Ais Nurbiyah al-Jum'ah | 13 Februari 2018
SASTRA adalah tubuh, jalan panjang Ibu
Kota, dan kakek tua yang membeli susu kaleng di supermarket. Sastra hadir di
setiap pergerakan manusia. Begitulah semestinya kita memaknai sastra. Ruangnya
tidak hanya sebatas teks fiksi, cerita pendek (cerpen), puisi, prosa, roman,
dongeng, pantun, musik, novel, dan drama.
Kemarin, Minggu (11/02/2017) Sastra diperbincangkan
dengan asyik di Grand Indonesia, Jakarta. Noura Publishing sebagai
penyelenggara acara mengangkat tema “Menjadi Manusia dengan Sastra” .
Konten
acara dikemas sangat kekinian dan milenial. Para penikmat seni, sastra, atau
setidaknya yang masih awam dengan keduanya selayaknya saya yang datang sore itu
memenuhi salah satu ruangan pertunjukan di Grand Indonesia yang sangat dingin
dan modern.
Orang-orang berdatangan, memenuhi meja
registrasi, mengambil liflet kegiatan seni dan sastra oleh
penyelenggara acara. Anak muda dan pelajar mengambil ruang paling besar di
acara itu, kapan lagi acara seperti ini dengan tema seperti itu bisa membuat
mereka tertarik untuk turut medengarkan. Tekad dari penyelenggara yang menjadikan
acara sastra tidak dianggap eksklusif dan berjarak harus diapresiasi.
Petugas mengarahkan para peserta
memasuki ruangan dengan menunjukan gelang yang diberikan saat registrasi
sebagai tiket masuk ruangan. Di sana sudah hadir para pembicara dan tamu
undangan. Seno Gumira Ajidarma dan Budi Barma yang sore itu didapuk sebagai
pembicara. Acara dimulai dengan pementasan drama oleh Tim Indonesia Kaya.
Pementasan mengambil cerita dari salah satu karya Budi Darma, Orang-Orang
Boomington.
Pertanyaan-pertanyaan hadir seputar
dunia kesusatraan, kepenulisan, dan keseharian. Tidak ada pertanyaan yang njelimet atau
pertanyaan selayaknya sidang skripsi. Bahkan seorang anak usia enam tahun
bertanya kepada Budi Darma seperti ini, “Nulis itu susah nggak sih?”
Budi Darma lalu menjawab, “Mozila itu ditemukaan oleh anak-anak. Kenapa, karena sekarang gizi sudah baik, ruang-ruang diskusi seperti ini sudah banyak. Lalu pertanyaannya, menulis itu susah atau tidak? Yah itu tergantung apa yang mau ditulis,” jawaban Guru Besar Universitas Negeri Surabaya itu disambut dengan gelak tawa para hadirin.
“Tetapi pada umumnya kalau kita banyak membaca buku dan mengamati kehidupan sehari-hari. Maka kesulitan itu akan diatasi. Silahkan menulis, jangan takut, lihatlah keadaan teman-teman, baca Koran lalu tulis. Maka kesulitan akan dihadapi." sambungnya.
Karya lain yang dibahas dalam acara
tersebut adalah karya Iwan Simatupang, dan Bondan Winarno. Violetta Simatupang
(anak dari Iwan Simatupang) mengaku baru mengenal Iwan Simatupang setelah meninggal
dunia. Violetta mengenal sosok sang Ayah melalui novel-novelnya. Melalui karya
Ziarah misalnya. Kita bisa menziarahi sang tokoh sastra secara terus-menerus.
Di lapangan kesusastraan kita juga
mengenal Bondan Winarno sebagai seorang cerpenis. Sosoknya selama ini dikenal
sebagai penggiat kuliner dan pencetus kalimat “pokok e maknyuss” dalam salah
satu tayangan kuliner di televisi. Tidak banyak yang tahu, Bondan adalah
seorang penulis, jurnalis, bahkan seorang cerpenis. Buku antologi cepren yang
sempat dibukukannya sebelum Bondan menutup usia November tahun lalu
adalah, Petang Panjang di Central Park.
Seno Gumira Ajidarma mengatakan jika
sastra sudah ada dalam diri setiap manusia sejak manusia itu mengenal kata.
Sejak orang tuanya memberikan nama kepada anaknya. Pemberian nama itu adalah
proses bersastra, sebab di dalam nama ada doa dan harapan yang diberikan oleh
orangtua.
“Misalnya ada orang tua yang memberikan
anaknya sebuah nama pada zaman Orde Baru yaitu “Gempur Soeharto” yah itu bentuk
pemberontakan juga. Atau ada yang memberikan anaknya dengan “Presiden”, supaya
tidak usah bermimpi jadi Presiden. Saya kira itu semua adalah proses
bersastra.”
***
Menjadi manusia dengan sastra memantik
kita untuk lekas menanggapi, apakah dengan tidak bersastra, kita tidak bisa
disebut sebagai manusia. Bagaimana sastra bekerja dalam kehidupan kita bahkan
menjadi pedoman untuk hidup, berproses sebagai manusia.
Budi Darma mengatakan kalau kita belum
mengenal sastra kita masih bisa menjadi manusia. Tidak mungkin kita bukan
manusia. Segala sesuatu yang termasuk manusia bisa mengembangkakan diri. Kalau
seseorang itu mencintai sastra maka perkembangannya lebih cepat dan matang.
Sebab berdasarkan penelitian dari dua tokoh besar, Rene Wellek dan Austin
Warren. Setelah mereka mengamati dari sekian banyak karya sastra. Mereka
menyimpulkan bahwa pengarang lebih pandai mengenali psikologi manusia dari pada
psikolog itu sendiri.
Capaian manusia yang paling tinggi ada
tiga. Pertama, saat Alexander Graham Bell menemukan pesawat
telepon. Kedua, Discovery, Columbus menemukan
pulau Amerika. Dan yang ketiga, kreativitas. Yaitu William
Shakespeare mengarang cerita Romeo dan Juliet. Cerita yang
sebetulnya bukan karangan William Shakespeare melainkan kisah diambil dari
cerita rakyat. William Shakespeare berhasil menemukan itu dan meramunya,
selayaknya Colombus yang menemukan benua Amerika.
“Berkaitan dengan harkat, martabat manusia. Penemu Mozila yang berusia sepuluh tahun, mereka memiliki kecenderungan membaca sastra, kalau kita yang lihat yang lain juga seperti Soekarno juga membaca sastra dan tokoh-tokoh lainnya juga membaca sastra,” ungkap Budi Darma.
Kita melihat sastra tidak lagi berjarak
dan terkesan sulit dijangkau. Membaca buku saat ini menjadi kebiasaan,
kebutuhan, bahkan life style. Anak-anak muda rajin bertemu,
berdiskusi, dan membicarakan apa saja. Memiliki lebih banyak kecanggihan:
Bergawai dan Berbuku.
“Sastra hari ini semakin bagus sebagai bagian yang wajar dari konstruksi budaya. Anak-anak muda ini sangat canggih-canggih. Saya sering sekali menjadi juri, saya biasa mengatakan jika karya-karya mereka membuat jurinya minder. Panjang dan banyak pengetahuannya, tidak lagi klise. Melihat hal itu, ini seharusnya sebuah perkembangan.” Seno Gumira Ajidarma.Source: Locita.Co
0 komentar:
Posting Komentar