Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Selasa, 18 Desember 2018

Kanon Sastra: Bagaimana Menjadi Indonesia


oleh Esha Tegar Putra | 18 Desember 2018

"Kanon Sastra Indonesia: Perlukah?" dalam agenda debat publik KKI 2018

Jika “Kanon Sastra Indonesia” resmi dibuat, kepada siapa kanon ini hendak ditujukan: pelajar, umum, atau malahan untuk promosi karya sastra Indonesia ke luar negeri?

I

Jika “Kanon Sastra Indonesia” dibuat secara institusional oleh lembaga pemerintahan, kepada siapa kanon tersebut diperuntukkan? Sudah siapkah publik menerima kehadiran kanon sastra dalam keragaman khazanah Sastra Indonesia dengan segala tangunggan kontestasinya? Dua pertanyaan tersebut menantang saya untuk mereka-reka kemungkinan hadirnya kanon sastra yang ditahbiskan oleh lembaga pemerintahan. Namun pembacaan saya selalu dihadang sederet persoalan mendasar dalam sejarah kesusastraan di Indonesia yang selalu membuat proses kehadiran kanon terhambat—setidaknya dalam menginterpretasikan “kanon sastra”. 

Politik kebahasaan dan ideologi penerbitan berawal pada periode kolonialisme Belanda hingga perdebatan tentang kapan bahasa Indonesia lahir; pertentangan kaum terdidik tentang bagaimana cara pandang dalam berkebudayaan di Indonesia; keterkaitan langsung praktik kesusastraan dalam mengoreksi atau mendukung rezim kekuasaan; dan proses memandang Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa dengan keragaman suku-bangsa sampai pembawaan pada tema karya sastra.

II

Sejarah kesusastraan Indonesia hari ini tentu tidak lepas dari persoalan politik kebahasaan dan ideologi penerbitan sejak periode kolonialisme Belanda. Tak dapat dimungkiri, Balai Pustaka (1917) awalnya didirikan sebagai Komisi Bacaan Rakyat di Sekolah-sekolah Bumiputera (melalui surat keputusan No.12 tanggal 14 September 1908). Kehadiran Balai Pustaka menurut A. Teeuw tentu sangat bermanfaat, di antaranya memberi ruang untuk bangsa Indonesia menghasilkan karya sendiri karena rakyat kemudian dapat membaca karya anak bangsa. Ia mempercepat perkembangan dunia karang-mengarang dan memperluas khazanah cerita rakyat yang hadir dari berbagai daerah. Termasuk dengan luasnya penyebaran buku-buku bacaan di berbagai daerah karena instruksi membangun pustaka di sekolah-sekolah dan penjualan buku-buku murah.

Lain soal ketika Balai Pustaka hadir untuk menampik peredaran bacaan-bacaan liar yang dianggap mengganggu proses politik kolonial Belanda. Sekian banyak literatur hadir membicarakan Balai Pustaka periode awal sebagai badan penerbitan resmi pemerintahan Belanda yang berupaya menghambat peredaran bacaan di luar penerbit tersebut terutama melalui sensor kebahasaan ketat termasuk dengan ideologi penghadiran karya sastra.

Persoalan yang kemudian mendatangkan dilema tersendiri, perdebatan antara “bahasa Melayu-tinggi” sebagai produksi dari bacaan dari Balai Pustaka dengan “bahasa Melayu-rendah” (pasar) yang dianggap diproduksi dari bacaan-bacaan di luar penerbit pemerintah kolonial tersebut.

Selain faktor kebahasaan, hadir pula persoalan kandungan bacaaan yang sifatnya terlalu kedaerahan, salah satunya daerah Minang, karena hampir sebagian besar jajaran redaksi di Balai Pustaka pada periode awal dipegang oleh orang-orang Minang. Terlebih, jajaran redaksi tersebut dianggap memegang teguh corak penggunaan kamus Kitab Logat Melajoe (1901) Ch. A. van Ophuysen yang merupakan sistem ejaan Latin pertama untuk bahasa Melayu resmi periode kolonial Belanda di Indonesia. Kitab tersebut disusun Van Ophuysen, selaku orang Belanda lahir dan tumbuh dalam lingkungan berbahasa Minangkabau. Ditambah lagi, penyusun kitab itu Engku Nawawi St. Makmur, guru Sekolah Raja (kweekschol) dan tokoh pendidik di Minangkabau, dan M. Taib St. Ibrahim.

Soal bagaimana proses sensor dilakukan Balai Pustaka melalui terbitan “Nota Over de Volkslecturur” (1911) atau dikenal sebagai Nota Rinkes, tentu saja telah menutup peluang untuk menerbitkan karya-karya dengan bahasa Melayu yang dianggap rendahan, dengan tuturan lugas, termasuk karya yang berisi kritik terhadap sistem pemerintahan kolonial. Pada soal ini, saya ingin melirik lagi beberapa tulisan Sapardi Djoko Damono dalam buku Politik Ideologi dan Sastra Hibrida (Pustaka Firdaus, 1999). Tentu saya bersepakat dengan pandangan Sapardi soal proses sensor Balai Pustaka sebagaimana dibahas di atas. Akan tetapi, mengenai dominasi Minang atau corak Minang sepenuhnya karena proses redaksional dalam memandang kesusastraan Indonesia periode awal Balai Pustaka? Saya pikir kita harus menimbang lagi bagaimana pada periode tersebut orang-orang, termasuk redaksi Balai Pustaka yang terdiri dari kalangan bumiputera dan Belanda, memandang “Indonesia” melalui bahasa Melayu versi mereka.

Beberapa tulisan Sapardi secara tidak langsung mengetengahkan persoalan bagaimana salah satu etnis (Minang)—atau lebih luas disebut sebagai Sumatera—diunggulkan pada masa tertentu karena redaksi Balai Pustaka hampir sebagian besar terdiri atas etnis tersebut. Persoalan pengunggulan berulang-ulang dituliskan Sapardi dalam beberapa artikel buku tersebut, salah satunya artikel bertajuk “Beberapa Masalah dalam Perkembangan Sastra Indonesia Modern” (1999:36-52). Sapardi mengatakan bahwa setiap kali berbicara mengenai Balai Pustaka, kita hampir selalu berbicara mengenai dominasi pengarang Sumatera, terutama Sumatera Barat. Marah Rusli, S. Takdir Alisjahbana, Tulis St. Sati, Nur St. Iskandar, A. St. Pamuntjak, Abdul Muis, dan HAMKA sebagai sastrawan Indonesia sebelum perang (kemerdekaan). 
Sementara itu I Gusti Njoman Pandji Tisna dan Soetomo Djauhar Arifin, berasal dari Bali dan Jawa, merupakan pengecualian.

Selain itu, menurut Sapardi terdapat kesulitan dari pembaca di luar Minang dalam memahami kosep ‘kosakata’ termasuk mitologi karya sastrawan Minang. Sebagaimana kasus penerbitan buku Kasih Tak Terlarai (1929) karya Soeman HS, terjadi perubahan pada judul naskah karya pengarang Melayu Riau tersebut oleh redaksi Balai Pustaka, dari semula ‘terlerai’ menjadi ‘terlarai’. Kemungkinan perubahan tersebut dianggap terjadi karena salah seorang redaktur Balai Pustaka dari Minang.

III

Periode pasca-Revolusi Indonesia (1945-1949) juga menentukan bagaimana karya sastra dikontestasikan. Kita dapat melirik sebuah kitab kecil karangan Amal Hamzah berjudul Buku dan Penulis (Balai Pustaka, 1950) tentang bagaimana setidaknya proses “kanonisasi” sastra berlangsung melalui kitab tersebut. Kitab berupa ulasan singkat dan sinopsis tentang karya tersebut menghimpun 20 karangan terdiri dari roman 17 penulis. Hampir sebagian besar roman ulasan Amal Hamzah terbitan Balai Pustaka dari tahun 1920-an, seperti Azab dan Sengsarakarya Merari Siregar, Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, Darah Muda dan Asmara Jaya karya Adinegoro, ataupun Sukreni Gadis Bali karya Panji Tisna, dan sedikit karya terbitan di luar Balai Pustaka. Di antara yang sedikit itu merupakan keluaran penerbit yang berada di Jakarta, misal Kertajaya karya Sanusi Pane dan Belenggu karya Armijn Pane terbitan Pustaka Rakyat, Surabaya karya Idrus terbitan Merdeka Press.

Dalam pendahuluannya Amal Hamzah mengatakan bahwa kitab kecil yang ditulisnya pada 1947 hingga akhir tahun 1948 itu adalah usaha memperkenalkan penulis-penulis Indonesia kepada umum. Ia berpendapat, saat kitab itu akan ditulis, minat masyarakat pada sastra bisa dikatakan sudah dua kali lipat dari 30 tahun sebelumnya. Melalui kitab himpunan ulasan singkat terhadap beberapa roman Indonesia, Amal Hamzah ingin cabang kebudayaan bernama sastra terus berkembang, “tidak kerdil tumbuhnja,” terangnya.

Salah satu ulasannya yang menarik adalah mengenai roman (novel) Andang Teruna karya Sutomo Djauhar Arifin. Meskipun buku Amal Hamzah diterbitkan Balai Pustaka, ia mengkritik melalui perbandingan Andang Teruna dengan karya-karya terbitan Balai Pustaka sebelumnya. Amal Hamzah menyebutkan roman tersebut memberi kesan segar ke dalam hati pembaca. Ia merasa bahwa dari Andang Teruna “untuk pertama kalinya” ia membaca roman dengan akhir cerita menunjukkan kegembiraan akan hidup yang akan datang. Ia menegaskan pada pengarang sekaligus menggambarkan mengenai pembaca (bangsa) Indonesia: 
“Sebetulnja djanganlah hendaknja dalam roman memberikan alasan kepada bangsa kita untuk lebih lama duduk termenung, sebab pada azaznja sengadja bangsa kita itu suka sekali duduk termenung dan mengelamun!” terangnya.
Amal Hamzah membahas Andang Kelana dengan penuh pujian, tapi sekaligus melemparkan kritik untuk “engku redaktur” Balai Pustaka atas cara mereka melakukan suntingan terhadap naskah-naskah terbitannya. Buku dan Penulis karya Amal Hamzah memperlihatkan bagaimana periode pasca-revolusi mengubah pola pandang direksi dan redaktur Balai Pustaka. Setidaknya, mereka menjadi lebih terbuka untuk kritik. Di lain soal, di antara apresiasi dan kritik Amal Hamzah, kita tidak menemukan satu pun buku di luar terbitan Balai Pustaka dan Merdeka Press. Padahal, sekian banyak roman lain beredar antara penerbitan Azab dan Sengsara karya Merari Siregar (1920) hingga Surabaya karya Idrus (1947).

Pada periode ini, para pemerhati sastra berada dalam masa kebimbangan dan masih mereka-reka mengenai apa itu Kesusastraan Indonesia (?). Kita dapat melihat bagaimana cara pandang kritis H.B. Jassin dalam tulisannya mengenai buku tentang “Kesusastraan Indonesia Modern”. Ia mengomentari kehadiran buku Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru karya A. Teeuw.

H.B. Jassin menganggap pembagian dilakukan A. Teeuw terhadap pengarang Pujangga Baru dan Balai Pustaka tidak bisa dipertahankan dalam kemurniannya. Hal ini dicontohkan dengan Sutan Tadir Alisjahbana, meskipun ia dulu merupakan pegawai dan pengarang Balai Pustaka, ia dimasukkan pada golongan Pujangga Baru karena ia memimpin (majalah) Pujangga Baru pada 1933. Begitu juga dengan Armijn Pane dan Sanusi Pane.

Sebagaimana Amal Hamzah tidak menulis satu pun roman “bacaan liar” atau “roman picisan” dalam uraiaan bukunya, H.B. Jassin dalam catatannya juga membahas penggolongan roman picisan dalam kesusastraan, di mana Dr. Roolvink berpandangan bahwa roman picisan pada umumnya jangan hanya dihargai dari sudut beletri (sastra Indah) saja. Namun, roman picisan ini dapat dipandang sebagai ukuran apa yang hidup dalam jiwa suatu bangsa dan watak masyarakatnya. Meskipun Dr. Roolvink tetap menganggap roman picisan mengecewakan dalam beberapa hal, termasuk mengenai “uraian jiwa yang dangkal”, komposisi yang “kadang-kadang tidak memuaskan”, dan “bahasa yang dirusakkan oleh kata-kata yang bukan kata Indonesia”, merurutnya buku-buku roman picisan tetap punya harga karena memberikan kesan tentang kehidupan kota-kota besar dan kebudayaan-kota Indonesia modern. 
Ringkasnya, H. B. Jassin lebih menganggap roman picisan sebagai “bacaan saja”.

Perdebatan mengenai roman picisan ini kemudian hari terus berkembang ke masa selanjutnya dalam memberi batasan bacaan “populer” (minor) dan “sastra” (mayor). Di luar itu semua, dapat kita lihat perdebatan dalam ruang lingkup roman picisan. Selain persoalan sensor, soal perdebatan kebahasaan, keliaran, ketidaktertiban, lingkungan di sekitar roman picisan juga dihadang persoalan lain—termasuk lembaga agama yang mempertimbangan aspek normatif karya sastra dibanding estetika karya. Saya menghadirkan telaah Sudarmoko dalam buku Roman Pergaoelan genre fiksi terbitan Penjiaran Ilmoe, Bukittinggi, periode pertengahan 1930-an hingga awal 1940-an. Selain menerbitkan karya pengarang Minang (Sumatera Barat), penerbit itu juga menerbitkan beberapa naskah pengarang Kalimantan, Solo, Yogyakarta, Batavia, Medan. Penerbitan seri Roman Pergaoelandianggap mampu menopang kehidupan penerbitan. Bahkan roman yang diterbitkan setiap dua mingguan tersebut sanggup merambah pasar Malaysia, Singapura, Brunei, selain wilayah Indonesia.

Oplah percetakan seri Roman Pergaoelan cukup besar. Roman terdiri dari 70 sampai 120 halaman sekali terbit dicetak 1.000 eksemplar dan pada cetakan selanjutnya mencapai 5.000 eksempar. Lain untuk kasus roman karya Martha (Maisir Thaib) berjudul Oestaz A. Masjuk, polemik pembaca membuatnya dicetak tiga kali dan terakhir dicetak sebanyak 10.000 eksemplar. Pada penerbitan roman karya Martha itu, kita bisa lihat betapa lingkungan roman “picisan” memuat dilema tersendiri di luar penjualannya yang laris. Selain tidak dilirik oleh ruang lingkup sastra, kehadiran roman sejenis mendapat tantangan dari golongan tertentu. Roman Oestaz A. Masjuk karya Martha dan Angkatan Baroe karya HAMKA terbitan Penjiaran Ilmoe dalam seri Roman Pergaoelan ditentang oleh golongan Perti (Persatuan tarbiyah Islamiyah). Pihak penerbit sudah mengira pada penerbitan pertama roman tersebut akan mendatangkan polemik, tapi tetap menerbitkannya.

Roman karangan Marta dihantar catatan HAMKA lalu disambut polemik dari pembaca dengan disertai tanggapan kritis. Tanggapan itu terus berkembang kemudian hari di berbagai koran. Buku tersebut turut membuat kalangan pers di Padang dan Tapanuli ribut dan berbagai koran tertarik untuk memuat pertimbangan isi buku. Para ulama menganggap catatan HAMKA pada pengantar roman adalah fitnah terhadap ulama dan pemuka Perti. Golongan Perti bahkan membuat konferensi dalam membahas roman tersebut. Dalam konferensi yang dihadiri oleh kurang-lebih 1.000 anggota Perti, dihasilkan keputusan yang berkaitan dengan tulisan HAMKA dan roman Oestaz A. Masjuk. Pembakaran roman Marta juga dilakukan oleh Siradjoedin Abbas selaku ketua Perti di hadapan peserta konferensi seteleh membacakan putusan terhadap roman itu.

IV

Belasan tahun setelah polemik mengenai Oestaz A. Masjuk, kejadian serupa menimpa kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (1956) karya A.A. Navis. Reaksi periode itu melebar ke arah hubungan bacaan sastra dengan partai politik. Dalam otobiografinya, A.A. Navis (1994) mengisahkan bahwa muncul kritik tak resmi tentang penerbitan buku kumpulan cerpennya oleh Penerbit N.V. Nusantara. Seorang buya (ulama) di Bukittinggi melontarkan pandangan kepada Rustam Anwar selaku direksi penerbit, “kenapa cerita orang Murba diterbitkan, Rustam?” A.A. Navis sendiri mengakui pada periode itu ia tak berpartai. Reaksi sengit juga muncul atas terbitnya cerpen A.A. Navis selanjutnya berjudul “Man Rabbuka” dimuat Harian Nyata, Bukittinggi, pada akhir 1957. Cerpen tersebut dianggap mengejek Islam sehingga Harian Nyata memberikan klarifikasi penerbitan dengan anggapan bahwa cepen itu tidak pernah ada. Penerbitan cerpen yang sama di Majalah Siasat juga berbuntut sama.

Situasi politik periode 1950-an hingga 1960-an dan hubungannya dengan karya sastra juga dapat dilihat pada karangan Soewardi Idris.

Memasuki 1950-an, instabilitas politik dan ekonomi zaman revolusi bergeser ke situasi pasca-perang. Kabinet pemerintah jatuh bangun dan pada saat yang sama berhadapan dengan krisis-krisis sosial-ekonomi dan rangkaian pergolakan daerah yang meletus hampir merata di setiap kepulauan.
Kita dapat merunut kembali pertikaian-pertikaian sentrifugal (politik, keagamaan, dan kedaerahan) di Indonesia yang menyebabkannya sebagai bangsa baru lahir, mempertanyakan dan memaknai kembali arti pembentukan sebuah bangsa. Dalam hal ini, termasuk pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berlangsung pada periode 1958-1962 di Sumatera Barat.

Soewardi Idris banyak menuliskan persoalan PRRI dalam karya sastranya. Sebelumnya, Bachtiar Djamily melalui roman Jang Berontak dan Jang Menjerah (Firma Tekad, 1962) dan Dt. B. Nurdin Jacub melalui kumpulan cerpen Dara Dibalik Katja (N.V. Nusantara, 1962) juga mengangkat latar peristiwa PRRI dalam karya mereka. Soewardi Idris lebih intens membicarakan PRRI dibandingkan Bachtiar Djamily dan Dt. B. Nurdin Jacub. Ia menghadirkan latar peristiwa PRRI secara khusus melalui kumpulan cerpen Diluar Dugaan (N.V. Nusantara, 1963), Istri Seorang Sahabat (N.V. Nusantara, 1963), dan roman Dari Puncak Bukit Talang (Wilendra, 1964). Namun, kehadiran karya-karya Soewardi Idris di satu sisi ditentang oleh PKI dan sempat dimuat dalam Harian Rakyat (1964), dan ketidaksukaan atas karya tersebut juga datang dari orang-orang yang terlibat PRRI.

Tapi tidak begitu dengan kondisi karya-karya pengarang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berkisah tentang PRRI pada periode itu. Zubir A.A, pengarang Lekra yang juga kerap berbicara mengenai PRRI, tidak mendapat reaksi sebagaimana diterima Soewardi Idris. Bahkan dalam satu cerpennya berjudul “Amanatnja Kepada Partai”, PRRI digambarkan sebagai “kaum fasis” dan di cerpen lain berjudul “Lagu Subuh” ia menggambarkan pengikut PRRI sebagai “serdadu pemberontak jang serakah”. Dalam hal ini, kita dapat melihat bagaimana situasi politik 1950-1960 juga menjadi penentu kehadiran sebuah karya sastra ke lingkungan pembaca.

V

Dapat dikatakan dalam lintasan sejaran sastra Indonesia kita tidak mengenal, atau lebih tepatnya tidak mempergunakan istilah “kanon”, tapi pada prinsipnya proses kanonisasi sudah berlangsung lama. Proses itu pula membentuk cara pandang sebagian besar masyarakat, siswa, mahasiswa, dan akademisi sastra di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari model uraian pengetahuan mengenai sejarah kesusastraan yang selalu mengarah pada model “periodisasi” yang saling mengoreksi.

Model-model pembacaan periodisasi itu dikembangkan oleh H.B. Jassin, diteruskan Buyung Saleh, Nugroho Notosusanto, Bakri Siregar, Ajip Rosidi, Zuber Usman, Umar Junus, hingga Rachmad Djoko Pradopo.

Di kemudian hari, kita juga mengenal, dalam hal pembacaan terhadap subgenre karya sastra berdasarkan periodisasi, dalam buku kritik serta apresiasi, muncul beragam istilah lain, semisal ‘tonggak’, ‘tokoh’, ‘leksikon’, atau berdasarkan nama-nama kelompok dan daerah. Istilah tersebut tak lain hanya pengganti untuk tidak menyebut ‘kanon’.

Semua istilah tersebut turut memunculkan polemik dalam beragam kapastitas pembacaan dan kemudian hilang begitu saja karena barangkali tidak mempunyai argumentasi kuat. Misalkan, buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2000) karya Korrie Layun Rampan yang memuat seratusan lebih nama-nama penyair, cerpenis, novelis, eseis. Nama-nama berikut karya terhimpun dianggap telah menampilkan warna tersendiri dalam khazanah sastra di Indonesia. Yang terbaru, dapat kita lihat polemik mengenai buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (KPG, 2013) yang wacananya akan disebarkan ke sekolah-sekolah. Buku tersebut mengeliminasi sastrawan lain dengan karya cemerlang melalui kategorisasi penghadiran angka “33” dan istilah “paling berpengaruh”. Keterangan di bagian penutup buku, dengan judul “Yang Indah dan yang Luput”, memperlihatkan bagaimana pengaruh tokoh (dalam pemahaman tim penyusun buku) di luar 33 tokoh, seakan dikerdilkan, dikebiri proses dan capaian karyanya. Dalam uraian tersebut, dituliskan bahwa mungkin saja seorang sastrawan tak diragukan lagi kedudukan pentingnya dalam sastra Indonesia karena karya-karyanya sangat berhasil.

VI

Dari pandangan di atas, saya menegaskan kembali bahwa “kanon sastra” telah hadir lama, sejak didirikan Balai Pustaka hingga penyelaraskan sejarah kesusastraan  Indonesia oleh peneliti dan akademisi.

Hingga hari ini, “sastra kanon” atau “karya sastra kanon” di tingkatan siswa masih dipegang oleh karya-karya terbitan Balai Pustaka sebelum kemerdekaan dengan seri “sastra nostalgia” atau “sastra klasik”—kita harus menguji pandangan ini.

Selanjutnya, di ruang pembaca sastra umum, peneliti, akademisi, atau sastrawan, “sastra kanon” atau “karya sastra kanon” versi mereka barangkali dipengaruhi beragam pembacaan (hasil penelitian, karya pemenang sayembara, ataupun peraih kusala).

Jadi, jika “Kanon Sastra Indonesia” resmi dibuat, kepada siapa kanon ini hendak ditujukan: pelajar, umum, atau malahan untuk promosi karya sastra Indonesia ke luar negeri? Bagaimanapun, jika rencana ini benar adanya, butuh waktu tidak sebentar untuk kembali mengevaluasi apa yang sudah dianggap sebagai sejarah kesusastraan hari ini. Butuh penerimaan juga bagi publik pembaca karya sastra Indonesia untuk membenarkan bahwa pada suatu masa pernah ada “yang dibenamkan” dan “yang diapungkan” karena keterhubungan sastra dengan rezim kekuasaan.
___

Daftar Bacaan:

Damono, Sapardi Djoko. (1999). Politik Ideologi dan Sastra Hibrida, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hamzah, Amal. (1950). Buku dan Penulis. Jakarta: Balai Pustaka.
Jassin, H.B. (1954). Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Gunung Agung.
Marhalim Zaini. (2018). Bahasa Melayu dalam Sastra Indonesia (Kasus Sastra Melayu Riau). Makalah diskusi Payokumbuah Literary Festival, 14-16 November 2018.
Noor, Azep Zamzam (ed.). 2013. Puisi Esai: Sebuah Kemungkinan Sebuah Tantangan. Depok: PT Jurnal Sajak Indonesia.
Sudarmoko. (2008). Roman Pergaoelan. Yogyakarta: Insist Press.
_________ (2016). Regionalisme Sastra Indonesia. Padang: LPTIK Universitas Andalas.
Yusra, Abrar. (1994). A.A. Navis: Satiris dan Suara kritis dari Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
___

Esha Tegar Putra, seorang penyair asal Padang. Ia turut menggagas Padang Literary Biennale 2014 pada September 2014. Buku puisinya yang terbaru berjudul "Sarinah"

Sumber: Jurnal Ruang 

Selasa, 04 Desember 2018

"Keberangkatan" NH Dini, Ketidakberanian Eko Tunas Menyampaikan Pesan Rendra

Oleh Edhie Prayitno Ige } 04 Des 2018, 21:30 WIB


Semarang - "Keberangkatan" adalah salah satu judul novel NH Dini yang monumental disamping karya lain yang juga mendunia. Bercerita tentang seorang peranakan Indonesia-Belanda yang terombang-ambing dalam asmara.
Tokoh utama, Elisa. Konflik dijalin dengan penggambaran watak datar dan tokoh tambahan yang berwatak bulat digambarkan melalui Sukoharjito dan Elisa. Ini adalah hasil pengamatan dan pengalaman NH Dini dalam menjalani hidup.
Novel "Keberangkatan" mendapat perhatian khusus di mata sastrawan Eko Tunas. Kematian NH Dini adalah sebuah keberangkatan itu sendiri. Eko Tunas bercerita bahwa NH Dini adalah sastrawan yang setia di dunianya, di jalan sunyi, sendiri.
"Saya pernah dititipi pesan dari almarhum Rendra untuk mbak Dini. Sebenarnya bukan pesan yang penting, Rendra menitipkan salam terbaiknya untuk mbak Dini andai saya bertemu beliau," kata Eko Tunas kepada Liputan6.com.
Eko kemudian beberapa kali bertemu NH Dini di sebuah toko buku besar di Semarang. Mereka saling sapa, saling berbincang dan berdiskusi banyak hal.
"Tapi pesan itu belum juga sempat saya sampaikan. Saya tidak berani karena kesannya mbak Dini itu orangnya tertutup," kata Eko.
Cerpenis Binhad Nurrohmat melalui akun media sosial FB-nya juga menyampaikan permintaan maafnya karena ia merasa kurang ajar pada NH Dini dalam sebuah diskusi di TIM. Saat itu NH Dini bertindak selaku moderator.
"Saya tampak galak sebagai peserta diskusi itu setelah pembicaraan saya saat akan mengajukan pertanyaan diinterupsi oleh peserta diskusi lain yaitu Misbach Yusa Biran. Rendra yang juga hadir dalam diskusi itu segera meredakan ketegangan," tulis Binhad dalam tulisan yang berjudul NH Dini, Maafkan Saya.
Binhad mengaku suka gaya Rendra menengahi situasi. Dia merendah tanpa kehilangan kharisma. NH Dini tampak lebih tenang rautnya saat Rendra berbicara.
"Saat itu saya sudah mengenal Rendra lebih dekat dan beberapa kali berbincang akrab di beberapa tempat. Yang saya pernah dengar, saya tak tahu pasti benar-salahnya, Rendra pernah "dekat" dengan Nh Dini pada masa mudanya," tulis Binhad.

Kedalaman Jiwa Karakter

Novel "Keberangkatan" karya NH Dini yang penuh konflik. (foto: Liputan6.com/dok.eko tunas/edhie prayitno ige)

Eko Tunas menyebutkan bahwa novel-novel NH Dini banyak yang sangat realis. NH Dini lebih banyak bermain di kedalaman jiwa tokoh-tokohnya.
"Novel-novel mbak Dini itu sesungguhnya sangat menginspirasi," kata Eko.
Bagi para sastrawan muda yang suka dengan gaya bercerita akrobatik, barangkali novel-novel NH Dini tidak memiliki efek kejut. Sastrawan Djawahir Muhammad melalui sambungan telepon menyebutkan bahwa gaya bercerita NH Dini memiliki tempo yang lambat. Namun konflik yang dihasilkan sesungguhnya sangat kompleks.
"Dalam novel Keberangkatan, adal konflik batin, konflik physic, dan konflik sosial. Konflik batin dialami Elisa dan Talib. Konflik sosial dialami Elisa dan Sukoharjito, Elisa dengan Talib, juga Elisa dengan Lansih. Konflik fisik dialami tokoh utarna yaitu Elisa," kata Djawahir.
NH Dini lahir di Semarang pada 29 Februari 1936. Mulai menulis pada kelas 3 Sekolah Dasar. Karirnya diawali saat mengirim puisinya untuk program "Prosa Berirama" yang disiarkan Radio Republik Indonesia. Ia kemudian mencoba bidang lain, menulis cerita pendek untuk majalah wanita Femina.
Energi yang besar membuatnya tak cocok menulis cerpen. Ia mulai menulis novel dengan karya pertama berjudul  Hati yang Damai. Oleh Femina ia mendapat kehormatan menuliskan Pertemuan Dua Hati (1986) yang diterbitkan di halaman tengah.
Tak puas, NH Dini kemudian mulai menulis biografi dan novel. Amir Hamzah Pangeran dari Negeri Seberang (1981) dan Dharma Seorang Bhikku (1997) adalah dua buku biografi yang sempat ditulisnya.
Ia lebih populer lewat novelnya seperti Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), serta Namaku Hiroko (1977), dan sederet karya lain.
Lukni Maulana bersama NH Dini dalam acara di RRI Semarang tahun 2015. (foto: Liputan6.com/dok.Lukni/Edhie Prayitno Ige)
Berbagai penghargaan juga diterimanya, seperti Hadiah Seni untuk Sastra dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989), Bhakti Upapradana Bidang sastra dari Pemerintah daerah Jawa Tengah (1991), SEA Write Award dari pemerintah Thailand (2003), Hadiah Francophonie (2008), dan Achmad Bakrie Award bidang Sastra (2011).
Tahun 2017, NH Dini menerima penghargaan prestasi seumur hidup (lifetime achivement award) dari penyelenggara Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017. Dia dianugerahi penghargaan atas kontribusinya sebagai penulis sekaligus aktivis, dalam dunia sastra di Indonesia.
NH Dini dianggap sentral sebagai pelopor suara perempuan pada tahun 1960-1980-an, di mana belum banyak perempuan Indonesia memutuskan menjadi penulis.
"Makanya saya bilang, mbak Dini itu menyetiai dunia yang dipilihnya. Sendiri di jalan sunyi," kata Eko Tunas.
Nama NH Dini seolah tenggelam. Namun tiba-tiba namanya kembali diperbincangkan saat putranya Pierre Louis Padang dibicarakan berkat sosok Minions dalam film Despicable Me 1, Despicable Me 2, dan Minions.
Pierre Louis Padang, yang lebih dikenal dengan nama Pierre Coffin, dan Marie Claire Lintang merupakan anak hasil pernikahan Dini dengan diplomat Prancis Yves Coffin. Pasangan yang menikah pada 1960 ini memutuskan berpisah pada 1984. Padang dan Lintang kemudian memilih hidup bersama sang ayah.
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Jawa Tengah, Lukni Maulana menyampaikan rasa duka citanya. Ia berharap totalitas NH Dini bisa menginspirasi anak-anak muda.
"Khususnya di lingkungan NU, masih sangat sedikit sastrawan yang eksis. Semoga semangat bu Dini bisa menular ke anak-anak muda NU untuk mulai menulis ataupun berkarya," kata Lukni.
Source: M Liputan6 

Novelis Nh Dini Meninggal Dunia

CNN Indonesia | Selasa, 04/12/2018 18:16 WIB

Nh Dini. (Foto: CNN Indonesia/Silvia Galikano)
Jakarta, CNN Indonesia -- Novelis Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin alias Nh Dini meninggal dunia sore ini. Kabar itu disampaikan oleh sastrawan Goenawan Mohamad melalui akun twitter.

"Wafat, Nh.Dini. Kabar yg saya terima karena kecelakaan mobil. Novelis kelahiran 1936 ini sastrawan terkemuka dari generasi yg muncul pertama kali di majalah Kisah. Karyanya: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko. Semoga ia beristirahat dalam damai," kicau Goenawan.


Dini merupakan novelis sekalgus sastrawan asal Semarang yang lahir pada Februari 1936. Ia banyak melahirkan novel dan mendapat sejumlah pernghargaan.

Berdasarkan liputan khusus CNNIndonesia.com Februari 2016 lalu, kondisi Dini terbilang sehat di usia 80 tahun. Walau ada yang mesti dikontrol melalui jamu-jamuan dan tusuk jarum, yakni osteoartritis dan vertigo. 

Kondisi inilah yang tak memungkinkan Dini berjalan jauh dan membaca dalam waktu lama. Membaca empat-lima halaman buku sudah cukup membuat vertigonya kumat.


(adp/asa)

Sumber: CNN Indonesia 

Senin, 19 November 2018

Film Karya Pelajar Kebumen “Melawan Arus” Masuk Nominasi FFI 2018

19 November 2018

Proses produksi film “Melawan Arus” besutan sutradara Eka Saputri dari SMK Negeri 1 Kebumen. (Dok. Sinema Kedung)

Purwokertokita.com – Film “Melawan Arus” besutan sutradara Eka Saputri dari SMK Negeri 1 Kebumen masuk sebagai nominator Festival Film Indonesia (FFI) 2018. Ajang bergengsi bagi insan film di Tanah Air ini bakal mengumumkan 22 kategori penghargaan di Jakarta, 10 Desember mendatang.

Pada kategori film cerita pendek terbaik, “Melawan Arus” akan bersaing dengan enam nominator lainnya, yaitu “Elegi Melodi” (Jason Iskandar), “Har” (Luhki Herwanayogi), “Joko” (Suryo Wiyogo), “Kado” (Aditya Ahmad), “Siko” (Manuel Alberto Maia) dan “Topo Pendem” (Imam Syafi’i).

Sutradara film “Melawan Arus”, Eka Saputri mengaku sangat senang film garapan anak asuhnya mampu menembus kompetisi film paling bergengsi yang menganugerahkan Piala Citra kepada pelaku perfilman terbaik. Meski harus bersaing dengan film garapan sineas yang lebih senior.
“Memang sangat berat saingannya. Tapi kami tetap bangga bisa masuk dalam nominasi,” ujarnya, Minggu (18/11).
Eka menuturkan, film yang disutradarainya ini terinspirasi dari film dokumenter pendek petani Urut Sewu. Ide tersebut diwujudkan dalam film fiksi pendek untuk mengingatkan masyarakat bahwa perjuangan petani Urut Sewu masih berlanjut.

Adapun film berdurasi 10 menit ini bercerita tentang perjuangan petani Urut Sewu Kebumen. Perempuan petani bernama Siti yang percaya bahwa proses penangkapan suaminya, Yono, merupakan fitnah akibat konsekuensi rumit dari sengketa tanah antara petani dan TNI yang tak berkesudahan. Situasi tak menentu berujung pada keinginan pindah Yono yang ditolak Siti.

Film ini sempat meraih penghargaan Fiksi Pendek Pelajar Terbaik pada ajang Malang Film Festival (Mafifest) 2018. Lalu menjadi Film Fiksi Pelajar Terbaik pada Festival Film Purbalingga (FFP) 2018.

Sementara itu, Direktur Komunitas Sinema Kedung Kebumen, Puput Juang mengatakan, film ini menjadi medium gambar dan suara untuk menyuarakan keberpihakan terhadap posisi rakyat yang masih terpinggirkan.
“Seperti terjadi pada nasib para petani Urut Sewu yang masih menggantung karena pemagaran lahan pertanian mereka,” tegasnya.
Produksi film pendek “Melawan Arus” terwujud berkat kerja kolektif dan kolaboratif program Sinema Kedung Meng Desa-Desa (SKMDD) dari Sinema Kedung pada 11 Agustus-5 November 2017 yang pada pelaksanaan tahun kedua tersebut menghadirkan lokakarya produksi difasilitasi CLC Purbalingga.


Program dibawah naungan Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) yang didukung penuh bantuan untuk masyarakat film dari Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) serta Perpusda Kebumen, Roemah Martha Tilaar Gombong, dan Sangkanparan Cilacap. (NS)

Sumber: PurwokertoKita 

Sabtu, 17 November 2018

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad'

Sabtu, 17 Nov 2018 17:21 WIB  ·   Tia Agnes

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Jakarta - Menonton untuk ketiga kalinya pementasan 'Bunga Penutup Abad' tak akan membuat penonton mati kebosanan. Akhir pekan ini, Titimangsa Foundation kembali menggelar pertunjukan 'Bunga Penutup Abad' yang diadaptasi dari novel Pramoedya Ananta Toer.

Durasi sepanjang 3 jam lamanya menghadirkan alur maju-mundur dari tiga karakter rekaan dalam novel Tetralogi Pulau Buru. Ada Nyai Ontosoroh (Marsha Timothy) yang dicap sebagai gundik namun memiliki pemikiran terbuka tentang kekuasaan dan isu perempuan.

Ada Minke (Reza Rahadian) sosok pribumi yang cerdas dan jatuh cinta pada perempuan Jawa-Belanda bernama Annelies Mellema (Chelsea Islan). Di kehidupan mereka, ada Jean Marais (Lukman Sardi), sahabat Minke yang memiliki seorang putri tunggal May Marais (Sabia Arifin).

Surat demi surat berdatangan ke rumah Nyai Ontosoroh di Surabaya sejak kepergiaan Annelies ke Belanda. Panji Darma yang rajin menuliskannya, Minke dan Nyai pun mendengarkan cerita perjalanan orang terkasihnya tersebut meski dalam hati keduanya merasa sedih atas ketidakadilan ini.

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics
"Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya," ujar Nyai Ontosoroh kepada Minke usai membacakan sepucuk surat. 
Satu minggu berlalu sejak kepergian Annelies, rumah besar Nyai tampak sepi dan redup. 

 "Seminggu sudah jadi tahanan rumah. Pergilah jalan-jalan, nak. Mencari angin, terlalu lama tersekap membuat kau tampak muram," ucap Nyai pada Minke. 
Cerita pun mundur pada pertemuaan awal Minke di rumah Annelies. Setiap hari Minke kerap memandangi potret dari Ratu Belanda yang cantik. Tapi seorang sahabatnya mengatakan, ada dewi yang kecantikannya mengalahkan perempuan manapun di Hindia Belanda.

Awal perjumpaan yang berbekas membuat Minke bekerja di perusahaan milik Tuan Mellema yang dipimpin oleh Nyai Ontosoroh. Satu per satu rahasia keluarga Mellema dan kebobrokan Eropa terkuak. Selama ini pula Minke selalu membela Eropa, mengagung-agungkannya, dan kerap menulis dalam Bahasa Belanda. 



Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Keahlian menulis Minke dipuji oleh Nyai Ontosoroh. Di salah satu adegan, Nyai Ontosoroh mengaku menyayangi Minke bukan sebagai menantunya saja tapi anaknya sendiri. 
"Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari," ujar Nyai Ontosoroh. 
Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Di tengah kepergian Annelies yang membuat Minke sedih, Jean Marais melukis sebuah potret tentang sosok pujaan Minke. Kisah hidup Nyai Ontosoroh dan Annelies membuka fakta menyedihkan tentang ketidakadilan.

Dalam setiap surat, kalimat, dan kata-kata yang memuat perjalanan Annelies dan Panji Darma, Minke dan Nyai Ontosoroh selalu mempertanyakan di mana letak keadilan.
 "Kekuatan yang kita miliki mungkinlah tidak sebanding dengan ketidakadilan yang ada, tapi satu hal yang pasti: Tuhan tahu bahwa kita telah berusaha melawannya."
Energi Baru Nyai Ontosoroh
Hadirnya Marsha Timothy menjadi sosok Nyai Ontosoroh menggantikan Happy Salma sukses memberikan warna dan energi baru. Nyai Ontosoroh tak lagi dimiliki Happy Salma maupun Sita Nursanti semata. Namun Marsha membawakannya secara totalitas. Tanpa jeda satu kesalahan sekalipun, tanpa salah dialog, maupun penghayatan yang terasa hambar. 



Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Proses latihan Marsha selama 4 bulan lamanya berbuah manis. Penonton dapat merasakan getirnya hidup Nyai Ontosoroh dalam kata-kata yang diucapkan Marsha, tentang keadilan yang tak bisa diraihnya, kasih sayang kepada Annelies yang tak pernah memandang sebelah mata terhadap pribumi maupun lingkungan di Pulau Jawa, Hindia Belanda.

Nyai Ontosoroh bertransformasi dalam setiap gerak-gerik Marsha di atas panggung. Pengunjung tak lagi memandang Marsha sebagai seorang Ida Nasution (Perempuan Perempuan Chairil) dan Marlina (Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak).

Perpaduan Marsha bersama Reza Rahadian pun ibarat kopi hitam yang dicampur dengan gula, pas rasanya. Tak manis, tak juga terlalu pahit. Lukman Sardi memainkan Jean Marais pun bak seorang seorang pria yang sudah tinggal lama di Prancis.

Mempertanyakan Keadilan di Panggung 'Bunga Penutup Abad' Foto: Image Dynamics

Di antara 'tanpa cela' tersebut, ada beberapa penggambaran akting Chelsea Islan yang terlihat terlalu berlebihan sebagai Annelies. Dari bangku penonton, terdengar celetukan dan tawa ketika Annelies bersikap 'terlalu manja'. Meski begitu, di akhir kehadiran Annelies penonton terenyuh dengan kesedihan yang dialami.

Dengan setting sederhana dan empat ruang yang dibagi, 'Bunga Penutup Abad' menjadi salah satu pertunjukan teater yang menghibur di penghujung tahun. Dipenuhi unsur multimedia, masih ada salah teknis dan perpindahan adegan yang terkesan 'kasar' tapi hal tersebut bisa tertutup serta diampuni sementara waktu.

Dipentaskannya 'Bunga Penutup Abad' membuka kembali kenangan akan karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Seperti kata produser Happy Salma,   
"Mengadaptasi karya sastra ke atas panggung teater butuh usaha dan jerih payah yang tak henti."

Jumat, 16 November 2018

Tragedi 1965 dan Kebencian LGBT Meminggirkan Lengger Lanang


Dariah (85 tahun) yang merupakan seorang penari tradisional laki-laki dari Banyumas bersama Didik Nini Thowok (kanak) saat mendokumentasikan kisah penari lengger lanang tersebut yang masih tersisa, (16/11). Aris Andrianto/Tempo

Seni Tari Lengger Lanang terancam punah. Meningkatnya sentimen negatif terhadap kelompok LGBT meresahkan penari warisan Banyumas ini untuk tampil secara bebas dan terbuka.

Agus Widodo was-was. Penari lengger lanang ini berhati-berhati bila menerima tawaran untuk manggung di saat meningkatnya ajakan menolak dan mengharamkan kelompok Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
 
"Saya rajin bertanya ke pengundang aman atau tidak sebelum mau pentas lengger. Takut digrebek," ucap Agus yang bernama panggung Agnes. 
Penari pria Dariah (kiri) saat ikut menari saat Penari pria Didik Nini Thowok ingin mendokumentasikan kisah penari lengger lanang tersebut yang tersisa, (16/11). Aris Andrianto/Tempo

Lengger lanang merupakan tari lintas gender yang banyak dipentaskan laki-laki. Tari rakyat Banyumas ini berkembang secara turun temurun sebagai bagian dari ritus kesuburan. Budayawan Banyumas Yusmanto memperkirakan, tari rakyat ini sudah ada sejak masa Kerajaan Majapahit. 

Penari lengger adalah laki-laki yang berdandan seperti perempuan. Dalam Bahasa Banyumas, lengger berasal dari dua kata yakni leng yang berarti lubang sebagai simbol jenis kelamin perempuan dan ger berasal dari kata jengger yang artinya mahkota ayam jago sebagai simbol laki-laki. 

Agus dikenal sebagai satu diantara lengger lanang muda yang sedang moncer di Banyumas dan sekitarnya. Ia pernah diundang menari di Festival and Celebrating The 40th Anniversary of Korea-Indonesia Diplomatic di Korea Selatan pada Desember 2013.

Menari sejak usia 7 tahun membawa Agus akhirnya memutuskan menjadi penari lengger. Dia mulai menampilkan tarian lengger sejak 2004 di Banyumas dan sekitarnya. Pilihannya menjadi penari lengger mendapat tentangan sejumlah orang. Beberapa di antaranya menganggap Agnes yang berjenis kelamin laki-laki tidak pantas mengenakan pakaian perempuan ketika menari. 

Di luar panggung, Agus mengenakan pakaian laki-laki. Berbeda ketika di atas panggung. Dia mengenakan pakaian lengger lengkap dengan riasan sanggul berkonde, sampur, kemben, jarit dan riasan wajah seperti penari perempuan. 
"Saya total menjadi lengger saat di panggung," katanya. 
Menurut Agus, diskriminasi terhadap lengger lanang kerap terjadi. Cibiran dan cacian menjadi hal biasa ketika memilih menjadi penari lengger.
"Mereka menyebut saya banci dan memandang penari lengger sebelah mata," katanya.
Ketika pentas, perlakuan buruk juga kerap mereka terima. Penonton yang mabuk mengolok-olok mereka dengan sebutan bencong sembari meraba-raba bagian tubuh mereka. “Saya takut dan trauma,” kata Fizay Nurhamid ketika menceritakan pengalamannya tampil di Kebumen, Jawa Tengah, pada 2017 lalu.

Fizay yang bernama panggung Fifi mulai menari lengger sejak 2011. Laki-laki dari Cilacap ini dulu dikenal sebagai penari kesenian jaran kepang di komunitas seni kuda kepang Mekar Budaya Kencana. Dia kemudian mengikuti jejak kakeknya yang menari lengger. 

Sepekan sejak kejadian di Kebumen, Fizay kembali menerima tawaran. Tetapi, dia menampik tawaran itu karena masih trauma.

Otniel Tasman, koreografer yang menciptakan tari kontemporer dari tradisi lengger Banyumasan juga memiliki pengalaman buruk saat hijrah ke Solo, Jawa Tengah. Suatu hari dosennya di kampus ISI Surakarta bahkan menertawakannya ketika menari lengger. 

Otniel kemudian dilarang menari lengger di pendopo padahal waktu itu dia sudah siap mau pentas. Waktu itu Otniel dan kelompok penari dari Banyumas hendak pentas lengger untuk menyambut seorang menteri yang datang ke ISI Surakarta. Mereka sudah berlatih menari lengger jauh hari hingga hari H acara. 

Tapi, dosen itu melarang dengan alasan lengger penarinya adalah perempuan, bukan laki-laki.
"Lengger dianggap hanya sebatas hiburan saja apalagi ketika laki-laki yang menarikannya," ujarnya.
Penampilan lengger lanang di Festival Kendalisada, Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah (TEMPO/Shinta Maharani)

Banyak yang risih menonton tarian lengger. Danang salah satunya. Penonton Festival Lengger yang berlangsung September lalu itu mengaku enggan menonton tarian tersebut. Namun, malam itu, Danang terpaksa datang menonton karena harus mengantarkan tamu ke Desa Kaliori, tempat berlangsungnya acara. 
"Saya agak takut, risih, dan tidak nyaman," katanya.
Meski mendapat cap jelek, Agus dan Fizay masih berusaha menunjukkan dirinya mampu menjadi penari lengger yang baik. Mereka ingin mempertahankan kesenian tradisional yang hampir hilang karena masyarakat lebih memilih pertunjukkan organ tunggal. 

Maestro tari lintas gender Didik Nini Thowok mengakui jumlah penari lengger kini semakin menipis akibat diskriminasi. Sebagian dari mereka tidak diterima, dikucilkan dan diskriminasi. 
“Tidak gampang bertahan sebagai lengger lanang. Buat yang tidak kuat dan takut akan sulit bertahan,” katanya.

Foto Presiden Sukarno bersetelan jas masih terpajang di ruang tamu rumah keluarga Dariah. Potret itu mengingatkan kejayaan Dariah sebagai penari lengger lanang di masa akhir Orde Lama hingga Orde Baru. Rezim Orde Baru memberangus semua kesenian rakyat termasuk lengger lanang karena dianggap dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang dianggap bagian dari Partai Komunis Indonesia.

Hanya segelintir laki-laki yang bisa menarikan tarian ini. Salah satunya Dariah. Dariah mengawali karir sebagai penari lengger dari satu kampung ke kampung lainnya. Bersama sekelompok musik sederhana seperti calung, kendang, gong kecil dan gambang, Dariah mbarang (mengamen) di wilayah Banyumas.

Karir Dariah menanjak pada periode 1930 hingga 1960-an. Pria yang bernama asli Sadam ini menjadi idola pada waktu itu di Banyumas. Tariannya yang lemah gemulai layaknya seorang perempuan selalu menjadi magnet bagi warga Banyumas. 

Sejak diberangus, Dariah menghabiskan hidupnya di Desa Plana, Kecamatan Somogede, Banyumas, Jawa Tengah, bersama keponakannya, Misti. Mereka tinggal di rumah berdinding bata dengan cat yang mengelupas di sana sini. Dariah menghabiskan hidupnya sebagai perempuan. Dia memakai baju perempuan dalam aktivitas sehari-hari di rumah dan beralih menjadi penata rias pengantin di desa-desa Banyumas dan Purbalingga demi menyambung hidup. 

Pada 12 Februari 2018 lalu, Dariah meninggal pada usia 97 tahun. Keluarga mengenang Dariah hidup dalam ketakutan akibat peristiwa 1965. 
"Semua hartanya habis karena peristiwa 1965," kata Nur Kholifah, anak Misti kepada Tempo di awal November lalu. 
Pada 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi Dariah gelar Maestro Seniman Tradisional. Untuk menghormati Dariah, Pemerintah Desa Kaliori, Banyumas dan komunitas seni desa menggelar Festival Kendalisada pada 14-16 September lalu.

Teks: Shinta Maharani
Editor: Edy Can
Tulisan ini adalah produk dari program fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Ardhanary Institute

Sumber: Tempo.Co 

Sabtu, 03 November 2018

Wayang Golek Menak Kebumenan


April 2012
Sekilas Kisah Menak

Jayengrono / Amir Hamzah

Kisah Menak bersumber dari kesusastraan Persia berjudul Qissa'i Emr Hamza yang muncul pada zaman pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid (766-809)M. Cerita ini masuk ke Melayu dengan nama Hikayat Amir Hamzah dan kemudian disasur ke dalam bahasa Jawa dengan nama Serat Menak.

Intisari Cerita Menak mengisahkan perjalanan kepahlawanan Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad SAW, dalam memerangi orang-orang kafir sewaktu menyebarkan agama Islam. Kisah ini mengalami berbagai pengkayaan dengan sumber-sumber cerita di daeah penyebaran. Cerita kepahlawanan Amir Hamzah muncul dalam kesusastraan Melayu sebelum tahun 1511 M dan dikenal luas pada saat kerajaan Malaka mencapai kejayaan. Hikayat tersebut masuk ke Indonesia sejalan dengan penyebaran agama Islam dan kemudian disadur menjadi kisah Menak.

Tidak diketahui secara pasti kapan dilakukan penyaduran cerita dari Melayu ke dakam bahasa Jawa. Hanya saja, Serat Menak tertua yang pernah ditemukan ditulis oleh Carik Narawita pada tahun 1639 J atau 1715 M atas perintah Kanjeng Ratu Mas Blitar, Permaisuri Pakubuwana I. Akan tetapi tulisan tersebut konon bukan teks asli, melainkan salinan dari teks yang lebih tua.

Di Jawa, kisah Menak yang pasti diperkirakan lahir pada zaman Pemerintahan Sultan Agung Mataram sekitar tahun 1613-1645 M. Sedangkan dari sumber Melayu, penulisan cerita Menak diperkirakan terjadi pada abad ke-15 dan 16.

Penggunaan kata Menak sebagai sebutan untuk Amir Hamzah, dapat dibandingkan dengan sebutan Menak Jingga pada serat Damarwulan. Dalam sastra Jawa pertengahan yaitu sastra Kidung, kata Menak pun sudah muncul yang berarti berbudi luhur, mulia, dan tampan. Serat Menak juga dipengaruhi Serat Panji yang populer pada masa itu.

Dalam cerita Menak, nama-nama tokohnya disesuaikan dengan nama Jawa seperti Omar bin Omayya menjadi Umar Maya, Qobat Shehriar menjadi Kobat Sarehas, Badi'ul Zaman menjadi Imam Suwangsa, Mihrningar menjadi Dewi Muninggar, Qoraishi menjadi Dewi Kuraishin, Unekir menjadi Dewi Adaninggar, dan lain-lain.



Garis Besar Kisah Menak

Kisah Menak menceritakan permusuhan Amir Ambyah atau Wong Agung Jayengrana yang berasal dari Mekah dengan Raja Nursewan yang juga mertuanya dari Medayin. Raja Nursewan yang kafir tidak mau tunduk. Ia selalu berusaha mencari bantuan dan perlindungan dari raja-raja lain yang mau memusuhi Amir Ambyah sehingga terjadilah perang yang berkepanjangan.

Setelah tak ada lagi kerajaan yang perlu ditaklukkan, Amir Ambyah kembali ke Medinah dan bertemu Nabi Muhammad. Ketika Madinah diserang pasukan Medayin yang bersekutu dengan Raja Lakat dan Raja Jenggi, Amir Ambyah maju ke medan perang dangugur sebagai prajurit Allah.



Marmoyo & Jiweng

Dalang Wayang Golek Menak Kebumen

Ki Shindu Djotarjono (seorang Dalang Wayang Golek Kebumen) adalah sejarah kejayaan Wayang Golek didaerah Kebumen pada tahun 1950 hingga 1980-an. Cerita yang dipentaskan diambil dari kisah Menak, maka terkenal dengan nama Wayang Golek Menak khas Kebumen. Beliau belajar mendalang secara otodidak turun temurun dari orang tuanya, dengan melihat mendengar dan belajar sendiri tanpa ada pendidikan khusus. Beliau adalah keturunan dari dalang-dalang terdahulu.
  
Ki Shindu Djotardjono







Pementasan Wayang Golek Menak di Museum Wayang Jakarta

Ki Kuswanto Shindu adalah dalang wayang golek menak Kebumen, putra dari Ki Shindu Djotardjono.

Beliau seorang dalang sekaligus pembuat wayang golek. Sekitar tahun 80an beliau mengawali karirnya menjadi dalang, hingga sekarang ini beliau masih menekuni profesi tersebut, namun disamping itu beliau juga sebagai pembuat Wayang Golek Menak, Wayang Wahyu, Wayang Golek Jawa, dan yang baru-baru ini beliau menciptakan kreasi baru yaitu Wayang Golek Purwa.


Wayang Golek Purwo

Sumber: ChendyRock