung jawab kepada keadaban punya kewajiban membela mereka. Tentu sesuai dengan kodratnya, pembelaan yang yang bisa dilakukan oleh sastra terhadap “Aku yang sakit” yakni kaum miskin, mereka yang tertindas, dan sebagainya, adalah pembelaan yang bersifat moral-sastrawi. Demikian, karena sastra tidak punya kekuatan apapun kecuali sesuatu yang diharapkan bisa menyentuh kesadaran dan jwa manusia.

Hadirin yang mulia..

Karya sastra hanya bisa dilahirkan oleh mereka yang lebih dulu telah cukup membaca. Dan tentu bukan suatu kebetulan bila membaca merupakan perintah pertama Tuhan dalam kitab suci kita: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan …”.

Sasaran apakah kiranya yang diperintahkan Tuhan untuk dibaca oleh manusia?

Tentu bukan hanya kitab melainkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi yang semuanya adalah milik Tuhan semata. Orang Minang bilang, alam takambang jadi guru, orang Jawa bilang, meguru maca sastra kang gumelar. Kedua ungkapan itu mempunyai maksud yang sama, bahwa manusia diperintahkan membaca seluruh ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi. Karena, tidak ada kesia-siaan dalam penciptaan setiap makhluk; semuanya hadir membawa bukti-bukti kebesarannya.

Bila manusia  membaca dengan nama Tuhan terhadap sasaran yang baik maupun sasaran buruk, dia akan mendapat berkah ilmu dan kearifan. Membaca sejarah atau perilaku orang baik akan didapat pengetahuan dan kesadaran untuk menirunya.
Sebaliknya, membaca dengan nama Tuhan perilaku orang-orang yang mungkar maka akan dapat pengetahuan dan kesadaran untuk tidak menolaknya. Bahkan pembacaan yang ikhlas atas benda-benda yang kotor pun kita akan sampai kepada tanda-tanda kebesaran Tuhan.
Misalnya, di bawah lensa mikroskop kita akan melihat kehidupan mahluk ciptaan Tuhan yang berwujud jutaan bakteria dalam secuil tinja manusia.
Hadirin yang terhormat…

Dalam pengalaman pribadi sebagai sastrawan, saya pernah menghadapi kondisi batin yang berat, yakni ketika hendak menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk pada tahun 1980.

Novel tersebut menceritakan kehidupan seorang ronggeng yang dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI tahun 1965. Dua kata kunci “ronggeng” dan “PKI” adalah dua hal  yang sering dianggap berada di luar batas wilayah kesantrian dari mana saya berasal. Selain itu, hal-hal yang berbau PKI adalah isu yang amat sensitif pada era Suharto terutama di mata aparat keamanan.

Maka ketika novel ini selesai terbit pada tahun 1984, sebagian masyarakat menanggapinya dengan bertanya bernada menggugat, mengapa sasaran yang saya pilih adalah dunia ronggeng, yang terlibat PKI pula? Ya, semua orang tahu ronggeng adalah perempuan penari kesenian radisi yang mengobral birahi. Maka pantas para santri dicegah untuk menjauhinya.

Tetapi pada sisi lain, sejak saya masih ingusan dan ikut tahlilan selalu dibacakan ayat, “Kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi..”.

Maka saya pun berpikir dan percaya perwujudan ronggeng pun merupakan gejala yang harus dibaca (dengan nama Allah); dari mana, bagaimana, mengapa. Dengan demikian kita bisa menyikapinya dengan pengetahuan cukup.

Hadirin yang saya muliakan…

Mulai tahun 1960 PKI mulai membangun kekuatan fisik untuk melakukan makar. Di daerah saya, Banyumas, mereka membentuk kekuatan bersenjata di bawah tanah. Pasukan ini sering melakukan perampokan untuk merampas harta sekaligus menciptakan kerawanan sosial. Kurang ajarnya mereka mengaku sebagai pasukan DI/TII ketika melakukan penggarongan dan pembunuhan. Kami baru tahu siapa mereka sebenarnya setelah mereka tertangkap. Di antara pasukan yang mengaku DI/TII itu ada guru saya yang menjadi aktivis PKI.

Dalam dunia sastra, saya membaca karya-karya penulis kiri di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat serta buletin Indonesia Baru. Mereka suka sekali menista para tokoh agama; terutama kiai dan haji. Keluarga kami sendiri dinistakan oleh Barisan Tani Indonesia (di bawah PKI) sebagai tuan tanah dan setan desa yang harus diganyang hanya karena kami memiliki 1,5 hektar sawah. Maka tak kurang-kurang rasa sakit saya karena ulah orang-orang komunis.

Maka saya senang ketika PKI ternyata kalah dalam kudeta tahun 1965.
Tetapi kemudian saya melihat gejala yang luar biasa. Rumah mereka dibakar massa. Bahkan mereka ditembak mati di depan umum, di depan mata saya. Di seluruh Indonesia ratusan ribu dibunuh. Keluarga mereka dilucuti hak-hak sipilnya hingga tiga atau empat generasi. Ini gejala kemanusiaan yang dahsyat, dan muncul pertanyaan dalam jiwa saya; apakah kekejaman massif ini tidak melanggar keadaban? Dan, bagaimana saya harus memahami sabda Tuhan bahwa Dirinya adalah Zat Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang?

Demikian, maka dalam novel RDP terasa ada empati saya terhadap mereka, terutama terhadap orang-orang biasa yang dibunuh karena dituduh terlibat PKI. Dalam keyakinan saya, empati ini adalah pembelaan terhadap keadaban yang menjadi amanat Tuhan. Sayangnya, pihak aparat keamanan memandang sikap saya ini sebagai bukti kedekatan saya dengan kaum Komunis sehingga saya diinterograsi selama lima hari di Jakarta. Lima hari yang berat. Untung pada hari kelima ada interogrator yang bertanya kepada saya, “Adakah orang yang bisa menjamin bahwa saya bukan simpatisan Komunis?”

Pertanyaan tersebut terasa indah di telinga saya. Maka kemudian saya menulis sebuah nama dengan nomor teleponnya. Saya menyilakan para interogrator menghubungi si empunya. Nama yang saya tulis: Abdurrahman Wahid.

Mereka ternyata membeku saja, dan saya boleh pulang.
Hadirin yang saya hormati…

Saya mengakhiri pidato ini dengan permohonan ampunan kepada Tuhan atas segala kesalahan saya, serta permohonan maaf kepada para hadirin atas segala kelancangan saya. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 28 Maret 2014,
 
Keterangan: Ahmad Tohari menyampaikan naskah di atas dalam acara pidato kebudayaan yang diselenggarakan oleh NU Online, web site resmi PBNU, tanggal 28 Maret 2014
Alif.Id