Nirwan Dewanto
Penyair
9 Dec 2015
Kurang lebih
empat dasawarsa lalu, kritikus sastra H.B Jassin berkata bahwa sastra Indonesia
adalah warga sastra dunia. Di zaman “globalisasi” sekarang, tampaknya
pernyataan Jassin itu benar dalam satu hal:
kita memang berupaya menjadikan sastra dunia sebagai milik kita, menjadikannya
bagian dari kehidupan sastra Indonesia mutakhir.
Paling tidak, dengan “sastra
dunia” itulah para sastrawan kita mempunyai ukuran baik-dan-buruk dalam
mencipta dan menilai. Namun, apakah sastra Indonesia dikenal atau tidak di
lingkaran dunia, itu soal yang berbeda sama sekali.
Ya, “sastra
dunia.” Dengan tanda kutip. Sebab istilah itu sangat bermasalah. Bagaimana
mungkin kita—atau siapa saja—tahu tentang sastra dunia jika itu berarti
karya-karya sastra yang ada di seluruh dunia dari berbagai zaman pula?
Pada suatu hari
saya bertanya kepada seorang penulis prosa yang suka membanggakan diri mengenal
sastra dunia: Apa yang Bung kenal tentang sastra dunia?
Lalu ia menyebut
nama-nama, antara lain, Haruki Murakami dan Roberto Bolaño. Dan sejumlah
penulis pemenang Hadiah Nobel dan Hadiah Man Booker dalam sepuluh tahun
terakhir. Tanpa penulis-penulis itu, katanya, kita akan miskin.
Tapi itu cuma
nama-nama yang ada di pasar, yang sedang hot di toko-toko buku di seluruh dunia (juga mungkin di Jakarta), begitulah
jawab saya.
Saya bertanya
lebih lanjut: Jadi buat Bung sastra dunia itu adalah nama-nama pengarang yang
didesakkan pasar buku dunia kepada kita? Lagipula itu hanya buku-buku yang berbahasa
Inggris, bukan?
Ketika dia mulai
merah-padam, saya bertanya lagi: Apa Bung peduli pada pada karya-karya sastra
dari Lithuania, Pantai Gading, Laos, Ecuador, Vanuatu? Apa kita bisa menoleh
kepada karya-karya yang biarpun dianggap penting dalam bahasa-bahasa nasional
masing-masing, tetap tak tersedia terjemahan Inggrisnya?
Ia tercenung
lama, dan jawaban dia—juga jawaban saya—adalah tidak. Sudah pasti tidak!
Maka di titik
ini, kami berdua bersepakat bahwa kami tidak mengenal apa itu sastra dunia.
Maka, cuma ada “sastra dunia.”
Dengan cara yang
sama kita bisa bertanya siapakah penulis dan pengulas sastra di belahan bumi
mana saja yang tahu perihal sastra Indonesia? Jawaban yang paling mungkin:
Tidak ada. Atau, belum ada.
Kecuali segelintir pakar yang peduli kepada Indonesia—dan
melihat sastra Indonesia sebagai bagian dari perhatian mereka kepada Indonesia.
Dan kita tahu pula, studi Indonesia di luar negeri semakin susut jumlahnya, dan
dibiarkan susut belaka. (Yang paling terkenal, seperti di Universitas Leiden,
bahkan sudah tutup.)
Baiklah. Kita
kendurkan sedikit makna “sastra dunia”. Misalnya saja, “sastra dunia” adalah
sastra-sastra nasional atau regional yang mungkin dikenal di kancah dunia. Dengan cara ini tampaknya kita bisa
menggolongkan “sastra dunia” berdasarkan seberapa jauh bahasa-bahasa pembawanya
tersebar ke belahan-belahan bumi.
Golongan pertama
adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa bekas kaum
penjajah—bahasa-bahasa Prancis, Spanyol, Portugis dan—terutama—Inggris.
Lagipula, lembaga penerbitan di khazanah bahasa-bahasa itu memang luar biasa
kuatnya, sehingga jadilah mereka agen-agen globalisasi sastra yang kuat. (Maka
kita paham kenapa sastra Argentina dan sastra Brasil mudah ditangkap oleh
industri perbukuan di dunia ini.)
Golongan kedua
adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang terpelihara sejak
dari masa klasik ke masa modern—misalnya saja, bahasa-bahasa Arab, Turki, Cina,
Jepang, Ibrani. Sementara itu, minat dunia akademik di Barat terhadap
bahasa-bahasa ini juga sudah melembaga lantaran bangsa-bangsa yang bersangkutan
(pernah) telanjur kuat dalam sebaran agama-agama, perdagangan, imperialisme,
pengaruh politik, ilmu pengetahuan, dan diaspora.
Golongan ketiga
adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa
“pinggiran”—misalnya bahasa-bahasa Rusia, Finlandia, Swedia, Cek; bahkan
bahasa-bahasa Albania, Polandia, Lithuania. Mereka ini bukan hanya “saudara
sepupu” Eropa Barat; dalam lapangan seni budaya, mereka pernah menyumbang
banyak kepada gerakan modernisme internasional. Mereka berpengalaman dalam
menduniakan hasil-hasil sastra dan seni mereka.
Golongan keempat
adalah sastra-sastra dalam bahasa-bahasa setempat yang, betapapun lebih terbaca
luas di negeri-negeri bersangkutan, tertutup kepada dunia luar oleh sastra
berbahasa bekas-penjajah, misalnya Inggris. Ini kasus untuk sastra-sastra
Hindi, Tamil, Telugu, Mayalayam, Bengali, Urdu di anak benua India-Pakistan,
misalnya.
Golongan kelima
adalah sastra-sastra nasional yang dijajakan oleh bangsa-bangsa yang
bersangkutan ke seluruh dunia, sebagai bagian dari kiprah mereka sebagai
kekuatan ekonomi dan budaya yang baru. Misalnya saja sastra Korea Selatan dan
Cina dalam dua dasawarsa terakhir. (Sebagaimana kita tahu, Korea Selatan,
adalah negeri yang sangat bersistem dalam mengembangkan ekonomi kreatif.)
Golongan keenam
adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa nasional yang tidak
dikenal dunia; dan bangsa-bangsa yang bersangkutan pun tidak menjalankan
diplomasi budaya yang genah, yang bisa membuat hasil-hasil seni dan sastra
mereka dikenal masyarakat internasional. Sastra Indonesia termasuk ke dalam
golongan ini.
Tak terkira
jumlah karya sastra yang sudah dihasilkan oleh bangsa-bangsa di dunia ini.
Inilah lautan karya sastra yang keluasaannya tidak akan pernah terjelajahi
bahkan oleh pakar sastra bandingan yang paling piawai sekalipun, apalagi oleh
para sastrawan yang mengaku kenal dengan sastra dunia.
Demikianlah,
sastra dunia adalah rumah jagal sastra, jika saya boleh meminjam istilah
seorang pakar sastra bandingan bernama Franco Moretti. The
slaughterhouse of literature.Dalam
sejarah sastra dunia sejak dulu hingga sekarang, karya-karya yang dilupakan,
“dibantai”, lenyap, “dimatikan” dalam gelombang sejarah, jauh lebih banyak
daripada karya-karya yang masih dibaca. Sastra dunia, untuk mengutip Moretti
lagi,
adalah the great unread.
Sesungguhnya,
yang dianggap besar di masa kini seringkali yang diremehkan di masanya sendiri.
Yang dianggap berjaya di masa sekarang mungkin akan dilupakan di masa-masa
mendatang. Yang terkubur di zaman kemarin bisa saja naik ke puncak di zaman
esok. Yang dianggap penting di pasar dan dunia akademik mungkin akan jadi
sepele setelah para “agen pemasaran” itu berlalu, begitu juga sebaliknya.
“Sastra dunia”
buat saya adalah sebuah perpustakaan mahabesar. Di situ tersedia seluruh
dokumentasi sastra-sastra nasional di dunia ini dari seluruh zaman. Sayangnya
para pustakawan di situ lebih banyak mengarahkan para pengunjung ke
sastra-sastra tertentu saja, yakni yang berada di bagian yang bersih dan terang
cahayanya. Tidak ada seorang pustakawan pun yang kenal betul akan jalan menuju
rak sastra Indonesia nun di pojok gelap dan terpencil.
Tentu saja bangsa
Indonesia bisa memilih sendiri karya-karya sastra apa yang penting untuk diri
sendiri maupun untuk masyarakat pembaca di luar di sana. Kenapa tidak?
Dan membawa
sastra Indonesia ke gelanggang dunia adalah 1001 langkah yang harus
direncanakan dan ditempuh dengan cara saksama—dan dalam tempo yang pastilah tidaksesingkat-seingkatnya. Terlibat sebagai Tamu
Kehormatan di Frankfurt Buchmesse di tahun ini baru satu langkah belaka,
barangkali hanya langkah kebetulan. Bahkan jika kita kelak berhasil mengerjakan
1003 langkah pun, kaidah “rumah jagal sastra” tetap akan berlaku bagi
sastra-sastra mana pun di dunia ini.
Menerjemahkan
sastra Indonesia ke bahasa-bahasa asing; menarik minat para ahli, agen,
penerbit, media dan pembaca di mancanegara; bergiat dalam berbagai “diplomasi
kebudayaan” yang genah, dan seterusnya—semua itu memerlukan kerja dan komitmen
(dan dana) yang sinambung dan bersistem. Perlu kita camkan bahwa dalam
soal-soal tersebut negara-negara “kecil” seperti Georgia, Israel dan Slovenia jauh
lebih siap ketimbang Indonesia.
Tetapi
jangan-jangan semua upaya menuju “sastra dunia” itu hanya bisa terlaksana bila
bangsa dengan 250 juta warga ini benar-benar jadi bangsa yang gemar membaca dan
menulis—bangsa yang mencintai dan merawat bahasa, sastra dan kesenian sendiri.
Bukankah mendunia itu efek samping belaka dari beresnya kita menata kehidupan
di rumah sendiri?
Sumber: Qureta
0 komentar:
Posting Komentar