Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Sabtu, 18 November 2017

Bachtiar Siagian dan warisan sang sutradara kiri

Oleh : Fandy Hutari 
| 

Ilustrasi: Bachtiar Siagiaan
© Salni Setiadi /Beritagar.id
Pada 1956, anak muda Batak berusia 33 tahun, Bachtiar Siagian, senang bukan main. Akhirnya, ia berhasil mewujudkan cita-citanya: membuat film pertama.
Film pertamanya itu berjudul Tjorak Dunia, produksi Garuda FilmsMeski demikian, Bachtiar sesungguhnya sudah menelurkan film yang lebih dahulu dari Tjorak Dunia, yakni Kabut Desember. Namun, film tersebut tak dinikmati penonton Indonesia, lantaran langsung diterbangkan ke Cekoslowakia, Polandia, dan Tiongkok (Terang Bulan, Agustus 1956).
Pada 1950, Bachtiar pernah melakukan eksperimen membuat film berjudul Musim Badai, di kantor kecilnya di Grand Hotel, Medan. Akan tetapi, film itu gagal total karena terbentur masalah keuangan.
Bachtiar adalah sosok sutradara besar yang pernah dimiliki negeri ini. Tapi, namanya "terhapus", dan karyanya dimusnahkan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Bahctiar memang berada di organisasi yang kurang menguntungkan, sebelum terjadi huru-hara politik 1965. Ia merupakan Ketua Lembaga Film Indonesia Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), yang dituding berafiliasi dengan PKI.
Hanya ada satu filmnya yang selamat: Violetta.
Film itu, menurut anak Bachtiar, Bunga Siagian, awalnya merupakan koleksi pengusaha bioskop di Bogor. Pada 2000an, film tersebut diserahkan ke Sinematek, Jakarta.

Apresiasi

Pada 1955, Bachtiar membuat film Daerah Hilang. Hebatnya, film yang berkisah tentang sebuah daerah yang bakal lenyap oleh perumahan elite di Kebayoran Baru, Jakarta itu, ditaksir pemerintah Cekoslowakia.
Selain Daerah Hilang, pemerintah Cekoslowakia juga membeli karya Bahctiar lainnya, Turang (1957).
Di dalam bukunya Kuasa dalam Sinema (2009), Krisna Sen menyebut Daerah Hilang mengalami gunting sensor habis-habisan. Sensor itu dimaksudkan untuk menghindari penggambaran kenyataan sosial yang jujur.
Sebagai catatan, di daerah tersebut, sejak dimulai proyek pengembangan kota pada 1948, sudah muncul protes dari para petani buah dan pedagang kecil di sana.
Sedangkan Turang merupakan film epos gerilyawan Indonesia yang berjuang di sebuah desa, kaki Gunung Sinabung, Tanah Karo. Film tentang perjuangan Rusly (Omar Bach) dan Tipi (Nyzmah) (Varia, 21 Mei 1958).
Pada 20 Agustus 1958, film ini mendapat undangan dalam rangkaian festival film internasional yang berlangsung di Taskent, Uzbekistan. Pada 1960, Turang juga mendapat penghargaan Festival Film Indonesia (FFI).
Sebelum pemerintah Cekoslowakia memboyong dua film Bahctiar itu, mereka sudah menonton 12 film dari berbagai perusahaan film Indonesia yang diputar di negaranya. Namun, akhirnya yang terpilih hanya empat film Indonesia. Dua film lainnya, karya Bapak Film Nasional Usmar Ismail, yakni Harimau Tjampa dan 6 Djam di Djokja (Varia, 30 Juli 1958).
Usmar merupakan sutradara yang menonjol di era 1950-an hingga 1960-an. Usmar pernah mengaku, Bachtiar adalah lawan terberatnya urusan artistik dalam membuat sebuah film.

Warisan Bachtiar

Bunga Siagian bertutur bahwa sulit sekali memeriksa metode artistik Bachtiar, karena film-filmnya, kecuali Violetta, sudah tak ada. Namun, anak sang sutradara mengatakan, seperti Usmar dan sineas lainnya di era itu, Bahctiar pun menggunakan metode Hollywood klasik.
Film Turang cukup banyak meraih apresiasi. Sebab, penggambarannya sejalan dengan cita-cita revolusioner bangsa yang baru saja merdeka, dan kemampuan Bachtiar menyerap pengaruh neorealisme ke film-filmnya.
Bachtiar mendapatkan pengaruh neorealisme kala ia berkunjung ke Italia pada 1953 (Terang Bulan, Agustus 1956). Neorealisme sendiri merupakan istilah yang diberikan para kritikus film Italia pada 1940an, untuk menyebut karya para sineas muda dalam melawan kecenderungan film-film di masa diktator Benito Mussolini.
Pembuat film neorealisme mencipta karya bertumpu pada kehidupan nyata, dengan keaslian visual, pengerjaan kamera yang normal, pengambilan gambar di lokasi langsung, tanpa make up, serta hampir tak memakai efek khusus.
Mungkin saja, karena saya pun tak bisa memeriksanya lebih jauh, neorealisme itu diterapkan Bachtiar di film Turang dan Daerah Hilang.
Selain itu, Bachtiar disebut-sebut sebagai sineas pelopor yang melakukan penyutradaraan secara kolektif. Tulisan AM. Chandra di Bintang Timur, 12 Juni 1960, mengungkapkannya.
Chandra menulis, di film Badja Membara (1961), Bachtiar mendidik seorang pemain film bernama Zainal Abidin untuk menjadi asisten sutradara. Bachtiar ingin mendidik Zainal agar di masa depan ia menjadi seorang sutradara.
Kerja kolektif lah, menurut Chandra, yang membedakan Bachtiar dengan sutradara-sutradara lainnya di masa itu. Ia selalu mendengarkan pendapat orang-orang yang bekerja dalam produksi filmnya.
Hal lainnya yang membedakan Bachtiar dengan sutradara di zamannya adalah, resep jitu "pil kina Bandung."
Menurut Bunga sendiri, pil kina Bandung adalah sebuah fakta bahwa ayahnya membuat film komersial yang dibiayai produser, maka tetap harus mencari keuntungan---serta bisa memberikan gambaran bagaimana Bachtiar berusaha sangat keras sekali untuk membuat film yang sesuai dengan garis ideologinya sekaligus laku di pasaran. Dalam konteks ini, saat itu sedang banjir film Amerika dan India.
Mungkin saja, resep pil kina Bandung itu teraplikasi di dalam film Violetta (1962). Violettadibintangi Fifi Young (Indarningsih), Rima Melati (Violetta), dan Bambang Hermanto (Herman). Film ini mengisahkan seorang gadis, Violetta, yang hidupnya terkekang. Kemudian, ia jatuh cinta kepada seorang Kopral bernama Herman. Namun, cintanya dihalang-halangi Indarningsih.
Selama rentang 1955 hingga 1964, Bahctiar menghasilkan 13 film cerita. Tragedi 30 September 1965 mengubah alur hidupnya. Ia lantas dibuang ke Pulau Buru hingga 1977.
Bahctiar wafat pada 19 Maret 2002. Empat belas tahun kemudian, ia diganjar Anugerah Kebudayaan untuk Kategori Pencipta, Pelopor, dan Pembaru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Ia mewariskan sejumlah ilmu sinematografi kepada sineas-sineas selanjutnya. Meski hanya satu film yang bisa kita nikmati sekarang: Violetta.
Fandy Hutari, penulis, periset, dan pengarsip sejarah. Berminat pada kajian sejarah film dan sandiwara Indonesia.

Sumber: Beritagar

Jumat, 10 November 2017

Polemik Budaya: Seni Parsipatoris Dan Dilema Peradaban

Oleh: Yos Suprapto*


Kredit foto: Lukisan Yos Suprapto, “Selamat Pagi Bung”, 
uk 175×145 cm, akrilik diatas kanvas, 2017

Seni adalah produk budaya manusia hasil interaksinya dengan alam sebagai usaha memproses untuk menciptakan peradabannya melalui kreativitas estetika. Sedangkan estetika adalah disiplin ilmu pengetahuan falsafah seni  yang berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan.
Oleh karena itu, berkesenian merupakan bagian dari sebuah proses kehidupan yang dilakukan oleh manusia di dalam menciptakan nilai-nilai subjektif maupun objektif. Berawal dari pengamatan terhadap alam sekitarnya itulah muncul gagasan yang melahirkan inspirasi sebagai konsep kerja yang kemudian dieksekusi melalui ketrampilan khusus (genetic fate) untuk menjadi karya kongkret yang inspiratif dan fungsional.
Dalam konteks peradaban secara umum, seni adalah bagian dari dialektika kehidupan yang memiliki peran penting dalam perubahan sosial di dalamnya. Karena seni memiliki peran penting dalam perubahan sosial di dalam sebuah peradaban, maka sebagai anggota masyarakat, seniman yang melahirkan gagasan dan karya konkret adalah subjek kesenian pendorong terciptanya interaksi sosial melalui karya-karyanya.
Sementara kemajuan teknologi yang berkembang dari masa ke masa dalam setiap peradaban selalu membawa perubahan bentuk kreativitas karya maupun nilai berkesenian. Hal ini bisa dilihat dari banyak contoh yang diambil dalam perjalanan sejarah kesenian itu sendiri. Kemajuan teknologi telah mampu mereproduksi kualitas dan kuantitas benda-benda seni dalam skala yang tidak pernah terjadinya sebelumnya. Bahkan kecanggihan teknologi komunikasi juga mampu mengubah segala keberkaitan dalam kehidupan berbudaya dan kesenian sebagai keniscayaan.
Fenomena ini mendorong munculnya consensus di  antara pengamat, kritikus, akademiwan kesenian yang mempercayai pergeseran nilai objek seni dan subjek seni  sudah sampai pada titik di mana relevansi sublimitas seorang seniman sebagai sang pencipta (‘creator’)  karya seni harus dipertanyakan. Pendapat semacam ini muncul ketika kemajuan teknologi dianggap telah mendorong adanya kesadaran baru yang mampu menerjemahkan karya seni sebagai sesuatu yang tidak bisa lagi diartikan sebagai benda seni menurut kriteria konsensus kalangan publik seni (seniman, kurator, galeri, dan kolektor), tapi juga perwujudan dari himpunan hubungan sosial (masyarakat) yang mensituasikan” benda tersebut untuk bisa disebut sebaga karya seni.
Seiring dengan terjadinya pergeseran tersebut, satu seniman sebagai pencipta bukan saja dipertanyakan tapi juga ikut tergeser. Muncul pandangan yang meyakini bahwa yang menciptakan karya seni itu bukan hanya seniman (pencipta karya seni), melainkan adalah masyarakat umum atau anggota masyarakat secara berbarengan. Seniman lepas dari posisinya sebagai penggagas dan inspirator, ia hanya menghasilkan benda atau bentuk-bentuk praktek kesenian (tari, teater, dll) sementara masyarakat atau publiklah yang mensituasikan benda yang dihasilkan tadi sebagai karya seni.
Menurut Martin Suryajaya pergeseran ini terjadi karena “dimungkinkan oleh meningkatnya kesadaran tentang akar sosial dari setiap karya seni…. (yang) dipandang sebagai produk pengakuan sosial tertentu, (sehingga) status seniman sebagai pencipta tergusur” (Martin Suryajaya, Dorongan ke arah Estetika Partisipatori, Yogyakarta 2015, hal 49). Lebih lanjut Martin menulis tentang pergeseran ini suka menimbulkan “suatu demokratisasi atas proses produksi artistik. Penciptaan karya seni bukan lagi hak privilese seniman, melainkan setiap anggota masyarakat. Dari sinilah timbul kesadaran bahwa setiap orang adalah seniman.” (Martin Suryajaya, op cit, hal. 49).
Tetapi ada pertanyaan yang kemudian muncul kalau setiap orang adalah seniman, lalu fungsi apa yang tersisa bagi seniman. Tetapi nyatanya Martin menjawab peran seniman hanya sebagai “organizer”. Mungkin, di dalam seni tari, teater, atau beberapa jenis seni rupa semisal seni rupa mural atau graffiti bisa jadi setiap pelaku yang dimaksud adalah semua seniman. Tetapi bagaimana jika dalam hal ini berkaitan dengan pelukis yang termediakan karvas dan cat atau pematung individu? Apakah tukang pembuat bingkai lukisan juga bisa dikatakan seniman? Apakah si penjual peralatan lukis atau pahat juga ikut melahirkan gagasan untuk mewujudkan karya konkret yang dikerjakan oleh seniman?
Di sini letak dilema yang dihadapi oleh para akademik seni  kontemporer dalam menguji kemampuannya membuat standar umum tentang pergeseran arti dan nilai seni yang diperdebatkan. Memang tidak bisa dinafikan bahwa perkembangan budaya yang ditunjang oleh kemampuan teknologi telah mengubah pola berpikir dan berkarya para seniman. Namun adalah naif apabila dengan adanya seni perlawanan terhadap kemapanan kapitalisme yang memunculkan teori “estetika partisipatoris”, semua fakta-fakta obyektif tentang subjek dan objek kesenian yang melibatkan individu sebagai anggota masyarakat dianggap tidak lagi memiliki relevansi nilai estetika. Demikian pula dengan anggapan bahwa yang lebih memiliki nilai standar hanya karya seni yang dibentuk oleh paradigma estetika relasional, dimana praktek kesenian itu ada serta berproses dalam ruang sosial dan setiap orang adalah agen-agen perubahan sosial. Sementara seniman professional hanya merupakan agen penghubung dalam melakukan proses penciptaan sebagai bentuk realitas sosial baru.
Menurut paradigma estetika semacam itu, ada atau tidaknya karya seni bukan lagi menjadi tujuan berkarya. Praktek kesenian semacam ini berpendapat bahwa seni pada dasarnya adalah fenomena hubungan sosial yang mana hakekatnya karya seni tidak bisa direduksi dalam bentuk benda seni. Sehingga yang terjadi adalah bahwa “karya-karya seni” hasil penciptaan kerja konkret yang dipamerkan lebih sering hanyalah merupakan dokumentasi dari proses kolektif dan itu disebut sebagai “karya-karya partisipatoris”.
Praktek berkesenian semacam itu memang bisa merupakan alat untuk membangun partisipasi aktif masyarakat dalam membangun peradaban gotong royong dan egalitarian. Namun dalam prosesnya, teori estetika ini tidak bisa menafikan begitu saja fakta objektif bahwa objek seni adalah muncul dari gagasan individu sebagai hasil pengamatannya terhadap alam lingkungan untuk kemudian dimusyawarahkan melalui berbagai cara. Hal yang juga tidak pernah dibicarakan oleh konsep pemikiran paradigma estetika ini adalah peran materi pendukung fakta objektif dalam konteks interaksi sosial dengan faktor ekonomi dalam merealisasikan kerja-kerja konkret yang disebut sebagai perwujudan agenda-agenda kolektif masyarakat dalam melakukan perubahan sosial.
Sehingga konsep ini berlawanan terhadap kemapanan melalui agenda kolektif antikapitalisme yang bertujuan untuk menciptakan perubahan sosial tersebut bukannya menciptakan pergeseran arti dan nilai, tetapi malah mendorong terjadinya benturan budaya yang bisa menghambat terjadinya penyerapan keharmonisan budaya yang dibutuhkan dalam membangun peradaban. Sebab dari perspektif objektif, bagaimanapun juga eksklusivitas dalam proses penciptaan gagasan atau karya konkret itu masih sangat dibutuhkan untuk menjaga terjadinya kevakuman budaya inspiratif.
Usaha menstandardisasikan estetika partisipatoris dalam kehidupan berkesenian merupakan dorongan menuju totalitarian yang bisa membahayakan peradaban itu sendiri. Ketika dalam sebuah masyarakat homogeny paradigm  estetika parsipatoris yang tidak pernah “steril” dari kepentingan politik dan ekonomi tertentu itu distandarisasikandi tengah masyarakat yang nirkecerdesan politik secara holistik, maka yang terjadi adalah munculnya keseragaman berpikir dan bertindak. Pada akhirnya peradaban terbukti tidak bisa dibangun di atas kesegaraman yang totaliter.
___
*Yos Supraptopelukis Indonesia, baru-baru ini, tepatnya 14 September-3 Oktober 2017, menyelenggarakan pameran tunggal bertema “Arus Balik Cakrawala 2017”, di Galeri Nasional Indonesia.

Sumber: Berdikari