Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Senin, 22 Oktober 2018

Sum Borong Dua Penghargaan Sodoc 2018


Mon, 22 Oct 2018 - 00:00 WIB


PURBALINGGA - Film Sum garapan sutradara Firman Fajar Wiguna produksi Brankas Film SMA 2 Purbalingga memborong dua penghargaan sekaligus pada ajang Solo Documentary Film Festival (Sodoc) 2018. Selain film terbaik kategori pelajar, film berdurasi 15 menit ini juga mendapat film favorit penonton.
”Sempat tidak menyangka akan dapat penghargaan film terbaik, ditambah film favorit pula. Penghargaan ini tentu didedikasikan bagi para penyintas tragedi 65 yang tak pernah mendapat keadilan hingga saat ini,” ungkap Firman usai menerima Penghargaan pada Malam Penganugerahan di Gedung Kethoprak Balekambang, Surakarta, Sabtu (20/10).
Firman yang meneriman penghargaan sendiri mengaku berangkat ke Solo tanpa mengantongi izin pihak sekolah. Sebab film dokumenter pendek garapannya itu mengisahkan seorang penyintas 65. Sum berlatar tentang bekas aktivis Barisan Tani Indonesia (BTI).

Setelah menghuni penjara selama 13 tahun tanpa pengadilan, penyintas 65 yang bernama lengkap Suminah ini hidup dalam kesendirian. Hingga saat ini, ia terus menunggu berbaliknya realita zaman. Adapun ajang Sodoc 2018 diikuti 17 film dokumenter pelajar dari seluruh Indonesia.

Namun hanya empat film terseleksi yang masuk dalam nominasi.
Tiga juri kategori pelajar antara lain Jason Iskandar, Steve Pillar Setiabudi dan Tomy Taslim. Menurut Jason Iskandar, Sum sangat menarik dan langka karena menawarkan warna atau gaya baru film dokumenter pelajar tentang memori seseorang yang memaparkan ingatannya, kemudian ditangkap oleh pembuat film.
”Film ini bergaya dokumenter esai yang mengangkat isu penting di Indonesia, terlebih ketika dibahas oleh pelajar,” tutur juri yang aktif membuat dokumenter sejak masih pelajar. 
Sebelumnya, Sum juga sempat menyabet film dokumenter terbaik di ajang Festival Film Purbalingga (FFP) 2018 dan nominasi dokumenter pelajar di Festival Film Kawal Harta Negara (FFKHN) 2018.(K35-60)

Sumber: SuaraMerdeka 

Sabtu, 20 Oktober 2018

Makna Sakral Tari Gandrung yang Ditolak FPI di Banyuwangi


Tim, CNN Indonesia | Sabtu, 20/10/2018 11:50 WIB

Tari gandrung di Banyuwangi. (Dok. Kemenpar)

Jakarta, CNN Indonesia -- Tari tradisional asal Banyuwangi, tari gandrung menjadi perbincangan setelah Front Pembela Islam (FPI) menolak keberadaan tarian daerah tersebut dalam acara Gandrung Sewu yang akan digelar Sabtu (20/10).

Padahal, seni tari gandrung itu sendiri sejatinya merupakan bentuk ungkapan syukur dari masyarakat agraris atau yang berlandaskan pertanian atas kesuburan atau pun hasil panen.

Acara Gandrung Sewu merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan oleh Pemerintah Banyuwangi sebagai upaya mempromosikan kebudayaan dan mendongkrak pariwisata di daerah ujung timur pulau Jawa itu.

Acara itu diketahui sudah dilaksanakan tujuh kali di tempat yang sama, Pantai Boom Banyuwangi. Rencananya, sebanyak 1.300 penari akan menarikan lenggokan tari gandrung.
FPI setempat menilai bahwa menampilkan tarian tersebut di tengah kondisi Indonesia yang diterpa banyak bencana tidaklah elok. 
"Maksudnya adalah kami mengingatkan agar kita tidak diazab oleh Allah karena mengumbar kemaksiatan seperti itu. Kejadian bencana di Palu harus menjadi cermin bagi kita warga Banyuwangi," kata Ketua DPW FPI Banyuwangi H Agus Iskandar kepada media, Kamis (18/10) lalu.
Akademisi dan pengajar Seni Tari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, Nursilah menjabarkan kepada CNNIndonesia.com makna sesungguhnya dari seni tari yang ternyata sudah berlangsung sejak era sebelum agama hadir di Indonesia itu.
"Hampir semua seni pertunjukan di Asia atau dunia berasal dari ritual totem yaitu penghormatan kepada makhluk yang dianggap berpengaruh terhadap kehidupan manusia," kata Nursilah saat dihubungi, Jumat (19/10).
Nursilah menyebut totem inilah yang kerap dikenal masyarakat kini sebagai makhluk mitologi, seperti kuda bersayap atau ular berkaki. Mereka dianggap memiliki kekuatan melebihi manusia dan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.

[Gambas:Instagram]

Bentuk Syukur

Lambat laun, kepercayaan tersebut menimbulkan kesenian yang dibuat oleh masyarakat setempat secara bertahap sehingga menimbulkan pola atau gerakan atau karya tertentu, salah satunya ritual.

Ritual ini bukan hal yang sembarangan. Masyarakat zaman dulu memahami ketika kehidupan mereka tak seimbang, seperti adanya bencana atau kebutuhan primer yang tak tercukupi, ada hal yang tak beres.

Sehingga, kata Nursilah, masyarakat membuat totem itu menjadi target penghormatan dan memunculkan ritual, salah satunya tarian.

Dalam masyarakat yang hidup berlandaskan pertanian, muncul tarian untuk memberikan penghormatan dan syukur kepada Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi kesuburan yang memberikan hasil panen kepada masyarakat.
"Bentuk tari kesuburan hampir seluruh dunia ada, semua belahan Bumi ada," kata Nursilah.

Salah satu dari ritual tersebut adalah tari gandrung yang kini menjadi perbincangan. Bila di Banyuwangi ucapan syukur dan penghormatan untuk Dewi Sri berupa tari gandrung, di daerah lainnya bisa dalam bentuk berbeda. "Kalau di Jawa Barat, itu [tari] ronggeng," kata Nursilah.

Nursilah menyebut kebudayaan ini menghadapi tantangannya sendiri kala agama masuk ke Nusantara.

Ia mengatakan kebudayaan ritual seperti tari gandrung mendapatkan kejayaan kala era agama Hindu-Budha yang memang memiliki kedekatan dengan kepercayaan terhadap dewa, ritual, mantra, dan sebagainya.

Ketika agama Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi, pandangan terhadap kebudayaan ini disebut Nursilah memang terpecah.

Ada pihak penyiar agama Islam yang masih memberikan ruang berkesenian namun disisipkan nilai juga materi agama Islam seperti yang dilakukan oleh kelompok Wali Songo di Jawa. Namun ada pula yang secara ekstrem menentang.


Awalnya Laki-laki

Nursilah kemudian menjelaskan bahwa pada awal abad ke-20 Masehi, penari tari gandrung mulai mengalami perubahan. Awalnya, tarian ini dimainkan oleh laki-laki karena sebagai bentuk ritual suci, perempuan memiliki momen biologis yang dinilai menghalangi mereka mengikuti ritual ini.
"Itu juga berlaku tidak hanya di tari gandrung. Itu bermula eranya Kerajaan Majapahit, hampir seluruh wanita ditabukan menari karena dianggap tidak etis. Awalnya bukan masalah etika, tetapi penari sebagai media upacara," kata Nursilah.
Namun ternyata tak selamanya kaum Adam bertahan pada tarian tersebut. Lambat laut, laki-laki tak lagi berminat untuk menampilkan tarian. Di sisi lain, muncul anggapan bahwa kaum perempuan lebih menarik untuk tampil menari.

Nursilah tak menampik tarian ini kemudian sempat terkena kesan negatif, yaitu sebagai sarana awal aktivitas prostitusi. Namun ia menyebut hal itu terjadi pada kesenian yang tujuannya untuk kesuburan, bukan hanya tari gandrung.

"Karena [tari gandrung] menarinya kan dari jam sembilan [malam] sampai empat subuh, kemudian penari dikelilingi laki-laki, dan ada gerakan-gerakan erotisme," kata Nursilah.
"Lalu setelah menari, para penari bisa diajak pergi. itu realita. Dan justru mereka ingin dapat penghasilan tambah dari kegiatan itu. Itu tidak jadi rahasia, semua orang tahu. Kondisinya begitu," lanjutnya.
Kini, tari gandrung lebih banyak dimainkan dalam kegiatan pariwisata dan dalam kegiatan-kegiatan tertentu di masyarakat, misalnya untuk acara pernikahan, sunatan, dan pemerintahan.

Tari gandrung disebut Nursilah masih akan ada di Banyuwangi. Bukan hanya karena karya dari masyarakatnya, namun tarian itu dibutuhkan. "Dilarang sekalipun mereka akan tetap cari regulasi untuk masih bisa jalan," kata Nursilah.



Tak Perlu Membasmi

Nursilah juga mengungkapkan pendapat dan keprihatinannya akan protes yang dilayangkan segolongan kelompok masyarakat, apalagi menganggap kesenian yang ditampilkan berkaitan dengan bencana yang terjadi di Indonesia.
"Sebetulnya enggak usah begitu, keberagaman itu enggak begitu. Wali Songo saja tidak membasmi, mereka malah pakai [kesenian] untuk syiar agama. Kan tinggal bagaimana cara menyampaikan," kata Nursilah.
Sebagai orang budaya, Nursilah menyampaikan keprihatinannya bahwa masyarakat dan budaya Indonesia yang beragam seolah 'dipaksa' untuk mengikuti satu paham tertentu.
"Budaya itu beserta konteksnya masing-masing, kalau budayanya mengekspresikan agama tertentu ya itu ekspresi budaya sesuai agamanya. Kalau memang tidak setuju, jangan lakukan, tapi juga jangan mengganggu orang yang melakukan," kata Nursilah. (tsy/end)

Sumber: CNN Indonesia

Kamis, 18 Oktober 2018

Ditolak Ormas Islam, Festival Gandrung Sewu 2018 Tetap Digelar

Kamis 18 Oktober 2018, 13:24 WIB | Ardian Fanani

Foto: Dok Kemenpar

Banyuwangi - Pemkab Banyuwangi memastikan tetap menggelar festival gandrung sewu 2018 meski mendapat penolakan dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Front Pembela Islam (FPI) Banyuwangi. Pemkab beralasan tari gandrung merupakan warisan seni dan budaya asli Banyuwangi yang saat ini sudah diakui dunia. 

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi Muhammad Yanuar Bramuda membantah bahwa Festival Gandrung Sewu yang melibatkan 1300 lebih penari gandrung itu adalah pertunjukan yang mengundang maksiat.

Bahkan tari gandrung ini telah resmi digunakan tarian ucapan selamat datang setiap ada kegiatan di Banyuwangi. Sehingga Festival Gandrung Sewu ini murni pertunjukan seni dan budaya yang setiap tahunya di laksanakan di Kabupaten Banyuwangi.


"Kita tidak bisa merubah itu, karena itu asalnya ada. Gandrung sewu adalah bahasa bagaimana mengenalkan gandrung lebih elegan ke dunia Internasional. Jadi gandrung yang sewu ini adalah murni tontonan, seni, dan penampilan. Makanya tidak ada unsur sebagaimana yang diisyaratkan oleh pakem-pakemnya gandrung di dalam budaya itu sendiri. Gandrung itu kan ada macam-macam, ada gandrung terop, ada seblang subuh macam- macam itu," kata Muhammad Yanuar Bramuda kepada detikcom, Senin (15/10/2018). 
Bramuda tetap menghargai adanya kritik berupa penolakan pelaksanaan Gandrung Sewu 2018. Namun diharapkan penolakan tersebut tetap tidak menghalangi terselenggaranya pagelaran gandrung sewu 2018 tersebut.

"Kami saling menghormati saja. Karena memang tidak ada kemaksiatan dalam Gandrung Sewu ini," pungkasnya.
Kegiatan Festival Gandrung Sewu sedianya digelar di Pantai Boom Banyuwangi, Sabtu (20/10/2018). Kegiatan ini sudah digelar 7 kali di tempat yang sama. Sebanyak 1300 penari akan menarikan Gandrung, tarian khas Banyuwangi. (iwd/iwd)

Sumber: NewsDetik 

Re-interpretasi "wahyu" Pancasila

  • Catatan dari Paguyuban Pengkhayat Kepercayaan “Masyarakat Pancasila”

TATA-RITUAL: Ketua Paguyuban Masyarakat Pancasila, Jasmin Suwito didampingi sekretaris paguyuban, Drs Sukiman; memimpin ritual "akad nikah" versi kearifan tradisional setempat. Pendokumentasian ritual ini digelar Selasa ( 16/10) di Desa Grenggeng, Karanganyar, Kebumen [Foto: ap]

Selain dikenal sebagai basis home-industry kerajinan berupa anyaman pandan, ternyata Desa Grenggeng di Karanganyar menyimpan potensi kearifan tradisional lain berupa kehidupan paguyuban masyarakat penganut kepercayaan yang dikenal dengan nama “Resi Sangga Buana”.

Dalam perkembangannya, komunitas tradisional yang saat ini memiliki penganut 96 orang, masih teguh mewarisi ajaran leluhur namun juga mampu berdialektika dengan perkembangan zaman; dan menyebut dirinya sebagai suatu organisasi pengkhayat Masyarakat Pancasila (Mapan).

Secara historis paguyuban pengkhayat kepercayaan ini sangat dekat dengan kisah mendiang presiden pertama RI; Soekarno. Paguyuban yang berdiri pada 1968 ini pada mulanya dipelopori oleh Ki Sanurtawi, Ki Wiryo Ngaliman dan Ki Sanmukmin. Ketiga orang tersebut dibimbing oleh seorang mudhafir dari Rembang bernama Ki Bagus Hadikusumo; kolega dekat Presiden Soekarno yang ngulandara ke pelosok daerah.

Menariknya, bagi komunitas tradisional ini menempatkan falsafah hidup Pancasila bukan sekedar secara tekstual, melainkan sebagai nilai-nilai warisan sejarah yang dijadikan dasar filosofis dalam konteks membangun sikap personal, sikap kolektif maupun dalam kehidupan bersamanya.

Nilai-nilai ketuhanan, gotong-royong dan musyawarah, dalam pandangan paguyuban pengkhayat Pancasila, sebagaimana tertera dalam rumusan pandangan organisasi ini dan narasi sejarahnya; merupakan bagian inti yang menyokong manifesto kelompok, berkaitan tentang pengkhayatan dan pengamalan Pancasila.

Memudarnya Toleransi

RITUAL: Tata-cara “Rukti Layon” (Merawat Jenasah_Red) secara tradisional diperagakan oleh Paguyuban Masyarakat Pancasila. Jasmin Suwito, Ketua paguyuban tradisi tengah menjelaskan tata-ritualnya [Foto: ap]

Ihwal maraknya kasus persekusi yang terjadi di banyak tempat dewasa ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi komunitas Resi Sangga Buana.
Dalam rumusan manifestonya, Masyarakat Pancasila mempertimbangkan bahwa kesadaran masyarakat dewasa ini sudah mulai pudar dalam mengkhayati dan mengamalkan Pancasila sebagai landasan ideologi dan falsafah hidup bangsa.

Menyikapi fenomena bermasyarakat yang demikian, bagi paguyuban pengkhayat kepercayaan Masyarakat Pancasila yang berdiri sejak 1968 ini berpegang pada inti ajaran yang bersumber pada warisan nilai-nilai luhur yang menginspirasi ajaran tentang ketuhanan, ajaran tentang alam semesta dan ajaran tentang kemanusiaan. Yakni bahwa seluruh manusia adalah bagian dari ciptaan-Nya. Sehingga kemanusiaan ditempatkan pada derajat yang sama dan setara. Dengan demikian akan terbangun apa yang disebut sebagai toleransi atas sesamanya.

Menurut pewaris pendirian Paguyuban Masyarakat Pancasila sekaligus sesepuh “Resi Sangga Buana”, Jasmin Suwito (66), pihaknya mengimani keberadaan Tuhan sebagai Dzatullah, Sifatullah, Wujutullah dan Nurullah; sebagai sebuah ajaran luhur yang diwarisinya. Maknanya, tak ada tafsir interpretasi sesuatu kelompok manusia atas eksistensi Tuhan itu lebih benar ketimbang manusia lainnya. Dengan kata lain, ajaran ketuhanan itu universal sifatnya.

Lakon Wahyu Pancasila

WAYANG: Repertoar wayang kulit “Wahyu Pancasila” oleh Ki Dalang Langgeng Hidayat digelar Selasa (16/10) malam, pada acara “perekaman” tata-ritual paguyuban tradisi Masyarakat Pancasila (Mapan) di Grenggeng

Menurut Drs Sukiman, sekretaris paguyuban pengkhayat kepercayaan Paguyuban Masyarakat Pancasila “Resi Sangga Buana” yang pada Selasa (16/10) malam menggelar acara perekaman tata ritual “Akad Krama” (pernikahan_Red)  dan “Rukti Layon” (merawat jenasah_Red), pihaknya menolak sebutan “Resi Sangga Buana” sebagai agama.
“Resi Sangga Buana itu bukan lah suatu agama, melainkan ini hanya nama sebuah paguyuban”, jelas Sukiman dari atas panggung.
Malam itu, atas dukungan Kanwil Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah, paguyuban Masyarakat Pancasila memang tengah menggelar repertoar wayang kulit dengan lakon “Wahyu Pancasila” yang dimainkan oleh Ki Dalang Langgeng Hidayat.

Lakon “Wahyu Pancasila” ini secara filosofis memang mengangkat kisah pertentangan kekuasaan dua negara yang memperebutkan keberadaan guru bangsa yakni Semar Sang Pamomong.

Bagi publik di Desa Grenggeng, Karanganyar, pembabaran repertoar “Wahyu Pancasila” ini memiliki korelasi dalam konteks membangun masyarakat pancasilais yang memiliki tiga karakter kekuatan: berketuhanan, bergotong-royong dan bermusyawarah [ap]

Rabu, 17 Oktober 2018

Karya dari Desa Berjaya di Festival Film tingkat Nasional

17 Oktober 2018 | 17.29 WIB 


KBRN, Cilacap :  Sejumlah film karya siswa-siswi peserta Praktek Kerja Industri (Prakerin) di Sangkanparan, Cilacap kembali meraih penghargaan di level Nasional.
Kali ini dalam Festival Film Kawal Harga Negara (FFKHN) 2018 yang penganugerahannya dilakukan di gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI) Jakarta, Selasa (16/10/2018) malam.

Dalam acara tersebut beberapa film karya anak didik Taman Belajar Multimedia Sangkanparan Cilacap yang masuk nominasi antara lain Kampung Gemplong karya Bayu Ragil Saputra (SMK N 1 Karanggayam, Kebumen ), Karst Gombong karya Franky Andre Permata (SMK Bina Karya 1 Karanganyar, Kebumen), dan Urut Sewu Bercerita karya Dewi Nur Aeni (SMK N 1 Kebumen) untuk film dokumenter pelajar.
Selanjutnya video berjudul Menunggu Realisasi karya Ade Irwanto dan Pelatihan Untuk Desa karya Adi Prayitno (SMK N 1 Karanggayam, Kebumen) masuk nominasi kategori Citizen Journalism kategori pelajar.
Selanjutnya dari penilaian dewan juri, video Citizen Journalism kategori pelajar diraih oleh Adi Prayitno (SMK N 1 Karannggayam, Kebumen) dengan video berjudul Pelatihan Untuk Desa.
Lainnya penghargaan Pitching Forum Kategori Dokumenter dimenangkan film berjudul Kereta Api Perintis karya M. Fadel Pratama (Aceh), sedangkan pemenang Pitching Forum kategori Fiksi adalah film Sepeda Tua, karya Nugroho Prasetyo (Telkom University).  
Dokumenter kategori pelajar dimenangkan film berjudul Kihung karya Muhammad Erwin (SMK N 5 Bandar Lampung) dan Fiksi kategori pelajar disabet film Tulak Balak karya Dhea Amelia Oktarina (SMK N 2 Pati, Jawa Tengah).
Citizen Journalism kategori umum/mahasiswa diraih video berjudul Miris Taman Kota di Sidrap Penuh Sampah karya Roedy Hartono (Sulawesi Selatan).
Dalam perhelatan FFKHN tahun kedua itu, dewan juri juga memberikan penghargaan khusus kepada 2 film yaitu film fiksi berjudul Paga Nagari karya Tri Hayatul Idha (Mayor Films), dan Film Dokumenter berjudul Berburu Rente Kebondalem karya Wildan Aji Saputra (Swadesi Institute).
Adi Prayitno yang saat itu hadir bersama pengelola Sangkanparan Insan Indah Pribadi mengungkapkan kebahagianya di podium.
Dengan nada yang bergetar ia membacakan sebuah catatan terimakasih yang ditujukan kepada BPK RI melalui kegiatan FFKHN ini.
“Semoga dengan adanya Festival ini, bisa menjadi ajang bagi kita untuk mengawal harta negara sampai ke desa-desa” ungkapnya terbata-bata disambut tawa dan tepuk tangan meriah pengunjung festival.
Insan Indah Pribadi dalam siaran persnya menyatakan di ajang tersebut, para pemenang mendapatkan hadiah berupa piala dan uang pembinaan sebesar Rp 10 juta, sedangkan kategori khusus para pemenang mendapatkan hadiah berupa piala dan uang pembinaan sebesar Rp 3 juta.
Kata Insan, kebahagiaan Adi Prayitno semakin lengkap dengan kehadiran orang tuanya yang tiba-tiba hadir di lokasi festival.
“Ayah Adi yang telah lama bekerja di Bekasi, dan dia hadir bersama ibunya. Tentu saja momen  mengharukan ini diabadikan oleh Adi untuk foto-foto bersama orang tuanya” pungkas Insan. (Sandy)
Sumber: RRI Purwokerto 

Senin, 15 Oktober 2018

Ketika Ebeg, Teater dan Film Bersatu di Alun-alun

Minggu, 14 Oktober 2018

Best Performance !!! Tari Tambang Raras | Suro Bulan Kebudayaan 2018


Soebijanto - October 14, 2018



Sosok “Perempuan” diciptakan untuk menemani serta untuk menciptakan rasa tentram dan damai bagi Adam pada kehidupan di dunia ini. Ya, semuanya ini tergambar dengan jelas dalam Tari Tambang Raras yang merupakan sebuah tari kontemporer dengan basic tari tradisi yang menceritakan tentang perjuangan seorang wanita yang ingin menemukan jati dirinya sehingga derajatnya setara dengan para kaum Adam yang sesungguhnya di dunia ini.


Sebuah karya tari dari Nungki Nur Cahyani yang ditampilkan pada acara Suro Bulan Kebudayaan 2018 di Museum Radya Pustaka pada hari Kamis, tanggal 11 Oktober 2018 yang mengambil tema “Nutup Bulan Suro”.


Tarian ini diciptakan pada tahun 2018, yang pertama kali diciptakan untuk dipentaskan di Sigi Sulawesi Tengah pada event Festival Bunyi Bungi, sebuah festival adat dan tradisi di Kabupaten Sigi yang berkaitan erat dengan Bungi melalui seni pertunjukan musik dan ritual.


Nungki Nur Cahyani lahir di Purworejo, menempuh studi formal tari di SMKI Surakarta (SMKN 8 Surakarta now) lalu melanjutkan di STSI (ISI) Solo, pernah menempuh studi diprogram Pasca Sarjana UGM Jurusan Kajian Budaya dan Media (tidak lulus/mengundurkan diri) hingga kini masih aktif di kesenian sebagai koreografer dan penari kontemporer, serta berteater.


Dalam Tari Tambang Raras ini, Nungki terinspirasi dari sosok Tambang Raras dalam Serat Centhini, dimana perempuan harus berani terus belajar dalam hidupnya tidak hanya persoalan seni bercinta dan pelayanan terhadap suami.


Tapi seorang perempuan juga harus mengerti agama dan keyakinan, ekonomi, meramu obat, politik, bahkan berani menjadi seorang pengembara untuk mampu melihat luas dunia yang tak hanya berkutat pada seputar sumur, dapur dan kasur.


Komposisi internal Tari Tambang Raras terdapat gambaran tentang kesejatian dalam hidup seorang wanita melalui ratus wangi yang biasa dipergunakan sebagai pewangi tubuh perempuan, daun jati menggambarkan tentang kesejatian dalam hidup seorang perempuan serta gambaran pemaknaan pesona seorang perempuan yang mampu menentukan jalan kehidupan di dunia ini.


Gerak dan pola lantai yang dipergunakan dalam Tari Tambang Raras menggunakan ragam gerak tari tradisi yang sangat variatip dan dinamis yang dikembangkan, dengan menggunakan properti daun jati dan tungku ratus wangi.


Busana yang dipergunakan berupa kostum sederhana dengan kain dan kemben, dengan pemilihan warna hitam dengan aksen warna merah pada ikat pinggang dan sentuhan sumping kudup sebagai perhiasan, hal ini semua untuk menampilkan sosok perempuan yang sederhana dan elegan.


Iringan gendhing yang mengiringi tarian ini menggunakan campuran bunyi instrument alat musik tradisional yang dikomposisikan secara elektronika, dengan mediumnya di dominasi pada garapan musik Jawa.


Sebuah tarian yang syarat akan makna dalam kehidupan yang berisi edukasi yang memuat tentang norma-norma yang dapat dijadikan panutan bagi para perempuan untuk tampil sempurna, yang diharapkan mempunyai rasa percaya diri untuk menjadi seorang yang benar-benar  “perempuan” secara utuh, ujar  Nungki Nur Cahyani. (Soebijanto/reog biyan)

Sumber: My Image 

Jumat, 12 Oktober 2018

Sastra dan Realitas


Ardy Kresna Crenata - 12/10/2018


Dalam cerpen “2.0”, Dias Novita Wuri mengetengahkan salah satu persoalan yang dihadapi masyarakat Jepang kontemporer, yakni semakin tergantungnya mereka kepada robot. Dalam hal ini, robot tersebut adalah android, yakni robot dalam wujud manusia. Dan karena latar waktu cerpen ini adalah suatu titik di masa depan, android tersebut sudah relatif sangat maju sehingga mereka dalam beberapa hal benar-benar menyerupai manusia.

Ada dua jenis ketergantungan terhadap android yang dikemukakan di cerpen ini. Pertama, ketergantungan yang sifatnya afektif, yang diwakili oleh ketergantungan Tuan Hojo kepada sesosok android perempuan—kekasihnya. Kedua, ketergantungan yang sifatnya subordinatif, yang diwakili oleh ketergantungan Tuan Pemilik kepada dua sosok android pelayan yang dimilikinya.

Ketergantungan pertama terasa sangat manusiawi, dan sangat intim. Tuan Hojo memperlakukan androidnya itu seolah-olah ia benar-benar hidup, benar-benar manusia, dan benar-benar membalas kasih sayangnya. Dan menarik sekali bahwa level kecanggihan si android ini tidak cukup baik, sehingga sebenarnya mudah sekali mendeteksi bahwa ia bukanlah manusia—hanya robot. Namun di mata Tuan Hojo, hal ini sama sekali tak mengusiknya. Kasih sayang Tuan Hojo kepada si android begitu tulus. Begitu murni.

Ketergantungan kedua, sementara itu, tidak terasa manusiawi, juga tidak terasa intim. Dan ini kontras sekali dengan level kecanggihan dua android itu, di mana mereka bahkan bisa merasa sedih, prihatin, iba, dan yang semacamnya; selain itu mereka pun bisa difungsikan sebagai partner seks dan bisa meneteskan air mata. Di mata Tuan Pemilik, kedua android ini hanyalah alat. Mereka ada untuk mematuhi perintah-perintahnya. Hanya itu.

Bahwa kemudian sebuah insiden pasca-mati-lampu yang dialami Tuan Hojo dan androidnya mendorong diri-afektif kedua android canggih itu bangkit, yang membuat mereka kemudian bertanya-tanya apakah Tuan Pemilik menyayangi mereka atau tidak, dan akibat larut dalam kesedihannya “jantung” mereka rusak dan mereka pun mati, kiranya menunjukkan bahwa jenis ketergantungan Tuan Pemilik terhadap mereka tidaklah tepat. Sebagai sesosok android yang memiliki diri-afektif, semestinya, ketergantungan pertamalah yang mengikat mereka dengan Tuan Pemilik.

Tidak tepatnya jenis ketergantungan tersebut membawa kita pada persoalan lainnya yang dihadapi masyarakat Jepang kontemporer, yakni sulitnya mereka menjalin relasi. Tentu, yang dimaksud di sini adalah relasi yang sifatnya afektif tadi, dan di saat yang sama tepat guna—juga tepat sasaran.

Ketika yang ada di hadapan adalah sesuatu yang “hidup”, yang memiliki diri-afektif, relasi yang dibangun justru relasi yang subordinatif. Ketika relasi yang dibangun adalah relasi yang afektif, yang ada di hadapan itu justru sesuatu yang “tak hidup”, yang tak memiliki diri-afektif.

Akibatnya adalah munculnya konflik dan penderitaan. Di kasus Tuan Pemilik, penderitaan itu dialami oleh si android. Di kasus Tuan Hojo, penderitaan itu dialami oleh dirinya sendiri. Seperti tidak benar-benar ada komunikasi di antara kedua belah pihak dalam relasi. Aliran afeksi dalam relasi itu, kalaupun benar ada, sifatnya satu arah.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa bisa sampai seperti itu, apa saja yang menjadi penyebabnya. Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan terkait persoalan yang disinggung di awal tadi, yakni tentang ketergantungan masyarakat Jepang kepada robot—android, dalam hal ini. Dan sebagai sebuah karya sastra, cerpen “2.0”, sudah semestinya mencoba menjawabnya.

Persoalan dan Motif di Baliknya

Mencermati kasus Tuan Hojo, bahwa ia kemudian membeli sesosok android jadul untuk ia jadikan kekasihnya agaknya bertolak pada kesepian yang dirasakannya. Tidak diinformasikan apakah ia pernah menikah atau tidak, apakah ia memiliki anak atau tidak. Namun dari apa yang terpapar di cerpen, terasa sekali, Tuan Hojo ini sendirian. Tetapi di sini pun masih belum jelas, apakah ia sendirian dalam arti hidup sendiri atau tinggal bersama orang lain tetapi merasa sendiri.

Di kasus Tuan Pemilik, alasannya sangat praktis. Kedua android canggih itu dibeli untuk menjadi pelayan kafe yang dimilikinya, juga untuk memenuhi kebutuhan biologisnya sewaktu-waktu. Apakah Tuan Pemilik juga kesepian sebagaimana halnya Tuan Hojo? Mungkin saja, tetapi tentu kesepian yang dirasakannya adalah kesepian yang lain, jenis yang berbeda. Sementara Tuan Hojo memberikan kasih sayangnya yang tulus kepada androidnya, Tuan Pemilik terlihat menghindari itu. Dalam pandangannya, relasi afektif seperti itu adalah sesuatu yang mengganggu.

Di titik ini, perlu agaknya kita memperhatikan umur Tuan Hojo dan Tuan Pemilik. Tuan Hojo, bisa dibilang, merepresentasikan orang-orang Jepang yang sudah tua dan telah kehilangan banyak hal—waktu, kesempatan, seseorang, mungkin juga uang. Karena itulah ia memiliki dorongan yang jauh lebih kuat untuk menjalin sebuah relasi afektif dengan androidnya, di mana ia menjadi satu-satunya pihak yang mengalirkan kasih sayangnya.

Tuan Pemilik, sementara itu, masih relatif muda, sedang disibukkan oleh narasi hidup yang padat dan cepat, dan agaknya merasa tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang berkenaan dengan perasaan. Dalam hal ini Tuan Pemilik merepresentasikan anak-anak muda Jepang yang terlampau terisap oleh dunia kerja, yang karena itu lambat-laun kehilangan dorongan untuk menjalin relasi afektif dengan manusia lain.

Sejauh ini, selain mengetengahkan dua persoalan tadi, cerpen “2.0” juga menghadirkan, secara implisit, motif-motif yang memungkinkan kedua persoalan tersebut muncul. Namun apakah itu sudah cukup? Menurut saya belum. Pasalnya, pada kenyataannya, realitas kontemporer Jepang jauh lebih rumit dari itu.

Realitas vs “Realitas”

Salah satu hal yang perlu kita soroti adalah tidak adanya informasi terkait lingkungan pribadi Tuan Hojo dan Tuan Pemilik—keluarganya, pekerjaannya, kesehariannya di luar kafe, dll.. Tidak adanya informasi ini menyebabkan kita tidak bisa memastikan orang seperti apa sebenarnya Tuan Hojo dan Tuan Pemilik itu. Kalaupun dari apa yang dihadirkan di cerpen kita memperoleh gambaran soal kepribadian mereka berdua, tetap saja, kita tidak bisa melacak hal-hal apa yang turut andil dalam membentuk mereka menjadi seperti itu. Tuan Hojo, juga Tuan Pemilik, seperti dihadirkan tanpa preseden, tanpa masa lalu.

Hal lainnya yang perlu kita soroti adalah tidak adanya informasi mengenai situasi sosial-ekonomi di kawasan di mana kafe itu berada. Jika informasi tersebut ada, kita bisa mengetahui apakah beroperasinya kafe tersebut di sana adalah sesuatu yang wajar belaka atau tidak, sehingga kita pun menjadi tahu apakah Tuan Hojo dan Tuan Pemilik adalah bagian dari orang-orang yang berada di jalur arus utama atau bukan. Selain itu, dengan adanya informasi tersebut, kita pun bisa menelusuri kedua persoalan tadi lebih jauh, memastikan apa sesungguhnya akar masalahnya, apakah itu masalah sosial-ekonomi atau yang lainnya.

Masih ada kiranya hal-hal lain yang perlu kita soroti dari cerpen “2.0”; detail-detail yang jika saja ada akan sangat membantu kita dalam memahami persoalan yang diketengahkan si cerpen, tentunya secara komprehensif. Sebuah cerpen, bagaimanapun, berasal dari realitas. Dan di dalam dirinya cerpen tersebut menawarkan “realitas”, yakni realitas dengan sejumlah perbedaan—detail-detail itu.

Jika perbedaan tersebut positif, dalam arti ia membantu mengungkapkan apa yang tak terungkapkan di realitas, maka itu baik bagi si cerpen. Dan memang itulah yang kita butuhkan. Sebuah cerpen yang berhasil, adalah sebuah cerpen yang menghadapkan kita kepada realitas, untuk kemudian memahaminya; bukan sekadar menawarkan kepada kita “realitas”, dan menjebak kita pada perspektif yang sempit dan cenderung sederhana.

Mau mengingkarinya segigih apa pun, kita hidup di dalam realitas. Dan ketika kita berhadapan dengan sebuah “realitas” yang ditawarkan cerpen atau karya sastra lainnya, sejatinya, kita berharap setelah itu kita memiliki perspektif yang lebih baik terhadap realitas, yang mestilah membantu kita untuk lebih memahaminya, demi kebaikan kita sendiri.

Cerpen “2.0”, sebenarnya, sudah ada pada jalur tersebut. Hanya saja, ia masih belum cukup jauh membawa kita menyelami persoalan yang diketengahkannya.

Jika kita, misalnya, menyelami persoalan itu lewat teks-teks lain, kita akan mendapati bahwa tiga di antara akar-akar masalahnya, yang memayungi akar-akar masalahnya yang lainnya, adalah kapitalisme, sistem pendidikan, dan budaya kerja yang berorientasi pada ketekunan. Dan cerpen “2.0”, di sepanjang cerita, tak menghadirkan itu.

(*)

NB. Cerpen “2.0” termaktub dalam kumpulan cerpen Dias Novita Wuri, Makramé (GPU, 2017). Versi korannya, dengan judul “#2”, bisa dinikmati di sini: https://cerpen2korantempo.wordpress.com/2014/12/07/2/

Senin, 08 Oktober 2018

In Memoriam: Wisran Hadi Yang Saya Kenal


Sebuah Kenangan, oleh Jose Rizal Manua*


Bila anda pernah mengenalnya dari dekat dan pernah berdiskusi dengannya secara mendalam tentang berbagai hal, terutama yang menyangkut seni dan budaya, khususnya sastra dan teater, anda akan berhadapan dengan seseorang yang kritis dan berwawasan luas. Itulah Wisran Hadi, yang saya memanggilnya “Da Wis”.
Da Wis adalah teman diskusi yang penuh argumentasi, teman ngobrol yang gemar mendengar, dan teman bersenda yang pandai menerbitkan tawa.

Di samping sebagai sastrawan dan budayawan, ia pun tokoh senirupa yang piawai sebagai sutradara. Di kancah “teater modern” Indonesia, Da Wis mempunyai tempat tersendiri, dengan lakon-lakon yang “eksperimental” sekaligus “kontemporer”. 
Da Wis berhasil memadukan dramaturgi barat dengan dramaturgi timur. Dengan pengetahuannya yang mendalam tentang teater modern, ia mengaktualisasikan Randai, yang bentuknya bisa kita temui pada semua lakon-lakon yang ditulisnya. 
Sebut saja; Puti Bungsu - Wanita Terakhir, Anggun Nan Tongga, Malin Kundang, Jalan Lurus, Roh dan Nyonya2, Wayang Padang, atau lakon yang terhimpun dalam Empat Sandiwara Orang Melayu, atau Empat Lakon Perang Paderi, semua memenuhi persyaratan dalam dramaturgi teater barat; yang melingkupi plot, struktur dramatik, karakter dan setting peristiwa.

Bagi saya, Da Wis adalah guru yang patut ditiru, Uda yang membuka cakrawala, sekaligus sahabat yang membuat kita selalu mengingatnya.

Lakon monolog Da Wis yang sangat ingin saya pentaskan berjudul Dokter Anda yang sangat kekinian. Di mana Da Wis mengaktualisasikan tradisi dengan caranya yang unik, yaitu, tidak membenarkan yang salah, tapi tanpa kebencian.
 “Tradisi jangan hanya ditempatkan sebagai pajangan, tapi harus dihidupkan dengan nafas kekinian. Agar menjadi segar kembali”. Ujarnya di suatu kesempatan.
Sebagai sastrawan dan budayawan yang rendah hati Da Wis senang berbagi, tanpa harus menggurui. Ngobrol dengan Da Wis mengasyikkan, pengetahuannya luas dan pemahamannya tentang tradisi sangat mendalam. Terutama yang menyangkut budaya Minangkabau. Dan di sana-sini selalu diselingi dengan humor-humor yang segar. Da Wis selalu memberi ruang pada lawan bicaranya, sehingga kita bisa betah “ngobrol” berlama-lama.

Saya kira sumbangan Da Wis terhadap perkembangan Teater Modern Indonesia adalah niscaya dan mewujud dalam karya-karyanya yang spesifik, unik dan indah.

Karya-karya Wisran Hadi (Da Wis), tidak hanya berupa lakon-lakon drama, akan tetapi juga berupa novel, cerpen, puisi dan esai; yang kesemuanya bertolak dari unsur-unsur dramaturgi, yang mengandung kedalaman akan pemahaman “antropologi”. 

Selamat jalan, Uda yang baik. Semoga mendapat tempat yang indah di sisi-Nya. Kenangan padamu, Da Wis, senantiasa tertanam di sanubari.
Jose Rizal Manua, M. Sn, Staf Pengajar IKJ dan Pendiri/ Sutradara Teater Tanah Air

Minggu, 07 Oktober 2018

Utuy Tatang Sontani, seniman pelarian Indonesia dan karya yang tercecer di Moskow

7 Oktober 2018



Melalui media sosial, seorang warganet asal Rusia bernama Pavel Serin mengantar kita ke depan nisan Utuy Tatang Sontani — salah satu dramawan perintis Indonesia' yang meninggal dalam pelarian politik di Moskow. Masih perlukah kita mengingat dia?
''Saya suka gayanya. Banyak canda, walaupun sesungguhnya makna tulisannya serius,'' gumam Pavel, yang mencabuti gulma di sekitar makam Utuy Tatang Sontani pada pertengahan Mei.
''Itu seperti kebiasaan orang Sunda ya, suka tertawa saat membahas hal serius.''
Pavel baru tuntas membaca 'Badut' — salah satu tulisan pendek Utuy yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Sepulang belajar bahasa Indonesia setahun di Bandung, dia berjumpa dengan tulisan Utuy saat mencari-cari sastra Indonesia yang sudah diterjemahkan.

Lahir di Cimahi pada 13 Mei 1920, Utuy menjadi nama yang populer saat sastra Indonesia bersentuhan dengan Rusia pada dekade 1950-an.
''Saya membeli satu buku yang ditulis ilmuwan Rusia tentang sastra Indonesia, dari situ saya tahu bahwa Utuy pernah tinggal lalu meninggal di Moskow,'' lanjut Pavel, memperlihatkan buku tebal bersampul biru karya Profesor Vilen Sikorsky, yang apabila diterjemahkan berjudul 'Tentang Literatur dan Budaya Indonesia'.

BBC INDONESIA: ''Dari jauh sudah kelihatan nisannya. Makamnya kotor dan penuh tanah. Semua tertutup daun yang gugur,'' kata Pavel Serin, warganet Rusia yang pernah belajar di Indonesia dan menemukan makam penulis Utuy Tatang Sontani di Pekuburan Mitino, Moskow, Rusia.

Secara kebetulan, di salah satu postingan di dinding Facebook, Pavel membaca seorang teman dekat asal Cianjur sedang mencari makam Utuy di Moskow. 
''Saya pikir saya harus antar. Saya tidak tahu di mana makam Utuy, tapi begitu saya cari rupanya bisa ditemukan dengan cepat.''
Pembaringan terakhir sang sastrawan eksil itu adalah pekuburan Mitino, Moskow. Tepatnya pada sektor muslim - yang yang pertama kali dibuka dalam jenisnya di Moskow.
''Dari jauh sudah kelihatan nisannya. Makamnya kotor dan penuh tanah. Semua tertutup daun yang gugur,'' kata Pavel, menceritakan kembali pertemuan dengan penulis yang kemudian menjadi favoritnya.
''Saya merasa kasihan. Tidak pernah ada yang datang''

Description: Grey line
Karya-karya Utuy Tatang Sontani

1948: Suling (drama)
1948: Bunga Rumah Makan (Drama satu babak)
1949: Tambera (roman)
1951: Orang-Orang Sial (kumpulan cerita 1948-1950: 1. Paku dan Palu; 2. Doger; 3. Mengarang; 4. Jaga Malam; 5. Keluarga Wangsa; 6. Badut; 7. Kekasih Pujaan; 8. Lukisan; 9. Ditraktir; 10. Suami-Isteri; 11. Bendera; 12. Usaha Samad), Awal dan Mira (drama satu babak)
1953: Manusia Iseng (drama satu babak), Sangkuriang - Dayang Sumbi (drama tiga babak)
1954: Sayang Ada Orang Lain (drama satu babak)
1955: Di Langit Ada Bintang (drama satu babak) Sang Kuriang (Drama)
1956: Selamat Jalan, Anak Kufur (drama satu babak)
1957: Di Muka Kaca (drama), Saat Yang Genting (drama satu babak)
1959: Si Kabayan (komedi dua babak), Sang Kuriang (libretto dua babak)
1961: Segumpal Daging Bernyawa (drama)
1961: Manusia Kota (kumpulan drama satu babak: 1. Sayang Ada Orang Lain; 2. Di Langit Ada Bintang; 3. Saat Yang Genting; 4. Pengakuan)
1962: Sang Kuriang (opera dua babak dalam bahasa Sunda)
1963: Si Sapar (novelet tentang kehidupan penarik becak di Jakarta), Kumpulan Drama: Selamat Jalan, Anak Kufur dan Di Muka Kaca, Tak Pernah Menjadi Tua (drama)
1964: Si Kampeng
Description: Grey line
''Entah apa karena saya kuliah di Bandung kemudian merasa ya zyimliki (sebangsa). Dari tanah yang sama,'' ujar Pavel.
Dengan begitu banyak orang Indonesia yang datang dan tinggal di Moskow, dia menaruh harapan bahwa akan ada yang mau datang berziarah. 
''Sabilulungan, gotong royong. Sebab makam ini di Rusia, tapi milik Indonesia,'' tegas dia.
''Makam itu harus dibersihkan dan dijaga dengan baik, karena menurut saya Utuy salah satu penulis penting untuk sastra dan budaya Indonesia. Dia tidak memilih untuk hidup di rantau. Dia di sini karena tidak bisa pulang ke Indonesia. Tragis.''
BBC INDONESIA: Pusara Utuy Tatang Sontani di pekuburan Mitino, Moskow, Rusia.

Pavel menunjuk ukiran nama pada nisan Utuy yang mulai kabur, susah dibaca, dan kusam termakan cuaca. Granit hijau itu baru kembali mengkilat setelah disikat oleh Pavel. Di situ tersebut tertulis nama Utuy Tatang Sontani dalam aksara sirilik.

Berikutnya tertera keterangan, Indonesiyskiy Pisatel yang artinya, Penulis Indonesia.

Penulis Indonesia, yang seakan lenyap dari sejarah sastra Indonesia.
Padahal, ''Saya pikir, dialah yang menciptakan drama modern di Indonesia,'' ujar kata Profesor Vilen Sikorsky, kepada Clara Rondonuwu, pelajar Indonesia di Moskow yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Sebelum era Utuy, imbuh dia, drama yang ditulis di Indonesia berbentuk 'bacaan'. Tapi Utuy mulai menulis 'drama untuk dimainkan'.
Tentang bagaimana Utuy tiba di Moskow, dia mengisahkan kembali bahwa tiga hari sebelum peristiwa 30 September 1965, Utuy terbang ke Cina untuk 'berobat'.
''Istrinya batal ikut, sebab paspor belum jadi.''
Dalam bukunya, Vilen juga menulis bahwa antara 30 September dan 1 Oktober 1965, Utuy berobat di rumah sakit di Peking. Sementara itu, di tanah air Gestapu pecah dan orang-orang Lekra dijebloskan ke penjara dan pengasingan.

BBC INDONESIA: Kondisi makam Utuy setelah dibersihkan Pavel Serin. Sebelumnya makam sudah tertutup dedaunan dan tanah, sehingga batu penutupnya tidak kelihatan lagi. Utuy dimakamkan di Moskow pada 17 September 1979, disaksikan sekitar 50 orang yang terdiri dari penulis dan eksil Indonesia di Rusia.

Dia terjebak di tanah asing, tak bisa kembali. Kesehatan memburuk pada Oktober 1973, saat itu dia memperoleh izin dari Cina untuk berobat ke Belanda. Kereta Trans-Siberia yang ia tumpangi dari Beijing lewat di Moskow, kemudian ia memutuskan untuk turun.

Di Moskow, awalnya Utuy menempati sebuah flat di kawasan tenang Rayon Zyuzino, barat daya Moskow. Menurut Vilen pada masa itu persatuan penulis Uni Soviet begitu solid. 
''Mereka yang memberikan flat sama dia dan selalu membantu dia,'' terang Vilen.
Mendapat sambutan hangat di Moskow, Utuy menjadi pengajar bahasa Indonesia dan literatur di Institut Asia dan Afrika di Universitas Negeri Moskow.

Description: Grey line
Karya-karya Utuy Tatang Sontani dalam arsipnya di Moskow:

Anjing
Berbicara tentang Drama
Benih
Bukan Orang Besar (drama satu babak)
Di Bawah Langit Tak Berbintang
Di Sanatorium
Kata Pengantar
Kenangan dan Renungan: Mengapa Mengarang, Haru yang Tak Kunjung Kering, What is in a name?
Kolot Kolotok. Sebuah dongeng.
Pemuda Telanjang Bulat. Dongeng Tiga Malam
Tumbuh
Description: Grey line

Nusantara, sebuah perkumpulan akademisi dan ilmuwan yang mempelajari kawasan penutur bahasa Melayu, dua kali menggelar pertemuan antara Utuy dengan masyarakat Rusia.
''Acara tersebut diiklankan dengan poster besar dan digelar di ruangan yang besar sekali untuk dua sampai tiga ribu orang. Di situ dia membacakan karya-karya barunya,'' urai Vilen.
''Kami berusaha membujuk dia untuk terus menulis."

Drama yang tercecer

Vilen mengingat Utuy sebagai sosok yang selalu 'berusaha mempertahankan kepribadian tanpa ingin mengganggu orang lain'.
''Dan, kalau boleh juga membantu orang lain. Itulah yang terpokok dari dia.''
BBC INDONESIA: Utuy salah satu yang pertama dimakamkan di bagian pekuburan Muslim Mitino. Secara administrasi, dia juga berada dalam daftar orang terkenal yang dimakamkan di sana.

Profesor di Universitas Negeri Moskow tersebut menyebut kepribadian Utuy 'agak menyerupai' tokoh dalam novel Tambera.
''Di sana juga ada tokoh Kawisa yang seperti Aidit, orang yang juga ia kenal baik.''
Utuy berangkat ke Beijing, karena melihat ada kesempatan berobat di sela mengikuti pertemuan penulis di sana.

''Saat Utuy meninggal, Kuslan (Budiman) yang telepon saya,'' kata Vilen.
''Saya bilang tidak mungkin. Sudah coba pakai kaca (didekatkan ke hidung Utuy)? Sebab, kalau masih bernafas, paling tidak berembun sedikit.''

Utuy meninggal sepekan sesudah keluar dari rumah sakit. 
''Penyakitnya jantung,'' ungkap Vilen. ''Hadir kira-kira 50 orang di pemakaman. Banyak sekali orang.''
Adapun, karya-karya peninggalan Utuy diserahkan Vilen ke Ajip Rosidi dan Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin untuk diterbitkan.
''Saya tidak serahkan ke pemerintah Indonesia, sebab waktu itu masih zaman Suharto. Itu tidak mungkin.''
BBC INDONESIA: Profesor Vilen Sikorsky membawakan bunga ke pusara Utuy Tatang Sontani pada hari lahirnya 13 Mei.

Namun, karya Utuy Tatang Sontani dalam tulisan aslinya masih disimpan oleh Vilen, yang kini usianya sudah lebih dari 80 tahun.
''Saya akan berusaha melalui kedutaan barangkali, untuk menyerahkannya ke Indonesia.''
Karya-karya tersebut yaitu tulisan Utuy selama di Moskow dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia yaitu Kolot Kolotok dan Pemuda Telanjang Bulat. 
"Karyanya yang ketiga belum selesai, ditulis ketika dia berada di sanatorium. Dia menulis catatan kehidupannya, terutama tentang seorang perempuan Spanyol. Dia banyak menulis di sana, tapi ini semua belum selesai.''
Seberapa penting tempat Utuy di zaman ini? Menurut Vilen, karya-karya Utuy 'mengandung ciri-ciri untuk semua waktu'. Yaitu, ciri kemanusiaan.
''Yang jelas Indonesia harus mengingat dia. Dia penulis yang menonjol,'' kata Vilen yang membawakan empat kuntum anyelir ke nisan Utuy Tatang Sontani, tepat di hari lahirnya 13 Mei lalu -menandai ulang tahun Utuy ke 98 tahun.
Sumber: BBC Indonesia