Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Senin, 05 Juni 2017

Literasi Tak Sekadar Baca-Tulis

Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid menjadi pembicara dalam Diskusi Literasi yang digelar Tempo Institut, Senin 5 Juni 2017. 

Penulis : 
Benjamin Tukan 

JURNALTIMUR.COM,- Literasi yang sekarang banyak menjadi perhatian komunitas ternyata tak sekadar persoalan minat baca dan menulis, dan tidak berhenti hanya memperlapang akses terhadap bacaan. 

Di tengah membanjirnya informasi yang didukung dengan kemajuan teknologi informasi, persoalan literasi mesti terarah pada kemampuan menciptakan dan mendistribusikan pengetahuan, hingga pengetahuan itu dapat bermanfaat bagi ekonomi berkeadilan.

Perhatian terhadap literasi pun mesti melihat perkembangan yang terjadi di sekolah terutama dalam perkembangan bacaan untuk anak-anak. Lingkungan sekolah dan peran komunitas dalam masyarakat dipandang sangat penting menumbuhkan budaya literasi.

Pendapat ini mengemuka dalam diskusi yang digelar Tempo Institut di Gedung Tempo, Jakarta, Senin (5/6/2017). Diskusi  bertajuk "Dunia Literasi Kita: Dampaknya bagi Ekonomi Berkeadilan” dipandu Direktur Eksekutif Tempo Mardiyah Chamim. 

Narasumber dalam diskusi ini Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Sosiolog Imam Prasodjo, Pemerhati Sastra Murti Bunanta dan Afi Nihaya Faradisa. 

Hilmar Farid mengatakan masalah literasi bukan lagi masalah akses. Anak-anak habis watunya untuk membaca pelajaran dan problem pendidikan yang paling mendasar adalah jumlah pelajaran. 

"Mungkin full day school yang sebetulnya jadi jawaban karena yang diinginkan adalah menambah waktu belajar mengurangi pelajaran. Dengan begitu, anak-anak lebih banyak punya waktu berinteraksi dengan sesama dalam urusan pengembangan diri,"kata Fay sapaan Hilmar Farid. 

Menurut Fay, anak-anak sekarang banyak yang stress karena selama ini beban pelajaran yang terlalu banyak dipundak. "Itu beban dan saya kira itu sudah menjadi pengetahuan umum," kata pemikir kebudayaan ini. 

Menurutnya, dalam implementasi pendidikan di sekolah, kecendrungan menyelesaikan teknis sangat kuat dengan variasi di setiap satuan pendidikan. Karena itu dalam hubungan dengan literasi, sarannya, satuan pendidikan mesti terhubung dengan aktivitas literasi. 

Dia menyebutkan, sekarang ada gerakan gerakan literasi nasional  yang dikerjakan Dirjen PAUD yakni menggabungkan kreativitas literasi dengan satuan pendidikan. 

Dia mengakui, walau bukan ahli dalam perkembangan pendidikan anak, Indonesia perlu mempunyai kanon yang mencantumkan karya yang kita anggap pantas harus dibaca seoran anak selama masa sekolah, minimal dalam 12 tahun. 

Minat terhadap membaca mesti semacam kewajiban untuk membaca, memberikan landasan yang sama agar minat bisa tumbuh, walau sebetulnya tidak semua pekerjaan memerlukan membaca.

"Rasanya sekarang ini dibandingkan 20 tahun lalu, minat baca tidak turun. Anak remaja sekarang dengan tablet disuguhkan literasi yang menggabungkan image, bunyi menjadi satu. Proses literasi tidak bergantung dengan aksara. Apakah ini kurang literasi dengan sebelumnya saya kira tidak.  Digital leterasi menjadi besar. Anak-anak sudah instingtif," katanya. 

Dengan perkembangan teknologi digital, dia menyarankan agar masyarakat terus memperbaharui kemampuan literasi dengan tidak pandang usia dan pendidikan. 

Afi Nihaya Faradisa mengakui anak-anak sekolah sekarang dibebani dengan banyaknya pelajaran. "Di sekolah 16 subyek mata pelajaran yang harus dituntaskan. Jika tidak meraihnya, nilai kita tidak tuntas. Waktu untuk membaca tidak ada kalau tidak meluangkannya,"kata Afi. 

Menurut Afi, anak-anak atau teman-teman seusianya tidak tertarik dengan bacaan-bacaan lain di luar bacaan pelajaran, karena yang dianggap buku adalah buku pelajaran. Dia menyarankan agar pemerintah dapat mengurangi pelajaran dan sekolah lebih mengarahkan perhatian pada menumbuhkan minat baca. 

Pemerhati Sastra Murti Bunanta mengatakan belum ada perhatian yang serius terhadap bacaan anak-anak termasuk masih minimnya kritikus sastra anak. 

Sementara Sosiolog Imam Prasodjo mengatakan literasi harus masuk pada soal pengemas dan pendistribusian pengetahuan. Pengemas pengetahuan memerlukan kerja tersendiri, Dari pengetahuan baru kemudian dapat digunakan untuk menjawabi kebutuhan termasuk dalam bidang ekonomi.***

http://www.jurnaltimur.com/2017/06/literasi-tak-sekadar-baca-tulis.html