Kamis, 15 Februari 2018
04:00 - Reporter : Abdul Aziz
Maestro seni tradisi Lengger Lanang Banyumas, Dariah semasa hidup..
©2018 Merdeka.com
Sepekan sebelum dijemput ajal, maestro seni tradisi
Lengger Lanang Banyumas, Dariah, tiba-tiba menyebut nama Dewi
Sekar Melati. Nama itu terdengar asing di telinga seluruh anggota keluarga yang
tengah berkumpul di dalam kamar Dariah. Di masing-masing benak mereka, timbul
tanda tanya serta ketidak pahaman.
Waktu itu, matahari pagi mulai terasa panas di Dusun
Gelaran Desa Plana Kecamatan Somagede. Pada cucunya, Nur Kholifa (40), Dariah
mengulurkan tangan memberi sebatang kunci yang ia ambil dari lilitan centing
(stagen). Dariah meminta tolong, agar Kholifa membuka laci di dalam almari.
Untuk pertama kalinya sepanjang hidup mereka, setiap
anggota keluarga melihat isi lemari milik Dariah. Tak ada yang mengherankan,
hanya tumpukan-tumpukan pakaian. Tapi ketika laci dibuka terlihat
buntalan kain, di dalamnya tersimpan 3 batu kecil warna hitam.
Meringkuk di ranjang, Dariah meminta agar buntalan kain
beserta isinya dibuang hari itu juga ke sungai. Dariah juga berpesan, sebelum
dibuang, Kholifa mesti berujar dalam hati bahwa pemiliknya sudah tak sanggup
merawat lagi Dewi Sekar Melati. Permintaan yang menimbulkan keheranan, tapi
dituruti oleh Kholifa tanpa bertanya.
"Kami sekeluarga tidak pernah tahu uwak (panggilan untuk kakak ayah atau ibu) menyimpan barang itu. Mungkin jimat. Uwak selama ini selalu membawa kunci lemari itu ke manapun," kata Nur saat ditemui merdeka.com di kediaman Dariah, Selasa (13/2).
Asal usul buntalan berisi batu itu tetap jadi misteri
yang dibawa Dariah sampai ia berpulang pada Senin (12/2) dini hari pukul 01.00.
Ia tutup usia pada umur 97 tahun. Bernama asli Sadam tapi lebih akrab disapa
Dariah, ia sejatinya berjenis kelamin laki-laki.
Tetapi dalam kesehariannya sejak ia memutuskan jadi
lengger selalu berpakaian selayaknya perempuan.
Kholifa lantas melanjutkan cerita, sejak buntalan kain
itu dibuang, ia melihat ada perubahan pada sosok Dariah. Jika sebelumnya Dariah
nampak berperilaku selayaknya perempuan, menjelang kematiannya ia kembali
sebagai lelaki. Kholifa sulit untuk menjelaskan persis, tapi ada perubahan
dalam karakter suara juga perangai yang tak lagi luwes seperti biasa.
"Mungkin saja, Dewi Sekar Melati itu indangnya (roh lengger) uwak. Setelah dibuang, uwak sudah terasa pasrah dan tak punya beban lagi," ujarnya.
Tindak tanduk Dariah selama ini, diceritakan menantunya,
Sunu Sumarto (60) memang tak pernah bercerita tentang benda-benda gaib. Jika
pun akan pentas melengger diundang ke suatu tempat, kebiasaan Dairah yang ia
amati yakni berdoa di luar rumah. Ia biasanya berdiam diri sesaat, komat-kamit,
dengan bergantian menghadap pada empat penjuru mata angin
atau kiblat papat lima pancer sebagaimana disebut Dariah.
Mertuanya itu juga tak pernah menyinggung menyimpan
benda-benda tertentu di dalam rumah. Ia lebih sering terlihat merawat sanggul,
baju, selendang, jarik dan aksesori perhiasan untuk melengger yang lantas
disimpan rapi dalam tas. Suasana yang paling khas dan bakal sulit dilupakan,
Dairah kerap melantunkan tembang-tembang Jawa di dalam kamar.
"Uwak memang amat hati-hati jaga barang. Orang lain enggak boleh menyentuh. Piagam penghargaan dan buku dari pemerintah sampai ia keloni," ujarnya mengenang.
Tapi ada keyakinan di dalam diri Sunu, bahwa mertuanya
memang punya kelebihan. Ia mencontohkan bila menemani mertuanya ke tanggapan
lengger selalu kewalahan, sebab berjalan kaki dan
memanggul bawaan.
Dari cerita-cerita yang ia dengar, Dariah di masa
remajanya juga kerap berkelana menimba ilmu lengger ke tempat-tempat yang
dikeramatkan.
"Dia itu memang mendapatkan indang. Sejak kecil ia sudah pandai menari, luwes melebihi perempuan," ujar Sunu.
Lengger sendiri, menurut peneliti seni tradisi, Sunaryadi
dalam buku Lengger Tradisi & Transformasi (2000. ISI Yogyakarta) mengatakan
ada dua kemungkinan timbulnya kesenian lengger. Ada yang menyebut kesenian ini
berasal dari daerah Jatilawang di Banyumas dan sebagian lain menyebut berasal
dari Mataram masuk ke Kalibagor Banyumas tahun 1755.
Lengger sendiri meski ada perbedaan istilah di
masyarakat, hal yang hampir seragam merujuk pada seni tari yang di atas
panggung seakan-akan dimainkan penari perempuan tapi sebenarnya laki-laki.
"Dikira leng ning jengger, dikira lubnag tetapi jengger, dikira perempuan ternyata laki-laki," tulis Sunaryadi dalam bukunya.
Di kehidupan kesenian Lengger, memang pernah ada kepercayaan
terhadap hal-hal supranatural. Semisal syair tembang, yang lebih tepat disebut
mantra untuk mendatangkan roh halus sebelum pementasan dimulai. Di pementasan
lengger sendiri juga dikenal pola lantai berpedoman kiblat papat lima pancer,
konsep alam yang dikelilingi samudera dan pulau di empat penjuru sebagai tempat
tinggal yang dikeramatkan.
Untuk menjadi lengger sendiri, selain berguru ada yang
disebut memperoleh indang. Dijelaskan Sunaryadi, mendapat indang seseorang bisa
melakukan tarian dan menembang tanpa belajar. Jika indang lengger telah masuk ke dalam raga seseorang, maka tidak ada
yang dapat menolaknya. Ini berarti anak tersebut
memang digariskan menjadi lengger.
Mendiang Dariah adalah sosok yang dipercaya mendapat
indang dan digariskan nasibnya menjadi lengger. Dariah sendiri sepanjang
hidupnya memang terbukti menghayati kesenian lengger begitu dalam dan tak
pernah berhenti menari dan menembang sampai ajal mendekat.
Indang yang dimaksud mungkin saja adalah Dewi Sekar
Melati yang ia sebut-sebut di akhir hayat, tak ada kejelasan yang pasti,
misteri itu tetap dipendam oleh Dariah. [cob]
0 komentar:
Posting Komentar