(Denny JA Tidak pula Insyaf)
February 13, 2018
Oleh Hikmat Gumelar*)
Denny Januar Ali
(DJA) tidak pula insyaf. Terhadap proyek puisi esai yang dia akui
direkayasanya, ditembakan berbagai kritik dari berbagai kalangan dan dari
berbagai penjuru di tanah air kita. Dan ini terus berlanjut setiap hari hingga
kini dari sejak proyek penerbitan 34 buku puisi esai yang serba dibayar itu
terendus. Tetapi DJA seperti spink. Dia tetap bergeming. Bahkan mereka yang
berbeda pendapat denganya mengenai puisi esai diserangnya. Berbagai stigma
negatif ditembakan semau dia.
Misalnya, mereka
yang menyoalkan perjanjian kontrak antara pihak perekayasa dengan penulis
karena klausul-klausul dalam kontrk itu yang mendikte penulisan puisi dan tanpa
klausul pembatalan kontrak distigmanya sebagai orang-orang terbelakang, tidak
tahu bahwa di negara-negara maju soal perjanjian kontrak dalam dunia seni
adalah hal yang sudah biasa.
Stigma demikian
juga ditembakkan kepada mereka yang menyoalkan soal hasutan untuk menulis puisi
dengan berorientasi kepada uang dan pembayaran sebagian yang disebut honor
sebelum puisi ditulis.
Distigmanya bahwa
mereka tidak tahu bahwa para penulis besar di negara-negara maju itu hidup kaya
raya. Mereka yang menyoalkan kebaruan puisi esai dan basis konseptual proyek
puisi esai distigmanya sebagai “penyair dengan mindset zaman lama”. Mereka juga
distigma tidak punya ide segar, naif, jumud, antiperubahan, dan sebagainya.
DJA JUGA MERENDAHKAN SELURUH PUISI INDONESIA YANG TIDAK MASUK DALAM KATEGORI PUISI ESAI YANG DIA KLAIM SEBAGAI PUISI JENIS BARU HASIL TEMUANNYA. BAHKAN KHOTBAH DAN NYANYIAN ANGSA, DUA PUISI GEMILANG KARYA PENYAIR BESAR W.S.RENDRA, DIRENDAHKAN DI BAWAH PUISI-PUISI DJA. DJA MENYEBUT PUISI-PUISINYA LEBIH UNGGUL BUKAN KARENA KEUNGGULAN UNSUR-UNSURNYA DAN KERJA SAMA UNSUR-UNSUR PUISI ITU, MELAINKAN SEMATA-MATA KARENA PUISI-PUISINYA SUDAH DIANGKAT KE LAYAR LEBAR DAN PENUH DENGAN CATATAN KAKI.
Pada saat
bersamaan, DJA terus menggelembungkan dirinya dan proyeknya. Misalnya, dia
menggelembungkan pembaharuan yang disebut dilakukannya dalam bidang perpuisian
di Indonesia sama seperti pembaharuan yang dilakukan dalam dunia perfilman di
Amerika Serikat oleh Quentin Tarantino. Berarti jelas dia juga menggelumbungkan
dirinya hingga sekaliber Tarantino. Proyek puisi esai disebutnya sebagai
gerakan besar puisi esai nasional yang melahirkan angkatan puisi esai dan
menghadirkan potret batin Indonesia. Dan, tentu saja, proyek demikian
ditegas-tegaskannya belum pernah dilakukan siapa pun di tanah air kita.
Klaim-klaim
seperti itu yang berjibun keruan mengganggu para penggiat sastra di berbagai
penjuru negeri ini. Mereka mengungkap rasa dan nalar mereka dengan berbagai
bentuk. Salah satunya melalui penulisan esai. Salah satu esai yang menyoal
proyek penulisan puisi esai terbit di Koran Tempo. Seminggu setelahnya (9-10
Februari), tulisan tanggapan DJA terbit di koran yang sama. Namun, betapa DJA
angkuh. DJA sama sekali tidak menyinggung esai yang ditulis penyair Bandung
Ahda Imran itu.
Padahal, esai itu
dengan terang membandingkan proyek puisi esai dengan Gerakan Puisi mBeling yang
monumental itu, yang buahnya menunjukkan betapa proyek puisi esai itu
kedodoran. Tulisan DJA yang bertajuk Puisi Esai: Apa, Mengapa dan Keunggulannya
melulu sibuk menunjuk-nunjukkan apa yang disebut-sebutnya keunggulan dan
kebaruan puisi esai dan proyek puisi esai, serta, tak lupa, dia menyerang para
pihak yang diidentifikasinya sebagai seterunya.
Di situlah dia
kembali merendahkan puisi-puisi Indonesia,termasuk karya monumental Linus
Suryadi A.G., Pengakuan Pariyem, dan dua puisi gemilang Rendra itu. Dan,
setelahnya, kembali dia mereduksi pendapat-pendapat yang berbeda dengannya.
Kemudian para seteru bayangannya itu dia tembaki.
“Ini era ketika
marketing sama pentingnya dengan produksi. Ini era ketika marketing sama
pentingnya dengan estetika. Dalam dunia industri, sebuah film yang sangat bagus
tapi tak laku dan rugi, tak lagi cukup. Marketing harus hadir dalam industri
seni.
Demikian tulis
DJA. Teranglah dia merendah-rendahkan estetika dan meninggi-ninggikan
pemasaran. Alinea setelahnya semakin menegaskan bagaimana dia mendudukkan
pemasaran.
“Umumnya
penandatangan petisi yang protes adalah penyair dengan mindset zaman lama. Saya
seorang entreprenuer, pengusaha, hidup di era ketika marketing menjadi
pangeran.”
Setelah mereka
yang berbeda pendapat dengannya distigma lagi sebagai golongan orang
terbelakang, DJA menulis dengan cara yang menerbitkan bayangan dia berdiri di
mimbar, membusungkan dada, mendongakan dagu, dan menyemburkan khotbah, ”Gunakan
aneka teknik marketing agar karyamu dilihat orang. Jika tidak, kau akan
tenggelam. Menjadi masa silam.”
TETAPI SIAPA MENGHINA MASA SILAM, DIA KEHILANGAN INGATAN. TERMASUK KEHILANGAN INGATAN AKAN PERJALANAN PUISI YANG PANJANG DAN BERAGAM.
Jauh sebelum
tulisan dikenal, puisi dan komunitas puitik sudah hidup di berbagai penjuru
dunia. Puisi-puisi dan komunitas-komunitas puitik itu saling menghidupi.
Puisi-puisi memungkinkan berlangsungnya berbagai ritus penting komunitas
seperti ritus daur ulang hidup. Puisi-puisi juga memungkinkan harmoni dengan
alam, semesta dan Sang Maha Pencipta.
Puisi-puisi juga
memungkinkan perdamaian dengan mahluk-mahluk gaib. Puisi-puisi juga menjinakkan
binatang-bintang buas yang mengalami hal yang tidak sebagai biasanya.
Puuisi-puisi juga memenuhi kebetuhan sehari-hari komunitas. Misalnya,
puisi-puisi membantu memetik buah-buahan tertentu untuk dimakan bersama.
Puisi-puisi membantu perbeuruan hewan-hewan tertentu baik untuk makanan bersama
maupun untuk ternak.
Untuk menjadikan
puisi-puisi bisa berfungsi demikian, komunitas-komunitas dituntut untuk
memenuhi syarat-syaratnya. Syaratnya yang utama adalah warga komunitas rukun,
satu sama lain saling berbagi dan saling menjaga, serta warga komunitas semua
mengupayakan agar kesehatan udara tetap terjaga. Kesehatan udara mesti tetap
terjaga karena pada masa tulisan belum dikenal puisi dilisankan, bahkan
dinyanyikan sehingga puisi pun menjadikan tubuh-tubuh bergerak mengikutinya dan
lalu membentuk pola tertentu sehingga lahirlah tarian.
Dan, ternyata,
upaya menjaga kesehatan udara ini juga menyehatkan tanaman-tanaman dan
hewan-hewan, bahkan tanah dan air. Jadilah puisi-puisi berperan signifikan di
dalam memakmurkan komunitas-komunitas puitik di berbagai penjuru dunia, juga di
dalam pembentukan identitas budaya dan solidaritas sosial komunitas-komunitas
itu.
Begitulah kisah
perjalanan puisi yang disampaikan Frank Stewart, penyair keturunan suku Indian
Cherokee yang merupakan perintis Manoa: Pasific Journal (University of Hawaai
Press), sebuah jurnal sastra tentang sastra kontemporer di Asi/Pasifik/Amerika
yang cukup berwibawa di Amerika.
Octavio Paz juga
menulis cukup banyak, luas, dan dalam perjalan puisi di seluruh dunia. Ihwal
perpuisian semasa dengan yang dikisahkan Stewart, penyair peraih Hadiah Nobel
Sastra asal Mexico ini antara lain menulis bahwa “pada masyarakat purba: rasa
persaudaraan dan kemurahhatian dalam kelompok disampaikan oleh para penyair.
Kelompok-kelompok ini sering menjalankan fungsi-fungsi keagamaan dan liturgis.
Di antara banyak orang, penyair dipandang memiliki karakter waskita dan juru
ramal. Secara luas diyakini bahwa penyair mengetahui apa yang akan terjadi di
masa depan, karena ia tahu masa silam. Pengetahuannya merupakan pengetahuan
tentang asal-muasal. Dalam masyarakat seperti itu, masa kini dan masa depan
sama-sama berfungsi dalam pengertia kata-kata itu; tentang masa silam”.
Paz pun tentu
saja banyak pula menulis perihal perjalanan puisi modern.
Dia antara lain
menulis bahwa puisi modern, seperti juga puisi Purba dan di Timur, “juga
mematangkan kelahiran para filsuf. Hampir tidak adapara pemikirbesar yang tidak
mengapresiasi puisi, baik diamenulis puisi maupun tidak, baik
tulisan-tulisannya diwarnai atau diperindah dengan sanjak atau peribahasa atau
pepatah yang dipetik dari para penyair maupun tidak. Ini berlaku dari mulai St.
Thomas sampai Machiavelli, Bacon sampai Schopenhauer, Montaigne sampai Karl
Marx”.
Ketika puisi ikut
mematangkan para filsuf dan pemikir yang berpengaruh besar seperti itu
teranglah peran sosial puisi pun besar. Begitu halnya dengan peran puisi
terhadap kehidupan pribadi. Paz juga menulis ihwal ini. Menurutnya, “Para
penyairmembantu kita untuk memahami apa yang disebut hasrat atau nafsu, dan
oleh karena itu membantu kita untuk memahami diri kita sendiri; kedengkian atau
iri hati, sensualitas, kekejaman, hipokrisi atau kemunafikan; singkatnya semua
kompeksitas dari jiwa manusia.”
Bagi manusia,
memahami jiwanya terang amatlah penting. Tanpa memahami jiwanya, seseorang sama
seperti kehiangan atau tak berjiwa. Dan manusia tanpa jiwa, orang-orang bilang
zombie namanya. Maka, kembali betapa puisi itu menyuntikkan hal yang sedemikian
penting bagi hidup manusia.
Bagi manusia
Indonesia seperti kita, pun bukan kekecualian. Terlebih jika kita sama mengakui
bahwa sebelum terbentuk negara Indonesia, lebih dulu lahir bangsa Indonesia.
Penanda kelahiran bangsa Indonesia yang paling monumental ialah peristiwa
pamungkas dalam Kongres Pemuda II di Batavia, pada 27-28 Oktober 1928.
Peristiwa pamungkas itu tidak lain adalah pengikraran Sumpah Pemuda. Soetardji
Calzoum Bachri, penyair besar yang menggebrak perpuisian Indonesia dengan
kumpulan puisi radikal O Amuk Kapak, berulang menyebut bahwa Sumpah Pemuda itu
adalah puisi.
Tentu bukan puisi
tersebut saja yang membentuk bangsa Indonesia.
Sebelum dan
setelahnya, ada begitu banyak puisi Indonesia yang dengan caranya masing-masing
ikut membentuk bangsa Indonesia. Puisi-puisi parapenyair generasi milenial pun
banyak yang ambil bagian dalam proses pembentukan bangsa kita. Ini bukan hal
yang mengherankan. Yang disebut bangsa itu selalu merupakan bangunan yang belum
sudah dan terus berubah.
PUISI INDONESIA PUN TENTU SEDEMIKIAN BANYAK YANG MENGHIDUPKAN JIWA-JIWA MANUSIA INDONESIA. DARI SEJAK MULA ADA, SEMASIH MENGGUNAKAN BAHASA MELAYU PASAR, YANG DIDISKRIMINASI OLEH REZIM KOLONIAL BELANDA DENGAN SEBUTAN MELAYU RENDAH, HINGGA DI ERA MILENIAL INI, BETAPA BERLIMPAH PUISI INDONESIA YANG IKUT MENJADIKAN MANUSIA-MANUSIA INDONESIA BERJIWA.
Semua itu tak
pelak membuktikan betapa kergaman puisi dari sejak dahulu kala hingga kini
memberi sumbangan tak terbilang terhadap hidup dan penghidupan kita, baik
sebagai pribadi maupun sebagai satu bangsa.
Dan, meski
berdiri sendiri-sendiri, puisi-puisi itu bertalian. Mereka tumbuh dalam dan
menumbuhkan tradisi puisi. “Setiap penyair bagai gelombang di atas sungai
tradisi, suatu moment bahasa (moment of language,” tulis Paz.
Maka, teranglah
masa silam sama sekali bukanlah nonsens. Masa silam memberi sumbangan
besarkepada kita untuk menata masakini dan masa depan. “Kehilangan masa silam
tidak bisa tidak adalah juga kehilangan masa depan,” tulis Paz lagi.
Bila demikian,
kenapa DJA menghina masa silam (sastra Indonesia)?
Tulisan-tulisannya
ihwal puisi esai, proyek puisi esai, dan angkatan puisi esai memperlihatkan
betapa menggelegak hasratnya untuk beroleh predikat sebagai tokoh pembaharu
perpuisian Indonesia. Dan predikat tokoh pembaharu perpuisian Indonesia ini
kini maunya berarti membawa perpuisian Indonesia masuk ke sistem pasar. Ini
tidak gampang karena membawa perpuisian Indonesia masuk ke sistem pasar berarti
membuat mekanisme untuk mengorganisir kehidupan bersama dalam dunia puisi
Indonesia berdasarkan logika untung-rugi dalam transaksi pasar neoliberalisme.
Padahal,
diakuinya sendiri, dia baru mulai menulis puisi pada tahun 2012. Memang dalam
buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, DJA salah satu dari 33 tokoh
itu. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa buku ini akal-akalan DJA. Wajar
jika hingga kini pun buku tersebut masih dipersoalkan sisi-sisi gelapnya oleh
banyak kalangan. Wajar pula bila DJA tampak benar menggelapkan sejarah sastra
Indonesia, khususnya sejarah puisi Indonesia.
Boleh saja dia
bilang, kalau menggelapkan sejarah sastra Indonesia, tak akan dia menerbitkan
buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Namun, buku tersebut justru
salah satu bukti dari penggelapan sejarah sastra Indonesia. Dan penggelapan
yang kini tengah dilakukannya adalah dengan apa yang disebutnya gerakan puisi
esai, yang pula diklaimnya dari rakyat,oleh rakyat, untuk rakyat. Padahal,
tulisan-tulisan DJA sendiri memperlihatkan bahwa gerakan puisi esai itu takber
lebih jika dikata dari DJA,oleh DJA, untuk DJA.
*) Ketua Institut Nalar Jatinangor
Sumber: Seni.Co.Id
0 komentar:
Posting Komentar