Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Kamis, 31 Desember 2015

Kebumen Lahirkan Sineas Muda Berbakat, Selamat !

Para pelajar Kebumen Mendapat Penghargaan

Berbagai acara meriah digelar di Kebumen, 23-31 Desember 2015 dalam rangkaian hari jadi Kabupaten Kebumen yang ke-80. Ada pula Kebumen Ekspo, yang menggelar pameran potensi karya Kebumen beserta jajaran terkait. Ada banyak perlombaan dikemeriahan yang digelar di Kebumen ini, salah satunya yaitu Festival Film Dokumenter Kebumen.

Dalam ajang tersebut Film Dokumenter berjudul PENYADAP PULUT karya Sugeng SMKN1 Karanggayam berhasil menyabet JUARA 1. Serta Film Berjudul KAMPUNG CETHING karya Sakir Iskandar yang juga pelajar SMKN1 Karanggayam berhasil menyabet JUARA 2 serta di posisi selanjutnya ada film berjudul DANGSAK karya Suningsih pelajar SMKN1 Kebumen berhasil menyabet JUARA 3 dalam ajang ini. Film DANGSAK sebelumnya juga sempat duduk sebagai Nominator Film Dokumenter Terbaik dalam Ajang DocDays FEBUI tahun 2015 yang diselenggarakan di Jakarta.

Kebumen, dalam 2 tahun terakhir mencatatkan beberapa prestasi remaja dalam bidang Film. Mulai dari Yuni Etifah, siswa SMK N1 Kebumen dengan filmnya berjudul Kampung Tudung yang memperoleh Penghargaan dalam ajang bergengsi FESTIVAL FILM DOKUMENTER pada 2013 yang diselenggarakan di Jogja. 
Kemudian disambung Muslihan pelajar SMKN1 Kebumen dengan filmnya berjudul Jenitri yang juga memborong banyak penghargaan. Dimulai dari ajang Documentary Days FEUI 2014 di Jakarta, kala itu JENITRI mendapatkan penghargaan sebagai Dokumenter Terbaik 2 dan Sinematografi Terbaik. 
Kemudian pada ajang Festival Film Pelajar Jogja 2014, mendapat Penghargaan sebagai Dokumenter Terbaik 2. Kemudian film ini juga sempat menjadi Nominator dalam ajang Festival Film Dokumenter Jogja 2014, Lalu di ajang Youth Sineas Award 2015 di Bali, film Jenitri kembali borong penghargaan Dokumenter Terbaik, Sutradara Terbaik, Editor Terbaik dan Sinematografi Terbaik. 
Tak berhenti sampai disitu, Film Jenitri kembali mendapat penghargaan Dokumenter Terbaik kategori Pelajar pada ajang Apresiasi Film Indonesia 2015 di Jogja yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 

Setelah Yuni Etifah dan Muslihan mengharumkan nama Kebumen kini giliran Indah Riskiyani denga filmnya berjudul Senandung Jamjaneng yang menyabet penghargaan DOKUMENTER TERBAIK PELAJAR di ajang Malang Film Festival (MAFIFEST) pada tahun 2015. Prestasi para pelajar Kebumen tak berhenti sampai disitu, ada Nawang Riyadi siswa SMKN1 Karanggayam dengan video pendeknya bertema ANTI BULLYING, berhasil mendapat penghargaan Video Terbaik 3 dalam ajang Festival Film Pelajar Jogja tahun 2015. Kemudian Sakir siswa SMKN1 Karanggayam dengan filmnya Kampung Cething sempat duduk sebagai Nominator Film Dokumenter Terbaik dalam ajang Festival Film Pelajar Jogja 2015. Tak hanya itu, film Penyadap Pulut karya Sugeng SMKN1 Karanggayam juga sempat ddinobatkan sebagai Nominator Film Dokumenter Terbaik ajang Festival Film Dokumenter yang diselenggarakan di Jogja Awal Desember 2015. 

Dalam ajang ini, Sugeng mendapat pelajaran banyak. Selain filmnya yang mendapat respon oleh para penonton yang rata-rata berasal dari Luar Negeri seperti Australia, Jepang, Thailand, dll. Sugeng juga menyempatkan berbicang dan berfoto bersama para tamu dari luar negeri dalam ajang FFD 2015. Dan kini dikota mereka sendiri mereka merayakan pesta besar. Pesta kemenangan diakhir tahun. Dalam ajang Festival Film Dokumenter Kebumen yang memberikan penghargaan Juara 1 untuk film Penyadap Pulut karya Sugeng SMKN1 Karanggayam, Juara 2 Film Kampung Cething karya Sakir Iskandar SMKN1 Karanggayam, dan Juara 3 Film Dangsak karya Suningsih SMKN1 Kebumen.

Nur dan Sugeng berinteraksi dengan David Hanan (Australia)
Nur dan Sugeng berinteraksi dengan David Hanan (Australia)

Prestasi-prestasi yang membanggakan ini tentunya direspon sangat baik oleh Pemerintah kabupaten Kebumen. Melihat potensi anak muda yang mulai bangkit ini, Perpusda Kabupaten kebumen lantas membangun Gedung Sinema yang bisa memuat 99 orang bahkan 120 orang jika terpaksa harus berjubel. Gedung sinema yang menurut saya lumayan sangat representative untuk mengapresiasi film karya remaja Kebumen ini diresmikan di awal Pembukaan Kebumen Ekspo 2015 dengan memutar film Jenitri disaksikan oleh Bapak Bupati Kebumen Arief Irwanto beserta jajarannya.

Semua film-film yang mewarnai catatan diatas dibuat oleh para pelajar ketika mereka Prakerin di Sangkanparan Cilacap. Tentunya melalui ide serta gagasan yang mereka punya terbukti mampu memberikan spirit terhadap film yang mereka garap. Kami hanya sebagian dari spirit itu, yang hingga kini berusaha untuk tetap bertahan dengan kesederhanaan, mendampingi dan memfasilitasi dengan peralatan yang apa adanya pula.

Mungkin beberapa hal diatas bisa dijadikan catatan pendek untuk sekedar berefleksi diri, melihat usaha-usaha yang sudah dilakukan belakangan ini sekaligus untuk mengakhiri 2015 dan melangkah ke tahun 2016 dengan penuh optimisme. Selamat tinggal 2015… SELAMAT DATANG 2016

sumber https://sangkanparan.wordpress.com/2015/12/31/kebumen-lahirkan-sineas-muda-berbakat-selamat/

Rabu, 16 Desember 2015

Kebumen Raih Penghargaan “Nagasasra Award” 2015

Nagasasra Award untuk Penampil Terbaik 1 Lomba Dalang Anak 2015, yang diraih Alfian Dwi Saputra dari Kebumen 

Penghargaan Nagasasra Award berhasil diboyong 3 dari 4 Dalang Anak Kebumen yang dikirim untuk mengikuti event Lomba Dalang Anak 2015, tingkat Jateng-DIY di Banjarnegara, Jawa Tengah; 15-16 Desember 2015. Ketiga dalang anak itu, Alfian Dwi Saputra (Wonokromo, Alian), Gilang Wibisono (Pekunden, Kutowinangun)  dan Kethuk Guritno (Adikarto, Adimulyo); masing-masing sebagai Penampil Terbaik 1, Penampil Terbaik 2 dan Penampil Faforit 3. Seorang dalang anak Kebumen lainnya, Bambang Priambodo dari Prembun gagal meraih point kejuaraan.

Penyelenggara Lomba Dalang Anak 2015 tingkat Jateng-DIY adalah Rumah Budaya Nagasasra, Banjarnegara. Sedangkan penilaian dipercayakan pada 3 orang pakar seni pedhalangan sebagai tim yuri dari Banjarnegara, Purwokerto dan Yogyakarta. Lomba ini diikuti oleh 11 peserta berasal dari Banjarnegara, Wonosobo, Kebumen dan Yogyakarta.

Pengiriman 4 delegasi Dalang Anak ini difasilitasi oleh Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen, dengan cara bahu membahu oleh Ketua Umum DKD Kebumen, Pekik Sat Siswonirmolo beserta segenap jajaran pengurus lainnya, mengingat tak ada dukungan dana dari pemerintah kabupaten untuk tahun 2015 ini. Sebelum pengiriman 4 dalang anak ini, DKD menggelar seleksi atas 10 dalang anak dari berbagai daerah di Kabupaten Kebumen. Dan dilanjutkan dengan pendalaman materi lomba di Padepokan Sehat Medika Karanganyar, Kebumen.

Lakon Dewaruci, Faforit Pilihan Peserta

Penyelenggara Lomba Dalang Anak 2015 yakni Rumah Budaya “Nagasasra” Banjarnegara, menyediakan 3 pilihan lakon pakeliran padat, yakni Babad Alas Wonomarto, Jabang Tetuko dan Dewaruci. Dari ketiga lakon ini, Dewaruci menjadi favorit yang banyak dipilih peserta.

Menurut salah seorang Yuri Lomba Dalang Anak 2015, Ki Sutarmo, pilihan lakon ini tak lepas dari sentuhan para pembina seni pedalangan dalam mempersiapkan anak asuhannya. Rupanya lakon Dewaruci ini memang dipandang paling memenuhi dua aspek pagelaran wayang; yakni aspek tontonan dan tuntunan.

Secara khusus, Ki Sutarmo mengaku salut dan sangat mengapresiasi atas penampilan 4 dalang anak yang menjadi delegasi dari Kebumen dalam lomba ini; yang memang tampil memukau di hadapan dewan yuri dan masyarakat penontonnya.


“Ini menjadi bukti eksistensi pembinaan seni pedalangan di Kabupaten Kebumen”, pungkasnya.   

Selasa, 15 Desember 2015

Menjawab Tantangan Regenerasi Seni Pedhalangan

Catatan Festival Dalang Anak 2015 Banjarnegara

Penampilan salah satu peserta dari Kebumen pada Festival Dalang Anak 2015 yang digelar Rumah Budaya Nagasasra Banjarnegara 

Rumah Budaya “Nagasasra” Banjarnegara dengan dukungan Pemerintah Desa Merden Kecamatan Purwanegara menggelar Festival Dalang Anak 2015, bertempat di Balai Desa Merden. Festival dengan pendekatan lomba seni pedalangan untuk tahun ini diikuti oleh 11 peserta dari 4 daerah yang oleh panitia diakronimkan dengan sengkalan “Bawono Kebuja” [Banjarnegara, Wonosobo, Kebumen dan Jogjakarta] ini, digelar selama 2 hari; 15-16 Desember 2015.

Pada hari pertama menampilkan 1 peserta dari Banjarnegara dan 4 peserta dari Kebumen. Banyak catatan menarik saat mencermati unjuk kebolehan dalang anak partisipan lomba dengan kriteria penilaian mencakup 3 aspek utama. Eksploor kepiawaian melalui organ tubuh seputar mulut, tangan dan kaki; menjadi fokus dewan yuri yang terdiri dari 3 orang yang ditunjuk penyelenggara.

Festival Dalang Anak 2015, dibuka hari Selasa [16/12] oleh Pejabat Sekdes Merden mewakili unsur pemerintahan desa; benar-benar menarik perhatian publik. Demikian pula bagi Dewan Kesenian Daerah [DKD] Kebumen yang mengambil konsekuensi dengan mengirimkan kontingen, terdiri dari 4 dalang anak berikut pendamping, pelatih, waranggana dan beberapa wiyaga pengiring. Padahal bagi DKD Kebumen sendiri dalam urusan realisasi program-programnya, tak ada dukungan dana operasional sepeser pun dari pemerintah.

Keempat dalang anak yang jadi duta seni pedalangan mewakili Kebumen  itu adalah Kethug Guritno, Bambang Priambodo, Gilang Wibisono dan Alfian Dwi Saputro. Keempatnya merupakan hasil seleksi 11 dalang anak beberapa hari sebelumnya, dan berlatih pendalaman materi lomba di padepokan “Sehat Medika” milik R. Suman yang notabenenya adalah Ketua Pepadi Kebumen.

Sedangkan Ketua Umum DKD Kebumen, Pekik Sat Siswonirmolo mengakui pengiriman kontingen ke Lomba Dalang Anak 2015 di Banjarnegara ini merupakan salah satu program lembaga daerah yang diketuainya, meskipun jajaran Pengurus DKD periode sekarang belum dilantik karena kendala seputar internal birokrasi daerahnya yang tak kunjung beres. Tantangan lain yang memprihatinkan fungsi dan kinerja DKD Kebumen adalah bahwa lembaga ini mengalami sindrom zero-budgeting untuk tahun 2015; selain juga tak punya sekretariat yang merupakan kebutuhan vital kelembagaan.

Catatan Apresiatif Festival

Salah satu Yuri Festival Dalang Anak 2015 yang memperebutkan "Nagasasra Award" tengah menyampaikan kriteria penilaan pada Pembukaan Festival. 

Lomba Dalang Anak 2015 jadi ajang untuk menguji seberapa konsisten DKD Kebumen merealisasikan agenda programnya. Tetapi di dalam pengertian itu, regenerasi seni pedalangan daerah memang menjadi problematika tersendiri. Catatan yang dapat dihimpun dari event Lomba Dalang Anak 2015 yang difasilitasi oleh Rumah Budaya Nagasasra di Banjarnegara, nampaknya, dapat menjadi tonggak yang cukup penting.

Kiprah penampilan dalang anak dari 4 daerah setidaknya cukup bersyarat untuk dihadapkan pada problem regenerasi seni pedalangan tradisional.
Tiga lakon pendek yang disiapkan penyelenggara, Jabang Tetuko, Babad Alas Wanamarta dan Dewaruci memang menarik untuk dijadikan bahan eksplorasi yang memenuhi visi berkesenian dalam dua aspek; sebagai tontonan dan tuntunan.

Performa para dalang anak di event ini memang unik dan fenomenal. Terlebih bila mau dicermati lebih dalam dari bagaimana dalang anak mempertunjukkan kepiawaiannya dalam mendekati terpenuhinya kriteria penilaian normatif dalam suatu lomba; maka itu lah substansi dari catatan apresiatif ini. Dengan mempermanai proses kreatifnya, dapat lah ditangkap peluang bagaimana eksplorasi ide gagasan dapat dibangun secara optimal. Ini lebih dari sekedar menjawab problem regenerasi yang masih menjadi kekhawatiran tersendiri.

Dari perspektif festival, spirit pembaharuan dapat dijadikan alas pemikiran yang lebih visioner. Bahwa jauh ke depan, pedalangan harus berkembang jadi bagian dialektika jaman sebagai sebuah eksistensi berkesenian; maka sejak sekarang saatnya benih itu ditumbuhkan.

Event Lomba Dalang Anak 2015 adalah tonggak untuk itu...


Kamis, 10 Desember 2015

Tayub dan transformasi tradisi agraris dalam modernitas masyarakat desa

December 11, 2015 | Ikwan Setiawan*



Salah satu ketakutan terbesar dalam pengembangan kesenian tradisional adalah hilangnya tradisi agraris yang menjadi cikal-bakal lahirnya kesenian tradisional, seperti tayub maupun gandrung. Ketika masyarakat desa semakin modern di era 2000-an dimana sebagian besar warganya sudah mempunyai televisi dan VCD players, sudah mempunyai telepon seluler alias HP, sudah biasa dengan budaya metropolitan, atau sudah terbiasa menggunakan internet, banyak pengamat memprediksikan tradisi agraris akan semakin hilang. Ritual-ritual untuk nylameti bumi akan dengan cepat musnah dari ruang desa, apalagi dengan massifnya syiar agama yang memosisikan ritual-ritual itu sebagai perbuatan musyrik.
Kenyataan membuktikan, masyarakat desa ternyata tidak mau sepenuhnya menghilangkan tradisi leluhur tersebut serta tidak mau sepenuhnya menerima modernitas yang mengandalkan rasionalitas. Mereka berhasil mentransformasi sebagian tradisi agraris dalam konteks kekinian. Di banyak desa, tradisi nyadran atau sedekah bumi masih dijalankan. Masyarakat masih meyakini bahwa nylameti bumi pertiwi bukanlah musyrik, karena bumi ciptaan Tuhan ini telah memberi banyak bagi kehidupan umat manusia. Kalau tidak dislameti, berarti mereka mengingkari ketulusan bumi dalam memberikan sesuatu kepada umat manusia.
Ritual-ritual untuk nylameti bumi pertiwi itu selalu dilengkapi dengan hiburan. Dan, mayoritas di wilayah Lamongan, Tuban, Bojonegoro, maupun Nganjuk, tayub menjadi pilihan karena dianggap sebagai perwujudan tari kesuburan untuk menghormati Dewi Sri. Acara nylameti bumi di Lamongan disebut dengan istilah nyadran atau sedekah bumi yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Di Tuban biasa disebut dengan istilah manganan yang juga dilaksanakan satu tahun sekali.
Nyadran di Lamongan
Sebelum pelaksanaan acara nyadran, satu atau dua bulan sebelumnya, biasanya perangkat dusun akan mengumpulkan kaum pemuda untuk membentuk kepanitiaan. Setelah kepanitiaan terbentuk, mereka akan bekerja menyiapkan pelaksanaan acara. Salah satu tugas mereka adalah mengumpulkan sumbangan dari para warga, baik yang berdomisili di dusun atau yang berada di kota untuk keperluan kerja. Biasanya, mereka juga akan narik—meminta sumbangan—ke beberapa pemilik toko yang biasanya memberikan sumbangan lebih besar dibandingkan warga biasa.
Sebelum menggelar tayuban, warga desa akan mengadakan slametan barikan yang dipimpin oleh modin, pemimpin urusan keagamaan di dusun. Slametan biasanya diselenggarakan di tempat pemakaman pendiri dusun atau di perempatan dusun. Dalam slametan itu, para warga memohon agar usaha pertanian mereka dilimpahi rezeki oleh Tuhan dan warga desa dijauhkan dari segala macam penyakit. Slametan ini bisa dilaksanakan malam atau pagi hari sebelum tayuban, tergantung tradisi masing-masing dusun. Untuk dusun-dusun yang tidak menggelar tayub, biasanya akan menggelar pertunjukan wayang ataupun ludruk.

Karena hajatan tayuban dilaksanakan oleh warga dusun, biasanya dalam acara pembukaan waranggono akan memberikan sampur penghormatan kepada kepala desa, kepala dusun, dan para perangkat. Baru setelah itu dilanjutkan oleh warga dari generasi tua dan generasi muda. Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari pertunjukan tayub di Lamongan adalah tradisi minum bir. Tidak seperti di Tuban yang sebagian besar masih menenggak tuak, para penggila tayub di Lamongan memang sudah terbiasa dengan bir. Biasanya, agen penjual bir akan mengirim satu pick-up bir ke lokasi pertunjukan. Tradisi minum bir di siang hari tidak begitu menyolok, dalam artian tidak menjadi warna utama dalam pertunjukan tayub. Baru pada malam hari, para penayub dari masing-masing meja—satu meja biasanya diisi 4 sampai 5 penayub—seperti jor-joran (saling bersaing) untuk menenggak bir sebelum menari bersama para tandhak. Tradisi inilah yang banyak dikritik oleh tokoh agama. Meskipun demikian, kritik tersebut tidak pernah dihiraukan oleh para penayub. Karena, menurut mereka, kurang afdol kalau dalam tayuban tidak menenggak bir. Selain itu, dalam pengaruh alkohol, penayub bisa mengusir rasa malu ketika ditonton oleh orang banyak. Memang, kalau ditilik dari fungsi nyadran yang berkaitan dengan ritual kesuburan, tradisi tayub menjadi ekspresi estetik-profan yang bisa melepaskan makna-makna kesakralan dari ritual ini. Namun, sekali lagi, tradisi minuman beralkohol sudah berlangsung secara turun-temurun, sehingga sulit untuk dihilangkan.
Manganan di Tuban
Mangananberasal dari bahasa Jawa yang berarti “makan”. Manganan dalam tradisi masyarakat Tuban berarti “aktivitas makan bersama.” Ritual ini dilaksanakan di pemakaman para leluhur di masing-masing desa. Pada hari pelaksanaannya, warga desa berduyun-duyun ke makam leluhur sambil membawa makanan untuk dimakan bersama serta makanan untuk sesaji para roh-roh leluhur. Makanan beserta sesaji yang dibawa penduduk, dikumpulkan di pelataran makam. Oleh sesepuh desa yang dianggap sebagai “juru kunci” makam, makanan dibacakan doa-doa permohonan keselamatan. Setelah itu, malam harinya digelar acara tayuban.
Saat menggelar ritus manganan dan tayuban biasanya disertai minum tuak. Di saat-saat seperti ini, kaum perempuan berperan sangat sentral. Segala ubo rampe untuk kebutuhan sesaji dan makanan bersama, jelas dipersiapkan oleh kaum perempuan. Saat arena tayuban digelar, para penarinya semuanya jelas kaum perempuan, sedangkan kebutuhan akan tuak dalam arena itu juga disuplai dari warung-warung tuak yang para penjualnya juga kaum perempuan.
Bagi desa-desa yang menggelar manganan dengan pola lama, doa-doa dipimpin oleh juru kunci makam dengan perpaduan bahasa Arab (Islam) dan Jawa. Selain memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Kanjeng Rosul Muhammad SAW, juru kunci makam juga menyertakan nama-nama sesepuh desa yang telah meninggal dan danyang-danyang desa. Doa bersama ini dibarengi dengan menaruh kemenyan (dupa) dan makanan sesaji di tempat-tempat yang oleh warga desa dianggap keramat. Setelah juru kunci makam memanjatkan doa-doa dan menaruh sesaji di lokasi danyang-danyang, acara makan bersama dimulai. Makanan yang dibawa oleh masing-masing orang, dipertukarkan satu sama lain sehingga bisa merasakan beragam jenis makanan yang dibawa oleh masing-masing warga. Mereka makan bersama secukupnya di pelataran makam. Sisa makanan mereka bawa pulang untuk bekal makan seharian penuh. Malam harinya, digelar tayuban sebagai rangkaian ritus manganan.


Tayuban, biasanya digelar di pelataran pemakaman desa atau pelataran balai desa. Seluruh kebutuhan tayuban, biasanya disokong penuh oleh kepala desa dan iuran penduduk setempat. Di beberapa desa di Kecamatan Semanding, kepala desa bahkan memberi sesaji seekor kepala kerbau kepada danyang-danyang desa. Acara tayuban akan dihelat semalam suntuk, selepas Isya’ hingga menjelang Subuh. Ada juga yang selepas Dzuhur dan istirahat menjelang Maghrib. Selepas Isya” tayuban dilanjutkan-kembali.
Biasanya, dalam menggelar tayuban, cenderung berlangsung persaingan antardesa. Para penyelenggara di tingkat desa berlomba lomba untuk mendatangkan sindir yang dianggap idola dan tenar, meskipun dengan bayaran yang teramat mahal untuk ukuran warga desa. Untuk menggelar tayuban, tuan rumah sebagai pihak pengundang harus mempersiapkan uang jutaan rupiah. Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding, satu dari belasan desa yang menjaga “gengsi tinggi” dalam menggelar manganan dan tayuban. Warga dan perangkat desa setempat cenderung memberi perhatian yang spesial bagi pelaksanaan ritual manganan dan tayuban.
Biasanya, siang sebelum tayuban dimulai, desa setempat yang memiliki hajat akan diramaikan dengan para penjual makanan dan minuman termasuk tuak, arak, dan bir. Para penjual dadakan itu, berasal dari warga setempat maupun warga dari luar desa. Semakin malam, mendekati digelarnya tayuban, jalanan menuju tempat tayuban akan semakin dipenuhi penjual makanan dan minuman, serta pengunjung yang hilir mudik. Jika sindirnya figur-figur populer dan cantik, jumlah pengunjung akan semakin ramai bahkan dari luar-luar kecamatan. Dalam semalam di arena tayuban, ratusan liter tuak dan arak akan habis, belum lagi ratusan botol bir. Tentu sungguh fantastis untuk perputaran dan pergerakan roda ekonomi di tingkat desa.
Keberadaan tuak, arak, dan bir tidak saja di kalangan para penjual, biasanya panitia manganan dan tayuban akan menyediakan tuak, arak dan bir bagi tamu-tamu yang akan menjadi pengibing (lelaki yang akan berjoget dengan sindir). Tuak, arak, bir, dan sindir menjadi kontestan bagi banyak para pengibing untuk eksploitasi maskulinitasnya. Situasi minum tuak harian dengan di arena tayuban juga berbeda. Dalam arena tayuban, biasanya orang yang bertahan untuk tidak mabuk secara diam-diam memberi pesan ke kontestan pengibing lainnya. Di arena tayuban, para pengibing minum tuak, arak, ataupun bir ada dalam dua arena sekaligus.
Pertama pengibing biasanya minum tuak, arak, atupun bir di arena meja tamu untuk para pengibing. Sambil bercengkerama satu sama lain, para pengibing menikmati minuman yang disediakan panitia. Meskipun menyaksikan para pengibing menenggak minuman keras, para penonton tetap menikmati atraksi mereka ketika menari bersama sindir.
Kiranya dengan mudah kita hitung, kalau masing-masing dusun menyelenggarakan tradisi nyadran, maka betapa sering intensitas pertunjukan tayub yang dilaksanakan. Maka, setiap paguyuban tayub akan mendapatkan job tanggapan, karena tidak mungkin hanya diambil oleh satu paguyuban saja. Apalagi kalau ritual nyadran itu digabungkan dengan peringatan 17-an, maka tanggapan tayub akan semakin ramai. Dengan demikian, transformasi tradisi agraris masyarakat perdesaan ikut berkontribusi bagi perkembangan dan pemberdayaan tayub di tengah-tengah masyarakat yang tengah berubah, baik secara teknologi maupun syiar agama. Menariknya, tradisi ritual agraris ini dari tahun ke tahun semakin ramai saja, bukan semakin sepi. Memang, pada saat panen padi terserang hama, biasanya peringatan tidak terlalu meriah. Namun, hal itu biasanya hanya berlangsung dalam setahun, sesudahnya ritual tetap ramai.
Khusus di Tuban, selain ritual manganan, bagi masyarakat nelayan juga sering menggelar pertunjukan tayub untuk acara petik laut atau lebih dikenal dengan istilah sedekah laut. Salah satu kelurahan di wilayah Kecamatan Tuban yang setiap tahun menggelar pagelaran tayub sebagai rangkaian ritual sedekah laut adalah Kelurahan Karangsari. Di kelurahan ini terdapat lingkungan Karangsari Timur, Jaringan, Tepi barat dan Tamping. Setiap lingkungan ini merayakan sedekah laut di waktu yang berbeda meski sebenarnya acara sedekah laut yang dilaksanakan masing-masing lingkungan bisa dikatakan sama. Ketidakmauan masing-masing lingkungan untuk disatukan perayaan sedekah laut dan tayubannya lebih didasari semangat mandiri dalam ritual dan perayaannya. Selain itu, melalui pagelaran tayub, masing-masing lingkungan ingin menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi yang terbaik, sehingga akan berimplikasi pada kebanggaan warga. Begitulah, pagelaran tayub semakin ramai dengan adanya iklim kompetisi yang apabila dikelola dengan baik akan semakin menciptakan dinamika yang sangat positif.
Keterangan
Dicuplikkan dari Laporan Penelitian Strategis Nasional “Pengembangan Ludruk dan Tayub Jawa Timur-an dalam Perspektif Industri Kreatif”. Didanai oleh Dirjen DP2M Dikti Kemendikbud, 2013. Penelitian ini juga melibatkan Prof. Dr. Sutarto dan Drs. Albert Tallapessy, M.A., Ph.D.
______
*Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com

Source: MataTimoer 

Rabu, 09 Desember 2015

Di Manakah “Sastra Dunia”


Nirwan Dewanto*  - 09/12/2015


 Kurang lebih empat dasawarsa lalu, kritikus sastra H.B Jassin berkata bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia. Di zaman “globalisasi” sekarang, tampaknya pernyataan Jassin itu benar dalam satu hal: kita memang berupaya menjadikan sastra dunia sebagai milik kita, menjadikannya bagian dari kehidupan sastra Indonesia mutakhir.

Paling tidak, dengan “sastra dunia” itulah para sastrawan kita mempunyai ukuran baik-dan-buruk dalam mencipta dan menilai. Namun, apakah sastra Indonesia dikenal atau tidak di lingkaran dunia, itu soal yang berbeda sama sekali.

Ya, “sastra dunia.” Dengan tanda kutip. Sebab istilah itu sangat bermasalah.
Bagaimana mungkin kita—atau siapa saja—tahu tentang sastra dunia jika itu berarti karya-karya sastra yang ada di seluruh dunia dari berbagai zaman pula?

Pada suatu hari saya bertanya kepada seorang penulis prosa yang suka membanggakan diri mengenal sastra dunia: Apa yang Bung kenal tentang sastra dunia?

Lalu ia menyebut nama-nama, antara lain, Haruki Murakami dan Roberto Bolaño. Dan sejumlah penulis pemenang Hadiah Nobel dan Hadiah Man Booker dalam sepuluh tahun terakhir. Tanpa penulis-penulis itu, katanya, kita akan miskin.

Tapi itu cuma nama-nama yang ada di pasar, yang sedang hot di toko-toko buku di seluruh dunia (juga mungkin di Jakarta), begitulah jawab saya.
Saya bertanya lebih lanjut: Jadi buat Bung sastra dunia itu adalah nama-nama pengarang yang didesakkan pasar buku dunia kepada kita? Lagipula itu hanya buku-buku yang berbahasa Inggris, bukan?

Ketika dia mulai merah-padam, saya bertanya lagi: Apa Bung peduli pada pada karya-karya sastra dari Lithuania, Pantai Gading, Laos, Ecuador, Vanuatu? Apa kita bisa menoleh kepada karya-karya yang biarpun dianggap penting dalam bahasa-bahasa nasional masing-masing, tetap tak tersedia terjemahan Inggrisnya?

Ia tercenung lama, dan jawaban dia—juga jawaban saya—adalah tidak. Sudah pasti tidak!

Maka di titik ini, kami berdua bersepakat bahwa kami tidak mengenal apa itu sastra dunia. Maka, cuma ada “sastra dunia.”

Dengan cara yang sama kita bisa bertanya siapakah penulis dan pengulas sastra di belahan bumi mana saja yang tahu perihal sastra Indonesia? Jawaban yang paling mungkin: Tidak ada. Atau, belum ada.

Kecuali segelintir pakar yang peduli kepada Indonesia—dan melihat sastra Indonesia sebagai bagian dari perhatian mereka kepada Indonesia. Dan kita tahu pula, studi Indonesia di luar negeri semakin susut jumlahnya, dan dibiarkan susut belaka. (Yang paling terkenal, seperti di Universitas Leiden, bahkan sudah tutup.)

Baiklah. Kita kendurkan sedikit makna “sastra dunia”. Misalnya saja, “sastra dunia” adalah sastra-sastra nasional atau regional yang mungkin dikenal di kancah dunia. Dengan cara ini tampaknya kita bisa menggolongkan “sastra dunia” berdasarkan seberapa jauh bahasa-bahasa pembawanya tersebar ke belahan-belahan bumi.

Golongan pertama adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa bekas kaum penjajah—bahasa-bahasa Prancis, Spanyol, Portugis dan—terutama—Inggris. Lagipula, lembaga penerbitan di khazanah bahasa-bahasa itu memang luar biasa kuatnya, sehingga jadilah mereka agen-agen globalisasi sastra yang kuat. (Maka kita paham kenapa sastra Argentina dan sastra Brasil mudah ditangkap oleh industri perbukuan di dunia ini.)

Golongan kedua adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang terpelihara sejak dari masa klasik ke masa modern—misalnya saja, bahasa-bahasa Arab, Turki, Cina, Jepang, Ibrani. Sementara itu, minat dunia akademik di Barat terhadap bahasa-bahasa ini juga sudah melembaga lantaran bangsa-bangsa yang bersangkutan (pernah) telanjur kuat dalam sebaran agama-agama, perdagangan, imperialisme, pengaruh politik, ilmu pengetahuan, dan diaspora.

Golongan ketiga adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa “pinggiran”—misalnya bahasa-bahasa Rusia, Finlandia, Swedia, Cek; bahkan bahasa-bahasa Albania, Polandia, Lithuania. Mereka ini bukan hanya “saudara sepupu” Eropa Barat; dalam lapangan seni budaya, mereka pernah menyumbang banyak kepada gerakan modernisme internasional. Mereka berpengalaman dalam menduniakan hasil-hasil sastra dan seni mereka.

Golongan keempat adalah sastra-sastra dalam bahasa-bahasa setempat yang, betapapun lebih terbaca luas di negeri-negeri bersangkutan, tertutup kepada dunia luar oleh sastra berbahasa bekas-penjajah, misalnya Inggris. Ini kasus untuk sastra-sastra Hindi, Tamil, Telugu, Mayalayam, Bengali, Urdu di anak benua India-Pakistan, misalnya.

Golongan kelima adalah sastra-sastra nasional yang dijajakan oleh bangsa-bangsa yang bersangkutan ke seluruh dunia, sebagai bagian dari kiprah mereka sebagai kekuatan ekonomi dan budaya yang baru. Misalnya saja sastra Korea Selatan dan Cina dalam dua dasawarsa terakhir. (Sebagaimana kita tahu, Korea Selatan, adalah negeri yang sangat bersistem dalam mengembangkan ekonomi kreatif.)

Golongan keenam adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa nasional yang tidak dikenal dunia; dan bangsa-bangsa yang bersangkutan pun tidak menjalankan diplomasi budaya yang genah, yang bisa membuat hasil-hasil seni dan sastra mereka dikenal masyarakat internasional. Sastra Indonesia termasuk ke dalam golongan ini.

Tak terkira jumlah karya sastra yang sudah dihasilkan oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Inilah lautan karya sastra yang keluasaannya tidak akan pernah terjelajahi bahkan oleh pakar sastra bandingan yang paling piawai sekalipun, apalagi oleh para sastrawan yang mengaku kenal dengan sastra dunia.

Demikianlah, sastra dunia adalah rumah jagal sastra, jika saya boleh meminjam istilah seorang pakar sastra bandingan bernama Franco Moretti. The slaughterhouse of literature. Dalam sejarah sastra dunia sejak dulu hingga sekarang, karya-karya yang dilupakan, “dibantai”, lenyap, “dimatikan” dalam gelombang sejarah, jauh lebih banyak daripada karya-karya yang masih dibaca. Sastra dunia, untuk mengutip Moretti lagi, adalah the great unread.

Sesungguhnya, yang dianggap besar di masa kini seringkali yang diremehkan di masanya sendiri. Yang dianggap berjaya di masa sekarang mungkin akan dilupakan di masa-masa mendatang. Yang terkubur di zaman kemarin bisa saja naik ke puncak di zaman esok. Yang dianggap penting di pasar dan dunia akademik mungkin akan jadi sepele setelah para “agen pemasaran” itu berlalu, begitu juga sebaliknya.

“Sastra dunia” buat saya adalah sebuah perpustakaan mahabesar. Di situ tersedia seluruh dokumentasi sastra-sastra nasional di dunia ini dari seluruh zaman. Sayangnya para pustakawan di situ lebih banyak mengarahkan para pengunjung ke sastra-sastra tertentu saja, yakni yang berada di bagian yang bersih dan terang cahayanya. Tidak ada seorang pustakawan pun yang kenal betul akan jalan menuju rak sastra Indonesia nun di pojok gelap dan terpencil.

Tentu saja bangsa Indonesia bisa memilih sendiri karya-karya sastra apa yang penting untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat pembaca di luar di sana. Kenapa tidak?

Dan membawa sastra Indonesia ke gelanggang dunia adalah 1001 langkah yang harus direncanakan dan ditempuh dengan cara saksama—dan dalam tempo yang pastilah tidak sesingkat-seingkatnya. Terlibat sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Buchmesse di tahun ini baru satu langkah belaka, barangkali hanya langkah kebetulan. Bahkan jika kita kelak berhasil mengerjakan 1003 langkah pun, kaidah “rumah jagal sastra” tetap akan berlaku bagi sastra-sastra mana pun di dunia ini.

Menerjemahkan sastra Indonesia ke bahasa-bahasa asing; menarik minat para ahli, agen, penerbit, media dan pembaca di mancanegara; bergiat dalam berbagai “diplomasi kebudayaan” yang genah, dan seterusnya—semua itu memerlukan kerja dan komitmen (dan dana) yang sinambung dan bersistem. Perlu kita camkan bahwa dalam soal-soal tersebut negara-negara “kecil” seperti Georgia, Israel dan Slovenia jauh lebih siap ketimbang Indonesia.

Tetapi jangan-jangan semua upaya menuju “sastra dunia” itu hanya bisa terlaksana bila bangsa dengan 250 juta warga ini benar-benar jadi bangsa yang gemar membaca dan menulis—bangsa yang mencintai dan merawat bahasa, sastra dan kesenian sendiri. Bukankah mendunia itu efek samping belaka dari beresnya kita menata kehidupan di rumah sendiri?
__

*Nirwan Dewanto, Seniman. Penyair. Kurator di Komunitas Salihara, penyair dan penulis sejumlah buku.

Di Manakah “Sastra Dunia”

Nirwan Dewanto 
Penyair
9 Dec 2015



Kurang lebih empat dasawarsa lalu, kritikus sastra H.B Jassin berkata bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia. Di zaman “globalisasi” sekarang, tampaknya pernyataan Jassin itu benar dalam satu hal: kita memang berupaya menjadikan sastra dunia sebagai milik kita, menjadikannya bagian dari kehidupan sastra Indonesia mutakhir.

Paling tidak, dengan “sastra dunia” itulah para sastrawan kita mempunyai ukuran baik-dan-buruk dalam mencipta dan menilai. Namun, apakah sastra Indonesia dikenal atau tidak di lingkaran dunia, itu soal yang berbeda sama sekali.

Ya, “sastra dunia.” Dengan tanda kutip. Sebab istilah itu sangat bermasalah. Bagaimana mungkin kita—atau siapa saja—tahu tentang sastra dunia jika itu berarti karya-karya sastra yang ada di seluruh dunia dari berbagai zaman pula?

Pada suatu hari saya bertanya kepada seorang penulis prosa yang suka membanggakan diri mengenal sastra dunia: Apa yang Bung kenal tentang sastra dunia?

Lalu ia menyebut nama-nama, antara lain, Haruki Murakami dan Roberto Bolaño. Dan sejumlah penulis pemenang Hadiah Nobel dan Hadiah Man Booker dalam sepuluh tahun terakhir. Tanpa penulis-penulis itu, katanya, kita akan miskin.

Tapi itu cuma nama-nama yang ada di pasar, yang sedang hot di toko-toko buku di seluruh dunia (juga mungkin di Jakarta), begitulah jawab saya.

Saya bertanya lebih lanjut: Jadi buat Bung sastra dunia itu adalah nama-nama pengarang yang didesakkan pasar buku dunia kepada kita? Lagipula itu hanya buku-buku yang berbahasa Inggris, bukan?

Ketika dia mulai merah-padam, saya bertanya lagi: Apa Bung peduli pada pada karya-karya sastra dari Lithuania, Pantai Gading, Laos, Ecuador, Vanuatu? Apa kita bisa menoleh kepada karya-karya yang biarpun dianggap penting dalam bahasa-bahasa nasional masing-masing, tetap tak tersedia terjemahan Inggrisnya?

Ia tercenung lama, dan jawaban dia—juga jawaban saya—adalah tidak. Sudah pasti tidak!

Maka di titik ini, kami berdua bersepakat bahwa kami tidak mengenal apa itu sastra dunia. Maka, cuma ada “sastra dunia.”

Dengan cara yang sama kita bisa bertanya siapakah penulis dan pengulas sastra di belahan bumi mana saja yang tahu perihal sastra Indonesia? Jawaban yang paling mungkin: Tidak ada. Atau, belum ada.

Kecuali segelintir pakar yang peduli kepada Indonesia—dan melihat sastra Indonesia sebagai bagian dari perhatian mereka kepada Indonesia. Dan kita tahu pula, studi Indonesia di luar negeri semakin susut jumlahnya, dan dibiarkan susut belaka. (Yang paling terkenal, seperti di Universitas Leiden, bahkan sudah tutup.)

Baiklah. Kita kendurkan sedikit makna “sastra dunia”. Misalnya saja, “sastra dunia” adalah sastra-sastra nasional atau regional yang mungkin dikenal di kancah dunia. Dengan cara ini tampaknya kita bisa menggolongkan “sastra dunia” berdasarkan seberapa jauh bahasa-bahasa pembawanya tersebar ke belahan-belahan bumi.

Golongan pertama adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa bekas kaum penjajah—bahasa-bahasa Prancis, Spanyol, Portugis dan—terutama—Inggris. Lagipula, lembaga penerbitan di khazanah bahasa-bahasa itu memang luar biasa kuatnya, sehingga jadilah mereka agen-agen globalisasi sastra yang kuat. (Maka kita paham kenapa sastra Argentina dan sastra Brasil mudah ditangkap oleh industri perbukuan di dunia ini.)

Golongan kedua adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang terpelihara sejak dari masa klasik ke masa modern—misalnya saja, bahasa-bahasa Arab, Turki, Cina, Jepang, Ibrani. Sementara itu, minat dunia akademik di Barat terhadap bahasa-bahasa ini juga sudah melembaga lantaran bangsa-bangsa yang bersangkutan (pernah) telanjur kuat dalam sebaran agama-agama, perdagangan, imperialisme, pengaruh politik, ilmu pengetahuan, dan diaspora.

Golongan ketiga adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa “pinggiran”—misalnya bahasa-bahasa Rusia, Finlandia, Swedia, Cek; bahkan bahasa-bahasa Albania, Polandia, Lithuania. Mereka ini bukan hanya “saudara sepupu” Eropa Barat; dalam lapangan seni budaya, mereka pernah menyumbang banyak kepada gerakan modernisme internasional. Mereka berpengalaman dalam menduniakan hasil-hasil sastra dan seni mereka.

Golongan keempat adalah sastra-sastra dalam bahasa-bahasa setempat yang, betapapun lebih terbaca luas di negeri-negeri bersangkutan, tertutup kepada dunia luar oleh sastra berbahasa bekas-penjajah, misalnya Inggris. Ini kasus untuk sastra-sastra Hindi, Tamil, Telugu, Mayalayam, Bengali, Urdu di anak benua India-Pakistan, misalnya.

Golongan kelima adalah sastra-sastra nasional yang dijajakan oleh bangsa-bangsa yang bersangkutan ke seluruh dunia, sebagai bagian dari kiprah mereka sebagai kekuatan ekonomi dan budaya yang baru. Misalnya saja sastra Korea Selatan dan Cina dalam dua dasawarsa terakhir. (Sebagaimana kita tahu, Korea Selatan, adalah negeri yang sangat bersistem dalam mengembangkan ekonomi kreatif.)

Golongan keenam adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa nasional yang tidak dikenal dunia; dan bangsa-bangsa yang bersangkutan pun tidak menjalankan diplomasi budaya yang genah, yang bisa membuat hasil-hasil seni dan sastra mereka dikenal masyarakat internasional. Sastra Indonesia termasuk ke dalam golongan ini.

Tak terkira jumlah karya sastra yang sudah dihasilkan oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Inilah lautan karya sastra yang keluasaannya tidak akan pernah terjelajahi bahkan oleh pakar sastra bandingan yang paling piawai sekalipun, apalagi oleh para sastrawan yang mengaku kenal dengan sastra dunia.

Demikianlah, sastra dunia adalah rumah jagal sastra, jika saya boleh meminjam istilah seorang pakar sastra bandingan bernama Franco Moretti. The slaughterhouse of literature.Dalam sejarah sastra dunia sejak dulu hingga sekarang, karya-karya yang dilupakan, “dibantai”, lenyap, “dimatikan” dalam gelombang sejarah, jauh lebih banyak daripada karya-karya yang masih dibaca. Sastra dunia, untuk mengutip Moretti lagi,
adalah the great unread.

Sesungguhnya, yang dianggap besar di masa kini seringkali yang diremehkan di masanya sendiri. Yang dianggap berjaya di masa sekarang mungkin akan dilupakan di masa-masa mendatang. Yang terkubur di zaman kemarin bisa saja naik ke puncak di zaman esok. Yang dianggap penting di pasar dan dunia akademik mungkin akan jadi sepele setelah para “agen pemasaran” itu berlalu, begitu juga sebaliknya.

“Sastra dunia” buat saya adalah sebuah perpustakaan mahabesar. Di situ tersedia seluruh dokumentasi sastra-sastra nasional di dunia ini dari seluruh zaman. Sayangnya para pustakawan di situ lebih banyak mengarahkan para pengunjung ke sastra-sastra tertentu saja, yakni yang berada di bagian yang bersih dan terang cahayanya. Tidak ada seorang pustakawan pun yang kenal betul akan jalan menuju rak sastra Indonesia nun di pojok gelap dan terpencil.

Tentu saja bangsa Indonesia bisa memilih sendiri karya-karya sastra apa yang penting untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat pembaca di luar di sana. Kenapa tidak?

Dan membawa sastra Indonesia ke gelanggang dunia adalah 1001 langkah yang harus direncanakan dan ditempuh dengan cara saksama—dan dalam tempo yang pastilah tidaksesingkat-seingkatnya. Terlibat sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Buchmesse di tahun ini baru satu langkah belaka, barangkali hanya langkah kebetulan. Bahkan jika kita kelak berhasil mengerjakan 1003 langkah pun, kaidah “rumah jagal sastra” tetap akan berlaku bagi sastra-sastra mana pun di dunia ini.

Menerjemahkan sastra Indonesia ke bahasa-bahasa asing; menarik minat para ahli, agen, penerbit, media dan pembaca di mancanegara; bergiat dalam berbagai “diplomasi kebudayaan” yang genah, dan seterusnya—semua itu memerlukan kerja dan komitmen (dan dana) yang sinambung dan bersistem. Perlu kita camkan bahwa dalam soal-soal tersebut negara-negara “kecil” seperti Georgia, Israel dan Slovenia jauh lebih siap ketimbang Indonesia.

Tetapi jangan-jangan semua upaya menuju “sastra dunia” itu hanya bisa terlaksana bila bangsa dengan 250 juta warga ini benar-benar jadi bangsa yang gemar membaca dan menulis—bangsa yang mencintai dan merawat bahasa, sastra dan kesenian sendiri. Bukankah mendunia itu efek samping belaka dari beresnya kita menata kehidupan di rumah sendiri?

Sumber: Qureta 

Minggu, 06 Desember 2015

Kidung dari Brang Wetan: Musik Banyuwangen dalam Gerak Industri (Bagian IV)

December 6, 2015 | Ikwan Setiawan*


Sumber foto Catur Arum: https://newhitzmp3.files.wordpress.com/2010/02/keroncong.jpg


Beberapa Permasalahan yang Mengganjal
Ketika para seniman lagu Banyuwangen mampu menegosiasikan gagasan kultural ke dalam moda industri kreatif, keuntungan secara kultural dan finansial memang tidak bisa dipungkiri. Namun demikian, popularitas lagu-lagu Banyuwangen dalam bentuk VCD maupun kaset, bukan berarti tidak menyisakan masalah-masalah yang terlihat sepele, tetapi sebenarnya berpotensi menjadi serius di kemudian hari. Di antara permasalahan tersebut adalah (1) persoalan royalti yang tidak ada dalam industri musik Banyuwangen, (2) genre musikal yang cenderung mengikuti kepentingan industri, sehingga mengurangi kemampuan eksploratif dari keberagaman budaya lokal dalam komposisi musikal Banyuwangen, dan (3) tidak adanya perhatian dari pemerintah. Kedua permasalahan tersebut perlu ditelaah secara kritis guna memberikan masukan kepada pengembangan industri musik di Banyuwangi.
1. Ketika Royalti untuk Hak Cipta Digantikan Biaya Pakai
Dalam industri kreatif, isu tentang royalti memang seringkali menjadi permasalahan. Seringkali terdengar konflik baik antara seniman dengan seniman atau seniman dengan pihak produser. Konflik yang sering terjadi terutama menyangkut kesesuaian jumlah royalti yang harus diterima oleh pencipta lagu ketika lagu mereka direkam dan diedarkan oleh pihak perusahaan rekaman ataupun terkait dengan digunakannya lagu mereka oleh penyanyi dalam momen di luar album. Mengapa royalti menjadi penting? Karena ia berkaitan langsung dengan pemberian keuntungan finansial terkait hak cipta yang menjadi milik sah dari seorang pencipta. Ketika keuntungan finansial tersebut tidak diberikan kepada pemegang hak cipta sebagai kreator dari sebuah ciptaan, maka di situlah awal terjadinya konflik.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2002, Bab I Pasal 1 dijelaskan beberapa terminologi yang penting untuk dipahami dalam konteks hak cipta atas ciptaan yakni: (1) Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi; (3) Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra; (4) Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut; (5) Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain; (6) Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer. Pembuatan undang-undang ini jelas dilandasi oleh keinginan negara untuk melindungi dan menghargai hak-hak eksklusif yang melekat pada diri seorang pencipta atas ciptaannya yang diproduksi dan disebarluaskan oleh pihak lain, termasuk dalam hal ini pihak industri.
Tentu saja, niatan luhur di balik undang-undang ini adalah untuk memberikan keuntungan secara material kepada pencipta yang ciptaanya diproduksi dan diedarkan secara massif oleh industri. Dalam level nasional, penerapan undang-undang ini tentu memberikan keuntungan berupa royalti yang diperoleh oleh pencipta lagu, misalnya, dari ciptaan mereka yang dinyanyikan secara grup atau solo dan diedarkan oleh major label, seperti Sony Music, Musica Studio, Warner Music, dan lain-lain. Sangat wajar kalau Ahmad Dani, misalnya, menjadi kaya raya dari pekerjaan menciptakan lagu karena lagu-lagunya laris-manis di pasaran. Sayangnya, pencapaian-pencapaian finansial dari karya atau ciptaan, tidak sepenuhnya dirasakan oleh para pencipta lagu di level lokal, seperti Banyuwangi, sehingga tidak semua pencipta lagu bisa menikmati keuntungan ekonomi secara maksimal dari ciptaan mereka.
Meskipun berada dan berproses di level lokal, bukan berarti para pencipta lagu Banyuwangen tidak mengerti royalti yang harus mereka peroleh dari lagu-lagu mereka yang direkam dan diedarkan oleh pihak rekaman. Sayangnya, belum ada pemahaman konsensual di antara para seniman musik tentang signifikansi royalti dari hak atas ciptaan mereka, karena pertimbangan-pertimbangan personal yang terlalu kuat. Akibatnya, pihak industri juga masih enggan untuk menerapkan sistem royalti untuk setiap produksi yang mereka lakukan. Tentang permasalahan tersebut Adis memaparkan:
“Persoalan royalti bagi pencipta lagu memang menjadi pikiran saya sejak di POB. Kalau pencipta lagu bisa mendapatkan royalti tentu saja kesejahteraan mereka semakin meningkat. Namun, waktu itu kawan-kawan kurang merespons. Ya, saya diam saja. Nah, waktu dengan Rolas, saya mengusulkan untuk menggunakan sistem royalti bagi penjualan album yang sudah dibuat. Awalnya, mereka sepakat, tetapi ujung-ujungnya tidak sepakat karena dianggap hanya menimbulkan keruwetan dalam hal pembayaran. Sampai sekarang tidak ada dukungan dari kawan-kawan seniman, Dinas terkait, apalagi produser. Produser sangat tidak mau dengan sistem royalti itu, mungkin akan bisa mengurangi keuntungan mereka. Seandainya kita pakai sistem royalti, dari penjualan album Kangen dengan Rolas yang terjual 150.000 copy, tentu kita akan dapat banyak duit. Saya waktu itu sudah mau separuh bayar di muka, separuh menunggu hasil penjualan, tetapi tetap tidak mau. Sempat juga usul saya itu jadi perbincangan di kawan-kawan Dewan Kesenian Blambangan. Tapi, ya, itu, cuma jadi perbincangan dan tidak ada langkah-langkah konkrit. Padahal persoalan itu kan sudah diatur dalam Undang-undang, tetapi semua seolah tidak tertarik membicarakannya.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Persoalan royalti sebenarnya menjadi masalah yang benar-benar ada, tetapi para pencipta lagu enggan untuk membahasnya secara serius. Kebanyakan dari mereka kebanyakan tidak mau ruwet, karena mereka sendiri memang membutuhkan uang dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari keluarga. Kalau masih menunggu pembayaran royalti setelah album terjual di pasaran, maka mereka akan menghadapi persoalan ekonomi yang pelik. Namun, kalau logika itu dibalik dengan peraturan royalti yang memberikan keuntungan berlipat bagi penciptanya, maka sangat mungkin para pencipta lagu lebih memilih pemberian royalti dibandingkan dengan sistem yang dipakai sekarang. Sayangnya, para pencipta lagu tidak mau membicarakan persoalan itu secara serius, sehingga cenderung menjadi kegundahan personal seperti dialami Adis. Lebih parah lagi, dinas terkait dan juga Dewan Kesenian Blambangan yang seharusnya memperjuangkan aspirasi para seniman, tidak berhasil memberikan solusi terhadap persoalan tersebut.
“Sistem yang dipakai sekarang adalah pihak produser membayar hak pakai dari lagu yang diciptakan oleh para pencipta. Mereka membayar sejumlah uang untuk setiap lagu yang direkam. Biasanya dibayar di muka dengan nominal yang tidak sama antara satu lagu dengan lagu lainnya. Untuk lagu-lagu baru yang dirasa akan diterima pasar, biasanya pencipta lagu yang bersangkutan akan menerima fee yang lebih banyak. Sementara, untuk lagu-lagu yang diciptakan oleh para seniman sepuh dan produksinya bersifat recyclefee yang dibayarkan tidak terlalu mahal. Untuk lagu Semebyar, misalnya, Yon menerima honor Rp. 1.000.000,- untuk setiap album yang diproduksi (Wawancara, 20 Juli 2009). Sedangkan untuk lagu lawas yang dirilis ulang, honor yang diterima oleh para seniman sepuh lebih rendah, berkisar antara Rp. 250.000,- sampai Rp. 500.000,-. Meskipun demikian, para seniman sepuh, seperti Fatrah Abal, merasa model penghonoran tersebut sudah lebih baik dibandingkan dengan zaman dahulu” (Wawancara, 21 Juli 2009).
Memang, sekilas model penghonoran dari hak pakai juga sudah menguntungkan pihak pencipta karena di Banyuwangi biasanya satu lagu bisa direkam dalam beberapa album dengan pihak perusahaan rekaman yang berbeda. Ketika satu lagu direkam dalam tiga album, misalnya, maka pencipta akan mendapatkan tiga juta dari pembayaran hak pakai. Jumlah tersebut sebenarnya sangat sedikit ketika dibandingkan dengan pembayaran model royalti. Dalam hitungan sederhana, misalnya, satu album yang merekam karya seorang pencipta atau kelompok musik terjual menembus angka 100.000 copy, kalau per copy mendapatkan Rp. 250,- dengan sistem royalti, maka penghasilan mereka akan mencapai Rp. 25.000.000,-. Sementara kalau dihitung per lagu, maka nominal penghasilan pencipta lagu akan semakin besar tergantung jumlah lagu yang direkam. Sayangnya, sekali lagi, para seniman pencipta lagu tidak mau berpikir ruwet, karena yang mereka butuhkan adalah uang cash yang cepat didapat. Akibatnya, produser tertentu cenderung memberikan harga yang relatif murah karena mereka tahu para seniman tidak akan banyak protes. Memang, para seniman sendiri juga tidak mampu dan berani meningkatkan harga karena kalau hal itu dilakukan para produser tidak akan mau. Kondisi ini tentu akan mengganggu pendapatan mereka dari lagu.
Sebenarnya ada produser yang tetap memperhatikan kesejahteraan dari para pencipta lagu, meskipun dia tidak menerapkan sistem royalti untuk album yang beredar. Model ini diterapkan oleh, misalnya, Indra Wijaya dari Aneka Safari Record. Koming menjelaskan bahwa ketika penggarapan sebuah album, pencipta lagu akan mendapat honor dari hak pakai, tetapi ketika album tersebut ‘meledak’ di pasaran, maka Indra akan memberikan uang tambahan sesuai dengan peredaran VCD maupun kaset. Dengan model seperti ini, paling tidak, seniman pencipta lagu akan mendapatkan peningkatan kesejahteraan secara ekonomi. Memang, yang untung tetap saja produser, tetapi model ini bisa menjadi bentuk apresiasi bagi para pencipta lagu (Wawancara, 31 Juli 2009). Model ini—katakanlah “honor tambahan untuk popularitas lagu”—memang bisa menjadi model alternatif yang, untuk sementara, menguntungkan para seniman pencipta lagu karena produser mempunyai komitmen untuk memberi lebih dari larisnya lagu yang beredar. Meskipun demikian, para pencipta lagu tetap tidak bisa tahu berapa besar hak mereka sebenarnya, karena mereka tidak bisa tahu persis berapa copy album yang terjual.
Terlepas apakah model royalti atau model honor popularitas lagu yang akhirnya dipilih oleh para seniman pencipta lagu, tetap dibutuhkan pembicaraan khusus yang melibatkan para seniman pencipta lagu dan produser sehingga akan ditemukan kesepakatan bersama. Usulan Adis untuk membentuk paguyuban atau persatuan sebagai wadah bertemunya para seniman pencipta lagu untuk bertemu dan berdiskusi menyangkut permasalahan yang mereka hadapi bersama, sebenarnya menarik untuk dicoba. Minimal, dengan wadah tersebut, mereka secara terbuka dan jujur berdiskusi untuk menemukan kesepakatan-kesepakatan dalam menyikapi permasalahan, sehingga mereka mempunyai kesamaan pandangan ketika menyuarakan keinginan mereka kepada produser.
2. Ketika Koplo dan Techno Menjadi Trend: Antara Kepentingan Industri dan Sekedar Kulit dalam Lagu Banyuwangen
Popularitas lagu-lagu Banyuwangen di tengah-tengah masyarakat Banyuwangi dan kabupaten sekitar, menunjukkan bahwa lagu-lagu tersebut, baik yang berasal dari era pasca 65 maupun era 2000-an mendapat tempat di hati para penggemar, sehingga mendorong pihak industri untuk menciptakan variasi-variasi komposisi penggarapan yang semakin memberagamkan pilihan album dan genre musik yang diproduksi dan diedarkan. Kepentingan industrial jelas menjadi faktor pendorong lahirnya genre-genre musik baru dalam cengkok dan lirik Banyuwangen, seperti house musicdiscorock-dangdut-koplo, keroncong, reggae, Jaipongan, elektone/organ tunggal, dan lain-lain. Karena awal kelahirannya dikonstruksi untuk industri, maka pihak produser lebih dominan dalam menentukan jenis penggarapan musiknya, meskipun para seniman pencipta lagu atau musisi bisa menawarkan gagasan-gagasan estetik untuk menentukan corak musik yang akan direkam dan diedarkan.
Dalam konteks idealisme berkesenian, beberapa seniman pencipta lagu dan penyanyi, sebenarnya kurang sreg dengan perkembangan genre musik baru—utamanya koplo—dalam lagu-lagu Banyuwangen. Yon, misalnya, dengan jujur mengakui bahwa “Secara prinsip, saya sebenarnya menolak musik koplo dalam lagu-lagu Banyuwangen. Tapi, ya gimana lagi, saya juga butuh uang” (Wawancara 20 Juli 2009). Pengakuan serupa disampaikan Adis, “Saya pernah juga menyanyi dalam format koplo. Itu kan mengikuti aransemen kelompok pengiring di atas panggung. Tapi, jujur saya sendiri merasa kurang klop” (Wawancara, 21 Juli 2009). Pengakuan kedua penyanyi tersebut menunjukkan bahwa mereka sebenarnya kurang bisa menerima genre musik dangdut koplo dalam penggarapan lagu-lagu Banyuwangen. Apalagi, keberangkatan musik mereka adalah musik eksperimen yang cenderung berirama kolaboratif—tradisional modern—yang berirama kalem. Namun, nyatanya, mereka juga tidak mampu menolak tawaran pihak rekaman yang, tentu saja, mendatangkan uang buat pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka.
Penuturan Koming mungkin bisa memberikan perspektif lain dalam memandang persoalan popularitas musik dangdut koplo Banyuwangen. Baginya koplo hanya “kulit”. Sebagai kulit, bisa semua genre musik digunakan untuk mengaransemen lagu-lagu Banyuwangen, tetapi esensinya tetap Using, baik dalam cengkok nada maupun lirik lagu. Jadi lagu-lagu Banyuwangen ibarat “gula” dicampur dengan teh ataupun kopi tetap terasa enak dan memunculkan beragam rasa, tergantung kesukaan penggemarnya. Dari aspek keterbukaan kultural, apa yang disampaikan Koming memang sesuai dengan karakteristik tradisi-lokal Banyuwangen yang terbuka terhadap pengaruh luar. Dengan dibungkus dalam kemasan koplo ataupun disko, mampu dinegosiasikan dalam konteks industri kreatif yang ternyata bisa digemari oleh masyarakat. Apalagi, masyarakat juga sudah terbiasa dengan musik dangdut koplo seperti yang mereka lihat dalam VCD Monata dan grup dangdut lainnya dari daerah seputar Surabaya. Dalam konteks ini, persinggungan antara keterbukaan para seniman pencipta lagu, musisi, penyanyi, dan industri menemukan titik-temu dan menghasilkan produk-produk lagu Banyuwangen yang semakin variatif. Persinggungan kreatif yang terjadi meskipun pada awalnya kurang disukai oleh beberapa seniman pencipta, penyanyi, dan musisi, biasanya memang menjadi inisiatif dari pihak produser. Pihak produser melihat adanya peluang untuk terus menciptakan variasi dalam musik Banyuwangen karena realitas penerimaan konsumen terhadap bermacam genre. Keterbukaan kultural dan kepentingan ekonomis dari para musisi menjadikan mereka bisa menerima tawaran-tawaran yang ada. Tidak mengherankan kalau pada era 2000-an lagu-lagu Banyuwangen berkembang pesat dengan bermacam genre musiknya.
Hibridisasi kultural dalam bentuk kesenian, utamanya musik, memang tidak bisa ditolak lagi. Di semua negara berkembang dan wilayah-wilayah lokalnya, percmapuran strategis antara musik lokal dengan musik global menjadi warna yang terus berlangsung hingga hari ini. Realitas musik di Banyuwangi, dengan demikian, bisa dibaca sebagai kecenderungan lahirnya “kosmopolitanisme estetik” (aesthetic cosmpolitanism). Regev (2007: 319) menjelaskan tentang konsep kosmopolitanisme estetik sebagai berikut:
… kosmpolitanisme estetik hadir bukan hanya melalui konsumsi karya-karya seni dan produk-produk kultural dari ‘pengalaman budaya dari wilayah-wilayah lain’, tetapi juga, dan lebih intensif lagi, melalui kreasi dan konsumsi terhadap kebanyakan seni dan budaya lokal yang diyakini mengekspresikan keunikan etno-nasional. Kosmpolitanisme estetik diproduksi ‘dari dalam’ budaya nasional… Kosmopolitasnisme estetik merupakan kondisi dimana representasi dan pertunjukan keunikan kultural etno-nasional mendasarkan secara luas pada bentuk-bentuk seni kontemporer seperti musik pop-rock atau film, sehingga bentuk-bentuk ekspresifnya melibatkan elemen-elemen stilistik yang diketahui diambil dari sumber luar yang dimasukkan ke dalam tradisi lokal. Kosmopolitanisme estetika….merupakan manifestasi utama dari glokalisasi: (re-) konstruksi lokalitas dalam merespons pada dan dalam pengaruh globalisasi. Ia mungkin bisa dikatakan sebagai kosmopolitanisme estetik yang banal, sebagai kosmopolitanisme sehari-hari dan cenderung kasar, tidak orisinil…atau kosmopolitanisme yang benar-benar terjadi dan ada…mengekspresikan kompleksitas aliran kultural di antara bagian-bagian jagat pada masa kini.
Kosmopolitanisme estetik lahir dari para kreator pada level nasional dan lokal yang mampu membaca realitas kesenian dan kultural yang tengah berlangsung secara massif. Mereka tidak langsung mengambil mentah-mentah pengaruh-pengaruh kultural luar, tetapi memasukkan, memodifikasi, dan memproduksi pengaruh luar ke dan di dalam budaya lokal mereka sehingga menghasilkan produk estetik yang unik dan berorientasi etnik dalam citarasa modern. Para seniman Banyuwangen, khususnya yang bergelut dalam dunia musik, telah melakukannya dengan karakteristik lokalitasnya sendiri dan terbukti mampu menjadi penanda lahirnya kreativitas kosmopolitanisme dalam lingkup yang sangat lokal, bahkan mampu menjangkau lingkup regional Jawa Timur. Meskipun oleh beberapa pemerhati, kondisi kosmpolitanisme estetik banyak dianggap sebagai bentuk yang banal, kasar, sehari-hari, dan mencerabut akar orisinalitas kesenian dan budaya sebuah masyarakat lokal, realitas tersebut lebih menarik dibaca sebagai kompleksitas yang terjadi dalam arus lalu-lintas budaya global-lokal yang terjadi hari ini.
Penanda yang paling kentara dari proses kosmopolitanisme estetik adalah kehadiran dan populeritas musik pop, khususnya pop-rock, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Regev (2007: 319) lebih jauh menjelaskan:
Musik populer, khususnya pop-rock, merupakan kunci utama dalam pemahaman ini. Perkembangan style musik pop-rock domestik di banyak negara mentransformasikan keunikan kultural masing-masing yang mereka miliki, sebagaimana diekspresikan dalam musik, ke dalam ruang estetika-sonik yang dimatangkan dengan suara-suara elektrik dan elektronik. Kondisi ini terinspirasi dan juga secara intensif terkoneksi pada trend stilistik dan karya-karya kanonik yang berhubungan dengan pop-rock Anglo-Amerika dan juga musik pop-rock dari entitas ento-nasional lainnya. Pop-rock mendemonstrasikan bahwa, dalam kondisi kosmopolitanisme estetik, model budaya dunia…tidak terpenjara pada lingkup budaya intrumental yang terasionalisasikan. Konstruksi keunikan etno-nasional dalam budaya ekspresif juga mengambil bentuk isomorfism, ketika kekuatan-kekuatan di dalam bangsa dimobilisasi secara mandiri untuk menciptakan pop-rock ‘mereka sendiri’, sembari meyakininya sebagai cara untuk menunjukkan keunikan pada modernitas akhir.
Meskipun mengambil inspirasi dari genre dan bentuk musik dari luar wilayah kebudayaan mereka, para seniman musik lokal, di Banyuwangi misalnya, berhasil menciptakan musik pop-rock mereka sendiri yang tetap beraroma lokal. Adaptasi dan modifikasi dalam bentuk pop-rock dan jenis-jenis turunannya merupakan strategi dalam menghadapi perkembangan dan transformasi kultural yang dialami oleh masyarakat pada era modernitas akhir yang ditandai dengan kapitalisasi kultural dalam setiap aspek kehidupan. Dalam perkembangannya, para seniman musik Banyuwangen, tidak hanya menyerap musik dari luar negeri maupun Jakarta, tetapi juga mengkolaborasikan dengan keragaman musik etno dari wilayah-wilayah lokal lainnya. Produk kolaborasi hibrid dalam musik ternyata tetap digemari oleh penikmat, meskipun tidak sepenuhnya beraroma Banyuwangen.
Rock-dangdut-koplo Banyuwangen, misalnya, sangat populer karena mengkolaborasikan genre rock, dangdut, dan koplo dalam spirit Using. Adapun ciri yang cukup menonjol adalah hentakan drum, rancaknya ketipung, serta permainan melodi yang tidak kalah dari grup-grup rock kelas nasional. Rancak musik ini dipadu dengan tingkah para penyanyi yang melakukan goyang-goyang atraktif yang menjurus ke performa sensual. Adapun grup musik rock-dangdut-koplo Banyuwangen yang terkenal saat ini adalah Denata.[1] Untuk penggarapan video klip-nya, genre musik ini biasanya menggunakan live performance di mana suasana pertunjukan begitu terasa, baik di café maupun di lapangan terbuka. Penyanyi yang tumbuh dan berkembang dari genre musik ini adalah Reny Faridah dan Rozy. Kedua penyanyi tersebut begitu sering muncul dalam VCD yang beredar di pasaran. Lengkingang suara, goyang atraktif, serta rancaknya musik menjadi formula keberhasilan genre musik ini dalam menaklukkan penikmat musik Banyuwangen.
Genre musik techno, yakni house-music juga ikut menyemarakkan industri musik Banyuwangi. Tidak seperti rock-dangdut-koplo yang mengusung kolaborasi beberapa instrumen musik, house-music Banyuwangen lebih menitikberatkan pada kemampuan arranger musik untuk meramu musik gedek yang menjadi menu diskotik di kota-kota besar dengan tone Banyuwangen. Meskipun mengedepankan bit-bit kencang yang membuat tubuh bergerak, house-music Banyuwangen secara unik memasukkan vokal penyanyi gandrung senior, seperti Temu, dengan cengkok-cengkok klasik-nya sehingga ‘percumbuan’ antara kegairahan musik tekno dan lenggak-lenggok vokal penyanyi menjadi sangat terasa. Banyak orang berpikir, mungkin cengkok vokal gandrung sangat sulit dimasukkan dalam musik tekno, tetapi pada tangan-tangan kreatif asal Banyuwangi, semua menjadi mungkin karena irama dan ritme gandrung sendiri juga sangat rancak dan dinamis, sehingga untuk disesuaikan dengan unsur tekno tidaklah sulit. Di samping kepentingan industri untuk menghasilkan keuntungan kapital, kehadiran house-music Banyuwangen juga menandakan kemampuan adaptif dan negosiatif seniman musik Banyuwangen ke dalam kehidupan kaum muda yang dinamis dan penuh gairah. Dengan demikian, kaum muda yang sudah biasa mengkonsumsi musik tekno bisa terus berada dalam pengaruh medan diskursif seni musik beraroma lokal, sehingga mereka tetap mengenal dan mencintai budaya lokal mereka di tengah-tengah serbuan musik industri dari Jakarta.
Dengan format yang lebih santai dan tidak telalu menghentak, racikan musik elekton/organ tunggal juga menjadi warna tersendiri dalam perkembangan musik Banyuwangen. Mamang adalah salah satu musisi yang menjadi pemrakarsa lahirnya penggarapan lagu-lagu Banyuwangen dalam format elekton. Dengan menyesuaikan dan memasukkan nada-nada khas Banyuwangen ke dalam ritme dan bit elekton, Mamang berhasil menyuguhkan karya musik yang tidak melibatkan banyak instrumen, tetapi tetap menarik untuk didengarkan. Dalam penggarapannya, elekton Banyuwangen tentu lebih murah dan ringkes, karena tidak melibatkan banyak musisi, sehingga keuntungan ekonomi yang dihasilkan juga lebih besar. Meskipun demikian, penggarapan dalam format elekton—dan juga house-music—menjadikan ciri komunalitas dari kesenian Banyuwangen menjadi hilang karena tidak banyak membutuhkan personel dalam proses kreatifnya.
Pengaruh musik pop-rock juga sangat kentara dalam beberapa album yang diberi tajuk pop-etnis Banyuwangen ataupun pop-etnis Using. Penggunaan instrumen dan model penggarapan komposisi ala pop dan rock sangat kental, meskipun, lagu-lagi, tetap berorientasi pada lirik dan cengkok Banyuwangen. Kentalnya unsur drum, keyboard, gitar, maupun bass menjadi penanda bahwa para seniman musik Banyuwangen juga dengan mudah mengadaptasikan genre musik yang banyak berkembang di ibukota sebagai bentuk adaptasi dari musik Anglo-Amerika. Meskipun demikian, para musisi Banyuwangen, seringkali tetap memasukkan unsur tradisi berupa kendang di tengah-tengah garapan pop-rock.
Keroncong, jaipong, dan reggae juga menjadi warna tersendiri bagi perkembangan industri musik di Banyuwangi. Akar keroncong yang cukup kuat di Banyuwangi, menjadikan genre musik ini juga bisa diterima sampai sekarang. Lagu-lagu Banyuwangen populer diaransemen dengan menggunakan keroncong. Meskipun demikian, cengkoknya vokalnya tetap menyanyikan gaya Banyuwangen, tidak seperti cengkok keroncong ala Gesang. Begitupula dengan Jaipong yang diaplikasikan dalam konsep aransemen lagu Banyuwangen adalah gaya menabuh kendangnya. Sementara, trend musik reggae yang sedang berkembang saat ini juga diserap secara kreatif oleh para musisi dengan penggarapan komposisi yang bisa menggiring penikmatnya bergoyang serasa masuk ke dalam dunia rasta dengan citarasa Banyuwangen.
Perkembangan-perkembangan tersebut semakin mempertegas keterbukaan dan sikap adaptif para seniman musik Banyuwangen terhadap masuknya pengaruh-pengaruh luar yang masuk. Mereka menyadari bahwa jenis-jenis musik baru tidak mungkin ditolak oleh masyarakat karena kuatnya pengaruh teknologi-informasi. Menyadari realitas kultural tersebut, para seniman musik melakukan siasat kultural dengan mengadaptasi dan menyerap unsur-unsur musik dari luar untuk diaransemen dalam format Banyuwangen, sehingga memberikan beberapa keuntungan. Pertama, tradisi musik khas Banyuwangen dengan lirik dan cengkoknya masih bisa terus dinikmati oleh masyarakat dengan komposisi yang lebih beragam, sehingga mereka tidak merasakan kejenuhan. Ketika setiap hari hanya disuguhi komposisi kendang kempul, bisa jadi mereka merasakan rasa jenuh sehingga akan mudah beralih ke genre-genre musik baru dari luar. Dengan racikan-racikan yang variatif dan terbarukan masyarakat penikmat yang mengalami transformasi selera kultural akan tetap mendapatkan lirik dan cengkok Banyuwangen, baik yang berasal dari tradisi musik gandrung maupun angklung dan perkembangannya hingga patrol opera. Kedua, musik Banyuwangen akan tetap bisa bersaing dengan musik-musik yang berasal dari luar cultural area-nya. Ketiga, dalam konteks industri, pasar tidak akan mengalami kejenuhan sehingga keuntungan finansial dari penjualan VCD dan kaset akan terus mengalir dan bisa menghidupi berbagai pihak yang terlibat dalam mata rantai produksi dan distribusi.
Hibridisasi kultural dalam bentuk kosmopolitanisme estetik dan kapitalisme industrial memang sudah menjadi kenyataan sehari-hari, baik dalam hal berkesenian dan menjalani hidup. Ketika realitas tersebut tidak mampu dijawab oleh para pegiat seni dengan menegosiasikan tradisi-lokal dalam konteks industri kreatif, maka kekuatan tradisi-lokal lambat-laun akan mengalami kemunduran. Negosiasi menjadi kata kunci karena dengannya para seniman bisa mengartikulasikan kepentingan tradisi-lokal dalam bentuk hibrid yang sangat modern. Hibridisasi akan sekedar menjadi peniruan dan pencampuran bentuk kesenian tradisi-lokal dengan kesenian modern-industrial yang tidak mempunyai makna kultural, tetapi sekedar sebagai hiburan, ketika para seniman di Banyuwangi tidak mampu melakukan pendalaman-pendalaman, meminjam istilah Andang, terhadap permasalahan sosio-kultural dan kekuatan elemen serta substansi tradisi-lokal yang ada di masyarakat. Pendalaman-pendalaman itulah yang akan memperkuat proses kreatif dalam penciptaan sehingga budaya lokal akan tetap berada dalam lingkup imajiner dan realitas dari masyarakat melalui produk-produk estetik yang selalu up to date.
Di samping itu, para seniman juga harus mampu melakukan negosiasi terhadap kepentingan industri. Artinya, dalam konteks industri kreatif, karakteristik dan keunikan yang mereka ciptakan dalam berkesenian merupakan “senjata utama” untuk memperkuat nilai tawar mereka di mata industri. Satu formula baku dalam industri kreatif adalah kreativitas yang akan membedakan satu seniman dengan seniman lainnya. Ketika mereka mampu menjaga kreativitas dan keunikan karya yang dihasilkan, pasar sebenarnya bisa memberikan penilaiannya sendiri; apakah menarik atau tidak. Kreativitas yang berangkat dari kekayaan tradisi-lokal Banyuwangen bisa menjadi pintu masuk untuk terus memperbarui keunikan-keunikan estetik sehingga para produser rekaman juga akan mengikuti pola tersebut karena ketika keseragaman produk mulai berkembang, saat itu pula pasar akan mudah jenuh. Kreativitas tersebut tidak selamanya harus mengikuti trend dan keinginan pihak industri yang memang cenderung tidak mau berpikir kompleks. Kreativitas-kreativitas baru malah akan mendukung dinamika industri dengan menciptakan peluang pasar baru, seperti yang pernah dilakukan oleh Yon dkk melalui POB.
Tidak semua produser mengharuskan atau selalu menawarkan resep genre musik industrial seperti house-music, pop-rock, maupun dangdut dalam produksi. Mereka juga memberi kesempatan dan mendorong para seniman untuk selalu berpikir dan berkarya kreatif. Secara implisit, Indra, produser Aneka Safari, menuturkan:
“Kesenian Banyuwangi itu akan tetap bisa bertahan kalau para senimannya kreatif dan produktif. Itu kuncinya. Kalau sudah tidak seperti itu lagi, maka otomatis akan punah juga. Nah, makanya, dibutuhkan juga kejelian untuk berkreasi bagi para seniman itu sendiri. Harus melihat peluang pasar. Untungnya, para seniman Banyuwangen sampai saat ini masih tetap kreatif dan produktif dan berpikiran terbuka. Maksudnya, mereka itu mau membuat kreasi-kreasi yang memberi warna baru, seperti rock dangdut. Lahirnya Denata, itu sebenarnya saya juga ikut berperan. Waktu itu saya tantang musisi-musisinya, “Masa’ kalah sama Surabaya dan Sidoarjo? Kelompok dangdut mereka sudah berkembang, seperti Monata dan Palapa? Masa’ Banyuwangi ndak bisa membuat seperti itu?” Akhirnya, Denata berkembang dengan pesat seperti sekarang ini.” (Wawancara, 30 Juli 2009)
Meskipun tetap mengusung kepentingan kapital, pernyataan Indra tersebut sebenarnya memberikan peluang kepada para seniman musik Banyuwangen untuk tetap kreatif dalam berkarya, sembari melihat peluang pasar. Meskipun contoh yang ia berikan adalah genre musik rock-dangdut, sikap kreatif para seniman sebenarnya bisa merambah genre-genre musik beraroma tradisi-modern. Dalam prinsip Indra, apapun bentuk kreasinya, ketika dia yang berasal dari etnis China bisa menyukainya, maka kemungkinan besar ia akan memproduksinya karena diperkirakan pasar bisa menerima bentuk kreasi baru tersebut.
POB dan patrol opera-nya telah memberi contoh inspiratif dalam memadukan instrumen modern dan tradisional dalam sebuah genre campur-aduk yang nyatanya bisa diterima oleh pasar. Sayangnya, setelah POB bubar, sampai sekarang bisa dikatakan belum ada ‘eksperimen hibrid’ yang bisa melampaui capaian kelompok ini. Sebagian besar garapan musikal yang diproduksi pasca-POB adalah pop industrial yang mengedepankan komposisi musik modern dan sangat jarang memadukan dengan keindahan rancak gamelan maupun angklung Banyuwangen. Kalau semangat kreativitas yang sadar zaman hanya semata-mata mengikuti selera pasar, maka industri musik Banyuwangen hanya akan terjebak dalam lingkaran industrial yang selalu melihat kecenderungan pasar, tanpa berusaha menciptakan pasar. Ketika prinsip menciptakan pasar, seperti yang pernah dilakukan Yon’s DD dan POB, bisa terus dikembangkan dalam benak para seniman muda Banyuwangi, maka eksplorasi, eksperimentasi, modifikasi, dan kolaborasi akan terus mengalirkan karya-karya baru yang bisa mengawal tradisi sekaligus membaca modernitas.
3. Mereka yang Ada, tetapi Tiada: Minimnya Perhatian dan Kebijakan yang Berpihak dari Pemerintah
Pemerintah sebenarnya sudah mengakui kontribusi dan signifikansi industri kreatif dalam mendukung laju pertumbuhan ekonomi dalam skala nasional, bahkan dalam pada periode SBY Jilid II ini sektor industri dan ekonomi kreatif akan diatur dalam kebijakan-kebijakan yang lebih jelas dan semakin mendorong kebutuhan regulasi yang bisa mendorong bergairahnya sektor usaha berbasis industri kreatif. Tentu saja, kabar tersebut sangat menggembirakan di tengah-tengah ketidakjelasan arah kebijakan pembangunan terkait sektor industri kreatif dan kebudayaan pada umumnya. Di bandingkan dengan negara-negara maju yang sepenuhnya menyadari kontribusi ekonomi industri kreatif, seperti AS, negara-negara Eropa (khususnya Inggris), Australia, Hong Kong, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, maupun Singapura, Indonesia memang relatif tertinggal dalam menciptakan kebijakan dan regulasi yang mampu mendorong lahirnya kreativitas dan inovasi, baik bagi kreator maupun produser, sebagai faktor utama bagi industri kreatif. Di tingkat pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, kebijakan pada sektor budaya dan industri kreatif juga masih sebatas pada “sekedar ada” tanpa substansi dan arahan yang komprehensif, meskipun pada daerah tertentu seperti Bali kebijakannya sudah mulai ditata dengan baik. Ironisnya lagi, para penggerak industri dan seniman seperti dibiarkan bermain dan berimprovisasi sendiri dalam menciptakan, memproduksi, dan mendistribusikan produk-produk kreatif mereka, sehingga mereka seringkali harus memeras otak sendiri—bahkan harus menghadapi jalan buntu—ketika menghadapi masalah-masalah di lapangan.
Di Banyuwangi, kebijakan untuk sektor industri kreatif memang sudah mulai dipikirkan ketika industri kesenian mulai berkembang pasca 65. Pemerintah mengambil peran dominan dalam mengatur dan mengendalikan produk-produk kesenian yang diedarkan secara massif, utamanya terkait dengan produksi dan distribusi lagu-lagu Banyuwangen. Surat Keputusan (SK) Nomor um/1968/50 tertanggal 19 Mei tahun 1970 dan Surat Edaran Ketua RKPD No 51/RKPD/V 1972 adalah contoh produk peraturan yang dibuat dalam rangka mengatur perkembangan kesenian dan industri kreatif. Kontrol terhadap jenis dan bentuk lagu yang boleh beredar dan siapa yang mengedarkan secara institusional menjadi fokus utama kebijakan yang dilaksanakan. Masalahnya, ketika industri kreatif, khususnya lagu-lagu Banyuwangen, semakin berkembang pemerintah daerah sendiri tidak siap dengan perangkat kebijakan maupun peraturan yang bisa memperkuat, memberdayakan, dan mendinamisir proses kreatif, produksi, dan distribusinya. Aturan-aturan yang dipakai lebih terkait langsung dengan persoalan pendapatan daerah, semisal dari pajak dan penjualan pita cukai yang dipakai pada kaset dan VCD yang diedarkan. Dengan kata lain, pemerintah daerah terkesan acuh tak acuh terhadap beberapa isu strategis terkait regulasi.
Memang, peraturan dan kebijakan yang lebih disukai pemerintah daerah akhirnya semata-mata pada tataran sektor pendapatan sehingga melupakan pada kebijakan strategis untuk lebih merangsang, mendukung, dan memberdayakan aspek kreativitas dalam industri kreatif dan kebudayaan. Pada kebijakan strategis terkait pemberdayaan industri kreatif yang menekankan pada kreativitas dan pemberian kesempatan industri untuk berkembang akan menjadi fondasi utama dalam penyiapan dan peningkatan ekonomi kreatif yang sangat berguna bagi elemen-elemen masyarakat yang terlibat di dalamnya. Yang harus dipikirkan adalah keberimbangan kebijakan antara sektor kreativitas dan sektor industri. Apabila titik tekan yang diberikan hanya sebatas pada rangsangan untuk meningkatkan peran perusahaan-perusahaan yang bergerak pada sektor industri kreatif, maka sektor kreativitas seniman akan menjadi minor dan dalam perkembangannya akan mengganggu cita-cita ideal dalam pengembangan industri kreatif.[2] Padahal, ketika para kreator mendapatkan ruang dan kesempatan yang dilindungi oleh regulasi, produk-produk kreatif mereka secara otomatis akan mendorong dan menggerakkan sektor industri dan sektor-sektor lain yang menjadi turunannya.
Individu dan kelompok kreatif di Banyuwangi, ironisnya, lebih banyak memberi kepada pemerintah ketimbang menerima sesuatu. Artinya, dengan karya-karya kreatif, mereka bisa memberikan pemasukan berupa pajak kepada pemerintah daerah serta mengangkat citra budaya Banyuwangen, sedangkan pihak pemerintah seperti tidak menghiraukan keberadaan dan aspek-aspek pemberdayaan mereka. Ironisnya lagi, sampai sekarang pemerintah masih membuat larangan-larangan ideologi-politis terhadap proses penciptaan, produksi, dan distribusi lagu yang terkait dengan isu-isu sensitif seperti kasus 65.[3]Akibatnya, imajinasi kreatif para seniman musik seperti menemukan batasan-batasan yang mengekang kebebasan simbolik dan kreatif mereka. Untungnya, para seniman masih mempunyai energi dan semangat patriotisme kultural untuk terus berkembang dan tidak mandeg dalam proses kreatif. Keberanian dan semangat tersebut, pada akhirnya menciptakan mekanisme kultural pada diri para seniman yang sekaligus menjadi “api perjuangan” mereka. Pencipta dan penyanyi seperti Yon bahkan mengatakan, “Sama sekali tidak ada perhatian dari instansi, saya juga tidak pernah meminta, karena kalau meminta diperhatikan saya jadi tidak kreatif lagi, tidak bisa bikin lagu lagi, rugi saya” (penekanan oleh penulis, Wawancara, 20 Juli 2009). Dengan kata lain, ketidakpedulian pemerintah daerah terhadap para seniman musik dijadikan sebagai sebuah lompatan besar untuk terus memperjuangan kreativitas tanpa harus tergantung pada uluran tangan birokrat.
Memang, dalam beberapa persoalan, pemerintah kabupaten tetap memberikan apresiasi terhadap para seniman musik yang terbukti memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan industri kreatif di Banyuwangi, seperti pemberian penghargaan ketika peringatan HUT RI. Catur, misalnya, pernah mendapatkan penghargaan sebagai Kaum Muda Kreatif. Namun, pada dasarnya, itu hanya menyentuh bagian kecil dari bentuk perhatian yang sebenarnya bisa dilakukan oleh pemerintah. Itupun kalau pemerintah mempunyai kesadaran tinggi untuk tidak sekedar ‘memetik buah’ dari proses industri kreatif musik di Banyuwangi, tanpa mau bersusah-payah membuat regulasi dan kebijakan.
 E. Gairah Ekonomi di Balik Industri Musik Banyuwangen
Salah satu isu besar dalam pengembangan industri kreatif, baik dalam skala nasional maupun lokal, adalah penguatan potensi ekonomi kreatif (creative economy) yang bisa muncul dari proses penciptaan, produksi, dan distribusi produk-produk kultural. Alur produksi dan mata rantai yang menyertai karya musikal, misalnya, bisa menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan baru, baik bagi mereka yang “punya keahlian” (talented) seperti pencipta lagu, musisi, operator studio, operator mastering dan penggandaan, pembuat desain cover VCD, pembuat video klip, dan lain-lain ataupun “yang tidak punya keahlian” (not-talented) seperti para penjual VCD di pinggir-pinggir jalan. Meskipun kesan yang muncul sangat kapitalistik, namun realitas pemberdayaan sektor ekonomi yang dibawa oleh industri kreatif khususnya musik perlu mendapatkan apresiasi karena mampu sedikit banyak mengatasi masalah pengangguran yang masih melilit anak bangsa. Kritik juga perlu diberikan sebagai upaya untuk lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas yang semakin baik bagi pemberdayaan ekonomi kreatif.
Membicarakan keuntungan finansial dengan para pengusaha industri rekaman di Banyuwangi memang tidak semudah yang dibayangkan. Mereka bisa saja terbuka tentang persoalan proses produksi dan strategi pemasaran, tetapi untuk membincangkan nominal uang yang diperoleh sangatlah susah. Meskipun demikian, dalam rumus ekonomi, seorang produser akan selalu berusaha untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Yang pasti, dengan mendirikan usaha industri rekaman di Banyuwangi, para pengusaha sebenarnya sudah ikut melahirkan ekonomi kreatif yang memberikan keuntungan ekonomis bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Para seniman pencipta lagu maupun penyanyi, misalnya, jelas mendapatkan honor dari pekerjaan kreatif mereka. Dalam subbab sebelumnya, mereka secara eksplisit mengakui mendapatkan keuntungan finansial yang sangat berguna bagi kehidupan mereka. Kalau mereka mendapatkan keuntungan finansial, tentu saja, hal serupa juga dialami oleh para pekerja yang bergerak pada sektor produksi dan distribusi serta mereka yang bergerak pada sektor-sektor turunan lainnya.
Dalam kerja industri kreatif, kreativitas yang berasal dari pengetahuan (knowledge) menjadi tonggak utama yang harus dikuasai oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Pengetahuan tentang penciptaan, budaya, teknologi, pemasaran, produksi, dan lain-lain menjadi faktor pendorong berkembangnya industri pada semua level. Dari aspek produksi, para pekerja yang berada dalam bidang mastering editing (audio dan visual), dan recording adalah individu-individu yang dituntut mempunyai kemampuan dalam kerja teknik dengan pemahaman estetika musik serta penguasaan teknologi. Di Banyuwangi, meskipun hampir setiap bulan muncul album baru, namun jangan dibayangkan mereka yang terlibat dalam proses produksinya adalah orang-orang berpendidikan tinggi. Mereka adalah individu-individu yang belajar secara otodidak untuk mendapatkan keuntungan ekonomis dari kerja kreatif mereka.
Di Sandi Record saja, tenaga kreatif yang terlibat dalam proses produksi dan distribusi adalah 15 orang tenaga tetap, sementara untuk freelance Arie Sandi tidak mencatatnya, karena silih berganti, terutama mereka yang terlibat dalam aransemen musik (Wawancara, 21 Juli 2009). Data tersebut belum termasuk jumlah mereka yang bekerja di Aneka Safari Record dan Khatulistiwa Record. Data awal tersebut menunjukkan bahwa industri kreatif musik di Banyuwangi mempunyai potensi untuk menggerakkan ekonomi kreatif karena mampu menyerap tenaga kerja dan bisa ditumbuhkan dari modal lokal, tanpa campur tangan pemodal besar dari pusat.
Di samping proses produksi, industri musik di Banyuwangi juga memunculkan peluang baru untuk para pedagang VCD dan kaset, baik yang menggunakan lapak di pinggir jalan maupun outlet-outlet kecil. Dari pengamatan penulis, di Banyuwangi para penjual di pinggir jalan, semisal di Genteng, lebih banyak memajang dan menjual VCD lagu-lagu Banyuwangen di bandingkan dengan VCD band nasional maupun dangdut koplo Jawa Timuran. Di Jember, kondisinya juga tidak jauh berbeda. Di kota yang mayoritas penduduknya adalah etnis Madura dan Jawa, lagu-lagu Banyuwangen begitu digemari sehingga VCD Catur Arum, Chandra Banyu, Reny Farida, dan lain-lain, lebih banyak mendominasi lapak-lapak pedagang, baik di kota maupun di kecamatan. Di Semboro, misalnya, dari 3 lapak yang ada, lagu-lagu Banyuwangen tetap menjadi primadona penjualan, bersaing dengan VCD bajakan band-band nasional maupun VCD asli dangdut koplo versi Monata maupun Palapa. Di Bondowoso dan Situbondo, lagu-lagu Banyuwangen bersaing dengan lagu-lagu dangdut berbahasa Madura yang mulai semarak, lagu-lagu religi, maupun VCD pengajian.
Sementara, para pengamen di bis jurusan Jember-Banyuwangi, juga ikut menikmati rezeki di balik populeritas lagu-lagu Banyuwangen. Selama penulis bolak-balik Jember-Banyuwangi untuk penelitian, hampir semua pengamen yang ada di bus menyanyikan lagu-lagu Banyuwangen yang populer seperti Sing Duwe Isin dan Tombo Kangene Ati yang dipopulerkan oleh Catur Arum. Para pengamen itu ada yang berkelompok maupun tunggal. Meskipun tidak terlibat langsung dalam proses produksi dan distribusi dalam industri rekaman Banyuwangen, mereka ikut juga menikmati rezeki dari proses tersebut. Semakin banyak lagu-lagu Banyuwangen yang dikenal masyarakat luas, termasuk para penumpang bus, maka mereka akan mendapatkan ‘bunga-bunga sosial’ yang semakin banyak dari penumpang. Dengan demikian, berkah ekonomi tidak hanya dirasakan oleh produser, pencipta lagu, penyanyi, maupun musisi, tetapi juga oleh mereka yang bekerja dari bus ke bus mendendangkan suara merdu yang menghibur perjalan para penumpang.

F. Beberapa Catatan dari Brang Wetan
Ketika peluang untuk melakukan kreativitas-kreativitas baru diberikan oleh produser, tantangan terbesar terletak pada para pemusik maupun pencipta lagu Banyuwangen. Setiap orang memang membutuhkan uang dan materi, tetapi kalau kebutuhan itu mengalahkan daya dan nalar kreatif, maka para seniman hanya akan menjadi “buruh-buruh modal” tanpa bisa berbuat banyak untuk menciptakan kreativitas-kreativitas baru yang berlandaskan lokalitas sekaligus menembus konvensionalitas. Lokalitas tetap harus dimaknai, direka, dan dimodifikasi ulang sehingga menjadi produk-produk hibrid yang tidak konvensional sekaligus bisa menaklukkan kecenderungan budaya pop masyarakat, utamanya kaum muda. Pilihan untuk tidak berpikir konvensional dalam memandang lokalitas, pada akhirnya, mampu menggiring pemusik dan seniman pencipta lagu untuk menciptakan karya-karya sederhana dalam selera pop, tetapi tidak kehilangan jejak dengan tradisi-lokal dan tidak sekedar mengekor pada musik pop Barat. Franki Raden, kritikus musik dan etnomusikolog ternama Indonesia, tentang persoalan tersebut menarik untuk dicermati. Ia mengatakan:
Untuk membuat musik yang sederhana….jelas diperlukan sebuah keberanian untuk berekspresi secara tidak konvensional. Kebenarian ini hanya ada pada seorang individu pemusik yang mempunyai keyakinan besar. Unsur yang paling penting agar seorang pemusik dapat memiliki keyakinan yang besar tidak lain adalah dukungan masyarakat luas terhadap setiap tindakan anggota yang kreatif, bukan larangan-larangan yang umumnya banyak terjadi di dalam pagar budaya negara-negara terbelakang yang konservatif. Dengan kata lain, konservatisme tidak akan pernah membuat suatu masyarakat menjadi kreatif dan produktif dalam semua bidang kehidupan, tak terkecuali musik. Hal inilah yang mungkin sulit terjadi di Indonesia. Apalagi dunia musik pop di Indonesia tidak tumbuh secara organik, tetapi mencangkok dari Barat. Para pemusik pop Indonesia selalu mulai membuat musik dengan mengambil sebuah model yang sudah jadi. Alhasil, yang muncul hanyalah tiruan-tiruan dari produk yang datang dari Barat.[4]
Para seniman musik Banyuwangen, memang tidak bisa dilepaskan dari kemampuan melampaui ketradisian kultur masyarakat dengan menciptakan kreasi-kreasi baru berbasis tradisi dengan nuansa yang lebih nge-pop dalam jalur industri. Memang mereka bisa jadi meniru kedinamisan dalam musik pop sebagaimana yang dipopulerkan oleh musisi Barat. Akan tetapi, mereka memiliki keterikatan yang kuat dengan akar tradisi yang kuat, sehingga kaya akan kemungkinan eksplorasi untuk menembus konvensionalitas tradisi-lokal dan kepentingan industri. Dengan cara tersebut, para seniman musik Banyuwangen sebenarnya punya berjuta sumber kreatif yang masih bisa digali dan dikembangkan sehingga kepentingan penyebarluasan tradisi-lokal bisa sejalan dengan kepentingan industri kreatif dalam warna kreativitas yang tidak pernah mandeg. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh tidak semata-mata dalam konteks ekonomis, tetapi juga keuntungan kultural untuk terus-menerus menyebarkan gagasan budaya lokal yang selalu terbarukan dan inovatif dalam transformasi sosio-kultural.
Sementara, untuk pihak pemerintah, termasuk di dalamnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Dina Pariwisata dan Budaya Banyuwangi, beberapa catatan terkait kebijakan yang bisa diambil juga perlu diberikan. Berikut beberapa kebijakan strategis yang bisa diusahakan oleh pemerintah Banyuwangi.
Pertama, penciptaan program-program terkait dengan peningkatan kesadaran dan kemampuan kreatifkaum muda dalam konteks berkarya, sehingga dalam konteks SDM, akan terjadi regenerasi yang ajeg. Adapun para tutor dari program-program tersebut bisa diambilkan dari para seniman musik senior maupun kalangan akademisi sehingga akan terjadi sharing pengalaman dan pengetahuan yang bisa menjadi inspirasi kaum muda untuk berkarya. Memang, banyak kaum muda Banyuwangi yang kreatif tanpa harus diberi pelatihan karena kondisi kultur dan kehidupan seni yang sangat mendukung. Program pelatihan kreatif, sebenarnya, hanya memberikan tambahan wawasan dan teknik dalam proses kreatif sehingga kreativitas yang dihasilkan akan lebih berkembang dan beragam. Dengan adanya regenerasi yang ajeg, maka ke depan seniman-seniman muda—baik pencipta lagu, musisi, maupun penyanyi—akan terus bermunculan dengan karakteristik mereka masing-masing, tanpa harus menuggu siklus 40 tahunan, seperti ketika Yon’s, Catur, Adistya, dan Koming muncul melengkapi kegairahan bermusik setelah era 60-an yang membesarkan nama Andang, Basir, Mahfud, maupun Fatrah Abal.
Kedua, memberikan dana stimulan bagi individu maupun kelompok yang secara meyakinkan mampu melakukan usaha-usaha kreatif dalam bermusik seperti berlatih, mencipta lagu, menggarap aransemen, serta menghasilkan karya yang semakin menyemarakkan jagat musik Banyuwangen. Dana tersebut, tentu saja, bisa diperoleh dari APBD maupun kerjasama dengan pihak swasta yang pemberiannya harus melalui proses seleksi yang terukur dan terarah dengan patokan dan sistem yang jelas dan transparan. Kehadiran dana stimulan tersebut diharapkan mampu menggerakkan nalar kreatif para seniman muda sehingga mereka akan berkompetisi dalam hal kreativitas. Dengan demikian, mutu lagu dan musik Banyuwangen tetap bisa terjaga dan tidak sekedar mengikuti selera musik nasional dan Barat.
Ketiga, menyelenggarakan festival ataupun even musik yang khusus mengangkat potensi lagu-lagu Banyuwangen karya para seniman pemula, bukan lagu-lagu yang sudah populer di pasaran. Dengan kebijakan ini, kreativitas lagu Banyuwangen, baik secara kuantitas maupun kualitas, akan terus mengalami proses kompetisi sehingga bisa semakin beragam dan tidak terjebak pada kemonotonan dan stagnansi karya. Tradisi festival perlu juga disosialisasikan, bukan semata-mata sebagai ajang kompetisi untuk memperebutkan juara, tetapi kompetisi untuk menyuguhkan karya kreatif, sehingga penentuan pemenang tidak lagi ditentukan dengan model juara 1, 2, dan 3, tetapi bisa dengan mengambil 5 atau 10 penampil terbaik. Model tersebut bisa digunakan untuk mengeliminir potensi konflik selama dan sesudah pertunjukan.
Keempat, membuat kebijakan yang tegas tentang royalti hak cipta yang memberikan kesempatan bagi pencipta lagu untuk menikmati kesejahteraan dari hasil jerih-payahnya secara proporsional. Memang, kebijakan ini bisa jadi menghadirkan perdebatan antara sesama seniman, antara seniman dan pihak produser, antara produser dan pemerintah. Namun demikian, dengan metode sosialisasi kekeluargaan dengan menjelaskan argumen keuntungan masing-masing pihak, konflik-konflik tersebut sebenarnya bisa dihindari. Selama ini memang belum ada keberanian dari masing-masing pihak untuk mendiskusikan persoalan tersebut secara terbuka dengan dilandasi semangat konstruktif untuk lebih memberdayakan kreativitas dan industri musik.
Kelima, pemerintah berkoordinasi dengan aparat kepolisian sudah seharusnya menegakkan aturan-aturan untuk menindak para pelaku pembajakan. Meskipun saat ini pembajakan untuk lagu-lagu Banyuwangen sangat minim,[5] kesiapan menghadapi tindak pembajakan sudah sepatutnya disiapkan oleh aparat terkait. Jangan sampai kasus album POB Layangan yang dibajak habis-habisan ketika pertama kali dilempar ke pasar terulang lagi karena hal itu bisa merugikan para seniman yang menciptakannya. Sebenarnya, pihak produser rekaman bisa saja melakukan cara-cara mereka sendiri untuk mengeliminir pembajakan, tapi mereka masih berpikiran positif terhadap aparat. Maka dari itu, kerjasama sinergis antara produser dan pemerintah serta aparat kepolisian mutlak dilakukan melalui dialog-dialog yang konstruktif sehingga kebijakan dan aturan yang dikeluarkan bisa menyentuh akar permasalahan dan bukan sekedar reaksi sesaat.
Selain catatan-catatan di atas, untuk pihak industri rekaman perlu juga diberikan beberapa masukan untuk semakin meningkatkan kualitas dan kuantitas industri musik Banyuwangen. Pertama, pihak industri sebisa mungkin mengembangkan “divisi riset dan pengembangan” (research and development/R & D) untuk mengobservasi kecenderungan dinamika pasar dan budaya yang berkembang dalam masyarakat sehingga bisa ditemukan model lagu yang bisa mempertemukan kepentingan kapital dan pemberdayaan budaya lokal. Di samping itu, divisi ini juga bisa menemukan strategi yang tepat untuk terus memasarkan dan memperluas produk. Kedua, pihak industri perlu menantang para seniman pencipta lagu dan musisi untuk menciptakan produk-produk lagu dan aransemen yang bersifat inovatif yang tidak semata-mata mengikuti trend pasar, karena hanya dengan cara itulah dinamika kreativitas akan terus terjaga pada lagu-lagu Banyuwangen.
Catatan-catatan di atas tentu hanya tawaran yang masih bisa dikembangkan untuk dinamika industri musik Banyuwangen. Sebagai tawaran, tentu banyak pertimbangan-pertimbangan yang bisa diambil dan disesuaikan dengan kondisi yang ada di Banyuwangi. Intinya, segala usaha yang bersifat kreatif dan inovatif sudah menjadi tuntutan bersama ketika para seniman, musisi, dan produser lagu-lagu Banyuwangen berusaha mendalami industri kreatif sebagai cara untuk mengembangkan ekonomi kreatif di tingkat lokal. Apabila mereka menyadari pentingnya persoalan tersebut dan mampu menjawab tantangan-tantangan inovatif dari industri kreatif lagu Banyuwangen, maka gada wesi kuning (gada besi berwarna kuning) yang menjadi senjata andalan Minak Jingga (pahlawan dalam legenda Blambangan), akan betransformasi menjadi tembang yang terus mengalir memenuhi nuansa kreatif dan ekonomi dari Bumi Blambangan.
[1] Tentang kelahiran Denata, Koming menceritakan bahwa pada awalnya Indra, produser Aneka Safari Genteng, menantangnya dengan mengatakan: “Masa’ musisi Banyuwangen tidak bisa membuat karya musik seperti Monata?” Mendengar tantangan tersebut, Koming dengan cekat menjawab: “Bisa!” Maka ia kemudian ikut membidani lahirnya Denata serta ikut memberikan arahan serta masukan dalam penggarapan musiknya. (Wawancara, 31 Juli 2009)
[2] Australia adalah salah satu negara yang menyadari pentingnya kebijakan dan regulasi untuk pemberdayaan industri kreatif. Pada masa pemerintahan Paul Keating, negeri Kanguru ini membuat cetak biru (blue print) kebijakan yang diberi tajuk Creative Nation dengan pilot project-nya Creative Queensland. Dana yang cukup besar diberikan utamanya dengan titik tekan pada perusahaan-perusahaan kreatif, warisan budaya, tempat-tempat historis, dan tradisi. Akibatnya, para kreator dan kreasinya, seperti drama, tari, dan multimedia tidak mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam kebijakan kultural tersebut, sehingga mereka tetap saja menjadi minor dalam hingar-bingar industri kreatif yang diharapkan. Akibatnya proyek tersebut hanya menjadi “mimpi besar pembuat kebijakan” dan menjelma “mimpi buruk bagi para penyedia dan kreator”. Lihat Flew, Cunningham, Stuart D. 2003. The Evolving Creative IndustriesFrom original assumptions to contemporary interpretations, dalam http://eprints.qut.edu.au/4391/1/4391_1.pdf, diakses 2 Juni 2009.
[3] Sekitar 2008, salah satu album Catur Arum yang di dalamnya menyinggung lagu Genjer-genjer ditarik oleh perusahaan rekaman CHGB (Surabaya). Tidak ada alasan yang jelas kenapa lagu tersebut ditarik dari peredaran. Bisa diduga, penarikan tersebut sangat mungkin dipengaruhi oleh pihak pemerintah dan aparat terkait karena adanya ketakutan dan stigmatisasi terhadap Genjer-genjer yang sudah terlanjur diyakini oleh publik sebagai lagunya PKI. Kejadian tersebut merupakan kemunduran dalam proses kreatif karena bisa melanjutkan “tradisi ketakutan” untuk mengeskplorasi tema-tema sensitif. Padahal eksplorasi kreatif yang dilakukan seniman bisa menjadi sebuah titik awal untuk memberikan pemahaman yang lebih kritis dalam suasana menghibur terhadap masalah-masalah yang masih membelenggu kehidupan politik warga Banyuwangi, seperti tragedi berdarah 65, huru-hara Ninja 98, dan yang lain.
[4] Lihat, Raden, Franki, “Musik Pop Tidak Pernah Mati”, dalam Kompas, Minggu, 8 November 2009.
[5] Dalam pengamatan penulis, baik di Banyuwangi maupun di daerah-daerah lain seperti Jember, Bondowoso, dan Lumajang, VCD Banyuwangen yang dijual di lapak-lapak penjual, tidak ada yang bajakan. Menurut salah satu penjual di Semboro Jember, para pembeli rupa-rupanya sudah menyadari bahwa apa yang mereka beli adalah produk yang menekankan pada kekayaan budaya lokal, sehingga tidak pantas kalau mereka membeli bajakan, apalagi harganya relatif terjangkau, berkisar Rp. 10.000,- sampai Rp. 12.500,-. Hal yang berbeda berlaku bagi VCD band-band nasional dimana versi bajakan beredar secara luas. Di samping itu, para produser biasanya menyelipkan klip atau pesan tertulis dalam VCD tentang anjuran untuk tidak membeli VCD atau kaset bajakan.
Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com

Sumber: MataTimoer