Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Selasa, 24 Desember 2019

Menantikan Panggung KVO Berikutnya


KVO: Resital Kebumen Violin Orchestra (KVO) digelar di Panggung "Ojo Dumeh" Anjungan Jawa Tengah di kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta pada Sabtu (21/12) - Foto: Arp

Sebanyak 40 violis anak-anak seusia SD-SMP yang tergabung dalam Kebumen Violin Orchestra (KVO) sukses menggelar resital violin di panggung “Aja Dumeh” Anjungan Jawa Tengah, kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.

Sabtu (21/12) pagi itu menandai sukses kelompok orkestra anak-anak memainkan 4 komposisi yang disiapkan dua bulan sebelumnya. Keempat komposisi itu masing-masing Simponi Yang Indah, Entah Apa, Kebyar-Kebyar dan Kebumen Beriman. Komposisi yang disebut terakhir adalah lagu yang diaransir dari gending yang jadi icon dan lagu daerah.

Kesuksesan gelar resital ini, sebagaimana diakui manajer KVO Agus Sulaiman karena ketekunan dan kesukaan anak-anak berlatih musik dengan instrumen biola sebagai pilihan bermainnya. Tentu juga berkat bimbingan pelatih Taufik Ismail yang sekaligus berperan sebagai dirigent dan komposer musiknya.
“Anak-anak memang suka bermusik dan kami para orangtua mendukung sepenuhnya”, terang Agus.

Hal senada disampaikan Taufik Ismail yang mengakui besarnya dorongan para orangtua dari anak-anak yang bergabung dalam orkestra binaanya. Aransemen resital yang dipanggungkan di TMII kali ini juga dibantu oleh Band Gundul, Nurokhim, Dayat, Lintang, Khasbun, Farhan. Sedangkan untuk vokal dipercayakan kepada dua talent Kartika Veronica, Eldri dan pembaca puisi Ainun. 

Dukungan juga diberikan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen yang mengiring keberangkatan kontingen seni ke Jakarta.
Dalam sambutannya, Ketua DKD Pekik Sat Siswonirmolo, M.Pd, berharap eksistensi seni daerahnya tetap terjaga dan memiliki kelayakan pentas di panggung nasional.

Pementasan di TMII Jakarta ini juga didukung oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Kebumen juga ikut serta mengawal pementasan.   

Kolaborasi Terjeda

 DRAMATARI: Penggalan adegan dramatari Panji-Sekartaji garapan koreografer BE Susilohadi dipanggungkan di Kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Sabtu (21/12) - Foto: Arp

Gelar resital KVO ini semula direncanakan merupakan pentas kolaborasi dengan Gamelan Jawa, Seni Ebleg dan Topeng Cepetan. Namun karena kendala teknis akhirnya dikemas terpisah jadi sebuah dramatari Topeng Panji-Sekartaji yang dimainkan di panggung yang sama pada jeda pentas berikutnya.

Narasi pentas Dramatari Topeng-Ebleg Kebumen ini diadaptasi dari fragmen tari Panji-Sekartaji yang bersumber dari kisah jaman Kerajaan Kediri pada abad XI-XII. Kisah dramatik yang tak lekang digerus jaman ini memang memuat perseteruan besar Panji Inukertapati dan Klana Sewandana yang tak habis-habisnya dielaborasi dalam berbagai versi.   

Koreografi digarap BE Susilohadi dan dibantu asisten Suwignyo, masih cukup kental aura ketoprak dalam komposisi dramatarinya. Sedang untuk seni tradisi ebleg (kudalumping) dan topeng (cepet) melibatkan kelompok “Turonggo Langgeng Budhoyo” Karanggedang Sruweng dan kelompok “Jati Asmoro Bangun Budoyo” dari Kajoran Karanggayam.

Kemeriahan dua pementasan di panggung TMII jadi bertambah semarak karena event ini sekaligus jadi ajang “reuni” silaturahmi warga asal daerah Kebumen yang berada di perantauan, khususnya yang tinggal maupun bekerja di Jakarta.

KLANA: Klana Sewandana menaiki titian Singabarong untuk misi merebut Dewi Sekartaji dari tangan suaminya Panji Inukertapati - Foto: Arp

Panggung KVO

Dihubungi terpisah seusai pentas lawatannya ke luar kota, Taufik Ismail mengaku bangga pada anak-anak asuhannya yang meskipun masih belia namun telah memiliki setidaknya kemampuan dasar untuk memainkan komposisi populer dengan kompak dan tanpa nervous.
“Tak semua anak mampu bermain musik secara kelompok”, kisahnya. “Tetapi semua bisa belajar dan berlatih”, sambungnya. Apalagi bila ingat bahwa KVO belum sepenuhnya berusia setahun.
Pendirian orkes musik kamar ini dilaunching pertama pada 24 Februari 2019 silam di Hotel Maxolie Kebumen. Sejak awal, KVO didominasi oleh violis anak-anak yang berasal dari berbagai daerah seperti Kuwarasan, Gombong, Karanganyar, Sruweng, Adimulyo dan kota Kebumen sendiri.
“Beruntung, karena para orangtua antusias mendukung”, pungkasnya sembari berharap akan terus menapaki panggung berikutnya. 
GAMELAN: Musik gamelan pengiring Dramatari Ebleg-Topeng Sekartaji "in action" di lokasi pagelaran - Foto: Arp

Senin, 16 Desember 2019

Menyimak proses teater kampus


·           Catatan workshop ke 14 Teater Gerak

WORKSHOP: 10 peserta workshop Teater Gerak angkatan ke-14, usai memanggungkan hasilnya, Minggu (15/12) di auditorium kampus IAINU Kebumen. - Foto: K.04

Meski tak mudah merintis upaya berkesenian dan menjadikannya sebagai tradisi kolektif yang tak putus, namun bagi kelompok Teater Gerak yang usai menggelar workshop tahunannya ke-14; tradisi pembelajaran itu pun telah dilampauinya.

Kelompok teater kampus ini, yang boleh jadi, dimudahkan oleh resources internal dari kalangan mahasiswa yang slalu bersalin rupa seiring angkatan tahun akademiknya. Tetapi menumbuhkan animo 2 kelompok dari 10 peserta hingga usai melewati 3 hari pembelajaran, untuk kemudian membangun keberanian menggarap suatu pertunjukan; sungguh bukan perkara mudah.

Fase ini pun terlampaui dalam 3 hari sejak Jumat (13/12). Dan pada Minggu (15/12) menjadi momentum kedua kelompok mempertunjukkan hasil dari proses kolektifnya di auditorium IAINU. Ada 2 repertoar pendek yang disajikan dalam rupa drama konvensional.

Pendekatan teori yang memuat 3 aspek: penyutradaraan (pemateri Putut AS), keaktoran (Syahid Elkobar) dan artistik (perupa Supriyanto) menjadi bahasan refleksi kecil seusai pentas malam itu.



Spiritualitas dan keberlanjutan      

Tradisi workshop teater Gerak barangkali memang diproyeksikan untuk menjawab problem kaderisasi berkesenian teater di lingkup kampus. Namun ada filosofi mendasar dikemukakan pendirinya yang malam itu berada di penghujung pelatihan.

Mustolih Brs mensitir bahwa apa yang mendasar, dan pertama-tama, dilampaui para peserta adalah keberanian untuk “mengelupas realitas” dari kemelekatannya di dalam pikiran manusia. Memerdekakan pikiran dari kungkung masa lampau, realitas kekinian dan ketakmenentuan esok; adalah “investasi” terpenting dalam berkarya.

Itu sebabnya bermain seni peran menjadi penting dan memungkinkan talent memahami, dan bahkan mereaktualisasi, keberadaan orang lain yang seringkali dianggap liyan; berikut situasi yang membentuknya. Dalam disiplin humaniora, nilai dan syarat ini yang mendasari prinsip-prinsip toleransi.

Bicara harmonisasi kehidupan tak bisa lepas konteks dari ini semua. Dan realitas yang “dikelupas” dari kemelekatannya di dalam pikiran, menjadi narasi panggung dan mengalirkan pesan-pesannya.

Malam itu pun menjadi perekat apresiasi menarik, terlebih karena muncul pula tantangan dari pemateri bagi panitia workshop buat menyajikan repertoar yang dikemas singkat dengan perspektif berbeda; meskipun yang muncul adalah drama dengan model yang sama. [ap]    

Selasa, 10 Desember 2019

'Kucumbu Tubuh Indahku' dan Piala Citra: Rianto bawa tari lengger lanang ke pentas dunia


Famega Syavira Putri - 10 Desember 2019

Rianto adalah penari lengger lanang yang sudah membawakan tariannya di puluhan negara. Kisah hidupnya diangkat oleh sutradara Garin Nugroho dalam film Kucumbu Tubuh Indahku, yang baru saja meraih delapan piala Citra, dan menjadi wakil Indonesia untuk dinominasikan di Piala Oscar 2020.


Sebagai penari dan koreografer, Rianto sangat terinspirasi dengan tema ketubuhan, yang terinspirasi dari lengger lanang, tari khas Banyumas, Jawa Tengah. Lengger lanang adalah tarian dengan gerak perempuan yang ditarikan oleh lelaki.
"Saya mengangkat tema tubuh karena dari kecil saya sudah mengalami pengalaman luar biasa sebagai seniman tari. Itu yang selalu mendorong saya berkreativitas. Tubuh adalah perpustakaan memori, ingatan-ingatan dari kita lahir sampai sekarang, itu yang terus saya gunakan," kata Rianto saat ditemui di Banyumas, Jawa Tengah.
Saat itu Rianto sedang menari bersama anggota sanggar tari di Baturaden, Jawa Tengah. Di sanggar tersebut kami menyaksikan mereka menari jaranan dengan gaya maskulin, dan sebentar kemudian berubah menjadi tari lengger lanang dengan gaya yang sangat feminin.

Rianto, 38 tahun, mulai menari sejak kecil, sebelum dia belajar tentang tarian. Kesukaannya berlenggak-lenggok membuatnya dijuluki sebagai 'Anto banci'.
"Ketika kecil, saya sering sekali mendapat perlakuan menyakitkan dari teman-teman karena mereka melihat saya suka menari, lenggak lenggok dan sangat berbeda dengan mereka," kata Rianto kepada BBC News Indonesia di desa Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah.

Dia terlahir dari keluarga sederhana, bapaknya petani sekaligus tukang becak, dan ibunya mengurus rumah tangga.
"Sejak kecil dia kemayu, suka main sama cewek, suka mencuri-curi dandan. Tidak pernah saya larang, ya gimana, karena sudah jalannya," kata ibu Rianto, Rusti sambil tersenyum melihat ke arah anaknya.
"Dari kecil ada banyak tantangan dalam hidup saya. Memori ini membekas, tubuh saya merekam perjalanan itu," kata Rianto.
Meski demikian dia mengaku merasa sangat bersyukur karena dalam kesulitan itu, kedua orang tuanya sangat mendukung pilihan hidupnya sebagai penari. Di SMK, dia satu-satunya murid lelaki yang belajar menari.
Rusti mengenang pertama kali dia melihat anak laki-lakinya berdandan seperti perempuan ketika remaja. "Dia dandan di rumah tetangga, saya lihat, pangling, cantik sekali," kata Rusti dalam bahasa Jawa.
Rianto kemudian melanjutkan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta meskipun orang tuanya tak sanggup memberi biaya.
Dia dibantu guru SMK-nya yang yakin bahwa bakat menari Rianto bisa membuatnya membayar sendiri kuliahnya kelak. Dan benar, pada tahun kedua, Rianto dapat membiayai sendiri kuliahnya dari uang hasil menari.

Selepas kuliah, Rianto menikah dengan perempuan Jepang dan menetap di Tokyo. Dari Jepang, Rianto membawa tari lengger lanang ke berbagai negara di dunia.
"Sebagai penari internasional saya selalu mengangkat ketubuhan saya, apa yang ada dalam tubuh saya, filosofinya antara maskulin dan feminin. Basic saya dari lengger dan ini selalu saya garap untuk daya kreatifitas saya dalam bentuk tari kontemporer," kata Rianto.
Dia yakin, tubuhnya adalah tubuh lengger. Ketika wawancara, kami bicara dengan Rianto yang tak menggunakan riasan, kemudian dia berdandan dan menari dengan riasan dan pakaian perempuan.
"Saya tidak bisa definisikan ini laki-laki atau perempuan, ini bagian alam, yang luar biasa. Saya tidak bisa temukan definisi. Ketika saya membuat nama, ini jadinya membatasi kembali, padahal yang kita miliki adalah tubuh tanpa batas," kata Rianto menjelaskan transformasinya.
Rianto (tengah depan) menari bersama para penari dari Sanggar Tari Kidang Kencana.

Kini dia telah pentas di puluhan negara, di lima benua di dunia. Karya pementasan pertamanya yang berjudul Medium, juga telah dipentaskan di berbagai festival mancanegara, dari Australia, Eropa hingga Afrika.
"Banyak kurator festival di dunia sangat tertarik dengan konsep ini, dan saya udah punya. Beberapa kali saya presentasikan ketubuhan yang dasarnya dari Lengger," kata Rianto.
Rianto meyakini bahwa tari lengger sudah ada dalam kebudayaan Banyumas sejak ratusan tahun lalu dan sejak awal memang ditarikan oleh penari laki-laki. Tarian ini disebut dalam buku Serat Centhini pada abad ke-17.
"Lengger lanang adalah sebuah bentuk kesenian rakyat dari desa, mereka merayakan panen, atau upacara bersih desa jauh sebelum itu. Ini tradisi turun temurun dari nenek moyang," kata dia.
Ada pula yang menyakini bahwa kata lengger berasal dari "leng" yang artinya lubang, dan "ngger" yang artinya "jengger". Artinya, seperti perempuan tetapi laki-laki.
"Komitmen lengger adalah benar-benar mencoba melakukan perjalanan tubuh untuk meleburkan maskulin dan feminim dalam bentuk kesenian," kata Rianto.
 Pada akhirnya, menurutnya, lengger adalah proses penyatuan tubuh masyarakat dengan sang penciptanya.

Penampilan maskulin penari Sanggar Tari Kidang Kencana sebelum berganti pakaian.

Menjadi penari lengger baginya bukan untuk tujuan ekonomi, tapi untuk spiritual.
"Penari lengger menari bukan untuk event-event saja tapi menari untuk kehidupan. Saya merasa saya penari lengger lanang karena sejak kecil saya banyak dibully oleh teman-teman, 'oh tubuh kamu megal megol seperti perempuan'. Itu adalah proses perjalanan kehidupan," kata dia, mengenang masa kanak-kanak.
Cita-citanya, adalah menjadi seperti idolanya, almarhum Dariah, yang disebut Rianto sebagai seorang maestro lengger.
"Saya ingin seperti tubuh Dariah, yang mencapai peleburan yang sangat sempurna. Saya tidak melihat lagi identitas gender pada tubuh itu, dia menyatu kepada alam dan tidak ada nafsu egois mencapai level-level ke atas, tapi kembali lagi ke dasar dan menjadi lingkaran kehidupan," kata Rianto.
Dia menjelaskan bahwa fokusnya sebagai seniman adalah peleburan antara maskulinitas dan feminimitas.
"Kalau saya beranggapan bahwa saya laki-laki saja, saya merasa kurang dan itu tidak adil terhadap tubuh saya. Sebenarnya sisi maskulin dan feminin selalu ada dalam tubuh manusia," kata dia.
Sementara karyanya mendunia, di Indonesia, Rianto merasa bahwa lengger masih terpinggirkan.
 "Ada yang mendukung, ada yang berpikiran tertutup dengan mengatakan bahwa lengger lanang adalah kaum banci yang seharusnya tidak ada di sini," kata dia.
"Saya kesalnya sebagai penari lengger lanang, kenapa lengger belum bisa diterima dan dipahami oleh banyak orang. Kita warga Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika dan punya moral yang sangat tinggi, tetapi pikiran masih banyak yang tertutup," kata dia.
Rianto menari diiringi musik calung.

Kendati begitu, dia tetap yakin bahwa lengger adalah jalan hidupnya, dan "tubuh saya yang akan membawaku ke mana-mana untuk memperkenalkannya".

Dia berharap pemerintah lebih aktif mempertahankan kesenian dengan cara mengarsipkan dan menelitinya.
"Penting agar pemerintah mengarchivekan kesenian yang ada di Indonesia untuk benar-benar harus dipertahankan filosofi dan sejarahnya, karena dari situ Indonesia akan lebih memiliki kekuatan untuk menghargai perbedaan," kata dia.
Kini, Rianto tengah menyiapkan karya pementasan selanjutnya yang diberi judul "Hijra", kelanjutan karya yang berjudul "Medium". Dia tetap fokus dengan tema ketubuhan. 
"Tubuh selalu berkesinambungan, ketika tubuh bayi, remaja, dewasa, tua, meninggal, transformasi dari tanah, tumbuhan dan dimakan manusia lagi, menjadi lingkaran kehidupan," kata dia.
Rianto telah melakukan riset sejak 2018, dan karya ini diharapkannya dapat mulai ditarikan pada 2021.

Sementara itu, dia juga mengelola studio tari miliknya di Tokyo, Jepang, Dewandaru Dance Company. Di sana, setiap Sabtu dan Minggu dia rutin mengajarkan tarian Jawa kepada para perempuan Jepang.

Dianggap mempromosikan LGBT

Berseberangan dengan kesuksesannya, film ini disebut mengangkat budaya LGBT, dan dilarang diputar di beberapa kota di Indonesia. Rianto membantah jika film yang diangkat dari kisah hidupnya, Kucumbu Tubuh Indahku, dianggap mempromosikan LGBT.

Persiapan para penari lengger sebelum pentas.

Sejak ditayangkan mulai 18 April 2019, pemerintah di beberapa kota melarang penanyangan film ini. Seperti yang terjadi di Depok, Bekasi, Garut, Palembang, Pontianak, Kubu Raya, Pekanbaru dan Padang.
"Kenapa ada pandangan ini promosi LGBT? Itu karena mereka tertutup sekali pandangannya. Karena belum melihat secara jelas dan detail film ini," kata Rianto. Menurutnya pelarangan itu adalah penghakiman tanpa dasar.
"Dilihat isi dari awal sampai akhir film ini, tidak ada yang namanya promosi LGBT. Ini soal budaya indonesia, keragaman yang harus diangkat, karena memang kurang ada perhatian untuk kesenian lengger, tarian laki-laki menarikan gaya perempuan," kata dia.
Dia menjelaskan bahwa film ini terinspirasi dari proses ketubuhannya, yang memiliki sifat maskulin dan feminim dalam satu tubuh.

Rianto berharap film ini dapat membantu penontonnya untuk melihat ke sejarah masa lampau, soal kesenian, politik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
"Film ini tentang Rianto-Rianto yang ada di Indonesia. Rianto bukan sebagai manusia, tapi dimaknai sebagai bentuk kesenian, bentuk kesenian yang dimaknai sebagai sikap keseharian," kata dia.
Indonesia, kata Rianto, mengalami banyak peristiwa yang membuat dunia kesenian mengalami trauma-trauma yang luar biasa. Trauma itulah yang digambarkan dengan menggunakan gambaran kehidupan para penari lengger, para warok, dan bissu.
"Kadang kita lupa dengan hal-hal sederhana, keseharian yang kita lewati karena kita banyak terkontaminasi dengan budaya luar, yang menyebabkan budaya kita tertutup dan tergilas," kata dia.
"Kita harus mencintai dan bukan menghakimi. Belajar lebih memahami, daripada banyak berbicara" Rianto
Dia menyebutkan bahwa kesamaan cerita hidupnya dengan gambaran pada film Kucumbu Tubuh Indahku adalah antara 30-70 persen.
"Karena tubuh saya hanya perwakilan. Film ini berusaha mengangkat semuanya, meskipun belum semuanya, tapi setidaknya ada beberapa perwakilan untuk mendiskusikan kembali, bahwa kita harus mencintai dan bukan menghakimi. Belajar lebih memahami, daripada banyak berbicara," kata dia.
Film ini memenangkan delapan penghargaan Piala Citra 2019, termasuk pada kategori film terbaik. Karya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul Memories of My Body ini dipilih menjadi wakil Indonesia untuk dicalonkan menjadi nominasi film berbahasa asing di Academy Award 2020.
"Saya senang sekali, semoga bisa membuka pandangan masyarakat bahwa ini sangat penting sekali kita pelajari, bahwa perbedaanlah yang membuat film ini jadi kaya dengan keragaman budaya, keragaman tubuh maskulin-feminim," kata dia.

Melestarikan tari lengger lanang

Kelestarian lengger lanang menjadi perhatian para pelaku kesenian seperti Rianto, yang mengaku sering merasa kehilangan lengger. Para maestro lengger pun beranjak tua.
"Saat kembali ke Banyumas dan menemui para penari senior, saya prihatin karena mereka tidak ada tempat bersuara," kata Rianto.
Untuk itu Rianto menggelar festival tahunan untuk memberi kesempatan para penari tua untuk menari lagi.
"Sayangnya banyak dari mereka yang tidak diizinkan keluarganya untuk menari lagi, karena stigma negatif penari lengger," kata Rianto. Kendalisada Art Festival digelarnya setiap tahun di desa kelahirannya, Kaliori.
Selain itu, Rianto pun berusaha mendorong munculnya penari-penari muda.
 "Saya berusaha meregenerasi maestro Dariah dan memunculkan penari-penari lengger lanang dan mengajari mereka kembali tarian lengger," kata Rianto. Tujuannya, menurut dia adalah untuk "mencoba mengembalikan kembali kehidupan lengger sebagai kehidupan banyumas yang sebenarnya".
Salah satu sanggar tari lengger lanang yang muncul dari inisiatif ini adalah Sanggar Tari Kidang Kencana di Desa Muntang, Karang Tengah, Baturaden. Sanggar yang berdiri tahun 2013 ini kini beranggotakan sekitar 7 penari.  
"Ini berawal dari kecintaan kami, dan ada beberapa teman yang ingin mengembangkan dan membesarkan lengger," kata Tora, pempimpin Sanggar Tari Kidang.
Tora mengakui bahwa menjadi penari lengger lanang bukan profesi yang dapat menghasikan secara ekonomi. Setiap anggota sanggarnya punya profesi lain, seperti pelajar, guru, dan Tora sendiri adalah perancang pernikahan.

Menurut Tora, selain karena panggilan jiwa, dirinya juga punya modal tubuh untuk menjadi penari.
"Saya terlahir dengan modal tubuh yang bisa dimanfaatkan untuk jadi penari lengger lanang, dalam arti saya seorang laki-laki yang maskulin tapi saya juga punya sisi feminim yang menjadi modal tubuh yang dibawa sejak lahir, seperti kelentikan jari dan kelenturan tubuh," kata dia.
Sukendar Hadi Sumarto, Pemimpin Grup Calung Langen Budaya yang sudah berdiri sejak 1982 menjelaskan bahwa tari lengger lanang sempat mengalami pasang surut. Pria kelahiran 1950 itu ingat, lengger yang semula ditarikan lelaki, justru banyak ditarikan oleh perempuan sekitar tahun 1980-an hingga awal 2000-an.

Ryan Nurgia Nova, 19 tahun, yang yakin bahwa lengger lanang adalah panggilan jiwanya.
Setelah itu lengger lanang kembali bangkit, hingga puncaknya saat ini. "Sekarang perkembangan lengger lanang bagus sekali, anak-anak muda mulai tertarik. Dan memang orang justru ingin lenggernya lanang," kata Sukendar yang mengiringi tarian lengger bersama grup calungnya.
Salah satu anak muda yang tertarik pada lengger adalah Ryan Nurgia Nova, 19 tahun, yang yakin bahwa lengger lanang adalah panggilan jiwanya.
"Saya ingin nguri-uri (melestarikan) budaya Banyumas bersama sanggar lengger lanang," kata Ryan yang baru lulus SMK tahun ini. Dia pun bergabung dengan Sanggar Tari Kidang pimpinan Tora.
Awalnya, Ryan mengaku sulit meyakinkan orang tuanya yang tidak setuju anaknya berdandan seperti perempuan ketika menari lengger. Namun, dia terus menyakinkan orang tuanya, dan mengundang mereka untuk datang menyaksikan pentas tarinya.
"Saat orang tua saya pertama kali menyaksikan saya berdandan cewek, tatap muka, jujur masih ada rasa rikuh pekewuh, nggak enak. Tapi inilah tuntutan seni yang harus kita jaga dan lestarikan," kata Ryan.
Latihan para penari lengger.

Siang itu kami menyaksikan Tora dan Ryan menari lengger lanang dalam acara Dies Natalis Fisip Universitas Jenderal Soedirman. Ratusan penonton tergelak, antara takjub dan geli, ketika para penari berganti penampilan dari lelaki menjadi perempuan. 
"Di Banyumas banyak yang pro, dan memang banyak yang masih kontra, tapi mungkin itu karena mereka tidak tahu sejarah dan kurang wawasannya," kata Tora. Menurutnya, selama ini reaksi penonton sebagian besar positif dan mendukung.
"Tapi ada juga yang ketika kami berdandan mereka mencibir bahwa cowok dandan perempuan itu banci, silakan, yang penting kami tidak seperti itu," kata Ryan. "Tidak apa-apa yang penting mereka tidak menyakiti kami."
Tora yakin bahwa lengger lanang akan lestari. 
 "Saya beberapa kali dikontak sekolah untuk belajar dan mendalami lengger lanang, belajar sebagai tugas sekolah. Saya yakin suatu saat lengger akan masuk dalam kurikulum," kata dia.
Produksi visual oleh Anindita Pradana

Sabtu, 09 November 2019

Wayang Potehi, Kesenian Klasik Perpaduan Budaya Tionghoa – Jawa

Oleh: Reza Fitriyanto

Pertunjukan wayang potehi di Ketandan, Yogyakarta. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)

Wayang potehi merupakan seni pertunjukkan hasil budaya peranakan Tionghoa – Jawa. Terbuat dari kayu waru atau kayu mahoni lunak dan dibalut aneka kostum khas Negeri Tirai Bambu, wayang potehi menjadi salah satu pertunjukan seni yang paling ditunggu saat Imlek tiba. 

Kencringan irama simbal cina di sudut Kampung Ketandan malam itu menarik hati. Tampilannya sangat menyita pandangan. Bunyinya memecah suasana, seolah-olah ingin menarik perhatian semua pengunjung yang memadati tempat dilangsungkannya acara Pekan Budaya Tionghoa ke-XI di Kampung Ketandan, Malioboro, Yogyakarta.

Sebagian dari mereka yang tengah lalu-lalang menyempatkan diri untuk berhenti sejenak menyaksikan pentas wayang potehi, sebuah kesenian klasik yang lahir di negeri Tirai Bambu.

Seorang wisatawan sedang mendokumentasikan pertunjukan wayang potehi di Ketandan, Yogyakarta. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)

Lenggak-lenggok boneka wayang potehi secara perlahan muncul dari panggung yang berupa bilik kecil berwarna merah menyala. Tak lama kemudian, sosok sang ksatria keluar. Dialah Jenderal Sie Djien Kwie Tjeng See, seorang panglima besar dari Kerajaan Tai Tong Tiaow yang menjadi lakon cerita pentas wayang potehi malam itu. Dengan jubah perang kebesarannya, sang jenderal menumpas habis semua musuh yang dihadapinya.

Kian malam para penonton kian bertambah. Purwanto yang bertindak sebagai dalang pada kesempatan itu makin semangat. Aksi Pria asal Kediri, Jawa Timur, dalam memainkan boneka wayang potehi terlihat makin berapi-api. Secara bergantian, satu per satu tokoh boneka wayang potehi miliknya unjuk muka di hadapan penonton. Sesekali aksinya mendapat sorakan gembira dari anak-anak yang dengan antusias menyaksikan pentas kesenian dari negeri Tiongkok malam itu.

Purwanto, dalang wayang potehi dari Jombang menunjukan tokoh wayang Jenderal Sie Djien Kwie Tjeng See yang merupakan yang menjadi lakon atau tokoh utama pementasan. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)

Pentas kesenian wayang ini rutin diselenggarakan oleh panitia Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta sebagai wahana untuk memeriahkan perayaan Tahun baru Imlek di kampung pecinan Ketandan. Kehadiran wayang potehi dalam kesempatan ini menjadi warna tersendiri di tengah hiruk-pikuk bazar dan riuh suasana jual beli jajanan pasar malam yang dijajakan warga.

Wayang Potehi merupakan kesenian klasik yang berasal dari negeri Tiongkok bagian Selatan. Kesenian wayang potehi sendiri telah ada sejak zaman kekaisaran Cina, tepatnya sejak masa Dinasti Jin pada tahun 265 hingga 420 Masehi. Menurut asal katanya, potehi berasal dari kata pou yang berarti kain, te yang berarti kantong, dan hi yang berarti wayang. Jadi potehi adalah wayang yang terbuat dari boneka kain atau wayang kantong.

Berdasarkan catatan sejarah, masuknya kesenian wayang potehi ke nusantara dibawa oleh perantau Tionghoa. Kemudian lambat laun kesenian wayang potehi melebur dengan budaya masyarakat setempat. Kini, wayang potehi telah berakulturasi menjadi sebuah kesenian lokal mewakili satu di antara keberagaman identitas bangsa Indonesia.

Deretan tokoh wayang potehi yang berjajar di balik panggung, tampak tokoh utama Jenderal Sie Djien Kwie Tjeng See dengan jenggot panjangnya berada di tengah. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)

Suatu kisah menceritakan bahwa asal muasal ditemukannya kesenian wayang potehi ini berasal dari seorang terpidana eksekusi mati saat tengah berada dalam pesakitannya di dalam pejara. Di tengah keluh kesah menanti ajalnya, salah satu dari beberapa terpidana mati tersebut berusaha menghibur diri dengan mengambil perkakas yang ada di dalam penjara. Kemudian perkakas penjara tersbut ditabuh untuk mengiringi permainan wayang yang saat itu menggunakan kain atau kaos tangan.

Keunikan permainan wayang kain yang dimainkan dengan tangan oleh para terpidana mati tersebut lantas terdengar hingga ke telinga sang Kaisar. Sang Kaisar pun memanggil mereka, para terpidana mati tersebut, untuk mementaskan pertunjukan secara langsung di hadapan sang Kaisar. Seusai mementaskan permainan wayang kain, tak dinyana sang Kaisar merasa sangat terhibur. Pengampunan pun keluar dari sang Kaisar. Hukuman eksekusi mati para nara pidana tersebut kemudian dicabut.

Di Balik Panggung Wayang Potehi

Deretan boneka wayang berjajar rapi di atas sebuah kotak perkakas yang berada di belakang singgasana panggung sang dalang. Di samping kanan dan kirinya terdapat para pemusik pengiring pementasan. Suasana di balik panggung pentas wayang ini tak seperti tampilan depannya. Dari balik panggung ini, terlihat dengan jelas tingkah dan gestur sang dalang yang sangat ekspresif memainkan boneka wayang potehi.

Saking bersemangatnya, sesekali peluh menetes dari kening sang dalang. Di sampingnya sang asisten membantu dengan sigap. Tangan sang asisten saat memainkan boneka wayang potehi hampir sama lihainya seperti sang dalang yang tentunya jauh lebih senior. Canda tawa sesekali terlepas di balik panggung ini tatkala sang dalang mengeluarkan celotehan humornya.

Seorang dalang wayang potehi sedang beraksi di balik panggung. (Reza Fitriyanto/Maioloo.com)

Dari balik panggung inilah wajah sesungguhnya pentas wayang potehi. Purwanto dan kawan-kawannya yang tergabung dalam kelompok Fuk Ho Ann dari Jombang ini adalah wujud dari segelintir orang yang masih peduli akan kehadiran kesenian wayang khas Tiongkok ini. Dari tangan Purwantolah hadir tokoh-tokoh pewayangan cina yang berkisah tentang cerita rakyat dari negeri yang masyur akan perdagangannya. Dari kecintaan mereka pula kesenian klasik peninggalan zaman kekaisaran Negeri Tirai Bambu ini hadir di hadapan kita.

Traveller’s Note

·           Pentas wayang ini rutin diselenggarakan tiap tahun di acara Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta yang diselenggarakan di Kampung Ketandan, Malioboro, Yogyakarta.
·           Pertunjukan Wayang Potehi berlangsung tiap hari selama perayaan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta berlangsung, mulai pukul 18.30 WIB.
·           Bagi kamu yang ingin mengabadikan atau sekedar menikmati pementasannya, datanglah lebih awal agar dapat tempat duduk paling depan.
·           Sebelum duduk menikmati pementasan Wayang Potehi, kamu bisa terlebih dahulu menikmati bazaar dan jajanan pasar yang ada di sepanjang gang kampung Ketandan saat perayaan Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta berlangsung.

Maioloo.Com 

Rabu, 06 November 2019

MOOI INDIE

Darwati Utieh

(Foto: lukisan Basuki Abdullah)
Bahkan orang tak punya selera seni pun terpukau lukisan naturalistik. Tak perlu kuliah di jurusan seni rupa hanya untuk menikmati sebuah lukisan pemandangan suasana pagi pedesaan dihiasi kebeningan air kali yang mengalir dibawah jembatan kayu nibung di sekitarnya. Begitu elok. Begitu molek.
Lukisan dengan daya pikat romantisme yang kuat pernah menjadi trend di Hindia Belanda awal abad XX. Gerakan seni rupa ini juga didorong oleh pemerintah untuk mendongkrak pariwisata di negeri jajahannya. Para perupa macam Willem Jan Pieter van der Does, Manus Bauer, Carel Dake, Lee Man Fong, Raden Saleh, antara lain, diminta melukis alam Indonesia untuk dipamerkan di Eropa dengan tujuan menarik wisatawan bule.
Bagi perupa barat Hindia Belanda adalah lokasi segala keindahan bersemayam. Ia ibarat telaga tempat orang menimba ilham kemolekan yang tak habis-habisnya.
Gerakan ini menekankan emosi yang kuat dari pengalaman estetika. Lukisan Mooi Indie mudah dikenali dari tampilan fisiknya. Bentuk dasarnya pemandangan alam dihiasi sawah, gunung, pohon, bunga, pantai, penari, perempuan dan lelaki desa. Ringkasnya menggambarkan romantisme Indonesia, keadaan Hindia Belanda saat itu, yang asli atau natural.
Pada mulanya istilah Mooi Indie (Hindia Belanda Yang Molek) pernah dipakai untuk memberi judul reproduksi 11 lukisan pemandangan cat air milik perupa Belanda Fredericus Jacobus du Chattel yang diterbitkan dalam bentuk portfolio di Amsterdam tahun 1930.
Namun istilah tersebut jadi populer berkat perlawanan yang diberikan oleh maestro S.Soedjojono yang mengejek seni itu dengan label "trinitas": gunung, sawah, pohon sebagai objek yang selalu hadir. Ia tampil sebagai pengeritik pertama dan paling vokal gerakan romantisme ala Belanda ini dalam artikelnya di majalah Kebudayaan dan Masyarakat, Oktober 1939.
"Benar Mooi Indie bagi si asing yang tak pernah melihat pohon kelapa dan sawah. Benar Mooi Indie bagi si turis yang telah jemu melihat skyscapers dan mencari hawa dan pemandangan baru, makan angin katanya, untuk menghembuskan isi pikiran mereka yang hanya bergambar mata uang sahaja".
Bagi Soedjojono pelukis mestinya, 
"Menggambar juga pabrik-pabrik gula, si tani yang kurus, mobil si kaya dan pantolan si pemuda, sepatu, celana, dan baju garbadin pelancong di jalan aspal. Inilah keadaan kita. Inilah realitet kita," tulisnya.
Dan ia menyebut pandangan seni rupanya sebagai "realisme". Kelak setelah merdeka realismenya bertemu dengan "realisme sosialis" ala Lekra. Klop.
Tapi bukankah Mooi Indie juga sebuah "realisme"?

Sabtu, 02 November 2019

Wayang gollek Menak Kebumenan


Minggu, 27 Oktober 2019

Sastra di tengah Politik Transaksi


Oleh: Rinto 
 “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara.”

Demikian judul buku Seno Gumira Ajidarma (SGA) mengentak kesadaran akan peran dari sastra. Seno beranggapan bahwa sastra berkewajiban berbicara ketika kebenaran dipasung.

Melihat dinamika politik hari ini, tampaknya seruan ini harus kembali bergema. Bukan hanya mendung, iklim politik negeri ini sedang menjemput badai. Demokrasi kita sedang di ujung tanduk. Suara alternatif yang progresif tidak terdengar karena kalah oleh dengungan para buzzer.

Tak pelak, nalar sebagai bahan bakar utama demokrasi menjadi kering karena dilibas oleh kenaifan kita dalam membaca politik. Oleh karena itulah, sastra harus bangkit. Ia mesti menghunus penanya untuk menikam segala kebusukan ini.

Mengapa Sastra Harus Bangkit? 

Sastra harus bangkit karena situasi politik di negeri ini sedang memburuk. Hampir seluruh lapisan masyarakat terperangah pasca Jokowi mengumumkan nama-nama menteri pengisi kabinetnya. Pasalnya, Jokowi menggandeng Prabowo, kompetitornya dalam pagelaran Pilpres  kemarin.
Padahal, hampir semua pendukung Jokowi mencap Prabowo sebagai the big evil. Bahkan Franz Magnis Suseno, sang begawan filsafat, tega menyebut pemilih golput sebagai psycho freak.

Sebab menurut sang filsuf, keputusan untuk tidak memilih dapat menyebabkan si jahat akan menang. Namun apa mau dikata, akhirnya Jokowi mengajak si jahat berkolaborasi. Fenomena ini menjadi indikator bahwa mesin politik di Indonesia bergerak nyaris tanpa nilai.

Politisi mementaskan politik transaksional secara brutal, terang-terangan, dan tanpa malu. Mereka menipu rakyat habis-habisan. Pertengkaran, perkelahian, bahkan nyawa yang melayang pada masa kampanye nyaris tak bernilai bagi kedua kontestan. Alhasil, demokrasi hanya mainan bagi para elit politik.

Bisa dikatakan, seluruh pilar demokrasi kita keropos. Ada empat tiang yang menyangga bangunan demokrasi agar kokoh: eksekutif, legislatif, yudikatif, dan jurnalisme. Eksekutif tidak pro kepada rakyat. Komposisi oposisi di legislatif loyo. Sejak dahulu, aspek hukum selalu tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Sementara jurnalisme kita tetap bangkrut dan tiarap. Apakah ini terlalu berlebihan? Tidak!

Eksekutif tidak (pernah) berpihak kepada rakyat. Hal ini jelas tercermin dari pidato perdana Jokowi pada hari pelantikan. Dari orasi singkatnya, terang terlihat kalau beliau seorang developmentalis 100%. Dalam visi ekonomi, Jokowi adalah kembaran Suharto, sang bapak pembangunan.

Bedanya, Suharto punya perencanaan bertahap dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), sementara Jokowi tidak punya. Kesamaannya, mereka sama-sama presiden bagi pemodal. Ke depan, Jokowi pasti hanya akan mendengarkan para investor.

Apalagi dalam pidato tersebut, ia sama sekali tidak menaruh minat pada penegakan hukum dan HAM. Padahal di tengah penindasan struktural, rakyat hanya bersandar pada itu. Sebab, wakil rakyat pun tampak tak bisa dijadikan sebagai tempat pengaduan.

Peran DPR diperkirakan pun lemah karena formasi oposisi yang tidak ideal. Jokowi lihai memainkan perannya sebagai the prince. Ia membagi kue kekuasaan kepada para kroni dengan merata. PKS, PAN, Demokrat, dan deretan partai gurem lainnya tidak kecipratan. Justru karena itulah, mereka berencana akan menjadi oposisi. Jadi kalau pun mereka resmi mengambil peran tersebut, itu bukan karena keputusan ideologis tetapi karena unsur sakit hati. Jelas, menaruh harapan pada oposisi bermutu seperti ini bagaikan pungguk merindukan bulan. Kondisi ini kian mengenaskan ketika kita harus berhadapan dengan lagu lama penyakit bangsa ini, yaitu lemahnya supremasi hukum.

Kita nyaris tidak mempunyai cerita baru dalam bab penegakan hukum. Semuanya hanya parafrase dari cerita lama. Mafia hukum berserak di semua sudut. Kita sejak lama selalu mengenal keadilan yang terbalik. Ruang-ruang pengadilan penuh dengan konspirasi. Keputusan mereka hanyalah pembacaan kesimpulan yang sudah dibuat terlebih dahulu di kolong meja. Postulat hukum kita adalah kebenaran akan membela yang bayar. Tanpa uang, keadilan hanyalah fatamorgana. Jika ratu keadilan sudah melacurkan diri pada konglomerasi, lalu kepada siapa lagi kita mengadu? Kepada wartawan?

Sebenarnya, harapan bisa kita titipkan pada karya jurnalistik sebagai pengawal pikiran rakyat. Namun, harapan yang kita taruh di pundak mereka pun sia-sia. Produk wartawan kita terbatas pada berita deskriptif belaka. Jangankan berharap pada jurnalisme investigatif, jurnalisme advokasi—seperti usaha Tirto Adisoerjo, Bapak Pers Indonesia—pun tak ada. Alih-alih menjadi pengawal pikiran rakyat, karya jurnalistik kita habis terpreteli oleh konstruksi kapitalisme. Tulisan berita adalah barang asongan. Kebebasan pers, seperti dikatakan SGA, dimanfaatkan demi kepentingan dagang secara memalukan. Portal jurnalistik kita adalah pemburu click bait dan pengemis iklan. Sampai-sampai kita dibuat bingung kala masuk ke laman mereka, “Ini situs berita berisi iklan atau situs iklan berisi berita?” Belum lagi ditambah dengungan para buzzer yang membuat bilik-bilik dunia maya semakin tak karuan.

Kebangkitan sastra wajib kita tunggu karena narasi kelompok progresif pun kalah telak dengan buzzer. Kelompok progresif adalah mereka yang memiliki agenda politik membela kepentingan rakyat jelata. Ciri utama dari kelompok ini berisi kritik terhadap modus produksi. Mereka menuding kapitalisme sebagai kambing hitam dari segala bentuk pengisapan dan penindasan. Sementara, para buzzer adalah ahli propaganda yang bergerak di media sosial. Mereka adalah anak haram rezim yang berperan sebagai apologet tidak resmi. Mereka bertugas untuk memproduksi argumen post truth dengan sistematis. Narasi mereka adalah menyebar phobia terhadap bahaya radikalisme (ekstremisme) agama. Mereka menyasar dasar dari sentimen masyarakat kita yang mudah tersulut oleh isu agama. Memang, masyarakat lebih suka mengonsumsi dengungan para buzzer. Buktinya, masyarakat mudah sekali “memaafkan” ketika Jokowi mengangkat menteri agama dari latar belakang militer. Kelihatannya dalam pikiran masyarakat, ilusi persoalan terorisme dengan motif agama tampak lebih mendesak daripada isu eksploitasi dan penindasan. Cupet, kan?

Suara sastra kian dibutuhkan karena ketumpulan nalar masyarakat kita yang akut. Menyitir pernyataan Rocky Gerung, bangsa kita memang surplus kedunguan serta defisit kecerdasan. Hal ini terbukti jelas ketika cebong akhirnya berzina dengan kampret. Sikap naif masyarakat dalam melihat politik menemukan jawabannya sekarang. Padahal pada masa kampanye Pilpres, ada banyak analisis yang memaparkan bahwa aktor tim sukses di balik kedua kontestan adalah rekanan.

Film dokumenter Sexy Killers membuktikan itu dengan gamblang. Namun tetap saja, masyarakat tidak percaya. Ajaibnya, sampai sekarang masih ada cebong garis keras yang tetap memberi pembenaran pada politik transaksional a la Jokowi. Mereka bilang, “Ini langkah cerdik.” Sementara yang  lain mengatakan, “Tindakan ini mirip politikus besar AS, Abraham Lincoln, yang menggandeng musuh politiknya.” Lebih gila lagi, ada yang mengutip ayat suci agama demi melegitimasi praktik politik transaksional ini. Akal sehat kita bukan lagi tumpul tetapi berkarat-karat.

Memanggil Sastrawan

Situasi ini merupakan sinyal buruk akan masa depan kita. Hampir semua elemen demokrasi kita lumpuh. Kelompok progresif yang kita harapkan mampu memberi alternatif ternyata KO dipukul Denny Siregar dan batalionnya. Rasa miris kian lengkap jika melihat keluguan masyarakat dalam menalar manuver para politisi. Oleh karena itu, kita butuh mikrofon untuk menyalurkan jeritan suara rakyat. Sejarah menunjukkan, biasanya, para sastrawan akan pasang badan dengan menghunus pena sebagai pedang. Namun pertanyaannya, “Mengapa sastra?”

Untuk memahami sastra, alangkah lebih baik kalau kita memulai dari definisi yang bukan sastra. Dalam masyarakat, ada tiga mitos yang berkembang tentang sastra, kata SGA. Pertama, banyak orang memandang sastra berisi curahan hati (curhat) semata. Kedua, sastra dianggap bundelan kata dengan bahasa mendayu belaka. Terakhir, sastra dianggap cuman berisi petuah moralitas yang nyaris tanpa makna. Tentu saja, sebuah kesalahan besar jika kita memahami sastra dengan langgam ini. Lalu jika begitu, apa itu sastra?

Bisa dikatakan, sastra adalah salah satu instrumen untuk memaknai pengalaman hidup. Ia sejajar dengan seni, agama, bahkan sains. Letak perbedaan di antara mereka ada pada medium dan sarana yang dipakai untuk meluapkan isi pikiran. Misalnya, sastra menggunakan kata untuk bicara sementara musik memakai nada untuk mengirimkan makna. Oleh karena itu, dalam filsafat, sastra masuk dalam cabang estetika. Karena dikelompokkan dalam cabang filsafat, objek kajian utama dari sastra adalah kenyataan konkret manusia. Plato menyebutnya dengan istilah mimesis. Jadi, tidak mengherankan jika sastra itu abadi karena perannya dekat dengan kenyataan manusia.

Sastra memiliki banyak peran. Dalam fungsi rekreatif, ia dapat menemani waktu luang kita. Sastra mampu meluaskan cakrawala wawasan kita untuk menggenapi tugas edukatifnya. Bahkan, sastra pun bisa turun tangan untuk mengajari kita tentang moral, keindahan, dan agama. Artinya, kontribusi sastra tidak sekadar mematuk-matuk kata sembari bersyair tentang anggur dan rembulan. Bahkan lebih besar dari itu, sastra bertugas untuk membongkar tabu. Ia bertanggung jawab untuk mengurai kompleksitas dan ambiguitas dari realitas. Kemudian, ia harus membubuhi karyanya dengan imajinasi mengenai dunia yang seharusnya. Ini alasannya sastra dapat digunakan sebagai alat propaganda.  

Jadi, kaitan sastra dengan dunia politik sebenarnya sangat dekat. Tadi dikatakan, salah satu tugas sastra adalah membongkar tabu. Sementara, dunia politik adalah tempat dimana tabu dirawat. Bagi para politisi, ucapan di atas pentas berbeda arti jika di balik layar. Artinya, dunia politik adalah tempat keterampilan seni berbohong diasah. Dalam habitat seperti ini, tentu saja sastra harus bicara. Ada banyak pintu kebohongan yang harus ia dobrak dan muslihat yang harus ditelanjangi. Inilah sastra yang sebenarnya!

Oleh karena itulah, sudah saatnya kita memanggil para sastrawan keluar dari ruang tapa. Kita pun harus menjemput puisi, prosa, dan kisah fiksi mereka untuk memorak-porandakan tipu busuk politik transaksi ini. Kalau tidak, artinya kita memang sudah tidak mempunyai harapan.

Selasa, 22 Oktober 2019

Jabar Juwes


Penulis:  ditwdb  - Oktober 22, 2019


Kesenian Jabarjuwes atau juga disebut Jeberjuwes pada awalnya muncul tahun 1962 di Dusun Tengahan, Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nama kesenian Jabur.

Kesenian ini muncul karena adanya kebosanan atau kejenuhan masyarakat penonton terhadap kesenian Wayang Wong, Kethoprak dan Wayang Golek. Pada waktu itu kelompok seni dan pelaku seni di Desa Sendangagung tidak tinggal diam menghadapi kondisi yang demikian itu, sehingga dibawah inisiatif dan kreativitas Bapak Darmo Suwito dan Bapak Harjo Suprapto (Kepala Dukuh Dusun Tengahan pada waktu itu) kemudian mereka berkreasi dan berinovasi memadukan antara Wayang Wong, Kethopak dan Wayang Golek menjadi bentuk kesenian baru yang disebut Jabur dengan tokoh lawaknya yang bernama Jeber dan Juwes.

Oleh karena masyarakat penonton terkesan oleh kedua tokoh lawak tersebut kemudian kesenian baru, yaitu kesenian Jabur yang merupakan hasil kreativitas para pelaku seni Dusun Tengahan, Desa Sendangagung ini dinamakan Jabarjuwes karena mengacu atau tertarik pada nama kedua tokoh lawak tersebut.

Sampai sekarang kesenian ini masih tetap eksis meskipun di Desa Sedangagung hanya ada satu grup saja. Kesenian Jabur dengan organisasi kesenian/sanggarnya yang bernama”jeber jues”, yang didirikan pada tanggal 4 Januari 1980 di Dusun Tengahan XII, Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.

 Sanggar Seni “Jeber Jues” ini sudah terdaftar di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman sejak tanggal 29 Desember 2016 dengan Nomor Induk 626 /BUDPAR/2016.

1. Cerita

Pertunjukan Kesenian Jabarjuwes mengangkat cerita Menak dalam bentuk lakon-lakon yang dipentaskan. Cerita Menak baik itu yang dipakai untuk sumber cerita pementasan Wayang Golek Menak, Wayang Kulit Menak, Wayang Orang Menak maupun tari Golek Menak bersumber dari Serat Menak. Serat Menak pada mulanya bersumber dari Kitab Qissa Emir Hamza yaitu sebuah karya sastra Persia pada masa pemerintahan Sultan Harun Al Rasyid yang memerintah pada tahun 766 – 809 Masehi

Di daerah Melayu karya sastra tersebut dikenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah. Berdasarkan hikayat tersebut dipadukan dengan cerita Panji kemudian digubah dalam bahasa Jawa sehingga terciptalah cerita-cerita Menak yang dikenal dengan nama Serat Menak (Wijanarko, 1991: 16).

Dalam cerita Menak ini nama-nama tokohnya disesuaikan dengan nama Jawa, seperti: Omar bin Ommayya menjadi Umarmaya, Baidul Zaman menjadi Iman Suwangsa, Unekir menjadi Dewi Adaninggar, Amir Hamzah menjadi Amir Ambyah dan lain-lain. Serat Menak yang kita kenal saat ini adalah Serat Menak yang digubah oleh Raden Ngabehi Yasadipura I dan Raden Ngabehi Yasadipura II (Raden Ngabehi Ranggawarsita) pujangga dari kraton Surakarta. Serat Menak menceritakan kisah dan pengalaman kepahlawanan Amir Ambyah atau juga dikenal dengan nama Wong Agung Jayengrana dari Mekah dengan Prabu Nursiwan dari Medayin.

Cerita Menak didalam tradisi tulis terungkap di dalam Serat Menak, karya sastra Jawa bernafaskan Islam yang berisi kisah kepahlawanan tokoh cerita Amir Ambyah, yang merupakan transformasi dari sastra Melayu Hikayat Amir Hamzah. Cerita Menak di Indonesia, khususnya di Jawa dikenal melalui saduran yang digubah dalam bahasa Jawa oleh Raden Ngabehi Yasadipura I dari Kraton Surakarta berdasarkan pada Serat Menak karya Ki Carik Narawita yang memiliki kedekatan dengan Hikayat Amir Hamzah.

Cerita Menak meskipun telah mengalami penulisan ulang oleh Raden Ngabehi Yasadipura I dan Raden Ngabehi Yasadipura II namun tetap memerlukan kreativitas dari para pelaku seni atau seniman agar tercapai harmoni antara kesenian dengan lakon cerita yang dipentaskan.

Demikian juga kesenian Jabarjuwes di dalam melakonkan cerita menak disesuaikan dengan kreativitas para senimannya sehingga terciptalah lakon-lakon atau cerita yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat pendukungnya. Adapun cerita atau lakon yang sering dipentaskan dalam kesenian Jabarjuwes antara lain:

– Gangga Mina Gangga Pati
– Tali Rasa Rasa Tali
– Putri Cina
– Bedhahe Kelan
– Umar Amir Nanggih Berjanji
– Bedhahe Selan
– Gambar Mas
– Adaninggar Kelaswara
– Ulamdahur Tundhung
– Rabine Iman Suwangsa
– Tejanegara Winusuda
– dan sebagainya

2. Pemain

Kesenian Jabarjuwes dalam setiap pertunjukan membutuhkan sejumlah pemain dan pendukung pergelaran minimal sebanyak 35 orang. Para pemain dan pendukung tersebut berperan sebagai:

ï· Pemain wayang
Pemain wayang kurang lebih sebanyak 20 orang, mereka berperan sebagai pelaku dalam pementasan lakon sesuai dengan cerita yang dibawakan. Pemain wayang sebanyak 20 orang ini kemungkinan bisa bertambah, hal ini tergantung dari lakon yang dipentaskan.

ï· Pengrawit
Pengrawit adalah orang yang menabuh gamelan. Pada pertunjukan Jabarjuwes, pengrawit berperan mengiringi pergelaran dengan alat musik gamelan selama kesenian Jabarjuwes berlangsung. Dalam pertunjukan kesenian ini kurang lebih diperlukan pengrawit sebanyak 15 orang.

ï· Dhalang
Dhalang pada pertunjukan kesenian Jabarjuwes berperan sebagai pengantar cerita dan pengatur laku atau sutradara. Dalang sebagai pemimpin (sutradara) selama pergelaran kesenian Jabarjuwes berlangsung. Dalang akan mengantarkan cerita pada setiap episodenya, disamping juga sebagai pengatur laku.

ï· Waranggana
Waranggana juga disebut sindhen atau pesindhen adalah orang yang melantunkan tembang-tembang Jawa dalam seni karawitan. Pada pergelaran kesenian Jabarjuwes, waranggana berperan melantunkan atau menyanyikan tembang-tembang bersama karawitan untuk mengiringi selama pergelaran berlangsung.

3. Iringan atau Musik Pengiring

Pada awal keberadaan kesenian Jabarjuwes sampai tahun 1980-an iringan gamelan menggunakan laras slendro. Namun, sekarang ini pergelaran kesenian Jabarjuwes diiringi musik gamelan dengan laras slendro dan pelog. Hal ini dimaksudkan untuk mengiringi gending-gending yang lebih variatif disesuaikan dengan perkembangan jaman. Penggunaan laras pelog untuk mengiringi lawakan atau guyonan atau acara bebas berupa lelagon.

Gamelan tersebut dibuat dari bahan besi atau campuran besi dan kuningan. Adapun gamelan tersebut terdiri atas: saron, saron penerus (peking), demung, bonang penerus, bonang barung, gong, kempul, kendhang, keprak dan kecrek. Namun karena menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, pada saat ini kadang-kadang pertunjukan Jabarjuwes hanya diiringi gamelan jenis slendro saja.

Meskipun iringan gamelannya tidak selengkap dahulu, namun hal ini tidak mengurangi makna, tujuan, dan semangat para pemain dalam pertunjukan Jabarjuwes tersebut.

Adapun jenis gendhing yang digunakan antara lain:

– Ladrang Kabor pelog nem untuk adegan gagahan.
– Lancaran Mayar Sewu untuk budhalan prajurit.
– Playon Gambuh dan Gangsaran untuk peperangan.
– Ladrang yao-yao untuk jejeran.
– Sampak untuk perang antar tokoh.
– Bubaran untuk gendhing penutup.

4. Urutan Penyajian

Kesenian Jabarjuwes termasuk jenis dramatari tradisional dengan mempergunakan lakon cerita Menak. Gerakan tarinya meniru atau seperti gerakan wayang thengul atau wayang golek. Urutan pertunjukan atau penyajiannya diawali dengan menyajikan gendhing-gendhing pembukaan yang maksudnya untuk memberitahu atau mengundang penonton, bahwa di tempat itu ada pertunjukan kesenian Jabarjuwes yang akan segera dimulai. Kemudian dilajutkan dengan penyajian adegan demi adegan dengan tambahan atau variasi peperangan, adegan lawakan atau dhagelan.

Penyajiannya dapat dikelompokan menjadi 2 bagian yaitu:

ï· Bagian pertama merupakan adegan tokoh sentral di setiap lakon dalam kesenian Jabarjuwes dengan gerakan tari yang menyerupai gerakan wayang golek, yaitu gerakannya kaku dan patah-patah mengantarkan adanya pertunjukan kesenian Jabarjuwes

ï· Bagian kedua merupakan inti pertunjukan kesenian Jabarrjuwes mulai dari adegan pertama sampai dengan adegan terakhir, biasanya pertunjukan kesenian Jabarjuwes yang berlangsung 1 malam terdiri atas 4 adegan. Diantara adegan-adegan pokok tersebut ditampilkan adegan lawakan atau dhagelan yang diperankan oleh tokoh lawak Jeber dan Juwes. Diakhir pertunjukan dilantunkan gendhing bubaran.

Beberapa adegan yang ditampilkan dalam pertunjukan kesenian Jabarjuwes antara lain:

ï· Adegan jejer, menggambarkan suasana di sebuah pertemuan agung atau pasewakan agung. Adegan jejer biasanya dilakukan di sebuah kerajaan atau pertapaan yang digambarkan bahwa adegan jejer ini dihadiri oleh tokoh-tokoh penting di kerajaan tersebut. Para tokoh dalam adegan ini akan saling berdialog sesuai dengan lakon cerita yang dipergelarkan.

ï· Adegan gandrungan, merupakan adegan yang menggambarkan percintaan dari tokohnya, percintaan tokoh putra dan tokoh putri. Para tokohnya saling jatuh cinta, sehingga dalam adegan ini didominasi penggambaran suasana romantis.

ï· Adegan lawakan, juga disebut dhagelan merupakan adegan yang suasananya penuh kegembiraan dan lucu karena penampilan lawak yang menyegarkan. Adegan lawakan dalam pergelaran kesenian Jabarjuwes biasanya dimunculkan di tengah-tengah waktu dari durasi pergelaran yaitu pada waktu tengah malam.
Sepanjang penampilan lawakan ini penonton dibuat untuk bergembira dan tertawa karena hampir semua tingkah laku dan dialognya dari tokoh tersebut sangat lucu. Penampilan lawak dalam kesenian Jabarjuwes diperankan oleh 2 orang pelawak yang bernama Jeber dan Juwes dengan menggunakan busana atau kostum yang lucu.

ï· Adegan peperangan pada pertunjukan kesenian Jabarjuwes terjadi apabila ada konflik antara sesama tokoh atau antar kerajaan untuk mencari kemenangan. Adegan peperangan merupakan penyelesaian suatu kasus peristiwa, dengan adanya pihak yang kalah maka akan selesailah konflik yang terjadi. Peperangan biasanya terjadi karena konflik 2 kerajaan yang ingin saling mengusai. Peperangan terjadi karena konflik perebutan tahta kedudukan di suatu kerajaan. Selain itu peperangan terjadi karena konflik yang disebabkan faktor percintaan yang ingin memperebutkan seorang putri kerajaan.

ï· Adegan penutup merupakan penyelesaian dari seluruh konflik dalam seluruh cerita. Dalam adegan penutup ini menjadi ajang ekspresi kebahagiaan karena sudah dapat menyelesaikan masalah ataupun konflik yang terjadi. Adegan penutup ini juga merupakan bentuk ungkapan rasa syukur dan juga merupakan pesan dari seluruh rangkaian cerita.

Pengantar cerita dan pengatur laku setiap adegan selama pertunjukan Jabarjuwes berlangsung dilakukan oleh dalang yang sekaligus berperan sebagai sutradara. Pada waktu dahulu durasi pertunjukan sekitar 6 – 8 jam, namun pada saat ini durasi pertunjukan menyesuaikan dengan kondisi atau kebutuhan.

5. Tata Gerak/Gerak Tari

Dalam kehidupan sehari-hari gerak merupakan alat untuk menyampaikan maksud dan pengalaman emosional, sedih, senang dan terharu. Gerak merupakan bagian dari tari dan sebagai alat komunikasi dalam tari. Gerak tari merupakan gerak yang ekspresif yaitu gerak yang indah yang dapat menggetarkan manusia (Soedarsono, 1977: 17).

Berkaitan dengan pernyataan di atas, maka gerak tari dalam pertunjukan Jabarjuwes merupakan gerak tari ekspresi untuk menyampaikan ide dari cerita yang dilakonkan yaitu cerita Menak. Gerak tari yang dipergunakan dalam kesenian Jabarjuwes antara lain: ulap-ulap, sembahan, kicat, trisik, jogetan, sabetan, jeblos, gapruk, dan sebagainya. Dalam pertunjukan Jabarjuwes gerakan tarinya seperti gerakan Wayang Golek, gerakannya kaku dan patah-patah dengan ciri posisi tangan ngruji seperti Wayang Golek, serta setiap gerakan tari diakhiri dengan ambegan atau ambil nafas.

6. Dialog

Kesenian Jabarjuwes merupakan kesenian tradisional yang termasuk dalam jenis dramatari. Dalam dramatari dialog atau percakapan mempunyai peranan yang sangat penting, karena dialog menjadi sarana untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam cerita atau lakon.

Demikian juga dalam pertunjukan Kesenian Jabarjuwes, dialog
merupakan sarana untuk menyampaikan ide, gagasan ataupun pesan-pesan yang terkandung dalam rangkaian cerita yang diwujudkan melalui pementasan kepada para penonton. Percakapan dalam pertunjukan kesenian Jabarjuwes mempergunakan bahasa Jawa dialek Yogyakarta, baik itu bahasa Jawa Krama, Krama Madya, dan Ngoko. Dialog atau juga disebut antawecana sangat mendominasi sepanjang pertunjukannya. Dialog dilakukan oleh para pemain atau tokoh dalam pergelaran sesuai dengan tema cerita yang dilakonkan. Bentuk dialog atau antawecana dalam kesenian Jabarjuwes mirip dengan dialog dalam pertunjukan Kethoprak.

 Dialog gandrungan dalam kethoprak juga digunakan ketika ada adegan gandrungan dalam kesenian Jabarjuwes. Selain itu dialog juga dilakukan oleh dhalang yang berupa suluk, ada-ada dan janturan. Pada adegan lawakan dialog dilakukan oleh 2 orang tokoh lawak yaitu Jeber dan Juwes menggunakan bahasa Jawa yang kadang diselipi bahasa Indonesia atau bahasa asing sehingga ucapannya terkesan lucu.

7. Tata Busana dan Rias

Dalam pertunjukan tradisional maupun modern tata busana dan rias merupakan bagian tak bisa dipisahkan, karena tata busana dan tata rias mempunyai peranan untuk memperkuat atau membuat karakter seorang tokoh atau peran. Tata busana dan tata rias juga berfungsi untuk memperindah penampilan seorang tokoh atau peran.
Para penonton akan tertarik dan terkesan apabila para pemainnya kelihatan cantik dan tampan dengan busana yang serba indah. Selain itu tata busana dan tata rias juga berfungsi untuk membentuk watak atau karakter para pemain (Sunjata, 2017: 66).

Demikian juga dalam pergelaran kesenian Jabarjuwes tata busana dan tata rias mempunyai peranan yang sangat penting untuk membentuk karakter para pemainnya.

Tata rias yang digunakan dalam kesenian Jabarjuwes ada dua macam yaitu:

1. Rias karakter: untuk peran laki-laki merias disesuaikan dengan karakter perannya, yaitu: alus, gagah, dan gecul.

2. Rias wajah: untuk tokoh perempuan atau putri untuk mempercantik diri.
Kesenian Jabarjuwes mempergunakan tata busana dan tata rias yang mirip dengan kesenian Kethoprak, Wayang Wong dan Wayang golek.

Alat tari yang digunakan dalam kesenian Jabarjuwes berfungsi sebagai penunjang estetika, alat fungsional dan alat yang mewakili peran. Penunjang estetika merupakan bagian dari busana berupa sampur. Sampur berfungsi untuk menciptakan variasi gerak yaitu: wiwir, jimpit, cathok, seblak dan mande udet. Alat fungsional merupakan alat tari dan juga sebagai alat ekspresi yaitu keris, panah, tombak, pedang dan tameng. Alat yang digunakan mewakili peran, pemain memainkan alat menjadi peran yaitu barongan, burung jatayu, dan lain sebagainya.

8. Tata Pentas

Tata pentas merupakan beberapa hal yang mendukung jalannya pementasan baik secara langsung maupun tidak langsung yang berupa arena pementasan dan kelengkapan pementasan.
Arena pementasan adalah tempat yang dipergunakan untuk pementasan. Bentuk tempat pementasan ada bermacam-macam yaitu:
1) Arena dengan penonton disekelilingnya;
2) Pendapa merupakan bangunan klasik Jawa yang dipergunakan untuk pentas seni dengan penonton 3 arah dari depan dan samping kanan kiri panggung;
3) Panggung sementara, dapat diatur menurut keinginan pementasan. bisa berbentuk arena dengan penonton: keliling, dua sisi atau 3 sisi;
4) Panggung proscenium yang merupakan panggung modern, dilihat dari satu arah depan dengan layar tertutup di depan berjarak cukup jauh antara pemain dengan penonton. Dengan panggung ini permainan cahaya atau tata lampu sangat bermanfaat (Wardana, 1990:
6). Selain itu dalam pergelaran kesenian disertai dengan kelengkapan pementasan yang berupa: tata lampu (lighting), tata suara (sound system), tempat gamelan dan tempat rias.

Pada waktu dahulu diawal munculnya kesenian Jabarjuwes arena pementasan yang dipergunakan untuk pertunjukan kesenian Jabarjuwes biasanya di sebuah pendapa dengan penonton 3 arah dari depan, samping kiri dan samping kanan. Tempat gamelan terletak di pendapa bagian dalam atau dibelakang arena pertunjukan. Tempat rias ada di ruangan di belakang pendapa, atau di rumah induk. Tata lampu menggunakan beberapa lampu petromax yang dipasang di sudut-sudut arena pementasan atau pendapa sehingga seluruh arena itu kelihatan terang benderang. Selain itu pertunjukan kesenian Jabarjuwes menggunakan sistim tata suara yang masih sederhana sesuai dengan kondisi teknologi pada waktu itu.

Pada saat ini pertunjukan Jabarjuwes menyesuaikan dengan arena yang tersedia, bisa bertempat di suatu arena yang telah disiapkan, arena pertunjukan ini biasanya menempati halaman yang cukup luas sehingga bisa didirikan sebuah panggung dan perlengkapannya berserta tempat atau arena untuk para penonton. Pergelaran kesenian Jabarjuwes memerlukan perlengkapan pementasan yang memadai, artinya perlengkapan pementasan bisa mendukung keberhasilan dari pertunjukan itu sendiri.
Kelengkapan pementasan meliputi tempat gamelan yang ada di depan panggung (arena pementasan), tempat rias yang ada di belakang panggung ditambah tata suara dan tata cahaya yang telah menggunakan teknologi terkini.

Jabarjuwes masih dipertahankan di Desa Sendangagung karena adanya fungsi yang masih relevan dengan kebutuhan masyarakat antara lain: fungsi hiburan misalnya pada acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, Upacara Merti Dusun, dan Hari Jadi Kabupaten Sleman. Fungsi adat untuk melepas nadar. Fungsi sosial sebagai alat pemersatu masyarakat tanpa membedakan agama, kelas sosial, jabatan, dan lain-lain. Kesenian Jabarjuwes tidak mengenal istilah tanggapan (bayaran), namun hanya sekedar pengganti biaya operasional dan persiapan sampai selesainya pertunjukan. Setiap pementasan para pemain baik penari maupun penabuh melaksanakan dengan sukarela (tanpa bayaran).

Kesenian Jabarjuwes merupakan sarana ekspresi dari para pelaku seninya, bisa dilihat dari segi penampilan baik itu penampilan tata busana, iringan musik maupun dialognya yang penuh dengan keindahan. Keindahan tata busana diwujudkan melalui bentuk pakaian dan riasnya. Keindahan iringan musik diekspresikan dengan alunan musik gendhing-gendhing gamelan yang dicipta dengan rasa keindahan.

Dalam pertunjukan kesenian Jabarjuwes keindahan dialog atau percakapan diekspresikan oleh pemain dengan pemakaian bahasa Jawa halus dan kadang dilantunkan dalam bentuk tembang. Disamping itu vokal yang indah dilakukan pula oleh dalang yang ekspresinya diwujudkan dalam bentuk: tembang, janturan dan suluk. Selain dalang ekspresi keindahan juga ditampilkan oleh waranggana dengan melantunkan tembang-tembangnya bersama karawitan selama mengiringi pementasan kesenian Jabarjuwes.

Selain itu pertunjukan kesenian Jabarjuwes dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan moral maupun pesan-pesan pembangunan kepada para penontonnya. Pesan-pesan moral disampaikan melalui nilai-nilai yang tersirat dalam cerita yang pentaskan, sedangkan pesan-pesan pembangunan yang berupa ajakan atau motivasi kepada penonton tentang program-progam pemerintah, bisa diselipkan melalui adegan lawakan.

Kesenian Jabar Juwes berbeda dengan Tari Golek Menak dgn Jabarjuwes. Tari Golek Menak merupakan fragmen tarian, wujud visualnya berupa tarian, tanpa ada dialog, meskipun ceritanya sama-sama bersumber dari cerita Menak. Sedangkan Jabarjuwes ceritanya juga bersumber dari cerita Menak tetapi bentuknya berupa drama tari dan dialog antar pemain sesuai dengan tema cerita. Dialog juga dilakukan oleh dalang untuk mengantarkan cerita setiap episode atau pembabakannya. Pertunjukan lengkap berlangsung selama 1 malam.

Selain itu, Golek Menak merupakan kesenian yg lahir & hidup di lingkungan istana, Karaton Yogyakarta atas gagasan Sri Sultan HB IX, sedangkan Jabarjuwes merupakan kesenian rakyat yg lahir & berkembang di luar istana yaitu di Dusun Tengahan, Desa Sumberagung, Kecamatan Minggir, Sleman, yang memadukan antara wayang wong, kethoprak dan wayang golek menjadi bentuk kesenian baru yg dikenal dengan nama Jabar Juwes. Penambahan nama Kesenian di depan Jabar Juwes menjadi penanda kepemilikan sebagai kesenian yang lahir di dalam masyarakat atau kesenian rakyat. 

Keterangan
Tahun :2019
Nomor Registrasi :201900970
Nama Karya Budaya :Jabar Juwes
Provinsi :DI Yogyakarta
Domain :Seni Pertunjukan
Sumber: Website Warisan Budaya Takbenda