Kamis, 03 Mei 2018

Tiga Sosok Peraih Anugerah Budaya UI

FathurrazakKamis, 03 Mei 2018, 15:10 WIB




Ilustrasi
FAKULTAS Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia kembali menggelar Anugerah Budaya. Sejak 2005, Anugerah Budaya telah memberikan penghargaan kepada delapan seniman lintas disiplin.
Tahun ini, penghargaan dianugerahkan lewat tiga kategori, seniman tradisi, seniman modern, dan pembina seni. Disaring dari 15 kandidat seniman lintas disiplin yang masuk kriteria, di antaranya Dolorosa Sinaga, FX Harsono, Heri Dono, Nasirun, Tisna Sanjaya, Tony Q Rastafara, Iman Rahman Anggawiria Kusumah (Kimung), Umbu Landung Paranggi, dan Eddie Marzuki Nalapraya. Ketiga nama terakhir ditahbiskan sebagai penerima Anugerah Kebudayaan 2018 FIB UI.
Kimung, merupakan eks bassist Burgerkill, band metal asal Ujung Berung, Jawa Barat yang namanya sudah tenar di kancah internasional. Ia mendapat anugerah pada kategori seniman tradisi dalam upayanya melestarikan alat musik tradisional khas Sunda, Karinding. 
Bersama kelompok musik Karinding Attack (Karat), Kimung mengeksplorasi alat musik jenis harpa mulut itu, dan menngangkat pamor itu di ranah anak metal.
"Sudah 10 tahun saya mengenal Karinding, seperempat hidup saya. Berawal dari musik metal, saya dan teman-teman membangkitkan kembali Karinding di tahun 2008. Saya berkeliling di Jawa Barat, Belanda, Portugal, Prancis, Praha, dan Jerman, untuk mengejar sejarah di balik kesederhanaan Karinding, yang memuat begitu banyak hal termasuk tentang kesmestaan," ungkap lelaki yang juga aktif menulis buku ini pada pidatonya seusai menerima Anugerah Budaya, di Auditorium IX UI, Depok, Kamis (3/05).
Untuk kategori seniman modern, dianugerahkan pada sosok yang selalu tampil di 'dapur' meramu para seniman kenamaan. Ialah Umbu Landu Paranggi. Lelaki kelahiran 1943 itu ada dibalik kemunculan nama-nama seniman dua generasi, era 1980-an saat di Yogyakarta bersama Persada Studi Klub bentukannya, dan setelah pindah di Bali, ia juga yang membidani kemunculan penyair-penyair muda medio 2000-an.
Emha Ainun Najib adalah salah satu nama dari sekian yang mewakili medio awal. Memasuki era 2000-an, Cok Sawitri, Putu Fajar Arcana, adalah di antara mereka yang mendapat pengaruh Umbu.
Meski rambutnya sudah memutih, Umbu tidak memilih berhenti. Sejak 2013 silam, ia kemudian menginisasi kemunculan komunitas Jatijagat Kampung Puisi. Para anak muda merubung untuk mematangkan karya sastra.
Terakhir, Eddie Marzuki Nalapraya menerima Anugerah Budaya kategori pembina seni. Purnawirawan Jenderal TNI ini merupakan sosok sentral dalam perkembangan seni beladiri pencak silat di nasional dan dunia internasional. 
Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI) yang dibentuknya pada 1978 adalah salah satu upayanya dalam mempersatukan para pencak silat nusantara.
"Saya belajar bela diri dari kakek saya, dulu namanya maen pukulan. Belajar pencak silat mampu memenuhi aspek kehidupan di antaranya akhlak, mental, dan fisik. Saya lihat dari SD sampai SMA sudah ada pencak silat, dan saya merasa senang karena pekerjaan yang sudah saya lakukan selama ini untuk merawat budaya kita berarti sudah bisa dilihat ada penerusnya di dunia pencak silat. Tentu ini sangat membanggakan," papar Eddy.
Dalam sambutannya, Riri K Toha Sarumpaet, mewakili civitas FIB UI, menyatakan kini Anugerah Budaya juga sebagai salah satu upaya untuk mendukung implementasi UU Pemajuan Kebudayaan tahun 2017. Kualifikasi dalam penganugerahan itu dinilai dari lima aspek, berupa komitmen, konsistensi, produk, orisinalitas, dan signifikansi.
"Ketiga tokoh ini pilihan ini menunjukkan pada kita, harga dari dan pentingnya sebuah komitmen. Kita berterima kasih pada keteladanan mereka, dan dengannya kita berharap belajar dan dapat melanjutkan kerja kehidupan, membangun peradaban, dan dengan kesadaran tinggi belajar dan bekerja sama dengan para muda untuk memandang menyiapkan masa depan," tutup Riri.
Ketiga tokoh tadi merupakan teladan bagaimana seni dan budaya mampu diinovasikan untuk tetap hidup dan menghidupi jiwa anak muda. Kimung bersama komunitas metal di Ujung Berung, Umbu yang berpindah dari Yogyakarta hingga Bali dan tak pernah jauh dari calon penyair muda, serta bagaimana Eddy membumikan pencak silat sebagai bagian dari kebutuhan jasmani dan rohani pendekar muda.(A-5)
Sumber: MediaIndonesia 

0 komentar:

Posting Komentar