Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Jumat, 15 Juli 2016

Sastra Pertunjukan, Sebuah Konsep

15 Juli 2016 | 01.54.00

Sastra Pertunjukan Elis Yusniawati, “Korban atau Kurban”, di Kedai Sanutoke Semarang

Oleh: Eko Tunas*

KONSEP Sastra Pertunjukan bisa dibedakan dengan Pertunjukan Sastra. Dalam Pertunjukan Sastra selama ini, karya sastra dibacakan sebagaimana baca puisi atau baca cerpen. Atau dimainkan dalam bentuk drama atau teater, dan di sini naskah drama hanya sebagai bahan pertunjukan.

Pada baca puisi atau baca cerpen, karya sastra itu dengan sendirinya lebih dominan ketimbang aspek pertunjukannya. Sekali pun puisi atau cerpen itu dibacakan secara kreatif, tetap segi pertunjukannya hanya sebagai pendukung dari karya sastra yang ditampilkan. Lihat saja, baca puisi sejak gaya Rendra hingga Sutardji Calzoum Bahri. Atau, baca cerpen yang di tahun 1980-an dibintangi oleh Chairul Umam. Baca puisi gaya Rendra atau Sutardji, mau pun baca cerpen model Chairul Umam sampai pada saat ini belum mengalami perubahan.

Sejak baca puisi diperkenalkan Rendra pada 1970-an, kemudian marak dalam ajang lomba baca puisi, bahkan tampak adanya satu gaya. Sehingga seni baca puisi yang satu gaya itu, seakan menjadi model yang dianut oleh anak-anak muda. Di sini timbul pertanyaan, apakah dengan demikian kreativitas di bidang seni baca puisi bisa dijamin apresiasinya bagi masyarakat. Kembali terpulang, bahwa teks puisi sebagai karya sastra itu sendiri, yang menguji tingkat interpretasi pembaca itu sendiri.

Sehingga, perkara apresiasi dan interpretasi terhadap teks ini yang lebih utama, ketimbang citarasa seninya itu sendiri dalam bentuk seni baca puisi. Seni baca puisi yang telah menjadi model tunggal, dikuatirkan menjadi mekanis, menjadi perkara teknis semata. Kecuali, dalam kesempatan acara baca puisi yang dilakukan oleh penyairnya sendiri. Misalnya seperti yang dilakukan sejak Taufik Ismail, Hamid Jabbar, hingga Afrizal Malna. Toh perbedaan mereka lebih ada pada perkara karakter orangnya, dan teks puisi tetap menjadi faktor utama yang mesti tersampaikan ke publiknya.


Sastra Pertunjukan Elis Yusniawati, “Seclurit Rembulan”, di Taman Sastra Kendal

Konsep Pertama

Berbeda dengan Pertunjukan Sastra, dalam Sastra Pertunjukan antara teks sastra dan teaterikal pertunjukan tampil seimbang. Kedua aspek itu sama kuat, di sisi kekuatan sastra maupun sisi kekuatan pertunjukannya. Konsep pertama inilah yang diusung oleh Elis Yusniawati (Jakarta), dalam pementasannya yang pertama di Kedai Kopi Sanutoke 8 Oktober 2013, dalam judul “Korban atau Kurban”

Secara kebetulan dalam penampilannya itu, Elis pentas bareng dengan monolog oleh Cak Tohir (Surabaya) yang membawakan monolog “Mat Kasir” (dari lakon Monolog “Kasir Kita”, Arifin C Noer). Sehingga pada keduanya ada perbedaan mendasar antara monolog dan Sastra Pertunjukan. Pada monolog Cak Tohir jelas, bagaimana monolog adalah seni drama/teater dengan watak yang mesti dibawakan monogernya. Sehingga teks/naskah lakonnya sekadar sebagai bahan. Bahkan di tangan Cak Tohir, naskah Arifin mengalami penyaduran bebas demi kepentingan permainan gaya Srimulatan.

Pada penampilan Elis dengan teks karya sendiri, antara teks dan gerak pertunjukan tampil seimbang. Bagaimana pada gerak, Elis tampil sesuai basisnya sebagai penari balet. Lalu teksnya itu dipadukan dalam gerak tari baletnya itu, sehinga terasa betul dua kekuatan antara gerak tari dan teks itu tersampaikan secara harmonis.

Kemudian pada penampilan kedua di Pelataram Sastra Kendal (26/10), Elis tampil dengan teks berdasarkan cerpen karya Taufiqurrahman (Kendal) “Seclurit Rembulam”. Di sini gerak tari balet Elis lebih diminimalkan, dan hasilnya tetap sama kuat antara teks cerpen dan gerak minimalisasi tari baletnya. Usai pentas konsep Sastra Pertunjukan ini didiskusikan. Bahkan berlanjut, sejak itu muncul facebook berakun grup @Sastra Pertunjukan Kendal.


Sastra Pertunjukan Elis Yusniawati, “Cermin”, di Kafe Keita’O Ungaran

Konsep Kedua

Pada pentas ketiga Elis, konsep sastra pertunjukan makin mengerucut. Yakni di Kedai Keita’O Ungaran (6/11), saat Elis membawakan cerpen “Cermin” (Eko Tunas). Di sini minimalisasi tari balet Elis lebih diteateralkan, dan pembawaan teks lebih dikuatkan dengan penggambaran watak dalam cerpen itu. 
Penggambaran watak di sini, tidak sebagaimana dalam watak yang dimainkan dalam monolog. Tapi watak lebih digambarkan secara gerak itu tadi, sehingga terbebas dari permainan watak selazimnya dalam drama/teater.

Kemudian dalam diskusi usai pentas, muncul konsep kedua Sastra Pertunjukan. Pertama, istilah pemain atau aktor dalam Sastra Pertunjukan, lebih disebut sebagai Presenter. Karena dalam Sastra Pertunjukan, sang seniman berkonsep dasar, bagaimana penampilannya bukan disaksikan tapi justru menyaksikan. Menyaksikan persoalannya dan persoalan masyarakat yang diwakili penonton. Jadi, bagi Presenter publik bukan semata penonton, tapi orang per-orang bagian dari masyarakat yang secara bersama sang Presenter menyaksikan persoalan yang ada di tengah masyarakat seumumnya.

Kemudian terpulang kepada Presenternya, dalam setiap penampilannya dia mestilah mengolah diri sesuai dengan basisnya. Dalam hal ini secara kebetulan Elis berbasis penari balet, jadi kekuatan itu yang digunakan. Sehingga saat ia sebagai penyaksi, dia berada dalam subyek pengamatannya, dan tidak lari kemana-mana untuk menyaksikan persoalan masyarakat.

Sebagaimana pemilik Kafe Keita’O, pasangan sastrawan Nirwondo El Naan dan Atiek Sadewo, bisa jadi mereka tampil berdasarkan basis mereka sebagai pengelola kafe. Dalam aktivitas keseharian menyedu kopi, ice cream, atau kuliner yang disajikan.

Sehingga dalam Satra Pertunjukan, seorang Presenter tidak belajar teater kemana-mana, tapi melakukan penggalian dari kehidupan kesehariannya. Sebab bisa jadi dari ihwal inilah pada awalnya seni pertunjukan lahir. Ialah dari gerak manusia sehari-hari, dan dari teks-teks yang muncul dari kehidupan keseharian yang ada. Dari konsep inilah barangkali, apa yang disebut kreativitas lebih bisa membumi, mendarah-daging, dan tidak mengawang, tidak mengkhayal.

* Eko Tunas; Sastrawan dan teaterawan.
Saat ini menjadi pembimbing di Jentera Semesta Kota Semarang
 
Sumber: JenteraSemesta 

Minggu, 10 Juli 2016

Suro Bulus; Parodi Satire Kejahatan Korporasi Tambang [2]


 SURO BULUS: Parodi satire kejahatan korporasi tambang yang dipanggungkan melalui keaktoran Haji Amin di pentas Perpag (9/7) [Foto: Yatno Pandu W]

Seniman tradisi dari Desa Sikayu Buayan ini mengaku tak pernah sekolah tetapi bukan berarti tak berpendidikan atau pun berhenti belajar. Pelibatan aktif dirinya dalam gerakan kampung bahkan telah memberi warna tersendiri. Tak sekedar rubung-rubung ikutan kesana-kemari di dalam aksi-aksi lingkungan maupun demonstrasi penolakan tambang semen yang berencana mengeksploitasi batuan karst di wilayah sekitarnya.

Tak berbeda dengan kebanyakan warga kampung lain di seputar kawasan karst Gombong selatan, Ki Srawin adalah juga seorang petani. Tetapi apa yang telah dilakukan bersama kelompok seninya adalah sebuah proses pemenuhan syarat-syarat literasi tradisional yang mendasar. Mendasar dalam arti tumbuh dan berangkat dari persoalan-persoalan faktual. Pada gilirannya membangun ide-ide dan kesadaran artivisual dalam entitas juga sejarah kampungnya.

Menumbuhkan berkesenian di tengah komunitas dan lingkungannya, bagi Ki Srawin, tak sekedar menggeluti proses kreatif untuk bagaimana menampilkan visualisasi yang lebih dari sekedar diterima masyarakat apresian. Tak melulu membikin sajian yang menghibur, tetapi sekaligus menyangkut pula aspek transformasi kesadaran meluas. Yang terakhir ini acap terabaikan oleh kelompok seni tradisi lantaran berasumsi ihwal “selera pasar” kekinian yang konon cuma mengutamakan hiburan semata.

“Bagi kami, jagad pentas itu harus mendidik”, ucap Ki Srawin.
Tak berlebihan jika berpijak dari filosofi demikian ini maka entitas para pelaku seni itu adalah entitas kepeloporan masyarakat sekitarnya.

Mitos Kapitalistik “Suro Bulus” Lainnya

Ketua Perpag Samtilar pernah melansir pemikirannya bahwa “Janji kemakmuran yang dipromosikan industri semen itu tak pasti”. Sembari berwewarah, pensiunan guru desa ini melengkapi keyakinannya bahwa “Kerusakan -ekologi- permanen yang bakal ditimbulkan tambang karst; itu malah jelas”. Abstraksi seperti ini malah lebih masuk akal ketimbang kebohongan modern yang gencar dibangun para “belantik” kapital. Termasuk dalam konteks ini, ilusi kemakmuran minim dampak yang diwacanakan tim konsultan korporasi tambang.

Dalam permanaan Ki Srawin gambaran obyektif demikian ditangkap oleh nalar sadarnya sebagai seniman kampung, dan menggerakkan intuisinya buat menarasikan cerita berdasarkan pengalaman nyata. Tanpa kesan menghujat, Ki Srawin menaruh paradoks kearifannya melalui keaktoran Haji Amin yang memang “nylekit” dalam bertutur di panggung Perpag. Dan narasi Suro Bulus pun begitu hidup menggalang nalar ausiensnya; mendapatkan tempat di hati penonton yang memadati dan nyata-nyata tak bisa dibubarkan oleh turunnya hujan.

Narasi Suro Bulus secara keseluruhan memang merupakan ilusi industri  dengan janji kemakmuran yang lebih dari sekedar ditawarkan, melainkan juga dikonstruksi menjadi skenario yang dipamrihkan untuk membangun pemikiran sosial yang “ramah” terhadap kehadiran pemodal. Dalam realitas sosial masyarakat Sikayu dan desa-desa lainnya, memang terjadi perang wacana tambang semen dengan maksud menghancurkan nalar ekologis yang resisten terhadap segala bentuk eksploitasi sumber daya.

Dan Suro Bulus mengarus-utamakan wacana pentingnya investasi, meski dengan “resiko” jatuhnya bukit-bukit terumbu kapur desa ke tangan kelas  kaya. Realitas ini memang nyata terjadi di kawasan pegunungan karst Gombong selatan, yang mayoritas warganya petani tetapi terperangkap  untuk melepas kuasa atas tanah ke tangan korporasi. Ini dimungkinkan karena makin banyak Suro Bulus yang membiak di fase awal penetrasi kapital.          

Suro Bulus; Parodi Satire Kejahatan Korporasi Tambang [1]



 
MASSA APRESIAN: Ribuan massa memadati rumah dan halaman sekretariat Perpag (9/7) dalam rangka "syawalan" yang digelar dengan mementaskan "drama satire" garapan Ki Srawin, dkk. Warga nampak antusias dan mengapresiasi peragaan lakon lokal yang dimainkan seniman tradisional setempat [Foto: Yatno Pandu W] 
 
Belasan pelaku seni Desa Sikayu Buayan menggelar drama tradisional bertema “menjaga ekologi lingkungan” dalam rangka silaturahmi (9/7) lebaran 1437 H. Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong [Perpag] yang memfasilitasi pagelaran ini, makin menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi massarakyat lokal yang konsisten. Kelompok seni tradisi yang dimotori Parto Wiyadi alias “Ki Srawin” pun tampil sangat komunikatif dan mendapat apresiasi ribuan warga desanya.   

Terlebih karena drama pendek berdurasi 3 jam yang dipanggungkan malam Minggu itu mengangkat realitas lokal yang terjadi di beberapa desa kawasan karst Gombong selatan sejak hampir duapuluh tahun lalu. Banyak kontradiksi sosial pada masa awal masuknya korporasi tambang semen, dibuka sejujur-jujurnya. Tak ayal, pentas dengan lakon kethoprak di luar kebiasaan ini, tetapi menggunakan pendekatan alur cerita yang mendasarkan pada kisah empiris; justru sangat menyentuh ingatan kolektif warga desa.

Kenyataan sosial setempat waktu itu memang pahit dalam lakon jaman ketika Indonesia menjemput krisis moneter jelang akhir tahun 2000. Bahkan bagi sebuah bisnis korporasi tambang trans nasional (TNC) sekaliber Medco Energy Group sekali pun. Realitas sosial seperti ini lah yang secara “cerdas” dipanggungkan oleh “Ki Srawin” dan kawan-kawannya di halaman sekretariat Perpag pada hari kelima lebaran.

Mentalitas Belantik

SURO BULUS: Prolog tarian "Gunung-Gunung" dimainkan anak-anak muda desa Sikayu, mengawali parodi satire "Suro Bulus" yang sarat kritik sosial tapi diangkat dari realitas empirik warganya [Foto: YPW] 
_____
 
Kejujuran terkadang menyakitkan. Namun di tangan seniman Ki Srawin, otokritik sosial yang dikemas dalam komunikasi kreatif berupa pentas parodial penuh satire ini; menjadi beda rasanya tanpa mengurangi masalah pokok yang diangkatnya.

Adalah Suro Bulus, sosok yang mewakili pemain dalam mata-rantai “kejahatan” korporasi tambang yang menumpukan kekuatannya pada kuasa modal. Representasi keaktoran dari kelas ini saling bersinergi, bersistem, dan barangkali ini lah yang oleh pemerintah dikenal dengan terminologi investor. Nah, pertambangan adalah salah satu mata bidang saja. Meski pun begitu, dalam konteks dan terminologi ini pun, sesungguhnya, rumusan kebijakan pemerintah tutunan otda yang terangkum dalam slogan “ramah investasi” jadi ikut dipertanyakan !  

Keaktoran Suro Bulus adalah representasi peran belantik yang merupakan bagian dari penetrasi -investor- pemodal dalam selubung investasi itu. Dalam konteks awal penetrasi modal korporat di kawasan karst Gombong selatan, peran Suro Bulus itu sangat fenomenal dalam rentang 1996-2000 silam. Yakni pada saat mana fase “pembebasan lahan” oleh pt Semen Gombong memasuki tahapan awal dari rencana operasionalnya. Meskipun kemudian rencana ini terguncang oleh efek badai krismon sehingga tertunda sampai 2013. Tetapi pada saat itu, betapa banyak orang, dari berbagai kalangan; memainkan peran layaknya Suro Bulus ini. Termasuk di dalamnya, maaf, para pejabat !

Parodi satire Suro Bulus mengangkat fenomena demikian ke panggung Perpag; di atas mana terangkai komunikasi massal yang kreatif. Ini lah local genius itu. Bahwa kecerdasan tak melulu dibangun dari disiplin formal akademis, untuk tidak mengatakan bahwa lembaga akademik hanya memproduksi intelektual tukang yang diragukan integritas moralnya... (arp)