Ais Nurbiyah al-Jum'ah | 23 Februari 2018
DULU dan mungkin hingga hari ini kita
masih sering mendengar istilah sastra rendah dan sastra tinggi, sastra serius
dan sastra tidak serius. Apakah pengistilahan semacam itu masih relevan atau
cocok dipertahankan hingga hari ini?
Suatu waktu Seno Gumira Ajidarma (SGA)
ditanyai perihal sastra serius dan sastra tidak serius tersebut. Bagi SGA,
istilah itu seharusya sudah tidak digunakan lagi apalagi jika terus dijunjung
tinggi hingga hari ini.
Selama ada penggunaan istilah sastra
rendah dan sastra tinggi, maka pembaca akan selalu dan terus berjarak dengan
sastra. Sastra sepatutnya menjadi gambaran realitas manusia, tidak lagi
dianggap sebagai bacaan yang hanya bisa dimengerti dan boleh dibaca oleh yang
dianggap mengerti sastra saja.
Bahwa permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat pembaca ketika disodorkan oleh bacaan sastra memang masih ada.
Setidaknya untuk mengungkap itu, saya menarik paham Seno bahwa ada tiga mitos
sastra yang harus dihancurleburkan.
Pertama, karya (anggaplah) sastra yang
merupakan hasil curhatan. Karya sastra tidak lagi klise, karya sastra berangkat
dari lapisan-lapisan makna untuk menjadi tematik baru yang perlu dibedah dan
dianalisis menjadi karya baru lagi. Tidak bisa dipungkiri, buku demikian yang
keberadaannya kerap kali menganggu ketika berkunjung ke toko buku dan “mereka”
berada di rak buku best seller.
Kedua, tulisan yang mendayu-dayu dan
penuh keambiguan metafora. Saya sering menjumpai paling tidak setiap kita
minimal sekali pasti pernah menemukan tulisan-tulisan yang penuh dengan
ungkapan perasaan (mendayu-dayu) tetapi dimanipulasi dengan penggunaan metafora
agar terlihat sastrawi. Sepertinya karya semacam itu terus eksis, menemui
banyak pembaca, dan keuntungan bagi penerbit.
Ketiga, tulisan berisi pedoman hidup.
Teks yang diklaim sebagai bacaan “sastra” yang berisi kata-kata mutiara dan
motivasi. Tulisan penuh dengan pengguruan, entah dari bangsa dan zaman apapun,
kita pastinya tidak suka jika digurui.
“Kalau saya jadi juri dan menemukan ada karya yang diawali dengan doa dan puji syukur itu akan saya buang lebih awal tanpa membaca isinya,” ungkap SGA.
Tiga mitos sastra tersebutlah yang harus
dihancurleburkan. Dimana keberadaannya justru diminati banyak orang. Apakah
negara kita tidak hanya rendah dari segi kuantitas tapi juga kualitas bacaan?
Sepertinya kita masih terhenti pada pembacaan teks bahasa di permukaan.
Bagi saya, karya yang baik adalah karya
yang bisa melahirkan karya yang baru, terus mengalami eksistensi. Begitupun
dengan karya asing yang diterjemahkan oleh beberapa penerbit patut diapresiasi
sebagai perjalanan panjang kesusastraan Indonesia.
Bahwa karya sastra yang baik ibarat
sebuah bunyi yang memiliki gema ketika dilantunkan. Karya sastra menurut pakar
dan kritikus sastra Melanie Budianta sastra memiliki fungsi yang signifikan. Ia
dapat berfungsi sebagai pembangunan kesadaran satu kelompok, dari yang paling
kecil hingga regional dan global. Ia dapat menyuarakan aspirasi masyarakatnya
untuk menggugat atau mengubah posisi dalam hubungan kekuasaan antara yang
lokal-nasional-regional maupun global.
Sastra berpotensi baik untuk menunjukkan
adanya masalah dalam hubungan antarkelompok – dari prasangka yang dimunculkan
melalui stereotip dan penggambaran konflik yang ada- maupun untuk membukaan
pemahaman lintas budaya dengan penekanan pada solidaritas, empati dan
kebersamaan.
Karya sastra juga berperan untuk
menawarkan perspektif alternatif dengan memandang persoalan dari sudut yang
tidak lazim atau dengan memecahkan kebekuan antarkelompok melalui konsep
hibriditas dan kemajemukan.
Dalam semua perannya itu, sebuah karya
sastra tidak muncul begitu saja dalam keadaan vakum. Ia lahir dari suatu
masyarakat yang menciptakan ruang gerak tertentu bagi kesusteraan melalui
kebijakan budaya, politik, bahasa, dan birokrasi kesenian.
Sastra bisa didukung atau dihambat oleh
kekuatan negara-negara dan mendapatkan daya hidupnya dari aktivitas para
pengarang berikut komunitas-komunitas sastra yang hidup pada zamannya. Dinamika
yang pesat dalam hubungan lokal-nasional-regional dan global dalam era
globalisasi menuntut semua pihak yang berkepentingan dalam kesusasteraan untuk
senantiasa mengkaji ulang kebijakan budaya yang selama ini dianutnya.
Perkembangan lintas-budaya di abad ke-21
menuntut ruang gerak yang luas untuk menghargai keragaman sambil tetap
meneguhkan kebersamaan untuk hidup di dunia yang semakin sempit dan semakin
ramai.
***
Budaya membaca bangsa Indonesia memang sangat rendah, setidaknya beberapa
penelitian mengungkapkan hal itu. Tapi bukan berarti mengalami kemunduran.
Belakangan, proyek atau gerakan berliterasi semakin berkembang dan berekspansi
melalui kebijakan pemerintah juga. Tidak hanya melulu melalui komunitas atau
klub buku yang digagas anak muda.
Maka kita bisa melihat hal itu sebagai
ikhtiar untuk meningkatkan budaya membaca kita. Katakanlah dibentuknya Pustaka
Bergerak yang hampir seluruh tempat di Indonesia telah memilikinya. Bahkan sampai
di tempat terpencil Indonesia. Hal itu didukung oleh program pemerintah:
Program mengirim buku gratis.
Kini membaca tidak hanya soal kebutuhan,
kebiasaan, tapi juga tren atau gaya hidup. Kita melihat sangat banyak klub buku
bermunculan, kafe baca, diskusi buku hingga menulis.
Dari seluruh pembaca di Indonesia, lima
persennya adalah pembaca sastra. Artinya dari 100 pembaca buku hanya ada 4-6
orang yang membaca buku sastra. Sastra yang terbacapun seperti yang saya bahas
sebelumnya berkutat di tiga mitos sastra itu. Sangat menyedihkan memang tapi
kita masih tetap bisa memilih entah seburuk apapun respondnya.
Source: Locita.Co
0 komentar:
Posting Komentar