Potret Nakal “Tengsiang”
dan Kelindan Pemilu
FESTIVAL TBRS: Penampilan SRMB pada Festival Pertunjukan Rakyat di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang(28/4). Drama "Jago Tengsiang" dimainkan dalam perform "sampakan" dan mendapat aplaus penonton [Foto: srmb]
Dalam catatan
prolog pementasannya, diintrodusir peran “pengusaha multi-nasional” di bagian
awal narasi “Jago Tengsiang”, sebagai hal menarik karena meskipun bicara dalam
konteks demokrasi elektoral, lakon ini membidik latar belakang dan kait
kelindan yang “bermain” (terminologi:
menunggangi_Red) event pemilu; baik pilpres, pileg maupun pilkada lainnya
di berbagai hierarki politik elektoral formil.
Dengan
kenakalannya, SRMB (Sekolah Rakyat MeluBae) membidik fenomena latar belakang ini pada lakon drama yang
dimainkannya. Lakon yang mengandalkan Pekik Sasinilo, Pitra Suwita, Darmawan “Dalwan”
Riadi, Daryono Cengkim; sebagai pemerannya ini cukup menggelitik. Pentas ini
juga dikompilasi dengan tarian oleh Septian Sukmaningrum, Esti Kurniawati, Ari
Setyowati, Vera dan Wiwied; yang menghangatkan ghirah panggungnya.
Sedangkan di sisi
panggung lainnya ada pengiring Toro Mantara, Nurokhim, Dodi “Dodot”
Suryohandaru, Sujatmiko, Bandiyo Sriyono dan Sutarjo yang kejibah mengawaki aspek koreografinya.
Untuk narasi
lakon “Tengsiang” sendiri merupakan rangkum pemikiran kolektif para pegiatnya
sejak beberapa tahun sebelumnya. Secara naratif telah mengalami setidaknya 3
kali restorasi pada waktu serta pementasan terpisah. SRMB sendiri berdiri sejak
13 januari 2013 lalu, pada awalnya tekun mengeksplorasi dunia sastra dengan
mengolah pertunjukan musik puisi. Namun juga membuka kelas-kelas seni
pernafasan, dasar teater dan olah spiritual berkesenian lainnya.
Sedikit Tinjauan Kritis
Dalam konteks kepemiluan,
ditinjau sampai pada derajad tertentu, telah diasumsikan sebagai cara rejim
dalam mereduksi problem mendasar rakyat yang sesungguhnya; yang butuh jawaban
konkret melalui kebijakan politik yang (akan) dihasilkannya. Bagi SRMB, ritual politik
elektoral ini begitu menghipnotis harapan dan pelibatan banyak orang.
Namun sebagian
diantara banyak orang itu menilai politik elektoral dengan pendekatan skeptis
dan karenanya muncul fenomena golput yang
makin menguat. Fenomena ini
menggejala dan tumbuh seiring perilaku politis yang kian menjauh dari timbangan
moral dan etika; termasuk di dalamnya praktik korupsi yang sistemik dan membudaya.
Disebut sistemik
karena dalam konteks kepemiluan yang prosedural dan “mahal” (Baca: boros_Red) itu, banyak
kepentingan menungganginya, tetapi semua dengan memunggungi tujuan sejati atas
rejim politik bernama pemilu dan yang akan berekses pada hasil-hasilnya. Dalam
narasi “Jago Tengsiang”, latar belakang ini justru dipresentasikan sejak awal
pentasnya. Bahwa semua ini penting dipahami oleh masyarakat pemilih dalam
konteks pemilu cerdas; itu satu problem konten pementasan.
Di sisi yang
lain, bagaimana menjadi seorang kritis, baik sebagai
pelaku maupun sebagai penonton pementasan; ini substansi. Seorang yang kritis
itu artinya menjadi seorang yang peka berdasarkan nalar rasional. Sehingga
dengan rasionalitasnya itu, maka terbangun keberanan untuk berkata yang buruk
memang harus dibilang buruk; dan juga sebaliknya.
Pengabaian terhadap realitas sosial yang
gagal dipahami rejim pilkada, selain hanya sebagai pemenuhan formal politik
elektoral, telah dengan susah payah dirangkai menjadi narasi pentas. Dalam
konteks ini, drama “Jago Tengsiang” tak berlaku menggurui penontonnya... [ap]