Ketoprak Dangsak

Pentas Ketoprak Dangsak "Reksa Mustika Bumi" kolaborasi Cepetan Alas dengan Ketoprak. Pentas ini digelar DKD Kebumendi PRPP Jateng [Foto:AP]

Lengger Banyumasan

Pementasan seni tradisi lengger dari Dariah; tokoh legendaris"Lengger Banyumasan"

Suro Bulus, Parodi Satire Ketoprak Rakyat

Lakon carangan "Suro Bulus" yang merupakan manifestasi perlawanan masyarakat tradisi terhadap kejahatan korporasi tambang

DRAS SUMUNAR, Tetet Srie WD

Pagelaran "Serat Dras Sumunar" karya Tetet Srie WD di Roemah Martha Tilaar Gombong

Dewa Ruci

Pentas wayang dengan lakon "Dewa Ruci" dalam Festival Dalang Anak di Banjarnegara. Tiga dari empat dalang cilik Kebumen sabet juara [Foto:AP]

Minggu, 22 Oktober 2017

Golek Menak dalam Belantara Modernitas


Birul Sinari-Adi - October 22, 2017

Salah satu adegan Pementasan Semuan Joged Mataram “Pastha Anglari Pasthi” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (19/10/2017). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Munculnya berbagai genre seni pertunjukan di Jawa, tercatat, tidak terlepas dari adanya pengaruh proses interaksi sosial dan budaya setempat dengan kebudayaan lain.

Hal itu diungkap saat acara Sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas” dan Pentas Tari “Pastha Anglari Pasthi”, Kamis (19/10/2017) di Bentara Budaya, Jakarta, Jalan Palmerah Selatan 17, Jakarta.
  
Sarasehan menghadirkan Bambang Pudjasworo, Dosen Seni Tari ISI Yogyakarta, dan Nungki Kusumastuti, Pegiat Seni, sebagai pembicara, serta Adi Wicaksono sebagai moderator.

Menurut Bambang, salah satu genre pertunjukan itu adalah Wayang Golek Menak. Jenis pertunjukan wayang dan juga dramatari Jawa ini menggunakan materi dramatiknya dari cerita Menak. Sementara cerita Menak adalah karya fiksi yang bersumber pada karya sastra dari kebudayaan lain. Yang berkembang dan  menyebar di kawasan Asia Tenggara.

Para pembicara sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas”, di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (19/10/2017). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)
“Ada tulisan dari salah seorang peneliti Belanda, van Rinkel, itu mengatakan bahwa yang menyebar itu adalah versi Amir Hamzah, yang dari Persia. Yaitu yang kemudian dikenal atau yang tertulis dalam kitab Qissa I Emr Hamza itu,” kata Bambang.
Kitab yang ditulis pada masa Sultan Harun Ar Rasyid (766-809 M) tersebut sampai di kawasan Asia Tenggara dibawa oleh para pedagang muslim Persia. Dan mempengaruhi khasanah sastra Melayu, dengan munculnya wiracarita Hikayat Amir Hamzah. Hikayat ini merupakan cerita Menak versi Melayu, yang lantas tersebar ke Jawa, Bali, Lombok, hingga Makasar.

Menariknya, persebaran itu diikuti oleh proses enkulturasi. Hikayat yang berasal dari Persia kemudian terinternalisasi ke dalam lingkungan budayanya yang baru dan bahkan dianggap telah menjadi milik dari lingkungan budaya itu.

Lebih jauh, terjadi tafsir ulang dan penyesuaian dengan lingkungan budaya, pandangan hidup, dan kepercayaan masyarakat setempat. Karena itu, tidak mengherankan, ada banyak versi mengenai cerita Menak. Seperti yang berkembang di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Lombok, dan Bugis.
“Itu juga yang terjadi di Jawa. Setelah sekitar tahun 1715 itu (Hikayat Amir Hamzah) ditransliterasi ke dalam Serat Menak oleh Carik Narawangsa (Narawita). Dan kemudian oleh Yasadipura, kemudian digubah dalam bentuk tembang, lalu diterbitkan Balai Pustaka. Maka kebudayaan mengenai Menak ini menjadi semakin luas,” ungkap Bambang.
Bambang Pudjasworo sebagai pembicara sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas” tengah memberi contoh gerakan tari Menak. (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Serat Menak versi Yogyakarta digubah oleh Raden Ayu Purbaningrum yang ditulis sepanjang 148 jilid. Lebih lengkap daripada versi Yasadipura. Memuat  kisah mulai dari Menak Lare sampai Pedhang Kangkam Pamor Kencana (kisah anak keturunan Iman Suwangsa).

Proses enkulturasi dan transliterasi membuat kisah atau Hikayat Amir Hamzah mengalami penyesuaian dengan budaya Jawa. Hal ini terlihat dalam penyebutan nama para tokoh dan latar tempat terjadinya cerita.

Nama Amir Hamzah menjadi Amir Ambyah atau Wong Agung Menak Jayengrana. Ammar ibn Omayya menjadi Umarmaya. Buzurch Mihr menjadi Betal Jemur. Adi Ma’dikarab menjadi Jemblung Umar Madi. Dan, Mihr-Nigar menjadi Dewi Muninggar, Unekir menjadi Dewi Adaninggar.

Sementara, nama tempat seperti Mekah menjadi Puser Bumi. Akko menjadi Parang Akik, dan Medain menjadi Medayin. Sekadar untuk menyebut beberapa contoh.

Karakter tokoh juga mengalami penyesuaian dan disamakan dengan karakter tokoh pewayangan Jawa. Misal, Amir Ambyah atau Jayengrana disamakan dengan Arjuna atau Panji. Dewi Muninggar disamakan dengan Dewi Sumbadra atau Dewi Sekartaji.

Sebagai sastra lisan, cerita Menak sebenarnya telah dikenal oleh masyarakat Jawa jauh sebelum tahun 1715.  Atau sebelum proses transliterasi oleh Carik Narawita di masa Paku Buwana I di Kartasura.

Di dalam makalahnya yang berjudul “Tari Golek Menak Dalam Dialektika Perkembangan Tari Gaya Yogyakarta”, Bambang mengungkapkan bahwa di dalam Serat Sastramiruda disebutkan wayang golek Menak sebagai hasil kreasi Sunan Kudus pada tahun 1506 untuk kebutuhan syiar agama.
“Pengertiannya adalah bahwa ternyata Menak mungkin sudah berkembang sebagai sastra lisan pada waktu itu,” kata Bambang yang juga biasa dipanggil dengan nama Bambing.
Dengan kata lain, Sunan Kudus memanfaatkan cerita Menak yang sudah dikenal oleh masyarakat Jawa dalam bentuk sastra lisan dengan cara menciptakan wayang golek Menak  untuk kebutuhan syiar agama Islam di Jawa.

Menurut Bambang, semenjak proses transliterasi itu wayang golek Menak menjadi semakin popular di kalangan masyarakat Jawa, baik sebagai seni pertunjukan istana (keraton) maupun sebagai seni pertunjukan rakyat yang berkembang di desa-desa.

Pada awalnya wayang golek Menak berkembang di daerah pesisir Utara Pulau Jawa, lantas menyebar ke daerah Tegal, Cirebon, dan Banyumas. Pertunjukan wayang golek Menak menggunakan boneka wayang dari kayu, dan dimainkan tanpa kelir. Seperangkat gamelan Jawa berlaras slendro dan pelog menjadi pengiringnya.

Ketika kekuasaan Majapahit beralih kepada penguasa Islam pada abad XVI, dan kesusastraan Hindu Jawa semakin merosot, maka cerita Menak semakin popular di kalangan masyarakat Jawa. Dan, menginspirasi lahirnya beberapa genre seni pertunjukan Jawa, seperti wayang golek Menak, Jabur, Panjidur, Srandhul, wayang wong Menak, Srimpi dan Bedhaya dengan lakon Menak.

Sebelum wayang wong Menak diciptakan, di Keraton Yogyakarta cerita Menak memang sudah digunakan sebagai sumber materi dramatik tari Bedhaya dan Srimpi. Misal, tari Bedhaya Sinom karya HB VIII, yang mengisahkan pertempuran antara Dewi Adaninggar dan Dewi Kelaswara.
“Nampaknya internalisasi dari ajaran-ajaran Menak memang sudah merasuk di dalam alam pikiran Jawa masa itu. Dan kemudian terekspresikan dalam bentuk-bentuk seni pertunjukan,” ujar Bambang yang selama sarasehan juga memberi contoh gerakan tari Menak.
Wayang wong Menak adalah dramatari istana Jawa yang  merupakan ciptaan (yasan nDalem) Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1941.
“Tampaknya cerita Menak ini berkembang dan kemudian mempengaruhi atau menjadi sumber inspirasi untuk munculnya wayang golek Menak dalam pengertian wayang golek kayu itu. Ini menjadi sesuatu hal yang sangat menarik dan kemudian menginspirasi Sri Sultan HB IX untuk menciptakan sebuah drama tari yang berbeda dengan drama tari yang pernah diciptakan oleh ayahnya atau kakeknya,” tutur Bambang.
Suasana di ruangan sarasehan “Golek Menak Dalam Belantara Modernitas”, di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis (19/10/2017). (KerisNews.com/Birul Sinari-Adi)

Mengawali proses penciptaannya, Sultan HB IX mengundang Ki Widiprayitno. Seorang dalang wayang golek Menak dari Sentolo, Kulon Progo. Saat itu Ki Widiprayitno lantas mendalang wayang golek Menak di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta, disaksikan Sultan HB IX dan para guru tari.

Setelah itu berhasil diciptakan satu dramatari baru di Keraton Yogyakarta. Yaitu Wayang Wong Menak. Namun Sultan HB IX belum puas. Setelah 45 tahun kemudian, HB IX meminta agar gerak tari, gendhing, kostum, dan karakterisasi peran Wayang Wong Menak disempurnakan.
“Maka kemudian dikumpulkanlah para budayawan, akademisi, para seniman dari berbagai cabang seni untuk membicarakan masalah golek Menak itu. Dan itu adalah suatu kerja yang besar. Yang kemudian Sultan sebagai raja turun sendiri untuk menangani proses kreatif dalam penciptaan golek Menak,” cerita Bambang yang menjadi bagian dari tim yang memproses penyempurnaan wayang wong Menak pada tahun 1989.
Proses penyempurnaan wayang wong Menak (tari Golek Menak) berlangsung selama dua tahun lebih. Dan diwujudkan pada tahun 1989 dalam satu pergelaran wayang wong Menak dengan lakon “Kelaswara Palakrama”, di Bangsal Kepatihan Yogyakarta.

Di dalam penyempurnaan wayang wong Menak tahun 1989, dimasukkan gerak pencak dari Minang, dan tendangan Sunda. Jadi tidak hanya menggunakan tendangan Jawa.
“Kemudian ditetapkan satu karakterisasi di dalam golek Menak yang mengacu karakterisasi wayang wong,” kata Bambang yang di dalam makalah sarasehan juga mengungkapkan nilai ajaran dan asketisme dalam cerita Menak.
Menurut Bambang, HB IX menciptakan wayang wong Menak sebagai suatu culture identity, yang menjadi penanda masa pemerintahannya. Penyempurnaan garap dan masa keemasan wayang wong terjadi pada era HB VIII. Maka identitas budaya yang menjadi penanda HB IX adalah Wayang Wong Menak (wayang wong golek Menak).

Sementara Nungki Kusumastuti, pembicara lain, melihat perubahan gerak dan ide koreografi pada wayang golek Menak sebagai luar biasa. Meski tetap ada pakem-pakem yang dipegang dalam tari Jawa Yogyakarta, ia menganggapnya sebagai karya tari baru yang berangkat dari tari lama.

Sarasehan merupakan kerjasama Bentara Budaya Jakarta dengan Sanggar Tari Surya Kirana, Jakarta. Setelah sarasehan dilanjutkan dengan Pementasan Semuan Joged Mataram “Pastha Anglari Pasthi”, dengan penata tari Tatik Kartini Mustikahari.

*

Kamis, 19 Oktober 2017

5 Kesenian Rakyat Yang Menyuarakan Perlawanan

CatatanMahesa Danu




Kesenian bukan sekedar menghidangkan hibuaran. Lebih penting dari itu, kesenian harus menjadi “penyambung lidah” bagi berbagai persoalan sosial di sekitarnya.

Persis seperti diingatkan oleh WS Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong:
“apakah artinya berkesenian bila terpisah dari derita lingkungan?” 
Kesenian tidak bisa berdiri netral di tengah ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang menindas rakyat-banyak.

Dalam lini waktu perjalanan bangsa ini, tidak sedikit kesenian yang hadir di tengah-tengah perjuangan rakyat tertindas. Dia menjadi senjata efektif untuk memecah kesunyian dan kebisuaan. Dan terbukti, kesenian juga efektif untuk menyadarkan dan menggerakkan rakyat banyak.
Berikut ini lima kesenian rakyat yang kerap menjadi penyambung lidah kaum tertindas:


Ludruk

Ludruk lahir dari rahim berkesenian rakyat Indonesia. Tentang asal-usul Ludruk ini, ada beberapa versi penjelasan. Ada yang bilang ludruk lahir di Jombang. Namun, ada pula yang bilang ludruk dilahirkan di Surabaya. Yang jelas, ludruk lahir di Jawa Timur.

Ada versi yang menyebutkan, ludruk sudah muncul tahun 1890. Penggagasnya bernama Gangsar, seorang tokoh yang berasal dari desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan.

Versi lain menyebutkan, ludruk dipelopori oleh orang bernama Santik, petani dari Desa Ceweng, Kecamatan Goda, Kabupaten Jombang, pada 1907. Waktu itu, Santik bersama dua kawannya, Pono dan Amir, mengamen dari desa ke desa.

Ludruk kemudian berkembang senafas dengan perjuangan rakyat. Tahun 1920an, tokoh-tokoh pergerakan mulai melirik ludruk sebagai sarana penyadaran dan pengorganisasian massa rakyat. Sebut saja: Dr Sutomo dan Bung Karno.

Pada tahun 1933, Cak Durasim mendirikan  Ludruk Organizatie (LO). Kelompok ini aktif menentang fasisme Jepang. Anggotanya sekitar 60-an orang. Setiap pertunjukan mereka diawali dengan kidung jula-juli: bekupon omahe doro, melok Nipon soyo sengsoro (bekupon rumah burung dara, ikut Jepang makin sengsara). Cak Durasim ditangkap dan disiksa oleh Jepang.

Contoh lainnya: Bintang Merah. Kelompok ini berdiri semasa berkobarnya Revolusi Agustus 1945. Pimpinannya adalah Matekram. Ia gugur saat mempertahankan Bojonegoro dari serbuan Belanda. Bintang Merah membangkitkan perlawanan rakyat melalui pementasan di kampung-kampung, pabrik-pabrik, pegunungan, dan lain-lain.

Tak lama kemudian, Bintang Merah berganti nama menjadi “Suluh Massa”. Filosofinya: hiburan adalah obor massa untuk mendekatkan massa dengan revolusi. Dalam membangkitkan semangat revolusioner rakyat, kelompok Suluh Massa mengangkat cerita-cerita rakyat: Pak Sakerah, Sawunggaling, Bontotan Surabaya, dan lain-lain.

Di tahun 1950-an, ludruk makin berkembang pesat. Lahir kelompok-kelompok Ludruk seperti Irama Massa (Banyuwangi), Madju Trisno, Sinar Baru, Suluh Massa (Bojonegoro), dan Marhaen (Surabaya). Ini kelompok ludruk yang berdiri di barisan revolusi.

Namun, pasca peristiwa G.30 S, ludruk agak surut. Banyak pemain ludruk yang dicap PKI. Di bawah Orba, ludruk dipakai penguasa untuk kepentingan mereka.

Dengan bahasa yang sederhana, lugas, dan egaliter, Ludruk bisa menjangkau rakyat banyak. Drama yang diangkat oleh Ludruk terkadang satire dan berbau protes sosial.


Ketoprak

Ketoprak juga lahir dari rahim berkesenian rakyat jelata. Kesenian ini lahir di awal abad ke-20, tepatnya 1922, di era Mangkunegaran. Peralatannya sederhana: lesung, alu, kendang dan suling.

Awalnya, ketoprak berkisah tentang kehidupan rakyat jelata. Juga sarana untuk mengeritik penguasa kerajaan. Namun, gara-gara pernah mentas di Istana, ketoprak sempat diculik sebagai hiburan para bangsawan.

Di masa perjuangan anti-kolonial, ketoprak jadi senjata perlawanan. Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang tokoh pergerakan di awal abad ke-20, menjadi ketoprak sebagai senjata perlawanan, baik untuk menghantam para peodal maupun penguasa kolonial Belanda. Saat itu Dokter Tjipto mengangkat lakon “Ki Agen Mangir” untuk mengeritik penguasa feodal.

Tahun 1933, karena kerap menyuarakan perlawanan rakyat, penguasa kolonial melarang pementasan ketoprak. Penguasa kolonial berdalih, ketoprak bisa memicu kejahatan, pelacuran dan kriminalitas.
Tahun 1937, seniman ketoprak mengorganisasikan diri dalam badan perjuangan, yaitu Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia (Bakoksi). Bakosi terang-terangan mendukung perjuangan kemerdekaan lewat jalan kesenian.

Tahun 1950-an, ketoprak makin populer dan meluas. Banyak seniman ketoprak yang berhimpun di bawah Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra).

Bakosi sendiri sangat dekat dengan organisasi kesenian berhaluan kiri itu.
Karena itu, pasca peristiwa G 30 S 1965, banyak seniman ketoprak yang turut ditangkap, disiksa dan dipenjara. Mereka dicap membawa ketoprak menjadi kesenian komunis.


Reog

Bicara reog, orang akan ingat Ponorogo. Reog memang identik dengan Ponorogo. Dari banyak kisah, kesenian reog memang lahir, tumbuh dan berkembang pesat di Ponorogo.

Konon ceritanya, kesenian reog lahir sebagai bentuk protes alegoris terhadap Raja Majapahit, Brawijaya V. Raja terakhir Majapahit ini menikahi seorang putri dari kerajaan Campa. Masalahnya, Raja Brawijaya V sangat tunduk pada istrinya itu. Itulah yang membuat banyak pengikutnya kecewa.

Salah satunya Ki Ageng Kutu Suryongalam. Namun, untuk melawan Majapahit, kekuatan Ki Ageng Kutu sangat kecil. Karena itu, dia kemudian menggunakan model protes alegoris: singa (Barongan) dikangkangi merak (Dhadhak Merak).

Di masa kolonial Belanda, reog juga hadir sebagai senjata perlawanan. Karena sengitnya perlawanan reog ini, penguasa Belanda mencoba melakukan adu-domba. Tidak hanya itu, Belanda juga mendorong isian pementasan reog lebih ke mistis dan takhyul–terpisah dari kehidupan nyata.

Di zaman Jepang, reog juga ditindas habis, karena dianggap berpotensi mengumpulkan massa. Baru setelah proklamasi kemerdekaan 1945, seniman reog juga menemukan kemerdekaan berkesenian. Reog pun menjadi bagian dari revolusi kemerdekaan.

Di tahun 1950an, jelang pemilu 1955, reog makin populer. Terutama setelah partai politik, terutama PKI, menyadari kemampuan reog dalam memobilisasi massa dalam jumlah besar. Juga untuk menyemerakkan karnaval politik jalanan.

PKI sendiri mengorganisasikan seniman reog ke dalam wadah Barisan Reog Ponorogo (BRP). BRP berkontribusi besar dalam menyemarakkan kampanye-kampanye PKI. Di Ponorogo, PKI menang pemilu.
Namun, lagi-lagi peristiwa G 30 S 1965 menjadi pukulan balik bagi kesenian reog. Banyak yang dicap-PKI. Mereka dikejar-kejar, ditangkap, disiksa dan dibunuh.

Usai 1965, reog bangkit lagi melalui Nahdatul Ulama (NU) dengan nuansa Islami. Kali ini sudah dijinakkan, tak punya roh perlawanan lagi. Belakangan, Golkar juga memanfaatkan kesenian reog untuk mendulam suara di pemilu.

Makin lama reog makin surut dan nyaris tidak mendapat perhatian pemerintah. Hingga, pada tahun 2007, reog diklaim sebagai kebudayaan Malaysia. Baru di situlah kita marah dan sadar kita punya kebudayaan rakyat bernama reog.


Wayang

Wayang juga lahir dari rahim kesenian rakyat Indonesia. Sejarah wayang terbilang panjang. Ada yang menyebut wayang sudah ada sejak 1500 SM. ada juga yang bilang Wayang muncul di zaman raja Airlangga yang memerintah Kahuripan pada 1009-1042 M. Ada juga yang mengaitkannya dengan raja Jayabaya di Kediri.

Awalnya, wayang adalah hiburan rakyat. Namun, sempat dicaplok menjadi budaya feodal. Lantaran itu, wayang dibumbuhi banyak kisah mistis, takhyul dan kisah-kisah heroik para bangsawan.

Namun, pada saat revolusi Agustus 1945, wayang kembali jadi alat perlawanan. Pada 10 Maret 1947, dalam pertemuan Badang Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) di Madiun, Jawa Timur, disepakati wayang sebagai sarana propapanda kemerdekaan.

Inilah yang melahirkan kesenian wayang yang disebut “wayang suluh” atau “wayang merdeka”. Suluh berarti penerangan, pencerahan, atau pembebasan pemikiran rakyat.

Wayang suluh dibuat dari kulit, tetapi sosoknya mengambil tokoh-tokoh pergerakan, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Amir Sjarifuddin, Diponegoro, dan lain-lain. Tema yang diangkat oleh wayang ini adalah tema-tema perjuangan.

Di tahun 1950-an hingga pertengahan 1960-an, wayang berkembang cukup progressif. Lekra, salah satu organisasi seniman kiri zaman itu, berusaha merevolusionerkan wayang dengan menghilangkan unsur-unsur mistisnya.

Wayang kemudian didorong bercerita kehidupan nyata rakyat jelata. Kalaupun ada cerita Ramayana dan Mahabharata, itu sudah didekonstrusi. Ramayana diubah menjadi kisah pertentangan kelas, yakni antara yang tertindas (Rama dan rakyat kera) melawan Rahwana (penindas).

Tahun 2003, wayang dinobatkan oleh UNESCO sebagai maha-karya dunia yang tidak ternilai dalam seni bertutur. Wayang menjadi sumbangsih kebudayaan Indonesia untuk memperkaya kebudayaan dunia.


Lenong

Lenong adalah seni teater rakyat yang lahir di Betawi di sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Ada yang bilang, lenong hanyalah hasil teaterisasi dan pengembangan musik Gambang Kromong. Gambang Kromong adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat musik Tionghoa, seperti Sukong, Tehyan, dan Kongahyan.

Versi lainnya berpendapat, lenong berasal dari pengembangan wayang Abdul Muluk. Kesenian itu sudah dikenal di Sumatera sejak 1886, yang dipengaruhi oleh komedi parsi dan wayang Tiongkok. Wayang Abdul Muluk masuk Jakarta sekitar 1910-an. Nama Lenong sendiri muncul pada tahun 1920-an. Pada saat itu, musik pengiringnya adalah gambang kromong.

Menurut sejarahwan Betawi, Alwi Shahab, kelahiran Lenong tidak bisa dipisahkan dipisahkan dari perlawanan diam-diam terhadap sistem tanam-paksa (cultuurstelsel) Belanda. Kita tahu, tanam paksa melahirkan perlawanan, termasuk di Betawi. Ada tokoh seperti Si Pitung, Si Jampang dan Entong Gendut.

Lenon sendiri ada dua jenis: lenong dines/denes dan lenong preman. Lenong dines mengangkat kisah raja-raja atau bangsawan.

Kalau mentas,  pemainnya menggunakan kostum resmi. Bahasa yang digunakan pun bahasa resmi atau melayu tinggi. Sebaliknya, lenong preman justru mengangkat kehidupan rakyat sehari-hari. Cerita yang diangkat pun adalah cerita-cerita perlawanan rakyat. Kostumnya mengikuti rakyat kebanyakan.

Letak kekuatan Lenon ada di dialognya yang humoris dan kadang satire. Kritik sosial bisa dilontarkan melealui banyolan para pemainnya. Kadangkala Lenong juga mengangkat cerita-cerita pahlawan rakyat, seperti Si Pitung, Si Jampang, Ayub Jago Betawi, Nyai Dasima, dan lain-lain.

Mahesa Danu,