Minggu, 06 Desember 2015

Kidung dari Brang Wetan: Musik Banyuwangen dalam Gerak Industri (Bagian III)

December 6, 2015 | Ikwan Setiawan*


Sumber foto: Adistya Mayasari, http://www.cahdusun.com/2015/09/lirik-omonge-uwong-adistya-mayasari-ft.html

2. Proses Kreatif, Perjuangan Kultural, dan Capaian Ekonomi dalam Industri Musik Banyuwangen: Pengalaman Beberapa Seniman Muda
Tidak bisa dipungkiri, popularitas POB dalam rentang 2000-2002, telah menjadi inspirasi lahirnya kelompok-kelompok musik dengan genre serupa di Banyuwangi. Di samping itu, pencipta-pencipta lagu baru bermunculan dan ikut meramaikan dinamika kultur di tingkat lokal maupun regional. Membaca perkembangan tersebut, tidak harus semata-mata dari faktor dan motivasi ekonomi secara general karena para musisi muda tersebut juga mempunyai impian-impian kultural untuk terus mendinamisir dan memasyarakatkan budaya Banyuwangen, khususnya Using, agar bisa terus survive di tengah-tengah kompetisi dengan budaya global yang semakin nyata saat ini. Dengan kata lain, keuntungan ekonomi memang dirasakan oleh para seniman muda Banyuwangen, tetapi mereka juga tidak lupa untuk memasukkan pengaruh kultural ke tengah-tengah masyarakat tentang eksistensi budaya Banyuwangen yang mereka negosiasikan melalui industri kreatif dalam bidang musik.
Menariknya, sebagian besar seniman muda yang tumbuh dan berkembang di Banyuwangi berangkat dari proses otodidak. Artinya, mereka seperti mengikuti jejak para seniman sepuh yang bermusik dari pengalaman mandiri, tanpa sekolah formal. Dalam konteks industri kreatif, yang penting memang bukan lagi pengalaman pendidikan formal dari para seniman, tetapi kreativitias yang mampu menjangkau dan menembus tantangan yang diberikan oleh kalangan industri. Leadbeater (1999: 49) memaparkan:
Industri kreatif, seperti musik, hiburan, dan fashion, digerakkan…bukan oleh kalangan profesional terdidik tapi oleh para wiraswastawan kultural yang menciptakan sebagian besar talenta dan kreativitas orang lain. Dalam industri kreatif, organisasi-organisasi besar menyediakan akses pada pasar, melalui penjualan dan distribusi, namun kreativitas berasal dari lapangan para pencipta muatan independen.
Penjelasan di atas memperkuat asumsi bahwa sekuat apapun modal yang digerakkan oleh moda dan sistem industrial, kreativitas seniman menjadi faktor terpenting dalam dinamika produk kesenian. Terkadang, industri memang mempunyai formula spesifiknya dalam mengarahkan kecenderungan produk yang dihasilkan oleh para seniman, khususnya seniman muda yang baru memulai merambah jagat industri. Namun demikian, formula tersebut bukanlah rumus baku yang tidak bisa ditundukkan. Ketika para seniman muda mampu mengola nalar dan daya kreatifnya, maka bukan tidak mungkin industri akan memandangnya sebagai potensi yang bisa dijual ke pasar. Kemampuan kreatif tersebut, sekali lagi, tidak harus melalui pendidikan formal, tetapi dari pengalaman dan kemauan untuk terus belajar dan mencipta.
Memahami dan mendalami pengalaman-pengalaman personal dari para musisi muda menjadi penting karena dengan pemahaman tersebut bisa memberikan deskripsi tentang realitas kepentingan ekonomi dan kultural yang saling menyatu. Pemahaman ini menjadi penting karena seringkali ‘tuduhan’ yang muncul terhadap kreativitas para seniman muda seringkali mengikuti logika kritis kepentingan ekonomi dan modal. Akibatnya, sebagian besar kritik semata-mata mengarah pada motivasi ekonomi dari para seniman muda yang tidak mampu menolak rayuan keuntungan kapital yang dijanjikan industri. Logika kritis seperti itu memang menjadi wajar ketika kita melihat betapa banyak musisi dan band baru bermunculan dari industri rekaman di level pusat (baca: Jakarta) yang semata-mata ingin menjajal pasar tanpa diimbangi dengan kekuatan musikal yang mumpuni, sehingga terlalu mudah mereka muncul sekaligus terlalu muda mereka tenggelam oleh kehadiran kompetitor-kompetitor baru dalam industri musik. Apa yang harus dipahami adalah bahwa para seniman musik muda dan Banyuwangi adalah mereka yang berkarya di tengah-tengah setting kultural Banyuwangen yang sehari-hari mereka rasakan dalam kehidupan. Memang mereka mempunyai kepentingan ekonomi melalui karya-karya kreatif mereka. Namun demikian, mereka juga tidak mungkin meninggalkan kepentingan kultural untuk menegosiasikan kebudayaan Banyuwangen di balik pilihan industrial yang mereka lakukan.
a. Mencipta dan Menyanyi di antara Kenangan POB: Sebuah Kisah Yon DD
Sebagaimana dijelaskan di atas, Yon adalah sosok penting bagi kelahiran dan kesuksesan POB dalam mengisi dan meramaikan blantika musik Banyuwangen. Kerja kerasnya dalam mengkoordinir kawan-kawan mudanya menjadikan POB sempat berjaya dan populer di tengah-tengah penikmat musik Banyuwangen. Memang ia tidak bisa mempertahankan eksistensi POB karena permasalahan-permasalahan yang melilit kelompok ini sampai akhirnya harus vakum mulai tahun 2002. Paling tidak, ia telah berusaha membangun semangat dari rekan-rekannya di POB agar meyakini kemampuan kreatif untuk berkarya dalam nuansa lokal. Di samping itu, kontribusi terbesarnya adalah menimbulkan inspirasi bagi para seniman muda untuk ikut mengisi dan mendinamisasi kebudayaan Using, dalam konteks zaman yang sedang berkembang.
Meskipun harus kehilangan ‘keluarga’—POB—yang ikut membesarkan namanya, Yon tetap meyakini bahwa ia masih bisa bertahan dengan karya-karya kreatifnya atau mendapat keuntungan dari karya-karyanya terdahulu. Tidak lupa, ia tetap memberikan semangat kepada koleganya di eks POB yang mempunyai potensi, seperti Catur Arum.
“Begitu POB pecah, saya mandiri, demikian juga Catur. Memang saya bilang ke Catur ada lubang untuk berkembang. Apalagi kami berdua sudah punya nama. Saya dipercaya Aneka Safari untuk menangangi proyek-proyeknya. Waktu itu saya menangani Niken dan Dian Ratih. Suara Niken sudah tidak bisa diolah lagi suaranya, saya bilang ke produser untuk memasukkan Catur dengan lagu saya yang baru, Duwe Ta Using. Maka, lagu Tetese Eluh, Catur menyanyi bersama Niken. Setelah lagu itu meledak, saya bilang ke Catur kalau dia sudah bisa lari untuk berkembang. Saya tidak ada teman, tabuan dewekan di rumah.” (Wawancara, 20 Juli 2009)
Bagi Yon, Catur adalah figur penyanyi dan pencipta lagu yang mempunyai talenta dan prospek yang cukup baik di masa mendatang. Oleh karena itu, ia mendorongnya untuk bisa berlari, agar bisa berkembang. Terbukti, pada akhirnya Catur mampu menjadi pencipta lagu dan penyanyi yang cukup di perhitungkan di Banyuwangi. Yon sendiri masih mencipta lagu dan mendapat respons yang cukup dari publik, seperti Duwe Tah Using,[1] yang liriknya menggunakan tradisi bangsalan[2] dalam khasana sastra Using. Di samping itu, kepercayaan yang diberikan oleh pihak Aneka Safari untuk menangani proyek-proyek album yang diproduksi dan didistribusikan oleh mereka menjadi berkah tersendiri yang mendatangkan pendapatan dan juga kesempatan bagi dia untuk terus berkreasi.
Proses kreatif yang dilakukan oleh Yon, baik ketika masih bersama POB maupun ketika sudah bersolo karir, adalah sebuah ikhtiar kultural untuk berpartisipasi dalam pengembangan kebudayaan Using. Menurutnya, “Bagi saya lagu-lagu saya adalah bentuk kontribusi terhadap budaya Using. Lama sekali saya berpikir, kalau Pak Andang mati siapa yang meneruskan. Cuma saya sesuaikan dengan suasana dan kondisi masyarakat” (Wawancara, 20 Juli 2009). Baginya, Andang adalah tokoh kultural yang luar biasa. Akan sangat disayangkan kalau kelak di kemudian hari tidak ada yang menggantikannya. Prinsip untuk menyesuasikan dengan kondisi masyarakat—kecenderungan untuk menyukai lagu-lagu melo dan romantis—merupakan siasat kultural untuk terus mempopulerkan lagu-lagu Banyuwangen yang pada masa lampau pernah menjadi tuan rumah di wilayah sendiri. Dengan menciptakan karya musikal, baik berupa lagu maupun penggarapan musik, yang disesuaikan dengan kecenderungan yang ada dalam masyarakat, sebenarnya Yon dan juga seniman-seniman yang senada dengannya, telah dan tengah melakukan negosiasi kebudayaan Using agar tetap bertahan di tengah-tengah gempuran budaya global saat ini. Ambivalensi jelas tampak dari penjelasannya tentang negosiasi kultural dan pertimbangan pasar: penciptaan lirik-lirik melo serta romantis. Dalam konteks ambivalensi inilah diuji kreativitas seorang seniman, apakah hanya ikut larut dalam seragamisasi tematik dari pasar atau ikut terus berjuang untuk membangun budaya lokal. Kenyataannya, Yon tidak hanya menciptakan tema-tema cinta, tetapi juga tema kultural seperti Gandrung, mantra Jaran Goyang, serta kritik-kritik sosio-politik.
Nyatanya, siasat musikal tersebut mampu memberi perubahan pada kehidupan ekonominya. Ia tidak memungkiri bahwa dengan karya-karya musikalnya, Yon bisa menghidupi keluarga.
“Alhamdulillah mulai itu sampai sekarang, saya makan dari lagu. Sampai saya bongkar rumah. Ya, dari lagi itu sudah. Malah yang lebih banyak mengisi perut saya sama keluarga, lagu Semebyar. Lagu itu sudah dinyanyikan 38 penyanyi. Pertama Adistya, Niken…sampai Solo, Cak Dikin. Saya pernah menggarap dua album sama Cak Dikin. Meskipun saya tidak pernah lihat sampai sekarang album-album itu. Bukan lagu saya, saya penciptanya tidak tahu. Produser yang memakai lagu semebyar, membeli hak pakai, sebesar 1 juta. Memang murah, kalau dimahalkan, produsernya tidak mau. Sebenarnya saya senang saja kalau mahal… Lagu saya sampai ada yang menggarap dalam format wayang wong VCD di Malang. Ceritanya, waktu ada pentas wayang wong, sindennya tiba-tiba menyanyikan lagu Semebyar. Terus pimpinannya menyuruh saudaranya yang mempunyai toko di Ketapang untuk menemui saya mengenai honor hak pakainya. Ya, saya oke-oke saya.” (Wawancara, 20 Juli 2009)
Tembang-tembang lokal yang ia ciptakan dalam kontekstualisasi modernitas, ternyata mampu menjadi penopang kehidupannya. Industri kreatif memang bisa menjadi sumber ekonomi baru yang mengedepankan kerja-kerja kreatif para kreatornya. Sistem dan moda industri yang berkembang di Banyuwangi, meskipun berada dalam level lokal, ternyata bisa dijadikan pekerjaan baru oleh manusia-manusia kreatif seperti Yon. Bagi Yon, Banyuwangi dengan keragaman kulturalnya adalah sumber inspirasi kreatif yang terus bisa digali dalam konteks kekinian.
Kenangan manis akan keberhasilan POB, keberanian dan kesadaran kreatif untuk mengola tradisi-lokal dalam konteks modernitas, keinginan-keinginan menciptakan nuansa baru dalam industri musik Banyuwangi, dan penyesuaian kontekstual terhadap pasar, menjadikan Yon memberanikan diri untuk mengeluarkan album baru berjudul Jamu Gendong pada bulan Agustus 2009. Album ini berisi lagu-lagu Yon yang diaransemen dalam bermacam genre musik seperti pop, sedikit rock, bahkan unsur rapp juga masuk. Perluasan genre ini menandakan semangat untuk selalu membaca dan menjawab tantangan-tantangan kreativitas yang akan selalu berkembang sesuai dengan keinginan dan impian kultural masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Dengan penggarapan album tersebut, Yon telah melakukan proses transformasi tradisi-lokal berupa budaya Using, seperti gandrung dan kekayaan Bahasa Using ke dalam tembang bermakna simbolis tetapi tetap menyenangkan sehingga lebih bisa menjadikan masyarakat tahu dan sadar budaya. Bagi mereka yang pada awalnya tidak begitu paham tentang gandrung, dengan dijadikan lagu, maka mereka akan lebih mengenal apa itu kesenian tari pergaulan dari Blambangan ini. Harapannya, kesenian gandrung akan tetap digemari, baik oleh masyarakat Banyuwangi maupun oleh warga di kabupaten sekitar.
Di samping konsistensi menjadi pencipta lagu-lagu Banyuwangen, Yon juga memutuskan untuk menjadi penyanyi, sebuah pilihan yang tidak pernah terpikirkan dalam karir musiknya. Kesendiriannya dalam berproses setelah POB bubar, memang menjadi siksaan tersendiri baginya. Kebiasaan berlatih bersama, mengaransemen musik, menggarap sebuah lagu, dan canda tawa teman-teman tentu sangat sulit untuk dilupakan. Dalam kondisi itulah datang seseorang yang bersedia membiayai penggarapan sebuah album. Tawaran ini tentu menjadi tantangan sekaligus kegembiraan tersendiri baginya dan pada akhirnya mengubah jalan hidupnya.
“Kebetulah ada orang meminta saya untuk menggarap album dibiayai semua. Begitu tengah-tengah nggarap sudah booking studio, produser baru itu monting. Dia bilang, “Saya mau membiayai Sampean, dengan catatan sampean ikuto nyanyi”. Saya bilang saya tidak bisa nyanyi, dia bilang tidak jadi membiayai. Setelah 9 bulan saya mengiyakan untuk menyanyi. Akhinrya saya menyanyikan lagu Swara. Sampai sekarang akhirnya menyanyi.” (Wawancara, 20 Juli 2009)
Lamanya proses menimbang “iya” atau “tidak”, sebenarnya lebih didasari karena ia merasa tidak punya pengalaman untuk menyanyi. Dalam karir musiknya, ia lebih banyak mencipta dan mengaransemen lagu. Namun karena ia sendiri membutuhkan proses kreatif untuk menyalurkan bakat dan kegundahan estetiknya serta desakan kebutuhan ekonomi keluarga, akhirnya ia memutuskan untuk mencoba menjadi penyanyi. Lagu Swara[3] yang bernuansa pop etnis menjadi lagu pertama yang ia nyanyikan. Ternyata lagu tersebut banyak digemari penikmat musik. Dari situlah, sampai sekarang Yon menjadi pencipta lagu sekaligus penyanyi.
Pengalaman-pengalaman kreatif dan tantangan yang dihadapi seorang Yon, paling tidak, bisa menjadi pelajaran berharga bagi perkembangan musik Banyuwangen dalam konteks industri budaya. Seorang seniman, mutlak, harus selalu bersikap terbuka dalam menyikapi pengaruh-pengaruh kultural dari luar, tanpa harus meninggalkan yang lokal. Transformasi dari keragaman tradisi-lokal ke dalam bentuk musik pop-etnis menjadikan seorang pencipta lagu secara sadar melakukan negosiasi-negosiasi kultural yang terus berlanjut. Motivasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi memang tidak bisa dipungkiri. Sistem dan moda industri budaya memungkinkan seniman memperoleh keuntungan finansial untuk bisa menghidupi keluarganya, sehingga mereka dituntut untuk selalu kreatif apabila ingin lebih dikenal dan dicintai penggemarnya.
 b. Ketika Perempuan Mencipta Lagu: Sebuah Pengalaman Adistya Mayasari
Adistya Mayasari adalah penyanyi dan pencipta lagu yang merasakah secara langsung efek dari keikutsertaannya dalam penggarapan POB. Seniwati yang bakat seninya sudah terbina sejak bangku TK ini (masuk TK 1989, dia sudah mulai suka menari) dan SD (1992, mulai tertarik untuk menyanyi) adalah satu-satunya musisi yang menyanyikan dan menciptakan lagu-lagu Banyuwangen.[4] Pengalamannya dengan POB menjadikannya berani untuk menciptakan lagu-lagu Banyuwangen, meskipun hal itu tidak lazim dilakukan oleh para penyanyi perempuan di daerah ini. Dengan jujur ia menjelaskan:
“Jujur, saya mendapatkan pengalaman yang berlimpah dengan bergabung POB. Saya merasa cocok dengan jenis musik yang diusung teman-teman. Musik yang slow dengan perpaduan etnik-modern inilah yang selama ini saya cari dalam berkesenian, utamanya musik. Dari pengalaman itulah, kemudian saya terinspirasi untuk menciptakan lagu-lagu sendiri. Dan, musiknya juga tidak jauh dari jenis yang diusung POB. Ketika album POB meledak di pasaran, jujur, secara materi saya kurang mendapatkan hasil. Namun, saya bersyukur karena dengan meledaknya album itu, nama saya jadi terkenal di masyarakat, sehingga job untuk live show bertambah banyak.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Pengalaman menggeluti musik etnis-modern ternyata sesuai dengan impian musik seorang Adis yang juga tetap berkomitmen terhadap pendidikannya ini. Pengalaman itulah yang menumbuhkan keyakinan dalam dirinya untuk menciptakan lagu sendiri. Dalam bahasanya, “Saya punya prinsip, bahwa ketika orang lain bisa membuat lagu, saya juga pasti bisa karena manusia itu pada dasarnya memiliki derajat yang sama, tinggal bagaimana mengolanya. Saya bisa bermain gitar. Saya mencipta sebuah lagu, biasanya dengan menemukan nadanya terlebih dahulu dibantu gitar saya. Setelah itu, saya baru menulis liriknya” (penekanan oleh pen., Wawancara, 21 Juli 2009).
Pernyataan tegas Adis tentang kesamaan derajat manusia menandakan pemahaman kritisnya bahwa dalam jagat seni, tidak hanya laki-laki yang bisa berkarya. Perempuan juga mempunyai kuasa untuk menciptakan karya-karya besar. Dengan logika “kesetaraan gender” (gender equality),[5] ia ingin membalik kecenderungan umum yang berkembang di bumi Blambangan, bahwa perempuan hanya pantas menjadi penyanyi, sedangkan pencipta lagunya adalah laki-laki. Sepertihalnya yang terjadi pada masa lampau dan sisa-sisa diskursifnya masih terasa sampai saat ini. Perjuangan Adis untuk berkarya mungkin bisa dicarikan rujukan historisnya pada sosok Sayu Wiwit seorang panglima perempuan dari Blambangan yang memimpin perang melawan kekuasaan kompeni Belanda. Dengan perjuangan tersebut, Adis seolah ingin mengirimkan pesan kepada para penyanyi perempuan Banyuwangen bahwa mereka tidak hanya bisa bernyanyi dengan lenggak-lenggok goyang yang menarik hati penonton laki-laki. Sebaliknya, mereka juga bisa lebih kreatif dalam menulis lirik dan menciptakan lagu.
Ketegasan dan kekuatan prinsip dalam memandang kesamaan kreatif antara laki-laki dan perempuan, menjadikannya bisa mengola persoalan-persoalan yang ia hadapi dalam kehidupan sehari-hari menjadi karya lagu yang enak didengar. Di samping itu, seolah tidak mau kalah oleh kekuataan lagu para pencipta lagu laki-laki, Adis juga menciptakan lagu-lagu tentang budaya Using dan tema-tema perjuangan. Sebagai pencipta lagu berusia muda, Adis mengakui secara terbuka sangat dipengaruhi oleh perkembangan musik pop tanah air dalam menciptakan karya-karya musikalnya.
“Inspirasi dalam penciptaan lagu saya tidak jauh dari kehidupan sehari-hari, utamanya tentang cerita percintaan. Karena menurut saya, tema itulah yang paling digemari oleh pasar saat ini. Adapun kalau lagu-lagu saya ada yang bercerita tentang tempat wisata, perjuangan, itu sifatnya sebagai pelengkap. Terus-terang popularitas musik pop sangat berpengaruh dalam proses penciptaan musik saya.. Karena memang musik pop dari Jakarta sekarang kan sudah menjangkau daerah bahkan desa-desa. Saya tidak mungkin meninggalkan unsur-unsur musik pop. Namun, saya tetap berusaha menciptakan nuansa-nuansa Using dalam lagu. Saya berprinsip bahwa kita dalam menciptakan lagu harus selalu melihat perkembangan pasar. Kita jangan terlalu idealis dulu, sehingga lagu-lagu kita tidak laku. Itu bukan berarti kita tidak idealistetapi sekedar sebagai siasat agar nama kita dikenal sehingga untuk lagu-lagu berikutnya bisa diminati oleh pasar.” (Penekanan oleh pen, Wawancara, 21 Juli 2009)
Cerita percintaan dalam lagu-lagunya, jelas terkesan sangat industrial sebagaimana arus utama musik yang berkembang di ibukota. Ini memang terkesan klise karena pasar memang lebih menyukai tema-tema romantisme cinta. Namun apa yang harus diingat adalah Adis melakukannya sebagai strategi awal untuk bisa lebih dikenal, utamanya oleh kaum muda. Adapun lagu-lagu tentang potensi wisata dan perjuangan menjadi pelengkap. Ketika penikmat menyukai lagu-lagu yang bertema percintaan, maka mereka tentu akan membeli VCD ataupun mendengarkannya lewat radio. Dari situlah, mereka akan mendengarkan pula lagu-lagu bertema wisata dan perjuangan yang menjadi satu paket dengan lagu percintaan.
Pilihan untuk tidak terlalu idealis, sekilas tampak sebagai ketertundukan Adis terhadap hukum pasar dalam industri musik. Namun demikian, lagi-lagi, pilihan itu hanya strategi untuk memperkenalkan diri secara luas. Ketika pencipta lagu muda tenggelam dalam idealisme akut, tanpa menghiraukan lagi pertimbangan pasar, bisa jadi mereka hanya akan menghadapi tembok penghalang untuk kreativitas mereka. Ketika Adis memperhatikan kondisi pasar, saat itulah ia bisa melakukan siasat dengan menciptakan lagu-lagu Banyuwangen yang romantis karena sejak dulu masyarakat memang sudah terbiasa dengan tema dan nuansa tersebut. Pilihan strategis tersebut terbukti dengan meledaknya album yang berisi lagu-lagunya dalam album Kangen yang direkam bersama kelompok Rolas dari SMK Muhammadiyah Rogojampi. Album tersebut terjual 150.000 copy; jumlah yang cukup fenomenal untuk album lokal.
Ketepatan strategi tersebut memang menghasilkan keuntungan ekonomi yang cukup lumayan bagi Adis untuk ukuran lokal Banyuwangi. Dengan terbuka Adis menceritakan:
“Saya mendapatkan banyak hal dari bermusik, baik benda-benda bergerak maupun tidak bergerak. Benda bergerak, misalnya, saya bisa mempunyai biaya untuk melakukan mastering lagu-lagu saya. Saya bisa membiayai kuliah. Kalau tidak bergerak, berupa ya banyak benda yang ada di rumah saya.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Berpikir investatif adalah sebuah kebijakan yang harus diacungi jempol dari seorang Adis. Bagaimana tidak, di usianya yang masih muda, ia tidak terburu-buru untuk menggunakan uang dari karya musikalnya untuk keperluan konsumsi yang berlebihan. Ia lebih memilih menginvestasikan sebagian rezekinya untuk merekam dan membuat mastering lagu-lagunya yang lain. Di samping itu, ia juga bisa membiayai kuliahnya. Kuliah tetaplah penting karena ia sadar bahwa tidak selamanya ia akan menjadi penyanyi dan pencipta lagu. Mungkin, suatu saat ijazah sarjanahnya akan berguna ketika dia tidak lagi berkesenian. Ia juga menginvestasikan rezekinya untuk membuat toko kecil yang dikelola sang bunda di depan rumah. Niatan untuk memberikan sang bunda kegiatan di rumah sekaligus untuk memutar uang hasil bermusik menjadi motivasi utama pendirian toko tersebut.
Kepopuleran namanya tidak menjadikan ia lupa dengan proyek kultural yang ia pendam selama berkreativitas. Adis semakin sering muncul dalam VCD lagu-lagu Banyuwangen. Ia juga sering diundang ke pertunjukan-pertunjukan live, baik dalam rangka peringatan 17-an ataupun hajatan tertentu. Meskipun demikian, ia tetap mengusahakan karya untuk terus mensosialisasikan bahasa dan budaya Using. Karya-karya tersebut merupakan bentuk perjuangan kreatifnya untuk menyemarakkan budaya Using.
“Dengan menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu Using dalam format yang lebih modern, sebenarnya saya ingin ikut memeriahkan kebudayaan Using itu sendiri. Biar kebudayaan Using tetap berkembang di zaman modern ini. Kan, para pencipta lagu yang sudah sepuh itu semakin uzhur, sehingga yang muda-muda harus tampil. Tapi, tetap harus dengan idealisme Usingnya, jangan lupa itu… Bahkan saya pernah mengeluarkan album yang saya tujukan untuk anak-anak, dengan target utama sosialisasi Bahasa dan Budaya Using. Waktu itu saya melihat anak-anak di Banyuwangi sangat hafal lirik lagu Cucak Rowo yang terkesan jorok itu. Saya ikut prihatin, masa’ anak-anak nyanyinya lagu kayak gitu. Kan, Using itu kaya akan kearifan-kearifan yang harus terus disosialisasikan kepada mereka. Akhirnya saya menciptakan lagu anak-anak dengan menggandeng UPTD-UPTD dalam pemasarannya. Mula-mula semua berjalan lancar, sekolah-sekolah juga senang dengan album itu. Tapi, di tengah-tengah jalan saya dapat fitnah yang mengatakan kalau peredaran lagu-lagu saya itu tidak mengantongi izin. Sempat lo, jadi polemik di media lokal. Akhirnya, album saya itu peredarannya tidak dilanjutkan lagi. Saya mengambil kesimpulan, mungkin ada yang iri karena peredaran album itu bisa menggandeng UPTD-UPTD, sehingga peredaraannya pada awal-awal sangat luas.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Sebuah perjuangan memang tidak selamanya menghasilkan hasil manis, tetapi, paling tidak, Adis sudah mencoba untuk memberikan kontribusi pada dinamika kebudayaan Banyuwangen. Bagaimanapun, para seniman sepuh harus digantikan dalam konteks penciptaan karya-karya musikal yang sesuai dengan semangat zaman. Adis sudah mencobanya dan ternyata menuai sukses sebagai perempuan muda pencipta sekaligus penyanyi lagu-lagu Banyuwangen yang banyak digemari oleh masyarakat, baik di Banyuwangi maupun kabupaten-kabupaten tetangga. Persoalan ia mendapat pencekalan atau hambatan dalam distribusi albumnya yang semula diedarkan melalui UPTD-UPTD di seluruh Banyuwangi adalah sebuah kisah kelabu yang ternyata tidak membuatnya putus asa. Lebih dari itu, ia terus berproses dan berkarya agar menjadi semakin baik.
Adis memang bukan Maia ataupun Melly Guslow yang cukup terkenal seantero Indonesia karena capaian-capaian prestasi dalam menciptakan dan menyanyikan lagu ciptaan mereka. Ia hanya seorang perempuan muda dari bumi Blambangan yang berusaha untuk berkarya bukan dalam konteks keindonesiaan yang terlalu luas, tetapi dalam konteks kebanyuwangenan yang selalu ia maknai secara dinamis. Ia tidak mungkin melepaskan pengaruh musik pop dari Jakarta yang sedang nge-trend di kalangan kaum muda Banyuwangi. Akan tetapi, Adis juga selalu “sadar budaya” (cultural awareness) bahwa ia adalah orang Using yang punya tanggung jawab untuk selalu mensosialisasikan budaya Using di tengah-tengah transformasi sosio-kultural masyarakat. Dengan kesadaran itulah ia mampu masuk ke dalam industri kreatif musik di tingkat lokal dan memperoleh keuntungan secara material yang menjadikannya perempuan mandiri; tidak bergantung sepenuhnya pada orang tua. Apa yang perlu ditekankan dari perjuangan seorang Adis adalah bahwa ia telah mendobrak tradisi dalam berkesenian di Banyuwangi. Ia adalah perempuan yang tidak hanya bisa menyanyikan lagu-lagu ciptaan musisi laki-laki. Sebaliknya, ia adalah pencipta lagu yang selalu berusaha untuk menjadi kreatif. Dengan demikian, ia seolah berusaha menunjukkan bahwa sudah saatnya perempuan seniman memperjuangan dan mendapatkan kedudukan yang setara dengan laki-laki seniman karena mereka memang mempunyai derajat yang sama.
c. Dari Pop Murni Menuju Pop Banyuwangen: Pengalaman Koming
Kalau Yon DD, Adistya Mayasari, maupun Catur adalah pencipta lagu dan penyanyi yang berasal dari wilayah kultural Using yang relatif dianggap benar-benar Using, yakni sekitar kota dan beberapa desa di sebelah utara, Koming adalah seniman pencipta lagu yang berasal dari wilayah Barat yang seringkali dianggap tidak murni Using karena sudah bercampur dengan kultur Jawa. Ia berasal dari Desa Karangsari Kecamatan Sempu, berdekatan dengan Kecamatan Genteng. Sebagai seorang pencipta lagu yang sudah mempunyai bakat sejak kecil dalam berkesenian, Koming (bernama lengkap Agus Hardiyanto), tidak sedari awal ingin menjadi pencipta lagu Banyuwangen karena basis musiknya adalah murni pop.
“Waktu SMA saya mencoba-coba bikin lagu, tetapi orientasinya tidak pada bikin produksi. Waktu itu hanya untuk just fun. Untuk seneng-seneng saja, untuk hiburan diri sendiri. Karena waktu itu saya lebih sebagai musisi, bukan pencipta lagunya. Akhirnya, waktu berjalan, saya mendalami musik. Saya dan grup saya sebenarnya sampai pada tingkat nasional. Bahkan satu lagu dari grup kami, Wanada, sempat menjadi bagian dari album kompilasi indie. Saya juga pernah ikut festival musik Green Revolution di Politeknik Jember 2002. Alhamdulillah saya mendapatkan best guitar. Sebenarnya dari SMA itu sudah ada bakat, tapi saya untuk pencipta lagunya kurang begitu perhatian, karena saya jauh dari angan-angan itu. Biasalah waktu itu masih sangat muda, jadi lebih enak ke musisi. Saya dan grup band saya sempat ke Bandung dan Jakarta suntuk mencoba berkarir di sana. Namun, karena kurang mendapatkan keberuntungan, akhirnya saya kembali ke Banyuwangi.”                           (Wawancara, 31 Juli 2009)
Paparan Koming tersebut menandaskan bahwa basis sebagai musisi pop sangat kuat dalam dirinya. Sebagai generasi muda yang lebih banyak bersentuhan dengan budaya pop, pilihan kreatif Koming memang menjadi wajar. Pengalaman dengan musik pop juga menunjukkan keberantaraan para seniman muda Using yang tidak sepenuhnya berangkat dari tradisi-lokal Using dalam menciptkan karya-karyanya, meskipun pada akhirnya mereka akan ‘pulang kembali’ ke khasana budaya lokal.
Masuknya Koming ke dalam industri kreatif musik Banyuwangen berawal dari ketidaksengajaan. Mengapa demikian?
“Nah, tanpa sengaja, lagu saya yang berjudul Kembang dan Gowor yang saya bikin waktu SMA (1995), diproduksi tahun 2003/2004, ketika saya gagal mencapai sesuatu di Jakarta. Tanpa sepengatuhan saya, lagu itu sudah diproduksi oleh Sandi Record. Beberapa orangnya menghubungi saya, akhirnya terjadi deal. Jujur saja, karena waktu itu kondisi ekonomi kurang begitu mapan, lalu saya berpikir, “Asyik juga ya, daripada saya mengejar sesuatu yang tidak menentu di Jakarta, tingkat persaingannya tinggi, kenapa saya tidak ikut membangun daerah saya saja, memberikan kontribusi ke Banyuwangi.” Dari awal pemikiran itulah, saya mulai agak serius.” (Wawancara, 31 Juli 2009)
Kembang dan Gowor ternyata menjadi rezeki secara ekonomis bagi Koming dan sekaligus sebagai tonggak awal keterlibatannya dalam industri kreatif Banyuwangi. Kedua lagu tersebut memperoleh respon yang cukup baik dari masyarakat karena lirik dan nada lagunya yang melo.[6] Meskipun awalnya, muncul motivasi untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya yang sedang kacau, naluri dan kesadaran kultural seorang Koming, pada akhirnya, mengarahkan pemikirannya dalam berkarya bukan semata-mata untuk keuntungan ekonomis, tetapi untuk “membangun daerah” dan “memberikan kontribusi kepada Banyuwangi”. Tentu saja dua ungkapan tersebut lebih bermakna untuk berpartisipasi dan bekontribusi dalam usaha pengembangan budaya lokal Banyuwangen, dimana Using menjadi kekuatan utamanya.
Meskipun ia berasal dari lingkungan kultural yang dekat dengan Jawa, nalusi keusingan-nya tetap melekat dalam proses kreatifnya, meskipun ia juga tidak mengingkari bahwa budaya Jawa juga ikut membentuk kediriannya, apalagi Bapaknya berasal dari Solo. Baginya, mencipta lagu Banyuwangen itu gampang-gampang susah karena ada standard-standard yang menjadi konsensus antarseniman. Standard tersebut terkait konteks falsafah, nada, dan makna-makna simbolik di dalamnya.
“Jujur saja saya ini masih baru, awalnya coba-coba aja. Memang, Banyuwangi itu ada something-nya. Kalau kita ngomong dari proses penciptaan lagu, Banyuwangen itu sangat berbeda, seperti langgam Jawa. Saya pernah membuat lagu langgam Jawa, memang tidak sesulit membuat lagu Banyuwangen. Karena pada intinya, lagu Banyuwangi mesti berfalsasahpenggunaan sastranya harus tepat baik dan benar, serta harus mewujudkan kebanggaan dari daerah kita tercinta ini. Sulit dan tidak sulitnya di situ. Kalau, masalah not semua orang bisa. Apalagi Banyuwangi itu not nya tidak rumit, pentatonik, yang hampir sama dengan blues dan langgamnya Mandarin. Tapi di sinilah ciri khas nya Banyuwangi. Lagu Banyuwangi itu, alangkah bagusnya kalau tercipta dari orang asli Using. Ada juga temen-temen yang dari Jawa coba bikin lagu Using. Memang kalau bikin lagu pasti bisa. Tapi apakah sesuai untuk masyarakat Banyuwangi, masyarakat sendiri yang menilai. Mereka itu bisa tahu. Orang-orang awam saja, yang tidak mengerti sastra, telinga mereka tidak bisa dibohongi. Contoh ketika ada penyanyi yang menyanyikan lagu dengan cedhal Jawa, mereka akan tahu “itu orang Using atau orang mana yang bikin?” Memang banyak orang-orang Jawa yang terlibat dalam penggarapan musik, tapi dengan jujur mereka mengatakan, “Banyuwangi itu lain”. Maaf, kalau kita bicara kebudayaan Barat, misalnya, bukan tidak mungkin Blues dan Jazz akan dipelajari semua bangsa, tapi tidak akan mengalahkan ruhnya orang hitam. Jadi yang menciptakan lagu Using itu juga orang Using sendiri. Itulah yang saya katakan, Banyuwangi itu beda sendiri. Karena lagu-lagu Using itu kan diciptakan dari pola-pola budaya atau gesekan-gesekan sosial yang ada di masyarakat.”                                   (penekanan oleh pen, Wawancara 31 Agustus 2009)
Pernyataan Koming tentang kompleksitas dalam membuat lagu Banyuwangen apabila dibandinggkan dengan membuat lagu Jawa, tentu bukan dimaksudkan untuk merendahkan lagu-lagu berlanggam Jawa. Pernyataan tersebut lebih ingin menunjukkan kualitas yang berbeda dari lagu-lagu Banyuwangen. Kondisi itulah yang menjadikan orang yang tidak berlatar budaya Using akan sulit menciptakan lagu-lagu Banyuwangen karena kurang ada pendalaman dan pemahaman tentang karakteristik budaya lokal.
Meskipun berbentuk nyanyian yang dikemas dalam industri yang sangat nge-pop, lagu-lagu Banyuwangen tetap mempunyai standard nilai, yakni: (1) harus berfalsafah; (2) penggunaan bahasa-sastranya harus tepat dan jelas; dan (3) harus menunjukkan kebanggaan lokalnya. Makna filosofis lagu-lagu Banyuwangen selayaknya bisa menunjukkan hasil renungan dari persoalan hidup yang dialami oleh masyarakat Banyuwangi sehingga bisa memberikan pesan-pesan bijak dan tidak sekedar hiburan. Sementara, untuk bahasa-sastranya memang sebisa mungkin tidak melenceng dari pakem Bahasa Using dengan menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang memperkuat makna sebuah lagu. Sedangkan, unsur kebanggaan lokalitas bermakna bahwa lagu-lagu Banyuwangen sebisa mungkin mampu mengangkat nilai budaya Using atau Banyuwangi pada umumnya sehingga ikut menyebarluaskan khasana tradisi-lokal ke tengah-tengah masyarakat. Inilah bentuk kekuatan pemahaman konsensual para seniman muda terhadap kekuatan budaya Using.
Kesadaran kultural di atas, pada akhirnya, mempengaruhi lagu-lagu yang diciptakan Koming. Ia berusaha keras untuk memenuhi standard konsensual tersebut dengan menciptakan lagu yang bisa mencakup makna filosofis, bahasa-sastra, dan kebanggaan lokalitas. Salah satu lagu yang cukup populer saat ini adalah Siti, yang pada penggarapan pertamanya dinyanyikan oleh Candra Banyu (adik kandung Catur Arum).
“Jadi, saya ini adalah bagian dari generasi Banyuwangi. Yang jelas, bapak-bapak senior saya, seperti Pak Andang dan ‘bala tentaranya’, mengemas lagu Using itu sangat sastra yang di situ ada banyak falsafah-falsafah yang kaya. Misalnya, lagunya Pak Andang, Umbul-umbul Blambangan, itu sebenarnya pingin menegaskan sebuah peta masyarakat dan batas-batas geografis Banyuwangi. Lagu saya juga ada yang seperti itu. Seperti Siti… menggambarkan makna terbalik (simbolik) dari perlambang-perlambang yang ada. Siti itu saya artikan “bumi”. Memang saya mengadopsi dari paham Jawa, tetapi budaya itu universal jadi tidak masalah. Siti, sun kirimno gending, gending di sini saya maksudkan doa. Mungkin dengan doa ini, bumi ini yang sudah kurang bersahabat dengan kita, akan menjadi lebih baik. Semenjak bumi ini sudah tidak bersahabat dengan manusia, banyak kejadian-kejadian yang tidak bersahabat dengan manusia, banjir, gempa, longsor. Jadi pada paragraf pertama, saya ingin menggambarkan situasi yang diterima akibat kecerobohan manusia sendiri. Tapi, di reff saya justru berharap bumi untuk berkumpul lagi dengan manusia, apa yang kurang dengan manusia, apa yang salah dengan manusia. Karena bumi itu tetap diam saja, maka diamnya bumi itu harus membuat kita berpikir tentang tingkah laku manusia itu sendiri.Kalau ingin tidak banjir jangan menebang pohon.” (Wawancara, 31 Juli 2009)
Sama seperti lagu Yon Tetese Eluh yang terkesan mengusung tema cinta padahal berisi pesan mendalam tentang keterpisahan anak manusia karena tragedi berdarah yang melanda bangsa ini, lagu Siti juga menjadi hasil renungan mendalam dari realitas bencana yang seringkali terjadi; dari banjir, longsor, gempa bumi, maupun tsunami. Kepekaan sosio-kultural terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat serta kemampuan kreatif dalam menemukan simbol-simbol yang dekat dengan kehidupan, menjadikan Koming dan juga para pencipta lagu muda Banyuwangi, berhasil menyuguhkan karya yang menghibur sekaligus berfilosofi.
Memang, penciptaan bahasa simbolik seperti siti maupun kembang mampu memunculkan makna-makna filosofis yang menjadi karakteristik lagu-lagu Banyuwangen, tetapi itu saja tidak cukup. Sebagian besar pencipta lagu di wilayah ini sangat sadar pasar, sehingga mereka—termasuk Koming—bisa menerima keinginan-keinginan musikal yang diharapkan produser. Koming menuturkan:
“Nah di situlah nilai seorang seniman, dinilai dari situ. Lagu itu ya harus berfalsafah, berteori, tetapi tidak harus meninggalkan pasar. Maaf saja, kalau di Banyuwangi itu, musisinya canggih-canggih. Banyak dari mereka yang musisi jazz juga. Tetapi mereka tidak mau merusak tatanan Banyuwangi. Di sinilah kita sadar tidak mau mencampur dunia idealisme dengan apa yang sudah ada di Banyuwangi. Makanya, ketika, maaf, mulai 2006 sampai 2009 ini, banyak trend-trend pola budaya di Banyuwangi, terutama lagu, banyak unsur-unsur dangdut yang masuk, seperti koplo. Itu kemasan. Cuma kemasan. Jadi lagu Banyuwangi itu ibarat “gula”. “Teh dikasih gula enak, kopi dikasih gula ya tetap enak.” Jadi lagu Banyuwangi itu dibuat apa saja enak. Kita sudah beberapa kali mengadakan riset, apakah musik Banyuwangi mau dijadikan etnik kontemporer atau apa? Tetapi orang Banyuwangi sendiri belum siap dengan pembacaan musik. Jadi kita berpikir, “Banyuwangi tidak butuh yang ribet-ribet, ngapain kita ribetin?” Sekarang ini kan juga banyak orang-orang tua. Sebenarnya kita juga sudah buat pop song, tapi kita tidak meninggalkan acuan budaya Banyuwangi, jadi pop Banyuwangen. Seperti albumnya POB, yang dicampur banyak aransemen.” (Wawancara, 31 Juli 2009)
Keterbukaan dan keluasan dalam memandang genre musik yang diusung dalam penggarapan lagu adalah, sekali lagi, strategi keberantaraan yang menjadi pola sebagian besar para musisi Banyuwangi. Mereka memahami bahwa masyarakat Banyuwangi sudah biasa menikmati sajian musik dalam bentuk koplo, misalnya, sehingga ketika lagu maupun garapan musik dibuat sesuai dengan selera pasar tidak menimbulkan masalah. Bukan berarti mereka tidak memiliki idealisme dalam bermusik. Seperti diyakini Koming, mereka tidak ingin ribet (rumit, pen) dan sulit dimengerti oleh penikmat.
Sekilas, pemikiran untuk tidak ribet dalam bermusik bisa dipahami sebagai bentuk kompromi total terhadap kecenderungan pasar yang meniadakan sisi idealisme para musisi. Mereka kehilangan kemampuan negosiasi dan sekedar mengikuti selera produser yang ingin memperluas penjualan produk VCD maupun kaset. Namun, kalau diperhatikan lagi, pemikiran tersebut menjadi ‘senjata’ untuk menyuguhkan komposisi musik yang sederhana dan mudah digemari, sehingga makna-makna filosofis yang terkandung tidaklah sulit untuk disebarluaskan. Toh, masyarakat sendiri sudah terbiasa dengan model komposisi-komposisi musik yang sederhana. Dengan demikian, untuk memasukkan gagasan-gagasan kultural dan filosofis mereka, para musisi, seperti Koming, berusaha masuk ke dalam moda industri tanpa harus kehilangan naluri kreatif dan kulturalnya. Kemasan memang bisa bermacam-macam, tetapi makna dan negosiasi kultur Banyuwangen tetap menjadi nomor satu dalam pemahaman kreatif para seniman. Pada kenyataannya, mereka toh bisa membuat kemasan yang menunjukkan keinginan idealisme mereka, seperti album POB dan diikuti kelompok-kelompok lain, yang membuat komposisi dengan ramuan campuraduk yang sampai sekarang masih menjadi trend di Banyuwangi. Dengan kata lain, ketika mereka bisa masuk ke industri, sebenarnya para musisi mempunyai senjata untuk menyajikan komposisi musik dan lagu—pop Banyuwangen—yang menunjukkan idealisme mereka dan mampu diterima secara baik oleh pasar.
Kenyataan bahwa lagu-lagu yang dibuatnya laris-manis di pasaran, menjadikan Koming mendapatkan berkah secara ekonomi. Dari mencipta lagu, ia bisa membangun rumah dan melengkapinya dengan perabot-perabot beraroma modern. Sebuah mobil sedan merk terbaru juga mampu ia beli untuk melengkapi keperluan keluarga dan menunjang mobilitasnya karena harus bolak-balik Sempu-Genteng atau Sempu-Banyuwangi untuk keperluan menggarap album. Namun, Koming juga menyadari bahwa itu semua bisa diperoleh dengan cara menginvestasikan pemasukan dari lagu untuk usaha-usaha lain karena ia menyadari bahwa suatu saat lagu-lagunya ia tidak bisa bergantung sepenuhnya dari profesinya sebagai pencipta lagu. Investasi merupakan cara yang ia tempuh untuk bisa memutar uang dari lagu, sehingga penghasilan untuk keluarganya bisa semakin bertambah (Wawancara, 31 Juli 2009). Menciptakan lagu pop Banyuwangen telah menjadikan kehidupan Koming berubah drastis dibandingkan ketika ia menjadi musisi pop murni; sebuah hasil manis dari negosiasi lokalitas dalam bentuk musik hibrid industrial.
3. Ketika Mereka Saling Mengingatkan: Kesadaran Kritik dan Apresiasi Antarseniman
Kesadaran konsensual untuk menjaga kualitas kultural dan musikal keusingan lagu-lagu Banyuwangen menciptakan mekanisme kritik dan apresiasi yang bersifat kekeluargaan dalam hal proses kreatif penciptaan. Kritik yang terjadi diantara para seniman pencipta lagu, baik yang sepuh maupun yang muda menjadi medium untuk semakin mendewasakan dan memperbaiki kualitas musikalitas. Kondisi inilah yang menjadi salah satu faktor kenapa lagu-lagu Banyuwangen tetap digemari hingga sekarang. Koming menjelaskan:
“Memang di Banyuwangi, saya juga kaget, saya ini orang Banyuwangi, tapi waktu saya ngomong musik saya belum berada dalam rel. Setelah saya masuk dengan karya-karya awal saya, kok karya-karya saya tidak menggambarkan Banyuwangi. Dari situ saya mulai menggali terus. Alhamdulillah, Mas Yon seneng ngoreksi, Catur juga. Kita ini ada keterikatan, jadi mereka memberi masukan. Jadi, yang bersaing itu kan produsernya saja, hanya pada tingkat produksi saja. Kalau senimannya tidak ada yang bersaing, saling mengoreksi, saling membantu.”(Wawancara, 31 Juli 2009)
Kesadaran untuk memberikan masukan tentang mutu lagu, menjadikan kritik yang terjadi di Banyuwangi adalah kritik yang semakin memperkuat dan meningkatkan capaian-capaian musikalitas. Ketika Koming muncul sebagai pencipta lagu muda dari Banyuwangi bagian barat, maka Catur dan Yon, tidak menganggapnya sebagai pesaing, tetapi sebagai partner untuk lebih menyemarakkan dinamika musik dari Brang Wetan sehingga koreksi dan masukan menjadi modal penting baginya untuk lebih maju. Kritik serupa juga diberikan budayawan senior seperti Hasan Ali ketika Koming menciptakan lagu Siti(Wawancara, 31 Juli 2009).
Kritik yang diberikan seniman lain kepada seniman pencipta lagu tertentu menjadi bisa terterima karena gaya yang diberikan memang tidak mendikte, tetapi dalam suasan santai dan sambil guyon (bercanda). Suasana itulah yang kemudian lebih bisa diterima oleh para pencipta lagu dan akhirnya memperbaiki lagu-lagu mereka. Andang memberikan ilustrasi berikut:
“Biasanya begini, kan kita trio (Mahfud, Basir, Andang), dalam prosesnya kita diskusikan bersama-sama. Jadi memang saya beri kebebasan kepada pembuat lagu, kalau memang kurang tambahana (tambahi), tapi jangan sampai merubah prinsipnya. Terus tentang kritik dan saran, di Banyuwangi itu kritiknya guyon. Seperti Kembang Peciring, ada lirik koyo banyu diiriso bali maning (air meskipun dipecah akan kembali lagi, pen), secara guyon saya diledek, penciptanya ini yang goblok. Kan sudah tahu air itu kalau dipecah akan kembali lagi.” (Wawancara, 1 Agustus 2009)
Kritik beraroma guyon bisa terjadi karena memang prinsip-prinsip persaingan yang bersifat destruktif tidak ada dalam benak para seniman pencipta lagu di Banyuwangi. Solidaritas tersebut, pada akhirnya, menjadikan mereka para seniman yang mau menghargai satu sama lain, bukan saling mengejek atau saling merendahkan.
Tradisi apresiasi atau memberikan penghargaan positif kepada capaian-capaian estetik tidak hanya diberikan kepada para seniman sepuh oleh para seniman muda, tetapi juga para seniman sepuh terhadap para seniman muda. Meskipun saat ini genre musiknya lebih beragam dibandingkan zaman dulu, tetapi para seniman sepuh tetap memberikan apresiasi mereka ketika terdapat lagu yang kualitas sastra dan musikalitasnya menonjol, sekaligus memberikan masukan-masukan kreatif. Andang menuturkan:
Tidak semua pencipta muda jelek, ada juga yang bahasanya baik, seperti dalam lagu Semebyar. Yon itu keponakan mindo dan Catur itu kan masih keponakan jauh. Jadi, kalaupun beda itu memang pada proses penciptaanya. Kalau yang ditulis itu sambil lalu, tidak akan sampai pada kerut-kerut yang di dalam. Saya menganjurkan kepada mereka, kumpulkan sebanyak-banyaknya pengalaman hidup. Dari pengalaman itu sebenarnya penciptaan bisa matang. Kalau kamu menunggu inspirasi seperti wahyu itu, ndak akan ketemu. Jadi geluti kehidupan ini, hayati perjalanan kita. Saya kadang-kadang kalau sedang ngomong-ngomong dengan teman di warung kopi, kadang-kadang ada sesuatu yang perlu dicatat. Kalau mereka yang muda mau lebih banyak seperti itu, saya kira akan jauh lebih berhasil. (Wawancara, 1 Agustus 2009)
Pernyataan Andang di atas menyiratkan adanya harapan besar kepada para pencipta lagu muda yang akan mengganti estafet kreativitas mereka yang sudah sepuh. Andang tidak mungkin mengutarakan pemikiran di atas ketika ia merasa acuh tak acuh dengan perkembangan dan dinamika musik dan kebudayaan di Banyuwangi. Bagaimanapun juga, kematangan dalam lirik dan lagu, akan dicapai ketika observasi mendalam tentang permasalahan masyarakat dilakukan sehingga para pencipta lagu muda akan memperoleh pengalaman empirik sebagai sumber inspirasi dalam penciptaan lagu yang membumi dan disukai masyarakat.
Fatrah Abal juga memberikan penilaian positif terhadap perkembangan para seniman pencipta lagu muda yang begitu semarak di Banyuwangi. Ia mengatakan:
“Saya ikut bahagia melihat seniman-seniman muda Using mau menciptakan dan menyanyikan lagu-lagu Using. Itulah harapan saya. Jadi ketika yang tua semakin uzur, yang muda haruslah muncul. Biar tetap berkembang kesenian di Banyuwangi. Cuma saya selalu berpesan, agar lagu-lagu yang mereka ciptakan itu tidak meninggalkan cengkok Using dan sebisa mungkin harus menggunakan Bahasa Using yang benar. Sekarang ini mulai muncul para seniman yang menciptakan lagu dengan cengkok Using yang mulai berubah, demikian pula dengan pilihan-pilihan kata yang diambil.” (Wawancara, 21 Juli 2009)
Masukan agar para seniman pencipta lagu yang masih muda untuk tidak meninggalkan cengkok Using, merupakan bentuk negosiasi yang ia jalankan agar mereka tidak lepas dari koridor pemberdayaan tradisi-lokal. Kekhawatirannya terhadap adanya beberapa seniman muda yang mulai meninggalkan cengkok Using merupakan bentuk kritik konstruktifnya agar kebudayaan Banyuwangen tetap berkembang meskipun harus masuk ke dalam ranah industri.
Kritik dan apresiasi, dengan demikian, menjadi mekanisme kultural bernuansa kekeluargaan untuk tetap mendinamisasi kualitas lagu-lagu Banyuwangen dalam era industri kreatif. Terdapat dua keuntungan mendasar yang bisa diperoleh dari mekanisme tersebut. Pertama, kualitas musikalitas bisa tetap berada dalam koridor-koridor yang sesuai dengan moda industri yang mengutamakan keunggulan dan keunikan kreatif dari lagu-lagu yang diciptakan. Kedua, lagu-lagu Banyuwangen tetap berada dalam formula-formula tradisi-lokal, baik dalam hal cengkok, nada, maupun lirik, sehingga identitas lokal tetap bisa dinegosiasikan dalam konteks industri kreatif. Tanpa kritik dan apresiasi, bisa jadi lagu-lagu Banyuwangen akan ‘lepas kendali’ sehingga hanya akan mengikuti arus industrial tanpa bisa berbuat sesuatu untuk pengembangan dan pemberdayaan tradisi-lokal.
[1] Dalam pandangan seorang budayawan Banyuwangen (maaf nama sengaja tidak kami sebutkan untuk menghindari konflik antarbudayawan), perbedaan dikotomis antara yang murni Using dan Using campuran, memang masih melekat. Perbedaan tersebut seringkali melahirkan asumsi-asumsi yang agak miring dalam jagat seni Banyuwangen. Para seniman yang berasal dari wilayah murni Using dianggap mempunyai kualitas bahasa dan sastra dalam lagu yang lebih tinggi serta masih mampu menjaga kemurnian tradisi Using. Sementara mereka yang berasal dari wilayah yang dekat dengan budaya Jawa maupun Madura, dianggap kurang mumpuni dalam membuat tembang-tembang Using yang menjunjung kekuatan bahasa dan sastra Using. Pembedaan semacam ini memang sah dalam konteks kebudayaan. Namun, akan tidak bijak ketika memposisikan mereka yang berasal dari wilayah tidak murni Using sebagai yang kurang baik karya musikalnya. Karena pada kenyataannya, karya-karya yang diciptakan Koming cukup digemari di pasaran.

[1] Lagu Duwe Tah Using direkam dalam irama musik dangdut Banyuwangen, sebuah aliran musik yang tidak pernah digarap oleh POB. Lagu ini menceritakan tentang tangis batin seorang laki-laki yang menyaksikan kekasih yang dicintainya telah menikah dan sudah menggendong anak. Meskipun demikian, si lelaki masih saja mencintainya.
[2] Bangsalan adalah puisi berbentuk pantun dan berbahasa Using.
[3] Lagu Swara menceritakan seseorang yang sudah meninggal. Dalam kecenderungan umum, seorang yang ditinggalkan kekasihnya menghadap Sang Khalik akan selalu merindu dan mendamba sehingga dalam lagu kebanyakan, kekasih yang masih hiduplah yang bertutur. Logika umum ini dibalik oleh Yon, denganmenuturkan cerita tentang sang arwah yang ingin berkomunikasi dengan kekasihnya. Lagu ini menceritakan tuturan sang arwah yang ingin mengatakan kepada kekasihnya yang masih hidup bahwa ia tak mungkin lagi kembali ke dunia, kalaupun ia kembali hanya dalam wujud suara. Tradisi masyarakat lokal ikut menghiasi lirik lagu ini, yakni si arwah akan bertandang asalkan si kekasih melantunkan doa (mantra) sekaligus membakar kemenyan dan menyediakan sesajen.
[4] Dalam industri lagu Banyuwangen memang banyak penyanyi perempuan, tetapi sangat kurang pencipta lagu perempuan. Paling tidak, sampai laporan ini dibuat, hanya Adis lah yang menciptakan lagu-lagu Banyuwangen.
[5] Gender pada awalnya lebih banyak dipandang sebagai persoalan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dan relasi seksual yang ada di dalamnya (seksualitas). Dalam perkembangannya, perbedaan tersebut menghasilkan konstruksi dan relasi sosio-kultural yang antara laki-laki dan perempuan yang berlangsung, bertransformasi, beroperasi, dan mewujud dalam masyarakat. Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah pewacanaan terus-menerus perbedaan antara laki-laki dan perempuan sehingga gender bisa masuk ke dalam ranah sosio-kultural yang pada akhirnya menghasilkan praktik-praktik berdasaran wacana tersebut. Ketika persoalan gender sudah masuk ke dalam ranah sosial, maka ia sebenarnya sudah menjadi bagian dari institusi sosial. Logika, wacana, dan praktik ketidaksetaraan inilah yang diperjuangkan oleh para pemikir gender dan feminis melalui gugatan-gugatan kritis mereka untuk mengintrodusir kesetaraan dan kesamaan gender antara laki-laki dan perempuan dalam setiap aspek dan praktik kehidupan, termasuk persoalan sosio-kultural yang terjadi dalam masyarakat. Selebihnya, lihat Richardson, 2004: 430-431.
[6] Lagu Kembang berisi tentang harapan seseorang terhadap kekasih, orang terdekat, ataupun sahabat yang disimbolkan sebagai “kembang”. Si narator berharap agar si kembang bisa tumbuh sebagai seseorang yang baik, tahan godaan, dan selalu ingat ke Sang Pencipta, sehingga ia akan menjadi insan yang berkualitas beda. Lagu Kembang digarap dalam irama rancak, meskipun kesan melonya masih kentara. Sementara lagu Gowor, memang cenderung sedih karena menggambarkan seorang yang ditinggal kekasih hatinya, meninggal karena kecelakaan. Tangis air mata dan kesedihan mengiringi kepergian sang kekasih. Meskipun dilanda kesedihan dan penderitaan, ia tetap mendoakan agar arwah sang kekasih diterima oleh Tuhan. Apakah ini diangkat dari cerita nyata yang dialami Koming. Secara diplomatis, ia mengatakan, “Kalau lagu itu nyata sekali. Seniman itu juga manusia biasa, mereka juga bisa mengalami tragedi. Seniman itu kan apa yang dilihat, dirasakan, didengar, akan jadi inspirasi. Sebenarnya lagu gowor itu tidak diciptakan, tetapi tercipta dengan sendirinya” (Wawancara, 31 Juli 2009). Kedua lagu tersebut direkam dalam format genre musik pop, tidak ada unsur musik tradisinya sama sekali.
*Ikwan Setiawan, Ketua Umum Matatimoer Institute. Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Anggota Dewan Pakar Dewan Kesenian Jember. Aktif dalam penelitian sastra, budaya lokal dan media dengan fokus kepada persoalan poskolonialitas, hegemoni, politik identitas, dan isu-isu kritis lainnya. Email: senandungtimur@gmail.com

Sumber: MataTimoer  

0 komentar:

Posting Komentar