02 Februari 2018
Menghadiri acara debat pro kontra Angkatan Puisi Esai yang diselenggarakan
oleh Yayasan Guntur sore tadi (15/02) di Manggarai, tim wartawan Teropong Kota
menyaksikan sorak sorai penonton diberikan tanpa henti kepada tim kontra Puisi
Esai. Bahkan menurut salah satu peserta yang menghadiri acara itu, debat ini
tak sama sekali memuaskan.
“Diskusi tadi amat terlihat timpang dan sebenarnya sudah diketahui sejak awal siapa bakal pemenangnya, yaitu kubu yang kontra terhadap gagasan mengenai adanya Angkatan Puisi Esai. Lihat saja, hampir seluruh argumen mereka yang pro tak menunjukkan kebernasan,” tutur Bandi Robin salah satu aktivis literasi yang sekaligus juga pemilik toko buku-buku antik ketika ditemui selepas acara ditutup.
Selain itu, justru ada yang menarik di tengah-tengah sesi pertanyaan
berlangsung, ketika seorang penanya memberikan satu bingkisan kepada Saut
Situmorang sambil mengatakan ini Bir Reformasi.
“Tadi saya sengaja tidak menanggapi terlalu banyak dan memperpanjang perdebatan yang sebenarnya sudah saya anggap selesai melalui Petisi Penolakan Proyek Puisi Esai. Kesempatan ini justru saya gunakan untuk mengatakan kepada seluruh publik sastra untuk berhenti berdebat soal puisi esai dan kembali pada perdebatan yang seharusnya yang lebih subtansial, yaitu menanggapi esai Sastraku Sayang Sastraku Malang milik Saut,” ungkap Shiny penulis buku puisi Kotak Cinta yang juga sering terlihat membagikan tulisannya mengenai isu ini.
“Yang paling penting lagi adalah, saat ini bukanlah waktunya kita bicara mengenai apa itu Angkatan Puisi Esai atau sejenisnya yang tak memiliki urgensi kebudayaan sama sekali, tetapi lebih ke jantung masalah, yaitu meneruskan agenda pengevaluasian kritis terhadap berbagai lembaga yang memang berkepentingan terhadap kesusastraan Indonesia saat ini, lembaga apapun yang justru cenderung menopang praktik berbagai manipulasi sejarah sastra. Kita butuh reformasi sastra yang lebih menyeluruh dan bersifat struktural agar kesusastraan kita tidak membusuk,” tambahnya.
Di akhir pernyataannya, Shiny mengatakan bahwa arti dari reformasi sastra
berarti mencabut mandat Presiden Penyair yang selama ini disematkan kepada
Sutardji, untuk kemudian diserahkan kepada Saut Situmorang.
“Lah iya. Bagi saya atau kita semua generasi muda, reformasi sastra itu berarti kita mencabut penyematan Presiden Penyair Sutardji yang sejauh ini terlihat tak memberikan sikap terhadap isu ini, dan sekaligus menyerahkannya kepada Saut Situmorang yang jelas-jelas telah memperjuangkan berbagai kritik atas kondisi sastra kontemporer kita paling tidak spuluh tahun belakangan. Ini penting untuk sastra kita, apalagi dalam momentum 20 tahun reformasi Indonesia bulan depan,” tutupnya.
Meskipun acara sudah ditutup secara resmi oleh moderator, nampaknya Yayasan
Guntur masih ramai oleh mereka yang bergantian hendak membacakan puisi, tak
terkecuali Saut Situmorang. (sn)
Sumber: TeropongKota
0 komentar:
Posting Komentar